Oleh : Unang Lukmanulhakim
Sesuatu yang tidak tampak bukan berarti tidak berguna, bahkan mungkin sebenarnya kita sangat bergantung kepadanya, seperti udara begitulah kisah para pejuang kita.
Hari minggu 30 Januari 2011, sebuah pagi yang cerah menjadi awal kegiatan ngaleut di penghujung bulan awal ini, saya memutuskan untuk ikut ngaleut dengan harapan dapat mencerahkan hati yang memang belakangan ini kadang tak secerah sang pagi.
Sesuai dengan isi sms yang saya terima sebelumnya, kami berkumpul di sebuah tempat yang terletak di Jalan Asia-Afrika Bandung, sebuah tempat yang menunjukan betapa majunya visi seorang Soekarno, sebuah tempat yang menjadi tonggak sejarah bagi banyak negara di kawasan Asia dan Afrika. Societeit Concordia atau yang sekarang menjadi Museum Konferensi Asia-Afrika pada masa colonial merupakan sebuah symbol dari rasisme kaum elite Belanda terhadap pribumi, tempat ini merupakan tempat berkumpul para elite Belanda untuk bersosialisai dengan sesama elite Belanda lainnya, ya hanya sesame elit. Tak ada seorang pun yang di luar golongan tersebut diperbolehkan menikmati fasilitas disini apalagi bagi pribumi. Dengan visi luar biasa yang Soekarno miliki, beliau menjadikan gedung bekas societeit Concordia sebagai tempat berlangsungnya konferensi Asia-Afrika tahun 1955 yang merupakan symbol perlawanan terhadap rasisme dan kolonialisme di Negara-negara Asia dan Afrika, beliau “menikam rasisme tepat di jantungnya”.

Seperti biasa sebelum memulai perjalanan, kita melakukan sebuah “ritual” yaitu perkenalan dan pengantar perjalanan. Mungkin keduanya terlihat sepele, namun ternyata hal tersebut merupakan bagian penting dari kegiatan ngaleut. Karena dengan perkenalan, para peserta yang berasal dari berbagai macam latar belakang, asal daerah, asal tempat belajar maupun asal tempat bekerja diharapkan dapat mengenal satu sama lain dan menjalin pertemanan yang lebih erat pasca mengikuti kegiatan ngaleut ini, karena mungkin sesungguhnya interaksi social semacam inilah yang mempunyai nilai lebih dibanding bentuk interaksi social di masyarakat kita belakangan ini yang cenderung lebih senang berinteraksi jarak jauh via alat komunikasi ataupun dunia maya. Setelah melakukan perkenalan, disampaikanlah sedikit pengantar tentang sosok Soekarno dan Inggit Garnasih, awal mula kedatangan Soekarno ke Bandung dan sampai akhirnya bertemu dengan Inggit Garnasih.
Perjalanan kami dimulai dengan menyusuri jalan di samping Hotel Savoy Homann yang merupakan salah satu hotel yang mempunyai nilai historis bagi kota ini, kami lalu sampai di jalan Dalem Kaum lalu berbelok ke arah barat menuju arah alun-alun. Di kawasan ini banyak tempat untuk massage atau pijat dengan dekorasi yang menurut saya lebih mirip tempat hiburan malam dibanding dengan tempat untuk menjaga kesehatan tubuh. Bentuk dan dekorasi tersebut seolah-olah sedang menggoda lelaki siapa saja yang melintasinya untuk masuk dan memuaskan hasratnya. Entah dari sejak kapan bangunan-bangunan seperti ini muncul karena saya yakin pada awalnya kawasan ini merupakan sebuah kawasan yang sangat diagungkan dan dihormati, karena kawasan ini dahulu merupakan pusat pemerintahan kabupaten Bandung dan terlebih lagi di kawasan ini berdiri sebuah mesjid yang menjadi lambang dari sebuah keagungan dan kesucian, kalau saya memikirkan ulang tentang kawasan ini maka hanya akan menimbulkan kemirisan dan pertanyaan kenapa bisa para pembuat kebijakan tentang tata kota mengijinkan usaha-usaha semacam ini berdiri di sekitar mesjid Agung dan Pendopo Bandung yang dihormati.
Kami lalu berhenti di dekat jembatan yang terbentang di atas sungai cikapundung, disini kami membahas tentang sejarah kawasan dimana kami berdiri sekarang, mulai dari nama kawasan Regol yang merupakan perkampungan yang berada tepat di seberang kami. Regol yang kemungkinan namanya berasal dari kata Regal (Bahasa Belanda ; megah) yang dapat diartikan pula sebagai istilah untuk bangsawan, karena kawasan ini merupakan tempat tinggal bagi para abdi dalem atau pelayan bangsawan Bandung yaitu Bupati Bandung dan keluarganya, kawasan seperti ini terdapat pula di beberapa daerah lain, biasanya para abdi dan pelayan dibuatkan rumah mengelilingi rumah atau kantor dari bupati atau bangsawan tersebut. Selain regol kami pun membahas tentang penamaan Jalan Dalem Kaum yang tidak lain diambil dari julukan bagi Bupati Bandung ke VI yang sekaligus founding father nya Kota Bandung yaitu RAA Wiranatakusumah II. Julukan itu sendiri diberikan setelah RAA Wiranatakusumah wafat, beliau dimakamkan di belakang kauman (istilah untuk mesjid) maka dari itu beliau mendapat julukan Dalem Kaum. Dari tempat kami berdiri dapat disaksikan sebuah bangunan lama yang masih berdiri diatas aliran sungai Cikapundung, kami mengenal bangunan tersebut dengan nama Lido yang dahulunya merupakan toko furniture, mungkin bangunan tersebut menjadi satu-satunya bangunan di Kota Bandung yang berdiri di atas aliran sungai dan itulah yang menjadikannya unik.

Setelah membahas beberapa hal, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan ke arah barat lalu berbelok ke arah Jalan Balong Gede yang terletak di samping bangunan bekas bioskop Radio City atau bioskop Dian yang merupakan salah satu generasi pertama bioskop di Bandung, memang kawasan tersebut pernah menjadi kawasan bioskop dan tonggak perkembangan film di nusantara. Kami lalu menyusuri jalan balong gede dan berhenti sejenak di bagian belakang pendopo dan rumah dinas walikota bandung untuk sejenak mendengarkan keterangan tentang pendirian tempat tersebut yang sedikit banyak melibatkan sepenggal dari kisahnya Soekarno. Di dalam kompleks pendopo memang terdapat bangunan hasil rancangan dari Soekarno yang khas dengan ornament gada pada atapnya, entah apa yang hendak disampaikan Soekarno dengan memilih gada sebagai ciri khas bangunan-bangunan hasil rancangannya. Mungkin saja beliau ingin menunjukan keteguhan dan kekuatan karakter yang dimilki oleh beliau yang dilambangkan dengan gada tersebut.

Di tempat kami berdiri ini diceritakan pula tentang kisah seorang pejuang perempuan yang kemilaunya tersamarkan oleh kata “paling berjasa”, terus terang saya sendiri kurang menyukai kata “paling berjasa” ini karena setiap pejuang memiliki jasa dengan proporsinya masing-masing dan disadari atau tidak kata “paling berjasa” ini membuat jasa pejuang lain seolah terkubur waktu dan bukan tidak mungkin berujung pada pengkultusan seseorang. Sebagian besar masyarakat kita, mungkin termasuk saya masih memiliki mind set bahwa pejuang perempuan yang paling berjasa dalam hal emansipasi perempuan Indonesia adalah R.A Kartini, Memang Kartini memiliki peranan penting dalam perjuangan membela hak-hak kaum perempuan khususnya dalam bidang pendidikan, namun seharusnya kita juga mengangkat kisah-kisah perjuangan pejuang perempuan lainnya dengan lebih proporsional agar lebih akrab khususnya bagi siswa sekolah. Pejuang yang kami bahas di tempat ini tak lain adalah Dewi Sartika, mungkin hampir semua dari kita familiar dengan nama Dewi Sartika, bahkan saya sendiri sempat bersekolah taman kanak-kanak yang memakai nama beliau sebagai nama institusinya, namun terus terang saya sendiri sangat sedikit mengenal tokoh ini karena seingat saya belum pernah diajarkan atau diperkenalkan secara detail selama saya di sekolah, atau mungkin memang saya saja yang tidak memperhatikan penjelasan dari guru. Tapi yang pasti setelah saya mendapatkan keterangan tentang kisah perjuangan Dewi Sartika membuat saya sangat terkesan, ternyata jasa-jasa beliau sangatlah besar dalam memperjuangkan hak-hak kaum perempuan terutama dalam bidang pendidikan, bahkan mungkin lebih nyata hasilnya dibandingkan dengan apa yang telah diperjuangkan Kartini. Salah satu kontribusi yang paling nyata adalah pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda.
Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun 1909, membuktikan kepada bangsa kita bahwa perempuan memiliki kemampuan yang tak ada bedanya dengan laki-laki. Tahun 1910, menggunakan hartanya pribadi, sekolahnya diperbaiki lagi sehingga bisa lebih mememnuhi syarat kelengkapan sekolah formal.
Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan.
Saya jadi berpikir kalau memang ada hari yang dikhususkan untuk mengenang RA Kartini dan dinamakan Hari Kartini lalu kenapa tidak ada satu hari lain untuk mengenang Dewi Sartika.

Dewi Sartika (lahir di Bandung, 4 Desember 1884 – meninggal di Tasikmalaya, 11 September 1947 pada umur 62 tahun) adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum perempuan, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia tahun 1966.
Setelah puas bercerita kami lalu melanjutkan perjalanan ke arah pertokoan di kawasan kebon kalapa. Kemudian kami berhenti kembali di salah satu sudut pertokoan dekat persimpangan jalan dewi sartika dan jalan abdul muis atau lebih dikenal dengan jalan pungkur. Disini kami membahas tentang sepenggal kisah kehidupan Soekarno, di kawasan tersebut menyimpan beberapa jejak perjuangan dan kisah cinta Soekarno diantaranya adalah adanya rumah yang sempat menjadi tempat tinggal Soekarno dan Inggit Garnasih, rumah tersebut terletak dalam rangkaian rumah yang dikenal dengan “gedong dalapan” karena rumah-rumah dalam rangkaian tersebut berjumlah delapan rumah, konon Soekrano dan Inggit tinggal di rumah ketiga dari rangkaian gedong dalapan tadi, namun sayang tak ada sedikit pun yang tersisa dari gedong dalapan karena semuanya telah tergantikan oleh bangunan baru. Jalan di samping tempat kami berdiri pun konon adalah jalan yang sering dilewati oleh Soekarno ketika pulang pergi kuliah di THS (Technische Hoogeschool) yang sekarang menjadi ITB. Konon juga di daerah ini adalah tempat berdirinya biro arsitek dimana Soekarno dan salah seorang sahabatnya Rooseno (seorang yang dikenal sebagai Bapak Beton Indonesia) meniti karier. Namun yang paling membuat saya tertarik adalah penjelasan tentang seorang tokoh yang namanya sekarang dijadikan nama resmi untuk jalan pungkur, yaitu Abdul Muis. Saya sendiri sebelumnya hanya sedikit mengetahui tentang sosok ini, beliau ternyata adalah seorang sastrawan dan wartawan yang cukup dikenal dan berjasa bagi Indonesia.

Abdoel Moeis (lahir di Sungai Puar, Bukittinggi, Sumatera Barat, 3 Juli 1883 – meninggal di Bandung, Jawa Barat, 17 Juni 1959 pada umur 75 tahun) adalah seorang sastrawan dan wartawan Indonesia. Pendidikan terakhirnya adalah di Stovia (sekolah kedokteran, sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), Jakarta akan tetapi tidak tamat. Ia juga pernah menjadi anggota Volksraad pada tahun 1918 mewakili Centraal Sarekat Islam. Ia dimakamkan di TMP Cikutra – Bandung dan dikukuhkan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden RI, Soekarno, pada 30 Agustus 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 218 Tahun 1959, tanggal 30 Agustus 1959).Beliau adalah salah satu yang aktif mengecam tulisan orang-orang Belanda yang sangat menghina bangsa Indonesia melalui tulisannya di harian berbahasa Belanda, De Express. Pada tahun 1913, menentang rencana pemerintah Belanda dalam mengadakan perayaan peringatan seratus tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis melalui Komite Bumiputera bersama dengan Ki Hadjar Dewantara.Pada tahun 1922, memimpin pemogokan kaum buruh di daerah Yogyakarta sehingga ia diasingkan ke Garut, Jawa Barat. Mempengaruhi tokoh-tokoh Belanda dalam pendirian Technische Hooge School – Institut Teknologi Bandung (ITB). Beliau juga merupakan sastrawan yang cukup dikenal salah satu karyanya adalah Salah Asuhan (novel, 1928, difilmkan Asrul Sani, 1972),diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Robin Susanto dan diterbitkan dengan judul Never the Twain oleh Lontar Foundation sebagai salah satu seri Modern Library of Indonesia
Memang kita seringkali kita melewatkan hal-hal kecil yang sebenarnya menyimpan sebuah kebesaran dibaliknya.
Tujuan kami selanjutnya adalah rumah Inggit Garnasih yang terletak di Jalan Ciateul yang kemudian mempunyai nama resmi Jalan Inggit Garnasih. Untuk sampai ke jalan ciateul kami menyusuri jalan dewi sartika sebelah utara menembus terminal di samping ITC Kebon kalapa untuk kemudian sampai di salah satu bagian jalan Inggit Garnasih. Kami terus menelusuri Jalan tersebut dan pada akhirnya sampai di Rumah yang dahulu merupakan kediaman Soekarno dan Inggit Garnasih.

Namun karena kami tiba di tempat tersebut terlalu awal, maka pintu gerbangnya pun masih terkunci, untuk itu kami memutuskan untuk beristirahat terlebih dahulu sambil menunggu bapak pemegang kunci dating. Cendol Elizabeth yang terkenal itu pun jadi tujuan kami melepas lelah dan memang tidak menyesal kami memilih tempat ini, disini makanan dan minumannya enak dan yang lebih penting lagi harganya pun tergolong bersahabat. Kami pun menghabiskan waktu disini dengan suasana yang santai dan akrab sembari menyantap pesanan masing-masing yang sangat menggoda.

Sekitar satu jam kami menghabiskan waktu untuk melepas lelah dan sekitar tengah hari kami pun bergegas menuju rumah Inggit Garnasih yang memang menjadi tujuan utama kami. Sambil berjalan, dalam benak saya sudah terbayang akan banyak sekali cerita-cerita dahsyat yang akan ditemui tentang kisah cintanya Soekarno dan Inggit Garnasih.
-Bersambung-
sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Dewi_Sartika
http://id.wikipedia.org/wiki/Abdoel_Moeis
Foto diambil dari koleksi pribadi penggiat Komunitas Aleut
Leave a Reply