Oleh : M.Ryzki Wiryawan (@ryzkiwiryawan)

Keadaan Kaum (Masjid Agung) Bandung tempo doeloe

Pengalaman masa kecil di Bulan Puasa selalu penuh dengan kenangan yang tidak terlupakan. Tidak disadari, pengalaman setiap usia selalu berbeda sesuai dengan perkembangan jaman. Oleh karena itu, lewat kenangan bulan puasa ini kita bisa mengetahui keadaan lingkungan saat itu dan membandingkannya dengan kedaaan sekarang.Kali ini saya mencoba menelusuri keadaan Bandung tempo doeloe lewat pengalaman seorang Sutadisastra, yang pernah dimuat dalam majalan Sunda tahun 1953. Kisahnya berlatar belakang keadaan Bandung seabad yang lalu, kira-kira tahun 1901. Terus terang agak juga sulit menerjemahkan artikel ini dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia mengingat latar belakang saya yang lama dididik di Bilingual School (Bahasa Indonesia dan Bahasa Sunda Kasar) selama bertahun-tahun. Jadi harap maklum apabila ada pernyataan yang kurang sreg dibaca. …

Rukun Islam yang keempat yaitu puasa di bulan Puasa atau Ramadan. Setiap pagi menjelang bulan puasa selalu ramai oleh suara “dulugdugdag-dulugdugdag” di Masjid Agung (kaum), memberi tahu bahwa besok akan  mulai puasa. Hari itu orang-orang membersihkan diri, berkeramas dengan air bersih. Karena saat itu laki-laki berambut panjang, mereka ikut berkeramas. Beres berkeramas, mereka langsung menyediakan makanan untuk sahur.  Untuk itu bahkan sampai ada yang sengaja “ngabedah balong”[1]

Dari awal bulan puasa semua orang telah berpuasa. Kini setelah negara ramai, orang-orang yang kerja buruh, jadi pembantu, atau tukang kebon biasanya puasanya hanya awal-awal saja, sesudah dua tiga hari sudah banyak yang tidak kuat nahan lapar di siang hari. Adalagi yang yang melakukan “ilmu kendang” yaitu puasanya hanya awal dan akhir saja.  Tetapi tidak seperti di kota, penduduk di distrik-distrik (desa-desa) sangat taat berpuasa…

Setiap anak di bulan puasa merasa bahagia  karena mendekati hari Lebaran bisa menghabiskan hari dengan bermain dengan teman-temannya  ke sana ke mari sambil bermain petasan dan makan dengan kenyang di hari lebaran.

Dari awal tanggal 1 ramadan, kami bangun lebih awal untuk sahur dan mengawali puasa. Setelah sahur biasanya tidur lagi. Sama orang-orang tua diberi jampi-jampi puasa “nawaetu sambalgai an adai perlu sahri ramadoni hajiis sanati perdu karana Allah” Saya berniat berpuasa di bulan puasa esok hari kamis (atau Jum’at, Sabtu, Dst.) perlu karena Allah.

Mengaji di langgar menjadi kewajiban bagi setiap anak di Bulan Puasa

Setelah mengaji, langsung dilanjutkan dengan bermain, ngabuburit, padahal saat itu masih termasuk pagi hari. Ke mana? Kebanyakan ke Setasiun , nonton kereta api lewat (dahulu masuk ke dalam peron tidak perlu beli karcis), ke tempat bengkel kereta api  dari atas tembok melihat yang pada bekerja, atau pada berenang di Cikapundung, di Leuwi Peujit dan Leuwi Kuda, di belakang pabrik Es. Di aliran sungai ini airnya besar dan jernih, tidak keruh seperti sekarang. Di bawah sungai ini terdapat kerikil dan tanah lembut. Bukan untuk mandi sambil membersihkan diri, melainkan Cuma bermain, “icikibung”, main ucing-ucingan, dan kejar-kejaran sambil berenang. Apabila kena “ucing”, maka harus menyelam, dan ketika  muncul dari air dan mengejar anak-anak lain yang sudah menjauh.  Di Cikapundung inilah saya belajar berenang, antara lain gaya punggung, gaya dada dan berenang  sambil berdiri (ngojay tangtung).

Apabila ketahuan orang tua kalau saya berenang di Cikapundung, sudah pasti  sapu lidi akan segera mendarat di bokong saya. Tapi saya tidak kapok dan tetap sembunyi-sembunyi main ke Cikapundung karena di sana ramai banyak teman.

Kalau pulang, karena capek habis main kucing-kucingan, perut kosong karena puasa. Untungnya di kantong ada uang, maka mampirlah saya beserta teman ke pinggir jalan di bawah pohon Johar yang rindang, menghampiri pedagang peyeum sampeu yang besar-besar. Maka berkecamuklah perang antara si baik dan si jahat dalam pikiran, “Buka-Jangan ? Buka-Jangan?”. Namun karena kalah sama godaan setan, maka jadilah membeli dua buah peyeum sebesar lengan seharga dua rupiah.   Peyeum itu dimakan bareng teman-teman dalam perjalanan pulang. Pengalaman ini saya alami ketika kelas IV di SD Banjarsari tahun 1901.

Waktu itu kita juga biasa membeli makanan untuk berbuka seperti kolek cangkaleng, sarikaya, rujak, cuing, dll. Ketika buka semua semua makanan dikumpulkan untuk dimakan bersama. Apabila sudah terlihat ada kelelawar, kami langsung berlarian menuju rumah. Semua makanan yang telah dibeli tadi siang ternyata tidak habis karena keburu kenyang. Biasanya sih makannya dilanjutkan selewat taraweh.

Si Gombar selalu menjadi pertunjukan menarik bagi warga Bandung yang menanti azan magrib

Dari awal bulan puasa, saya dan teman-teman sudah berkumpul buat membeli petasan di toko-toko Tionghoa. Setiap siang hari petasan itu dijemur supaya kering dan suaranya makin keras. Yang suara petasannya paling keras boleh merasa bangga. Semakin mendekati hari Lebaran bahkan semakin asyik. Tiap rumah memasang lentera (lampion) di depannya, buatan sendiri, berlomba agar semakin bagus dan besar, sesuka  dan semampunya. Dibuatnya dari bambu yang ditempeli kertas layangan berwarna-warni.

Apa maksudnya membuat penerangan di malam hari tersebut? ternyata konon untuk menyambut datangnya lailatul qodar yang turun malam itu…

(Bersambung…)*

[1] Bahasa Indonesianya “Ngabedah Balong” apa ya?

* Dilanjutkan apabila mood mendukung..haha