Oleh : Candra Asmara
Pada tanggal 2 Mei. Ketika Ki Hajar Dewantara lahir hampir seabad lalu.Di hari yang sama pula ketika Leonardo Da Vinci meninggal dunia lebih dari 500 tahun yang lalu. Dan masih di hari yang sama ketika bangsa Inggris bergegap gempita akan keberhasilannya melayarkan kapal Queen Elizabeth II untuk pertama kalinya menuju New York.
Empat puluh satu tahun kemudian sejak suka cita rakyat Inggris tersebut, sama persis pada tanggal 2 Mei, Komunitas Aleut! kembali mengarungi sisi sejarah di Kota Bandung dan sekitarnya. Kali ini, mata Aleut! tertuju pada satu reruntuhan yang dikerubungi semak belukar di kawasan tinggi Bandung, bangunan terbengkalai berupa benteng pertahanan semasa perang zaman Hindia Belanda dahulu. Berikut kutipan perjalanan Aleut! di hari itu..
Sarapan tanjakan
Setelah menggunakan angkot dari terminal Ledeng yang memakan waktu kurang lebih 30 menit, dan berjalan beberapa menit menuju sebuah kampung bernama Legok di kawasan Lembang, sajian tanjakan pun mulai tersaji untuk dihidangkan kepada para pegiat Aleut! pagi itu. Tanjakannya memang tidak curam, tetapi cukup menyuramkan hati dan kaki yang senantiasa berteriak meminta istirahat ketika menaikinya. Belum lagi ketika jari jemari disibukkan dengan gerakan tutup hidung ketika melewati kandang sapi, kandang ayam dan kandang kambing yang terdapat di halaman rumah-rumah penduduk yang terlewati. Gonggongan anjing-anjing yang kerap menyadarkan saya dari lamunan dan keluhan ”Cape..”, ”kapan nyampenya?!”, ”teu kira-kira nanjakna..” cukup memberikan semangat dan kembali fokus pada perjalanan yang sedang dilalui. Seperti sebuah peribahasa yang berujar ”anjing menggonggong, kafilah tetap cuek, tapi rada kaget..”.
Tugu yang lugu
Setelah beberapa tanjakan yang dilalui, dan menurut catatan saya, sudah tujuh halaman penuh saya mengutuk dan bersumpah serapah pada setiap tanjakan, akhirnya sampai pada suatu bukit yang merupakan bagian lain dari Gunung Putri. Ketika berada di puncak bukit ini, angin-angin berebutan ingin menyegarkan saya, bangunan-bangunan kota di bawah sana menjadi terlihat sebesar ujung korek api. Pegunungan yang melingkari kota Bandung terlihat dengan jelas. Pemandangan yang menyegarkan, seakan-akan bensin saya terisi penuh kembali untuk melajutkan perjalanan.
Masyarakat sekitar menyebut bukit ini bukit Tugu. Karena di puncak bukit ini terdapat sebuah tugu yang bertuliskan sejumlah nama yang saya tidak tahu siapa dia, kenapa namanya ada di tugu ini, dan seberpengaruh apakah nama-nama itu dalam pendirian tugu ini. Yang saya paling ingat tugu itu didirikan tahun 1988, dengan embel-embel kapolri tertera di salah satu sisi tugu tersebut. Tugu yang dia sendiri tidak mengerti mengapa dia didirikan di puncak bukit tersebut. Tugu yang tidak tahu apa-apa. Sebuah tugu yang lugu.
Benteng Putri
Dari bukit tugu, kita melanjutkan perjalanan ke sebuah benteng yang kerap disebut Benteng Putri oleh masyarakat sekitar. Benteng Putri bukan merupakan sebuah benteng tempat disekapnya seorang putri yang dijaga oleh seekor naga. Benteng ini disebut benteng Putri karena letaknya berada di kawasan Gunung Putri.
Benteng ini didirikan awal tahun 1900an, pada masa Perang Dunia ke-1. Pada awal pendiriannya benteng ini digunakan untuk benteng pertahanan Belanda. Kompleks benteng ini cukup luas, dan tak jauh dari benteng utama terdapat satu menara pengawas yang masih dapat terlihat. Menara tersebut bermanfaat untuk mengawasi pergerakan musuh yang mendekat dari arah selatan.
Meski sudah berumur ratusan tahun, benteng ini cukup kokoh berdiri di tengah rimbunan semak belukar yang terus menghalangi keberadaan benteng ini. Konstruksi benteng ini menggunakan plat-plat besi di bagian dinding dan atapnya. Sehingga terjaga kekuatannya sampai saat ini! Berbeda dengan benteng-benteng lain yang sudah rubuh dan rata dengan tanah, selain karena bencana alam, juga disebabkan oleh tangan-tangan jahil yang mengambil besi-besi ini untuk dijual. Yang otomatis akan membuat bangunan ini roboh, karena tulang-tulangnya ditukar dengan ’nasi’.
Benteng ini memiliki atap rendah yang melengkung, dengan dua pintu masuk yang sangat kecil bila mengingat tentara-tentara Belanda yang tinggi besar. Satu ruangan dibagi menjadi dua bagian serambi, yang dipisahkan oleh dinding sekat dengan dua celah yang menghubungkan setiap serambinya. Berlantai tanah, dengan batu-batu berserakan disana sini. Saya dan beberapa teman sempat iseng ngorek-ngorek tanah, siapa tahu menemukan peluru-peluru yang tertimbun waktu. Hehe.
Setelah cukup puas menikmati lapuknya dinding-dinding benteng, melepas dahaga dan meluruskan otot-otot kaki, kami pun melanjutkan perjalanan. Masih di kawasan Gunung Putri, terdapat satu rekanan dari Gunung Putri yaitu bukit Kolotok. Kembali pemandangan apik tersaji dari atas sini. Karena dirasa tempatnya memang pas, padang rumput, dengan beberapa pohon yang meneduhi, kami pun membuka bekal masing-masing sembari menerawang pegunungan yang melingkari cekungan Bandung.
Setelah tenaga terisi kembali, kami siap melanjutkan perjalanan, kami akan mengambil jalan pulang ke arah Jayagiri, dengan konsekuensi persediaan minuman yang tinggal seteguk mabuk alias seutik deui!
Pinus oh pinus
Perjalanan dari bukit Kolotok ke Jayagiri ditemani oleh serentetan jajaran pohon pinus yang…wheew…membuat saya jatuh cinta! Kami berjalan melewati hutan pinus yang teduh, dan menyegarkan. Perjalanan terasa amat nyaman dengan pohon pinus meneduhi kami. Konon bagi orang Jepang pohon pinus yang berwarna hijau cerah tandanya memberikan keberuntungan. Waah, semoga saja perjalanan Aleut! kali ini senantiasa diselubungi keberuntungan..
Suara Dinosaurus?!
Saya agak terkejut dengan suara raungan ketika melalui perjalanan dari Bukit Kolotok menuju Jayagiri. Rroooaarr!! Rrawwr! Raungan itu kembali terdengar di telinga saya. Suara yang memekakan telinga, suara penuh amarah, seakan-akan dialah penguasa hutan ini! Suara dinosauruskah? T-rex?! Bulu kudukku sudah ingin berdiri dan loncat kesana kemari rasanya. Raungan itu terdengar semakin mendekat, tanah bergetar, dan bau T-rex mulai tercium,asapnya mengepul, membuat batuk pohon-pohon pinus tadi. Eh, bau T-rex?! Bukan! Bau ini seperti yang ku kenal!hmm, saya mengingat-ingat dulu beberapa saat, bau apaa ya ini…oh! Ini asap knalpot! Kontan saja bulu kuduk saya yang sedari tadi ingin melompat, mengurungkan niatnya. Dan benar saja, beberapa saat kemudian, beberapa sepeda motor melintasi kami dengan raungannya. Motornya keren-keren, akang-akangnya juga ganteng-ganteng, ramah pula. Tapi hutan ini tidak berkata demikian sepertinya. Hai pohon pinus, menurutmu bagaimana??
Hatur nuhun Junghuhn
Hampir menuju jalan pulang. Kami singgah terlebih dahulu ke makam Dr. Franz Wilhelm Junghuhn, yang terletak di gang Junghuhn, dekat Jalan Jayagiri. Makamnya terletak di dalam sebuah taman kecil dengan pepohonan tinggi yang mengitarinya.
Siapa Junghuhn? Banyak yang bilang bahwa dia adalah bapak kina indonesia. Karena dialah yang ”menanam” kina pertama kali di Hindia Belanda. Sehingga hindia-belanda saat itu bisa memasok 90 persen dari hasil kina dunia. Angka yang cukup fantastis.
Kina bermanfaat untuk mengobati malaria yang memang sedang ”populer” saat itu. Bukan buah, bukan daun dan bukan akar dari pohon kina tersebut yang dijadikan obat, namun kulit pohonnya. Kulit pohon kina diolah menjadi bubuk putih yang disebut kinine, yang digunakan untuk keperluan pengobatan malaria tadi. Dan sebelum ditemukannya obat malaria sintetis, kinine merupakan satu-satunya obat yang sanggup menghadapi malaria saat itu. Junghuhn sangat berjasa dalam pengembangan dunia medis dunia saat itu. Tidak hanya medis, dia pun ahli dalam pemetaan dan tumbuhan. Boleh dibilang Jughuhn merupakan orang pertama yang melakukan penjelajahan sekaligus pemetaan di Jawa. Banyak juga jasa yang junghuhn lakukan..hatur nuhun Junghuhn!
Kini, nama Dr. Franz Wilhelm Junghuhn tertera pada nisan makamnya di taman kecil yang dikelilingi beberapa pohon kina di sekitar makamnya. Nisan berbentuk seperti menara kecil, menyerupai menhir. Sekilas terlihat ini merupakan sebuah tugu peringatan, bukan makam.
Makam Junghuhn merupakan titik terakhir dari perjalanan Aleut! kemarin. Saya haturkan nuhun bukan hanya untuk Junghuhn, tapi juga untuk pegiat lainnya. Hatur nuhun semuanya!
Sumber:
Ngaleut dan wikipedia.

fotonya tampilkan juga walaupun di FB sdh ada, agar org lain yg baca bisa lihat. Berapa orang yg ikut kemarin?
like this lah!
mantips.. NGALEUT TERUUUSSSS..!!!
iiihhhh…papi candRa….
tuLisannya keYeeeeeen cekaLi…
mami azumi makin cinta..
cihuuyyy….
hehee….
Astaghfirullahaladziim,,,
iiihhhh…papi candRa….
tuLisannya keYeeeeeen cekaLi…
mami azumi makin cinta..
cihuuyyy….
hehee….
^_^
Ya Alloh,,,tobad…tobad…btw keren tulisannya ^^V