Oleh : Nia Janiar
Suara kayu beradu di lantai marmer. Tak tok tak tok—begitu bunyinya. Terukir sebuah ukiran cantik dipinggir-pinggirnya, berpadu dengan serat-serat kayu yang menjalar beraturan. Dipakai sebagai alas, menghiasi kaki-kaki. Kelom geulis siapakah ini?
Semenjak mall Sultan Plaza belum menjadi bangkai besar seperti sekarang ini, saya sudah berkali-kali melewati sebuah toko kecil bertuliskan Kelom Geulis Keng semenjak saya kecil. Namun dari saya kecil itu hingga sebesar sekarang, saya sama sekali belum pernah datang ke sana. Beruntung hari Minggu (09/10) kemarin, Komunitas Aleut mengajak saya dan teman-teman ke toko yang menjadi bagian sejarah fashion mode para mojang Bandung.
Kelom diambil dari bahasa Belanda yaitu klompen. Ini merupakan sandal perempuan yang terbuat dari kayu. Sebelum menjadi trend seperti sekarang, nyatanya dulu juga pernah menjadi trend busana bagi para mojang Bandung yang dipadukan dengan kain dan kebaya. Kadang juga dipadukan dengan payung geulis yang motifnya sama dengan motif sepatu. “Dulu kalau mojang Bandung yang tidak pakai kelom geulis itu jadi ketinggalan zaman,” ujar Bapak Yamin, generasi ke tiga yang kini menjadi pengelola dan menceritakan sejarah Keng kepada Aleutians.
![]() |
Pak Yamin sedang membandingkan kelom yang ada di pasaran dengan kelom buatannya. |
![]() |
Kelom di dalam toko. Ada yang memesan hingga 25 cm tingginya! |
Kelom geulis terbuat Albasiah atau sengon tua kaya akan serat, alot, serta ringan (yang kini berganti Mahoni), diukir dan dicat pakai plitur sehingga bentuknya sedemikian cantik. Menurut Pak Yamin, biasanya kayu tua yang banyak seratnya itu ditemukan di tempat yang dekat dengan mata air. Selain bagian dari kayu, serat bisa menjadi ornamen yang memperindah kelom itu sendiri. Jadi, sayang sekali jika harus ditutupi dengan cat.
Melimpahnya kayu dan kulit sebagai sumber daya alam di Indonesia tentunya sangat menunjang pembuatan kelom geulis ini. Dulu ornamen Tionghoa seperti ukiran timbul berbentuk naga menjadi ciri khas yang menonjol pada kelom buatan Keng. Namun sekarang sudah tidak lagi karena tidak ada pengukir generasi muda yang memiliki kemampuan dan kemauan mengerjakannya.
Sayangnya penjualan kelom geulis yang dulu berada di kawasan Pecinan Lama ini harus redup saat impor plastik mulai masuk dan mojang Bandung lebih memilih sandal karet sebagai alas kaki. Kelom memang tidak elastis, namun Pak Yamin bilang bahwa menurut dokter, kelom merupakan obat yang baik untuk kulit pecah-pecah di kaki karena bahannya tidak panas. Selain itu, karena setiap ukuran dan bentuk kaki wanita itu berbeda-beda, kelom memang bukan sepatu yang siap dipakai. Dibutuhkan 5-10 menit untuk mencocokkan kontur kaki dengan sepatu. Namun tentunya ini akan berbuah baik karena kelom akan sangat cocok dan nyaman pada kaki.
Alih-alih spons yang biasanya menjadi alas kelom-kelom yang bertebaran luas di pasaran, karet sintetis yang tebal dipilih Pak Yamin untuk menjadi alas kelom agar awet dan tidak cepat aus. Harga kelom di tokonya berkisar Rp60.000,00 hingga Rp200.000,00, pantas untuk harga kelom yang murni dibuat oleh tangan. Untuk menjaga kualitas, Pak Yamin hanya melayani pesanan lokal.
Lalu apakah rahasia Pak Yamin dalam menjaga keberlangsungan Keng? Beliau mengatakan bahwa seseorang harus menjiwai pekerjaan yang dilakukannya, kualitas harus terus dipertahankan, serta Keng tidak pernah ketinggalan mode karena bentuknya yang sederhana. Justru tidakkah kesederhanaan itu sulit dibuat?
Tentu bagi Pak Yamin, Keng bukan hanya sebuah warisan usaha dari Thio Keng Siang—kakek dari Pak Yamin, tetapi juga ia berperan dalam melestarikan budaya dan sejarah perkembangan fashion yang ada di Bandung. Ia mengakui bahwa para pengguna kelom adalah para pelanggannya dari zaman dulu yang kadang datang ke toko sekaligus untuk bernostalgia. Apakah anak muda bisa ikut andil dalam pelestarian sejarah dan budaya seperti Keng ini? Tentu bisa. Caranya sederhana: beli kelomnya.
Original post : Disini
Leave a Reply