Oleh : Nara Wisesa

Minggu 23/01/2011… Pada hari itu ku turut ayah ke kota, naik delman …… Eh, kayaknya ada yang salah…. ulang lagi…

 

Pada hari itu, saya bergabung dengan pasukan Aleutians dalam perjalanan ngAleut! yang bermula di terminal Dago dan berakhir di Gunung Batu, Lembang. Kisah-kisah dari perjalanan tersebut mungkin bisa dibaca dalam posting dari rekan-rekan Aleutians yang lain dan dari foto-foto yang sebelumnya sudah saya upload…

 

Lah, kalau begitu, ngapain dong ya saya nulis note ini??

 

Dan jawabannya… Adalah!!

 

Saya ingin berbagi kisah aja… Perwujudan dari inspirasi yang saya dapatkan dari perjalanan ngAleut! pada hari minggu yang lalu itu… (tsah… ‘inspirasi’… bahasanya gak nahan euy :p)

 

Jadi begini… Ketika kami sampai di tujuan utama, yaitu di Gunung Batu (Lembang, bukan Cimahi), seperti biasa Aleutians pun sharing mengenai pengalaman yang didapat dari perjalanan yang baru saja ditempuh, dan juga berbagi berbagai informasi yang lain.

Topik diskusi di atas gunung sangatlah menarik, dari sejarah geologis patahan lembang dan cekungan bandung, sejarah-sejarah sehubungan dengan makam-makam keramat di atas puncak-puncak gunung, kebudayaan-kebudayaan dan kepercayaan-kepercayaan masyarakat sunda, bertukar opini mengenai isu-isu yang sering dianggap tabu oleh masyarakat umum seperti incest dan seksologi, peran-peran gender dan isu-isu feminisme, sampai-sampai sharing mengenai peran komunitas bagi masyarakat dan generasi muda bandung, dan juga sedikit mengenai sejarah perkembangan Aleut! itu sendiri.

 

Jujur saja pada awal saat sharing dan diskusi itu saya agak memisahkan diri, dengan maksud mendokumentasikan prosesi dan mengambil foto-foto, tapi karena kondisi cahaya yang kurang bagus dan kamera yang entah kenapa sedang agak susah diajak kompromi, saya pun lebih banyak mendengarkan isi diskusi teman-teman yang lain sembari menerawang (baca: melamun :p) dan menikmati pemandangan…

 

Pada saat itulah saya melihat salah satu batu besar yang sebelumnya dipanjat oleh teman-teman Aleut dan berfoto-foto…

 

batu besar yang penuh dengan coretan pernyataan cinta dari entah berapa pasangan dimabuk asmara (cieh) yang mengunjungi tempat itu di kala berkencan…

 

batu besar yang penuh catatan tanda persahabatan kelompok-kelompok yang menorehkan nama-nama untuk menunjukkan bahwa mereka pernah berada di sana, bahwa mereka pernah ada…

 

batu besar yang dikerubungi berbagai serangga, dan menjadi tempat perburuan sejumlah burung layang-layang yang terbang di sekelilingnya…

 

batu besar yang menaungi setumpuk sampah plastik yang entah ditinggalkan dan dilupakan oleh siapa…

 

Entah kenapa, pandangan saya pun terpaku pada batu itu… Penerawangan (baca: lamunan) saya pun terfokus pada batu itu… Ingin tahu rasanya… sudah berapa lama batu itu ada di sana… mencuat seperti itu ke arah cekungan Bandung…

 

Si batu besar yang memikat perhatian saya

 

Peristiwa apa saja sih kira-kira yang telah ‘disaksikan’ oleh batu itu…

 

Kalau dilihat dari struktur batuannya yang kemungkinan besar merupakan batuan beku (entah granit atau batuan beku lainnya), maka rasanya tidak mungkin bahwa ia sempat menyaksikan ketika dataran Bandung masih berupa laut dangkal di masa Mesozoik… masa ketika pegunungan kapur di utara bandung masih berupa terumbu karang yang penuh dengan hewan-hewan karang… masa ketika kandungan karbon dioksida yang tinggi di atmosfer memungkinkan pengendapan zat kapur setinggi gunung di bawah laut, yang kemudian seiring dengan bergeraknya lempengan sunda terangkat ke atas permukaan laut hingga akhirnya bisa ditambang dengan semena-mena… yah, pada masa itu sepertinya batu ini masih berada dalam perut bumi dalam wujud cair…

 

Maka kemungkinan batu ini entah mendarat atau terbentuk di sini pada saat letusan gunung api di Bandung… entah ketika letusan Gunung Jayagiri… entah ketika letusan yang membentuk Gunung Sunda… atau entah ketika letusan yang membentuk Gunung Tangkuban Perahu… Sayangnya tidak mungkin melakukan Carbon Dating dengan mata :p Maka hanya si batu yang tahu cerita asal muasalnya, apakah ia jatuh di puncak Gunung Batu akibat letusan, atau ikut terangkat mencapai ketinggian itu seiring dengan terbentuknya Patahan Lembang,..

 

Maka bukan tidak mungkin bahwa batu ini adalah saksi bisu dari keberadaan Danau Bandung Purba… Ah andai bisa meminjam “ingatan” si batu… Saya selalu penasaran bagaimana kira-kira wajah cekungan bandung ketika masih jadi danau… Ketika “katanya” masih ada megafauna seperti Gajah, Badak dan Harimau yang hidup di tanah Sunda, mengancam, mempesona, dan mungkin menjadi buruan Austropithecus yang tinggal di pesisir danau bandung… Ketika hutan hujan tropis di sekitarnya kemungkinan masih belum terjamah oleh manusia… Ketika si batu masih bersih dari coretan-coretan vandal…

 

Saya yakin batu ini kemudian menjadi saksi ketika akhirnya Danau Bandung surut…

 

Kemudian ketika Kerajaan Pajajaran memperluas wilayah kekuasaannya dan menjadikan daerah Bandung sebagai …

 

Ketika (mungkin) “Mbah Jambrong” dimakamkan hanya berjarak beberapa meter di sebelahnya (atau ketika orang-orang yang tinggal di dekatnya mulai menceritakan legenda Mbah Jambrong)…

 

Ketika VOC mulai membuka lahan-lahan perkebunan karet dan kina

 

Ketika Daendels menancapkan tongkatnya dan mengucapkan kata-kata terkenalnya…

 

Ketika bangunan-bangunan permanen pertama didirikan di daerah yang sekarang kita kenal dengan sebutan Sumur Bandung (bukan Jl. Sumur Bandung loh ya)… dan kemudian Bandung terus berkembang…

 

Ketika Jepang akhirnya merebut Bandung dari tangan Belanda.. dan kemudian direbut lagi olehTentara Indonesia…

 

Ketika terjadinya peristiwa-peristiwa pasca proklamasi kemerdekaan… bayangkan bubungan asap dan lidah-lidah api yang terlihat oleh batu ini pada saat peristiwa Bandung Lautan Api… juga ledakan di Dayeuh Kolot yang disulut oleh aksi heroik Moh. Toha.

 

Ketika pasukan APRA yang “Adil” itu, di bawah komando Westerling, merangsak dan membantai prajurit-prajurit TNI…

 

Ketika menyaksikan benih-benih terbentuknya gerakan Non-Blok seiring diadakannya KAA… Peristiwa besar yang meletakkan nama Bandung di peta dunia… Peristiwa yang menjadikan Bandung dikenal oleh orang-orang Afrika, yang negaranya kemudian menyatakan kemerdekaan…

 

Ketika hutan-hutan di utara Bandung yang selama ini menghijaukan pemandangan si batu, akhirnya mulai dibuka oleh penduduk dan dijadikan ladang, seiring dengan semakin luasnya daerah pemukiman dan semakin banyaknya orang yang tinggal di sana…

 

Ketika letusan Gn. Galunggung kembali menutupi cahaya matahari dengan abunya…

 

Ketika semakin banyak pemuda-pemuda yang mencapai gunung tempat batu ini berdiam, hanya untuk bersenang-senang, memanjat tebing dan membuat api unggun…

 

Dan akhirnya ketika pasukan Aleutians (untuk entah keberapa kalinya, walaupun ini pertama kalinya ada seorang tambun berkacamata dan bersenjatakan kamera fujifilm S1500 ikut di antara pasukannya) duduk dan berbagi tidak jauh dari si batu…

 

Dan dengan itu, lamunan saya pun berakhir, seiring dimulainya sesi sharing resmi yang menandai akhir perjalanan Aleutians hari minggu itu…

 

Entah apa yang bisa diambil dari lamunan saya tadi…

Mungkin salah satunya adalah, betapa tidak ada apa-apanya usia manusia dibandingkan dengan usia geologis bumi kita… atau bahkan dengan usia geologis kota kita ini…

Tetapi kita selalu berpikir bahwa bumi berputar di sekeliling kita… Bahwa kita bisa menggunakan semua yang ada di sekitar kita dengan sepuasnya… Bahwa kita lah yang terpenting…

 

Tapi coba ambil satu kerikil dan bayangkan bahwa mungkin usia kerikil itu ribuan tahun lebih tua dari usia kita… Bayangkan kejadian apa saja yang telah disaksikan oleh kerikil itu…

 

Apa sih yang kita tahu?

 

Rekayasa photoshop, kira-kira seperti apa pemandangan dari atas si batu besar ketika masih tertutup hutan

 

Pemandangan dari atas si batu besar pada saat ini

 

(n.b. maaf bila ada kesalahan penulisan fakta dan urutan kejadian… timeline yang saya tulis di atas diadaptasi dari http://en.wikipedia.org/wiki/History_of_Bandung dan http://www.facebook.com/photo.php?fbid=1519549191977&set=t.1170529031)