Aleut! Catatan Perjalanan Gn. Manglayang, 010810

Oleh : Ridwan Hutagalung

Pada hari Minggu, 1 Agustus 2010 kemarin, komunitas Aleut! mengadakan perjalanan ke Gunung Manglayang (1817 m.dpl). Perjalanan ini diikuti oleh 24 peserta dan di mulai dari halte DAMRI Dipatiukur menuju Jatinangor yang dilanjutkan dengan menyewa dua buah angkot menuju Kp. Barubeureum (Manyeuhbeureum). Sayang, jalur jalan yang menanjak dengan kondisi rusak tak dapat diselesaikan oleh angkot-angkot ini sehingga harus dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju pemukiman (pos) terakhir di lereng timur Gunung Manglayang. Di jalur ini Aleut! berjalan di sisi timur Pasir Handap, sebuah bukit dengan ketinggian 1180 m.dpl.

Pemukiman terakhir ini menjadi semacam pos istirahat bagi Aleut! sebelum memasuki tahap pendakian yang sebenarnya. Segera setelah melaksanakan doa bersama dan menyeberangi sungai kecil (Ci Batur?), dimulailah jalur pendakian sepanjang hampir 3 km menuju puncak Gn. Manglayang. Rata-rata kemiringan jalan setapak yang bertangga-tangga di lereng ini sekitar 45 derajat dan harus ditempuh dengan hati-hati dan susah payah oleh sebagaian besar rombongan (termasuk saya tentunya). Hampir di keseluruhan jalur bertangga-tangga ini terdapat akar-akar pepohonan melintang yang cukup membantu pijakan kaki saat mendaki. Namun ketinggian anak-anak tangga tanah yang kadang mencapai +60 cm ini tak jarang menjadi kesulitan tersendiri.

Sebagian rombongan terpaksa harus sering berhenti untuk mengatur nafas dan mengumpulkan kekuatan untuk melanjutkan pendakian. Saling memerhatikan sesama teman sudah menjadi kewajiban utama dalam perjalanan seperti ini, apalagi mengingat sebagian besar peserta sama sekali tidak memiliki pengalaman semacam ini sebelumnya. Dengan perlahan semua peserta berhasil sampai di Puncak 3 atau sering disebut Puncak Prisma Gn. Manglayang dalam waktu sekitar 90 menitan. Mendekati Puncak Prisma ini, Aleut! sempat berjumpa dengan kelompok pemburu dengan anjing-anjingnya.

Tiba di Puncak Prisma dengan dataran yang tidak terlalu luas, sudah terhampar pemandangan bebas yang memesona ke arah timur dan selatan. Barisan pegunungan di sebelah timur dan utara tampak berlapis-lapis hingga samar-samar di titik terjauhnya. Pasir (bukit) Handap (1180 m.dpl) yang tadi kami lalui sekarang tampak jauh sekali di bawah kaki kami. Di sebelah tenggara tampak Gunung Geulis (1281 m.dpl) dan Bukit Jarian (1173 m.dpl) mencuat dari dataran timur Bandung yang luas. Di utara berturut-turut adalah Pasir Patokbeusi (1557 m.dpl), Gn. Pangparang (1957 m.dpl) dan di belakangnya menyembul puncak Gn. Bukit Tunggul (2206 m.dpl). Jauh di sebelah timur adalah Gn. Kareumbi (1685 m.dpl) dan Gn. Kerenceng (1742 m.dpl). Tidak semua gunung ini dapat terlihat bebas dari Puncak Prisma, karena sebagian (utara) hanya dapat terlihat saat di tengah perjalanan saja.

Bagi saya sendiri, pesona pemandangan dari Puncak Prisma ini bercampur-baur dengan rasa ngeri menyadari posisi berada di ketinggian dengan dataran yang sempit. Semua tampak jauh sekali di bawah kaki, sementara seluruh sisi dataran Puncak Prisma yang sempit ini adalah jurang-jurang vertikal yang sangat dalam. Di sini saya selalu menghindarkan diri agar tidak berada terlalu pinggir. Ajaib pula rasanya mengetahui bahwa di selatan Puncak Prisma ini terdapat satu jalur pendakian ekstrim berupa jalan setapak yang sangat curam dengan sisi kiri-kanannya jurang vertikal yang cukup dalam. Saat turun menuju Batukuda nanti akan terilhat jelas betapa menakutkannya jalur pendakian ini.

Di sebuah dataran sempit yang cukup teduh beberapa meter di bawah Puncak Prisma seluruh peserta membuka perbekalan dan berbagi makan siang. Kawasan hutan yang mulai padat menjelang Puncak Prisma tampak menghampar miring di bawah Aleut!. Semua makanan yang seadanya saat itu bertukar-tukar tempat dengan mulusnya. Bagi saya inilah yang disebut harmoni. Kesannya persis seperti saat mendengarkan konser grup band Crosby, Stills, & Nash yang mampu bertukar harmoni vokal secara halus walaupun dilakukan secara spontan. Saling mengisi, saling memberi, saling menerima.
Kemudian perjalanan dilanjutkan lagi dengan pendakian menuju Puncak 1 (utama) selama kurang dari satu jam. Di sisi kiri-kanan jalan setapak vegetasi hutan dengan pepohonan besar semakin padat sehingga cukup meneduhkan perjalanan. Kali ini iring-iringan rombongan tidak terlalu jauh terpisah. Tiba di dataran Puncak Manglayang yang cukup luas, wajah-wajah lelah namun lega tampak pada teman-teman yang segera duduk terserak berselonjoran. Sebagian lagi langsung berbaring. Ini adalah waktunya untuk istirahat, berbagi cerita pendakian, dan bercengkrama. Sebagian peserta mengisi formulir Aleut! dan berjalan-jalan di sekitar hutan. Sekeliling dataran Puncak Manglayang tertutup oleh pepohonan besar dan tidak memiliki lokasi pandang bebas termasuk ke arah selatan ataupun timur yang sepanjang pendakian tadi selalu cukup terbuka. Kondisi ini lumayan menenteramkan hati saya karena tidak adanya kesadaran ketinggian.

Di salah satu sisi dataran puncak ini terdapat tumpukan batu bata yang tersusun membentuk bidang persegi. Lokasi ini dipercayai sebagai sebuah makam kuno. Di sisi-sisinya terdapat beberapa pohon hanjuang yang memang biasanya terdapat di kompleks pemakaman serta dua buah cangkang kelapa yang berlubang bagian atasnya. Cangkang kelapa ini juga biasa dipakai orang dalam prosesi berziarah ke makam-makam yang dianggap keramat. Kisah mengenai makam keramat di Puncak Manglayang pertama kali saya dengar dari Pak Maman, kuncen di Batuloceng dan kemudian dari sesepuh Kampung Pulo, Cangkuang, Garut, yang memang pernah berziarah dan menginap di sini.

Seperti perjalanan pendakian yang kami mulai dengan doa, maka perjalanan turun dari Puncak Manglayang pun dimulai dengan berdoa pula. Semoga tetap selamatlah semua peserta dalam perjalanan Manglayang ini. Tak lama kemudian Aleut! melanjutkan perjalanan turun ke arah Bumi Perkemahan Batukuda.

Sebelum jalur jalan setapak benar-benar turun dengan curamnya, kami masih akan sedikit mengalami jalur tanjakan lagi. Kali ini mencapai Puncak 2 Manglayang. Di titik ini berarti Aleut! telah melintasi ketiga puncak Gn. Manglayang dalam sekali jalan. Setelah ini maka jalur turunan akan terus tajam, sekitar 45 derajat, hingga mencapai Bumi Perkemahan Batukuda lebih dari satu jam kemudian. Di tengah turunan kami juga menemui beberapa situs batu berukuran raksasa dengan nama-nama Batu Tumpeng, Batu Lawang, dan Batu Keraton.

Lebih ke bawah kami melewati kawasan hutan bambu dengan tanah pijakan yang cukup licin karena tertutupi oleh dedaunan kering, kawasan hutan pinus, dan di bagian bawahnya lagi adalah kawasan dengan vegetasi perdu serta semak belukar. Walaupun sudah cukup berhati-hati, namun beberapa teman terpeleset juga di jalur turunan yang curam ini. Mungkin ini tanda kelelahan yang semakin memuncak sehingga sangat memengaruhi tingkat keseimbangan tubuh sebagian peserta.

Sebagian lain peserta ternyata masih memiliki energi yang cukup untuk berlari turun melintasi hutan pinus menuju pos terakhir kami hari ini, warung di dekat pintu masuk Batukuda! Istirahat yang cukup di keteduhan hutan pinus Batukuda, mengisi perut dengan mi instan dan kopi atau susu, kemudian ditutup dengan sedikit refleksi atas perjalanan hari ini. Dari sini kami masih berjalan sedikit lagi keluar dari Batukuda menuju mobil dolak (kol buntung) yang sudah dipesan oleh Asep. 24 peserta Aleut! ditumpuk di bak belakang mobil yang menuju Bunderan Cibiru sebelum berpisah menuju angkot pulang masing-masing.

Ridwan Hutagalung
Senin, 2 Agustus 2010

NB.
Aneh juga di kawasan gunung dan hutan yang cukup lebat serta konon cukup berat untuk ditempuh ini, kami tak hentinya menemukan jejak sampah perkotaan di sepanjang jalur mendaki dan menurun sepanjang hampir 8 km! Bagaimana hal-hal seperti ini bisa dan terus saja terjadi?

Sumber data :
Peta Daerah Bandung dengan skala 1:500.000 terbitan Periplus, Singapore, 2007.

Keterangan lebih lanjut tentang Gn. Manglayang :
โ€œBenteng Hijau Terakhir Bandungโ€, Budi Brahmantyo, Kompas, Jumat, 31 Juli 2009. http://blog.fitb.itb.ac.id/BBrahmantyo/?p=55
โ€œGunung Palasari, Satu Lagi Arsip Budaya KBUโ€, Oka Sumarlin, HU. Pikiran Rakyat, 14 Juli 2007 (http://www.okasumarlin.co.cc/?p=209)
Curug Cilengkrang, Bandung, Asep Surayana, http://asep-bandung.blogspot.com/2009/05/curug-cilengkrang-bandung.html

5 Comments

  1. My Surya

    Perjalanan menuju Gn. Manglayang, it’s very incredible moment, trim’s ya Aleut! atas pengalamannya….

    ๐Ÿ™‚ ๐Ÿ™‚ ๐Ÿ™‚ … Senyum ceria menyambut Ramadhan yang mulia, ๐Ÿ˜€
    ^.~ Setitik kekhilafan di setiap detik waktu yang telah berlalu, semoga berujung saling memaafkan yaa… ๐Ÿ™‚

    Salam silaturrahim di penghujung Sya’ban,

    • komunitasaleut

      sama2 kang, ikut terus ya perjalanan2 Aleut!

  2. Wiwit RD

    Ini perjalanan ke 4 kalinya menuju G Manglayang, yang pertama curug Cilengkrang, kedua menuju puncak 1, ketiga puncak 2 semuanya dari arah Pasir angin. Ketika Aleut sms mengajak ke Gunung Manglayang saya menanyakan rute pendakian dari mana. Setelah tau awal pendakian dari Barubeureum sangat surpise krn moment ini yg diidamkan.
    Perjalanan yang sangat menyenangkan sekali, saya sangat menikmatinya. Apalagi rutenya cukup nyaman beda dengan waktu pendakian puncak 1 arah dari PasirAngin menjalang puncak jalan sempit batu cadas yg berlumut kiri kanan tebing batu yang curam dan sama sekali tdk ada pepohonan betul2 memacu adrenalin dan bikin stress krn kalau kita terpelset sedikit saja sudah saja… wassalam. Sehingga arah perjalan pulang kita turun memakai jalur zig zag msk belantara hutan yg curam tp ada pegangan pohon kalau tergelincir.
    Perjalanan dengan Aleut bener2 asik, nikmat dan happy terus karena banyak pesertanya dan kebersamaannya tiada tara juga bodor2. Makasih Aleut !!
    Hebatnya satu kali perjalanan kita bisa 3 puncak bisa dilalui dengan lancar dan selamat.
    Salam tuk temen2 Aleut, BRAVO !

    • komunitasaleut

      Asik bu, makanya kalo pergi sama Aleut! mah no regret lah! gak pernah menyesal! ๐Ÿ˜€

  3. putrijenniafasa

    like this ๐Ÿ™‚

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑