Oleh : Yanstri Meridianti
Teringat masa kecilku kau peluk dan kau manja
Indahnya saat itu buatku melambung
Disisimu terngiang hangat napas segar harum tubuhmu
Kau tuturkan segala mimpi-mimpi serta harapanmu
Andaikan detik itu kan bergulir kembali
Ku rindukan suasana basuh jiwaku
Membahagiakan aku yang haus akan kasih dan sayangmu
Tuk wujudkan segala sesuatu yang pernah terlewati
Mengenang masa kecil seperti mencoba memasuki lorong waktu penuh dengan suka cita. Hari-hari indah sarat pengalaman. Ada yang mendebarkan, mengasyikkan bahkan terkadang menakutkan. Tapi semua itu tertutup kecerian.
Waktu TK hingga kelas 4 SD saya sempat menikmati tinggal di sebuah desa di Yogyakarta. Di depan rumah nenek terdapat pasar, sehingga apabila hari PON (hari pasaran dalam kalender jawa) suasananya sangat ramai. Biasanya pada hari PON terdapat banyak pandai besi yang mengundang rasa penasaran. Sehingga sering saya berlama-lama memandangi dari depan rumah nenek.
SD saya memiliki halaman yang luas. Di halaman depan terdapat sebuah kolam yang di dalamnya terdapat miniatur pulau-pulau besar di Indonesia yang terbuat dari semen. Di samping kiri terdapat sungai kecil yang pinggirannya banyak ditumbuhi tanaman kumis kucing dan bunga sepatu. Sedangkan di samping kanan terdapat hamparan sawah berlatar belakang gunung.Saya paling suka apabila hari sabtu tiba. Karena hari sabtu ada kegiatan pramuka. Kami sering berjalan-jalan keluar masuk desa atau mendaki gunung di sekitar sekolah.
Pulang sekolah biasanya saya berjalan beriringan melewati jalanan antar desa atau terkadang berjalan melewati pematang sawah menuju rumah teman. Tak jarang kami menghabiskan waktu dengan bermain air di mata air yang berada tidak jauh dari sekolah. Puas bermain air kami akan membakar ubi dengan kayu bakar. Rasanya nikmat karena bercampur bau asap yang khas.
Tak jarang kami melakukan kenakalan khas anak-anak seperti mencuri tebu atau ceplukan (dalam bahasa sunda katanya disebut cecenet). Di musim layangan saya asyik mengadu layangan di pinggiran sungai. Layangan yang diterbangkan bukan layangan biasa yang berbentuk persegi empat. Tapi layangan berbentuk menyerupai burung yang dibeli dari teman satu kelas. Ketika berhasil memutuskan tali layangan orang rasanya puas sekali.

Masa kecil saya juga diisi dengan aneka permainan tradisonal. Di halaman depan sekolah yang tertutup tanah kami sering bermain engklek yaitu permainan dengan cara melompat-lompat dengan satu kaki di atas gambar kotak-kotak. Untuk dapat bermain setiap anak harus mempunyai kreweng (pecahan genting atau lantai). Sebelum memulai permainan ini kita harus menggambar kotak-kotak di tanah berbentuk 5 segi empat dempet vertikal kemudian di sebelah kanan dan kiri diberi lagi sebuah segi empat (berbentuk menyerupai gambar pesawat terbang). Kemudian kreweng dilempar ke salah satu petak yang tergambar di tanah. Petak yang ada krewengnya tidak boleh diinjak/ditempati oleh setiap pemain. Jadi para pemain harus melompat ke petak berikutnya dengan satu kaki mengelilingi petak-petak yang ada.Saat melemparkannya tidak boleh melebihi kotak yang telah disediakan jika melebihi maka dinyatakan gugur dan diganti dengan pemain selanjutnya. Pemain yang menyelesaikan satu putaran terlebih dahulu melemparkan gacuk dengan cara membelakangi engkleknya, jika pas pada petak yang dikehendaki maka petak itu akan menjadi “sawah”nya, artinya dipetak tersebut pemain yang bersangkutan dapat menginjak petak tersebut dengan dua kaki, sementara pemain lain tidak boleh menginjak petak itu selama permainan. Peserta yang memiliki “sawah” paling banyak adalah pemenangnya.
Masih banyak permainan tradisional lain yang sering kami mainkan. Misalnya congklak, gobak sodor, petak umpet, dll. Sayangnya saai ini satu persatu permainan tersebut mulai menghilang. Bahkan tak jarang agar anak-anak bisa memainkan permainan tersebut harus membayar mahal dan hanya diketemukan di tempat-tempat tertentu atau saat-saat tertentu. Misalnya saat outbond.
Kami juga sering membuat aneka permainan dari bahan-bahan yang ada di lingkungan sekitar. Mobil-mobilan dari kulit jeruk bali, ketapel dari ranting pohon dan aneka permainan menarik lainnya.
Hal menarik lainnya, pada malam takbiran kami akan berkeliling desa dengan berjalan kaki sambil membawa oncor/obor. Obornya tidak selalu berbentuk bambu yang lurus. Terkadang obor tersebut dibentuk menyerupai trisula. Kami akan berlomba dengan mesjid-mesjid lain dari beberapa desa terdekat. Tradisi ini sampai sekarang masih bertahan. Bahkans emakin semarak. Obor yang digunakan semakin bervariasai. Dari mulai berbentuk bintang hingga spongebob. Aneka kendang dan miniatur mesjid turut menyemarakkan acara pawai obor tersebut.
Mengenang semua itu sungguh saya merasa sangat beruntung. Untuk menikmati aneka permainan yang menyenangkan tersebut saya tidak perlu pergi jauh-jauh atau mengeluarkan banyak uang. Tidak seperti saat ini, untuk merasakan bercocok tanam atau menaiki kuda saja harus membayar mahal dan pergi ke tempat wisata tertentu. Sedangkan saya bisa merasakan nikmatnya naik kerbau, andong, kuda ataupun memanen padi cukup pergi ke sawah yang terletak tidak jauh dari rumah nenek.
Hmmm, jadi kangen dengan desaku. Desaku yang tercinta. Pujaan hatiku. Selalu kurindukan. Desaku yang permai.
Sumber :
– http://bayumuhammad.blogspot.com/2010/03/mengenal-permainan-engklek.html
Permainan “engklek” kalau di Priangan disebut “sonlah”