Oleh : Nara Wisesa
5-1-6-4-3-1-2… 5-1-6-7-1′-2′-1’…
Ada yang ngeh dengan rangkaian angka di atas?
hmmm, mungkin lebih mudah kalau ditulis seperti ini…
Sol-Do-La-Fa-Mi-Do-Re… Sol-Do-La-Si-Do-Re-Do…
Bagaimana? Mungkin teman-teman yang pernah menonton film The Sound of Music dan senang mendengarkan lagu-lagu karya Rodgers & Hammerstein yang dilantunkan oleh Julie Andrews di film tersebut, akan mengenali rangkaian not-not berskala diatonik ini… yang merupakan bagian dari lagu Do-Re-Mi… Yang kemudian disambung dengan lirik (yang dinyanyikan dengan nada sama) “When you know the notes to sing… You can sing most anything…” 🙂

Yup, seperti yang mungkin sudah bisa ditebak, posting kali ini akan bertemakan musik… Sebuah posting yang tergugah setelah mengikuti diskusi apresiasi musik bersama teman-teman Komunitas Aleut di rumah Bang Ridwan hari Minggu kemarin.
Sebenarnya tema diskusi kemarin adalah perkembangan musik folk dari masa ke masa, yang rupanya berasal dari musik rakyat tanah Irlandia (yang pernah denger lagunya The Corrs, seperti Toss The Feathers dan Lough Erin Shore, dua lagu rakyat Irlandia yang mereka aransemen ulang, ya lagu-lagu seperti inilah yang rupanya menjadi akar dari musik folk), dimana kemudian dibawa bermigrasi ke Amerika dimana akhirnya berkembang menjadi contemporary folk yang kita kenal sekarang.. seperti yang bisa didengarkan dalam karya-karya Bob Dylan dan Simon & Garfunkel




Tetapi yang lebih berkesan bagi saya pribadi bukan mengenai perkembangan musik folk ini, tapi mengenai musik itu sendiri, seperti opini yang dikemukakan Bang Ridwan, bahwa dari semua musik yang ada sekarang ini, tidak ada yang namanya musik bagus… Dimana definisi musik bagus itu sendiri sangat tidak jelas bagi saya pribadi…
Yang saya sangat setuju, cara menilai musik lebih kembali ke selera orang masing-masing, apakah musik itu enak atau tidak enak untuk kuping seseorang.
Karena tentunya musik yang enak bagi satu orang belum tentu enak untuk orang lain, dan selera seperti ini bukan sesuatu yang bisa dipaksakan… Kecuali mungkin bila selera seseorang berubah setelah terekspos terhadap satu jenis musik secara terus menerus, misalnya saya yang dulunya tidak begitu suka hip-hop dan electronica, mulai bisa menikmati setelah sering mendengar lagu-lagu alternative hip-hop seperti karya-karya Gorillaz atau Gnarls Barkley, dan Jazz rap/hip-hop/electronica seperti karya-karyanya Nujabes (may he rest in peace).

Opini mengenai musik “bagus” ini mengingatkan saya pada satu status FB yang pernah saya tulis beberapa bulan lalu,
“IMHO… soal perbedaan selera seni… gak ada yang lebih bagus… gak ada yang lebih buruk… gak ada yang lebih tinggi… gak ada yang lebih rendah… hanya aja semua orang punya selera yang berbeda…”
dan memicu diskusi dengan beberapa orang, termasuk bung Indra Pratama, yang bisa diintip disini – http://www.facebook.com/nara.wisesa?v=wall&story_fbid=128789197167286
Kesimpulannya diambil dari salah satu komennya Indra,
“selera sama kualitas adalah hal yg beda.. jadi gak bisa juga bilang ini bagus ini jelek berdasarkan selera.. harusnya bilang nya : “ini enak” atau “ih nggak enak.”.. ehhe”
Dan sejak itu, saya pun berusaha untuk berhenti mengkategorikan musik dan lagu yang saya dengarkan sebagai “bagus” atau “jelek”, dan mengganti kategorinya dengan “enak/suka/favorit saya” atau “ga enak/ga suka/bukan selera saya” 🙂
Tapi, ada satu bentuk “musik” yang tetap saya anggap sebagai musik yang bagus… dan bukan karena sebatas selera saya…
Bukan… ini bukan musik karya Vivaldi, Mozart atau pun Beethoven…

Bukan juga alunan biola Vanessa Mae atau petikan Shamisen Yoshida Kyoudai yang dulu sempat setia menemani saya dan memberi semangat selama ber-tesis-ria…

Bukan suara merdu Tomiko Van yang diiringi genjrengan asik Ryo Owatari dan Dai Nagao dari Do As Infinity yang selalu saya elu-elukan sebagai band favorit saya…

Bukan lagu-lagu dengan pekikan khas Kikan yang sekarang sudah meninggalkan Cokelat, atau Cranberries dengan Dolores-nya juga


Bahkan bukan lagu-lagu folk etnis ‘agak’ ke-Indonesia-Indonesia-an yang dilantunkan oleh Cozy Street Corner dan menjadi request favorit ketika Indra siaran di radioe.webs.com

Kalau begitu musik apa ya?
…
Musik alam 🙂
Suara burung-burung yang sedang menandai teritori mereka untuk mengusir pesaing dan pemangsa tetapi entah kenapa terkesan ceria di telinga saya..

Suara ombak bergulung-gulung di tepi pantai yang mendamaikan hati saya..

Suara gemuruh awan badai dengan petirnya yang bisa membuat saya was-was tetapi pada saat yang sama mengingatkan akan kekuatan alam tempat tinggal kita..

Suara jangkrik di malam hari yang memikat pasangannya, sekaligus mengantar tidur saya..

Suara hujan yang menyegarkan dan mengisi ulang energi saya..

(Rekaman) suara paus bungkuk yang memanggil pasangannya atau suara lolongan serigala yang terkesan kesepian…


Suara-suara inilah yang kalau menurut saya adalah musik yang benar-benar bagus… musik alam yang menggunakan not-not dan nada-nada yang mungkin berada di luar komprehensi manusia… lengkap dengan komposisi yang melibatkan gelombang-gelombang infrasonik dan ultrasonik yang walau tidak bisa kita dengar tapi mungkin bisa kita rasakan…
Yep… untuk saya… inilah yang murni bisa disebut “musik bagus”
Tapi lagi-lagi… mungkin ini juga masalah selera 😉

Leave a Reply