“Afdeling paling Selatan residensi Batavia, kira2 dibekas ibu-kota Pakuan keradjaan Padjadjaran (1433-1527), tjantik alamnja, bagus letaknja dan njaman hawanja (72˚C). Gupernur-Djenderal Maetsuyker (1653-1678) telah tertawan hatinja oleh daerah itu sedemikian rupa, hingga ialah orang pertama, jang berhasrat mendirikan sebuah istana disana. Hutan2 dibabat (1677). Ketika itu pekerdja2 Sunda menemui banjak pohon-aren jang sudah mati rusak terbakar, hingga tidak mengeluarkan nira lagi (bogor), maka sedjak ketika itulah pula dinamakan Bogor.” Kutipan ini tercantum dalam bagian awal tulisan berjudul “Bogor 1853-1873; Bazaar di Bogor” karya Lie Kim Hok. (1)
Ke kota itulah saya bersama 11 rekan Aleut! lainnya berkunjung pada tanggal 24 Januari 2010 lalu menggunakan mobil yang disewa secara patungan. Berikut ini adalah catatan berkenaan dengan objek-objek yang kami kunjungi sepanjang hari itu.
Sebelum memasuki Kota Bogor yang katanya njaman hawanja itu, kami mampir dulu ke bekas sebuah situs kuno di kaki Gunung Pangrango, yaitu Arca Domas. Situs ini berdampingan dengan situs makam lainnya yang merupakan kompleks pemakaman tentara Jerman dari masa Perang Dunia II. Untuk menuju lokasi ini kami harus masuk dari jalan yang tidak terlalu lebar di Gadog, perjalanan agak menanjak sekitar 6-7 kilometer. Seluruh badan jalan memang sudah beraspal namun sempitnya cukup menyulitkan juga terutama bila berpapasan dengan mobil lain dari arah berlawanan.
ARCA DOMAS
Biasanya nama Arca Domas dikaitkan dengan situs keramat masyarakat Baduy di Kanekes, Banten. Namun ternyata masih ada Arca Domas lainnya, yaitu di Cikopo, Desa Sukaresmi, Kecamatan Megamendung. Nama Arca Domas di sini disinggung pula oleh Thomas Stamford Raffles dalam bukunya “History of Java” (1817). Dalam buku itu Raffles menyebutkan terdapatnya patung-patung batu dengan bentuk kasar di Buitenzorg dan di Recha Domas, dua daerah yang berhubungan dengan ibukota kerajaan kuno, Pajajaran. (2)
Konon di lokasi ini sejak masa Kerajaan Pajajaran dahulu sudah dijadikan kompleks pemakaman dan pemujaan leluhur yang dikeramatkan. Catatan tentang hal ini sudah disampaikan oleh seorang jurnalis bernama David Jardiner dalam artikelnya The Thinker : German Mystery in the Heart of Java.(3)
Saat ini sudah tidak ditemukan lagi bekas-bekas pemakaman kuno itu di sini. Hanya empat pohon beringin besar saja yang masih berdiri di lokasi ini.
Nama daerah Arca Domas masih dikenali hingga sekarang. Namun sayangnya arca-arca seperti yang disinggung oleh Raffles juga sudah lenyap tanpa bekas. Hanya rekaman foto yang dibuat oleh Isidore van Kinsbergen saja yang dapat menjadi saksi keberadaan arca-arca itu di masa lalu.
Foto-foto karya Kinsbergen yang dikoleksi Perpustakaan KITLV Leiden
Tak ada informasi apa pun tentang ke mana perginya arca-arca kuno tersebut. Padahal jumlahnya bisa dipastikan sangat banyak sesuai dengan namanya domas (= dua omas) yang berarti 800. Yang tertinggal sekarang ini hanyalah empat pohon beringin berukuran sangat besar berjarak masing-masing sekitar 10-20 meter. Saya berangan-angan bila saja kesemua arca itu masih ada, sungguh tempat ini akan menjadi tempat yang dahsyat baik sebagai kabuyutan, objek wisata sekaligus studi sejarah.
DEUTSCHER SOLDATENFRIEDHOF (4)
Bersebelahan dengan situs Arca Domas terletak lokasi makam yang lebih modern, yaitu kompleks makam tentara Jerman yang berasal dari periode Perang Dunia II. Sebuah tugu bertuliskan Deutscher Soldatenfriedhof akan menyambut pengunjung di sisi kiri jalan masuk kompleks. Di depannya terbujur rapi sepuluh buah makam dengan nisan berbentuk silang atau salib bujur sangkar.
Di tengah kompleks makam terdapat sebuah tugu lain yang lebih tinggi dengan tulisan :
DEM TAPFEREN
DEUTSCH-OSTASIATISCHEN
GESCHWADER
1914
“Satuan Tempur Kapal Laut Jerman-Asia Timur yang Gagah Berani, 1914”.(5)
di bawahnya sebuah tulisan lain :
ERRICHTET
VON
EMIL UND THEODOR HELFFERICH
1926
“Didirikan oleh Emil dan Theodor Helfferich, 1926”.
Apa makna tugu tersebut dan bagaimana makam tentara Jerman ini bisa berada di pedalaman Pulau Jawa? Di kawasan tempat Arca Domas berada dahulu terdapat perkebunan teh yang dimiliki oleh keluarga Helfferich. Emil Helfferich adalah seorang pengusaha Jerman yang meniti bisnisnya sebagai pegawai perusahaan perdagangan Jerman-Inggris di Penang. Bosan dengan pekerjaan kantor, Emil terjun ke lapangan menghampiri rimba, kesunyian, kesahajaan, dan bahaya dengan memilih tinggal di Teluk Betung, Lampung. Emil mengekspor aneka hasil hutan dan perkebunan dari Sumatra dan sebaliknya mengimpor banyak barang untuk pasar Indonesia.
Tahun 1903 Emil pindah ke Batavia dan mendirikan perusahaan Helfferich & Rademacher yang berkantor di gedung bekas kediaman Gubernur Jenderal VOC von Imhoff (sekarang dikenal dengan julukan Toko Merah – RH). Usaha Emil berkembang pesat namun juga naik turun, tapi yang jelas ia menjadi orang Jerman yang terpandang di Hindia Belanda. Pada sekitar tahun 1908 di Jerman Emil mendirikan gabungan perusahaan investor dengan nama Straits & Sunda Syndicate yang sukses dengan usaha impor karetnya. Pembelian lahan dan pembukaan tanah untuk perkebunan karet meluas hingga kawasan Asia Tenggara.
Di Batavia Emil Helfferich kemudian juga mendirikan perkumpulan Jerman Deutscher Bund in Niederlandisch-Indien pada tahun 1915 dan menjadi presidennya. Emil berperan sebagai juru bicara dan tokoh utama bagi komunitas Jerman di Hindia Belanda.
Di sisi lain, Emil terjangkit malaria yang datang menyerang berulang kali. Bersama teman hidupnya, Dina Uhlenbeck-Ermeling, Emil mencari lokasi rekreasi dan peristirahatan yang berhawa segar. Lokasi yang dipilihnya adalah lereng Gunung Pangrango, sekitar seribu meter dpl, di daerah yang bernama Arca. Di sini mereka tinggal tinggal di sebuah rumah kecil di tengah perkebunan teh.
Di areal tanahnya Emil dan saudaranya, Theodor, menyumbang sebuah tugu peringatan untuk menghormati satuan tempur Jerman-Asia Timur yang gugur dalam pertempuran di perairan Falkland semasa Perang Dunia I (1914). Tugu peringatan yang berbentuk mirip pura di Bali ini diberi dua buah plakat dengan tulisan seperti yang sudah dikutip di atas. Upacara peresmian dilakukan pada tahun 1926.(6)
Di sebelah kiri tugu terdapat patung Ganesha, dan di sebelah kanan ada patung Buddha. Kedua patung ini merupakan pesanan Emil dari perajin di Jawa Tengah. Di depan tugu dibuatkan sebuah taman kecil yang asri.
Pada masa penjajahan Jepang di Nusantara, Jerman mendirikan pangkalan angkatan laut di Jakarta (1943) dan Surabaya (1944). Pangkalan-pangkalan ini berfungsi untuk mengatur pembekalan dan pengangkutan bahan baku dari Asia Timur ke Bordeaux, Perancis. Sementara itu perkebunan teh Cikopo berlanjut menjadi lokasi rekreasi dan rehabilitasi bagi para tentara Angkatan Laut Nazi Jerman (kriegsmarine). Itulah sebabnya beberapa tentara Jerman dapat dimakamkan di sini. Kriegsmarine ini meninggal karena sebab berbeda di lokasi yang berbeda-beda pula antara tahun 1944-1945. Nama-nama dan sebab kematian masing-masing dapat dilihat di catatan teman saya. (7)
Jumlah seluruhnya ada 10 makam, dua di antaranya tak dikenal.
Tahun 1970 Emil kembali ke Neustadt dan meninggal dua tahun kemudian. Tugu yang didirikannya di Arca Domas pada tahun 1926 dibuatkan replikanya dan didirikan sebagai nisan bagi makam pasangan Emil dan Dina di Neustadt. (8)
{1} Sejumlah karya tulis Lie Kim Hok (1853-1912) berhasil dikumpulkan oleh Tio Ie Soei dan diterbitkan oleh L.D. Good Luck, Gardudjati, Bandung, pada tahun 1958 dengan judul “Lie Kimhok 1853-1912”.
{2} “History of Java”, karya Thomas Stamford Raffles, diterbitkan pertam kali pada 1817. Acuan di atas dari cetak ulang oleh Oxford University Press tahun 1994.
{3} Artikel ini tanpa keterangan tahun, namun copyright ada pada Jakarta Globe, 2009. Saat itu David Jardiner sedang mengerjakan sebuah buku kecil tentang keterlibatan militer Inggris di Indonesia pada tahun 1945-1946.
{4} Sumber utama yang berhubungan dengan Emil Helfferich dalam bagian tulisan ini diambil dari buku “Berjejak di Indonesia – Kisah Hidup 10 Tokoh Jerman”, Rudiger Siebert, Katalis, 2002.
{5} Terjemahan via sms oleh rekan Aleut!, Natasha Dilla Ameilia
{6} Menarik sekali mengetahui bahwa upacara peresmian tugu ini pada tahun 1926 direkam dengan kamera film oleh Dina. Dokumentasi rekaman amatir ini masih tersimpan dengan baik, namun sayang saya belum mendapatkan aksesnya. Akan cukup menarik bila ternyata dalam film dokumenter itu bisa diketahui keberadaan arca-arca pada saat itu.
{7} Sial, ternyata tulisan teman-teman tidak mencantumkannya, padahal rasanya banyak yang mencatat hehe. Yah nanti saja saya salin lagi dan cantumkan..
{8} Neustadt an der Weinstrasse adalah kota di Jerman tempat lahir dan meninggalnya Emil Helfferich.
* * *
Ini tulisan masih akan bersambung 1 atau 2 bagian lagi, tapi itu juga kumaha mood ketang karena masih ribet dengan kerjaan…
Leave a Reply