Month: June 2025

Dongeng Bandung #4: Ngaleut Pendopo

Oleh: Dongeng Bandung

Pendopo Kota Bandung, Sabtu, 28 Juni 2025

Tidak perlu tinggal terlalu lama di Kota Bandung untuk mengalami bagaimana kota ini berubah dengan cepatnya. Yang baru tinggal satu-dua tahun belakangan saja mungkin sudah dapat menyampaikan hal-hal yang hilang, tumbuh, berganti, selama tinggal dalam waktu yang singkat itu. Perubahan pesat seperti ini sudah dimulai sejak dekade pertama tahun 1900-an ketika Bandung dipersiapkan untuk menjadi ibu kota Hindia Belanda menggantikan Batavia yang keadaan lingkungannya dianggap sudah semakin buruk.

Memasuki dekade kedua, Kota Bandung mengalami pembangunan fisik besar-besaran. Komplek-kompleks perumahan dibangun di mana-mana mengisi ruang-ruang yang masih dianggap kosong atau persawahan yang masih membentang luas di seantero kota. Seperti apa kosongnya, mungkin bisa dikutipkan satu cerita dari buku Semerbak Bunga di Bandung Raya (Haryoto Kunto, Granesia, 1986). Pada tahun 1934, Pangeran Paribatra Sukhumbhand menjalani pengasingan di Kota Bandung setelah terjadinya kudeta di Kerajaan Thailand. Di kota ini Paribatra memilih satu lokasi di tengah persawahan di ujung utara Jalan Cipaganti sekarang dan dengan bantuan arsitek van Lugten mendirikan rumah-villa di sana. Diceritakan bahwa dari teras rumah itu orang masih dapat samar-samar melihat puncak Pendopo Kabupaten dan menara Masjid Agung di Alun-alun. Pengalaman seperti cerita ini sudah lama tidak mungkin dialami lagi oleh warga kota karena pembangunan fisik yang pesat, terutama setelah masa kemerdekaan.

Salah satu kawasan yang cukup sering mengalami perubahan fisik adalah Alun-alun Bandung, sampai dalam waktu yang lama ada ungkapan bernada pasrah dalam masyarakat Bandung: Ganti walikota, ganti wajah Alun-alun. Pasrah, karena hanya beredar dalam bentuk pemahaman saja, tidak ada nada protes atau melawan. Pasrah, karena sadar tidak dapat berbuat apa-apa. Pasrah, bahkan ketika akhirnya beberapa tahun lalu Alun-alun bahkan hilang dari kota Bandung. Selain itu, terjadi juga pengaburan makna dengan dibangunnya paling sedikit dua Alun-alun lain di Kota Bandung, satu di Cicendo dan satu di Regol.

Continue reading

Dongeng Bandung #2: Riwayat Alun-alun Bandung

Oleh: Dongeng Bandung

Perpustakaan dan Toko Buku “Rasia Bandoeng”, Minggu, 22 Juni 2025

Ariyono Wahyu alias Alex Ari alias Alek membuka cerita hari ini dengan beberapa kutipan dari buku legendaris karya Haryoto Kunto, Semerbak Bunga di Kota Bandung, lebih kurang seputar makna Alun-alun yang di dalam buku tersebut diceritakan melalui obrolan antara sang penulis yang saat itu berstatus sebagai mahasiswa dengan dosennya, Prof. Ir. V.R. van Romondt, seorang guru besar mata kuliah arsitektur di ITB. Haryoto Kunto tidak terlalu yakin dengan jawabannya sendiri ketika van Romondt bertanya, “Apa artinya Alun-alun?”

“Alun…, apakah artinya ombak lautan?”

Van Romondt membenarkan jawaban Haryoto Kunto, tapi kemudian muncul pertanyaan lanjutan, apa hubungannya ombak lautan dengan lahan terbuka di tengah kota, sehingga dinamakan Alun-alun? Lalu, dimulailah kisah mengenai berbagai macam pengertian Alun-alun sejak awal dan perkembangannya hingga sekarang.

Van Romondt, yang namanya kemudian hari dikenal juga karena memimpin pemugaran candi di kompleks Prambanan (1937), mengatakan bahwa pada dasarnya Alun-alun adalah halaman yang sangat luas di depan rumah. Pada masyarakat feodal, hanya para penguasa seperti raja, bupati, wedana, atau camat, saja yang memiliki rumah tinggal dengan halaman yang luas. Halaman yang luas ini biasanya menjadi pusat kegiatan masyarakat di sekitarnya, dengan kata lain, halaman itu menjadi jantung kehidupan masyarakat di sekitarnya. Kata Haryoto Kunto, fenomena ini sudah terjadi sejak zaman Hindu, ingat saja keberadaan Alun-alun Bubat di depan istana Kerajaan Majapahit.

Dalam sebuah podcast di Komunitas Bambu, Marco Kusumawijaya, penulis buku Kota-Kota Indonesia: Pengantar untuk Orang Banyak (Kobam, 2023), menjelaskan tata letak Alun-alun pada masa Majapahit, yaitu bahwa sisi barat dan timur Alun-alun diisi oleh candi Budha dan Hindu beserta tempat tinggal mereka. Tata letak seperti ini masih dilanjutkan pada masa Islam dengan menempatkan masjid di sisi barat Alun-alun.

Untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai makna awal penamaan Alun-alun, Haryoto Kunto mengutip keterangan dari buku Geschiedenis van Indonesia (H.J. de Graaf, 1949) yang mengisahkan suatu kegiatan rutin di Mataram yang disebut rampogan, sebuah tontonan yang terbuka untuk disaksikan oleh rakyat banyak, yaitu pertarungan sengit antara para prajurit Mataram, dengan perlengkapan tombak dan berbaris membentuk pagar, dengan seekor harimau lapar yang dilepas di tengah lapang.

Disawang dari atas panggung, pengunjung yang mbludak membanjiri lapang depan istana, memberi kesan bagaikan gerak ombak lautan! Sehingga orang kemudian mengasosiasikan lahan luas itu dengan Alun-alun, alias ombak lautan. Begitu kisah Van Romondt, tentang asal-usul nama Alun-Alun, yang menjadi ciri “jantung” kehidupan kota tradisional di Jawa.

Kegiatan rampogan di Alun-alun Mataram. Seekor macan dilepaskan kemudian dikepung prajurit bertombak. Terlihat Sang Raja duduk bersama pembesar Kompeni. Gambar dari buku Semerbak Bunga di Bandung Raya.

Pada masa itu, Alun-alun baru terisi oleh tiga komponen utama saja, yaitu istana raja (atau bupati), rumah patih, dan pasar. Perubahan paling besar terjadi pada masa Gubernur Jendral Herman Willem Daendels yang membangun sistem jalan raya pos menghubungkan kota-kota besar di Pulau Jawa. Daendels membuat patok-patok (paal) dengan jarak antara 15 km, 30 km, sampai 60 km, untuk menghubungkan kota-kota. Ini menjelaskan kenapa ada kesamaan jarak antara Bandung dengan kota-kota besar terdekatnya, seperti Sumedang, Garut, dan Cianjur, yaitu 60 km.

Continue reading

Mendengarkan Dongeng tentang Alun-alun Bandung dari Dulu hingga Kini bersama Komunitas Aleut

Oleh: Reza Khoerul Iman / Bandung Bergerak

Repost dari Bandung Bergerak. Tulisan aslinya bisa lihat di sini.

Suasana selatan Alun-alun Kota Bandung tempo dulu di dekat pendopo Bandung. (Sumber KITLV 1400371)

BandungBergerak.id – Lima buku tentang Bandung tertumpuk di bangku kecil di Perpustakaan dan Toko Buku Rasia Bandung. Ukurannya beragam, dari yang besar dan tebal sekali hingga yang ringkas. Di hadapan tumpukan itu, pada Minggu sore yang terik, 22 Juni 2025, Alex Ari bersiap memulai kegiatan Dongeng Bandung yang diselenggarakan oleh Komunitas Aleut untuk menceritakan kisah Alun-alun Bandung.

Ketika berbicara soal Alun-alun Bandung, sebagian orang mungkin langsung membayangkan hamparan rumput sintetis di depan Masjid Raya. Yang lain, mungkin justru teringat kenangan masa kecil saat mereka berlari-lari di antara kerumunan, membeli jajanan kaki lima, atau sekadar rekreasi bersama keluarga sambil melihat air mancur yang dinyalakan dan dihiasi lampu-lampu.

Namun, di balik keriuhan dan wajah barunya hari ini, Alun-alun Bandung menyimpan banyak kisah lama yang jarang terungkap. Kisah tentang bagaimana ruang ini dulu jadi pusat keramaian, tempat diselenggarakannya rapat-rapat besar, juga ruang untuk menonton, olahraga, berdagang, bahkan mengeksekusi hukuman.

Itulah yang coba dihadirkan oleh Komunitas Aleut melalui program “Dongeng Bandung” untuk menceritakan kembali memori dan cerita sejarah dari sudut-sudut kota yang akrab namun sering terlupakan sisi sejarahnya. Pertemuan di Minggu sore itu sudah menjadi pertemuan kedua.

Alex Ari, pegiat Komunitas Aleut, menceritakan bahwa konsep alun-alun sebenarnya sudah ada sejak zaman kerajaan, terutama di pulau Jawa. Sebagai contoh di depan istana Kerajaan Majapahit terdapat alun-alun Bubat, bahkan alun-alun secara khusus disebutkan sebagai bagian penting dari ibu kota Kerajaan Mataram.

“Itu fenomena di kota-kota di pulau Jawa, dari kota besar setingkat ibu kota kerajaan sampai ke mungkin setingkat dulunya kawadanaan atau kecamatan gitu. Bahkan mungkin kalau yang desa atau desanya cukup besar mungkin di situ juga ada ada alun-alun,” tuturnya kepada para peserta yang hadir di program Dongeng Bandung, Minggu, 22 Juni 2025.

Kata alun-alun, lanjut Alex Ari, sebenarnya merupakan serapan dari bahasa Jawa yang artinya ombak lautan. Makna “gelombang lautan” ini berakar dari sebuah kegiatan tradisional yang diselenggarakan di alun-alun ibu kota Kerajaan Mataram yang dikenal dengan nama Rampogan. Tradisi ini adalah atraksi di mana macan dilepaskan di tengah alun-alun, lalu diburu oleh prajurit-prajurit yang mengelilinginya. Rakyat biasa juga diizinkan untuk menyaksikan kegiatan ini. Apabila dilihat dari kejauhan, terutama dari ketinggian atau dari tempat raja duduk, gerakan lautan manusia yang memburu macan tersebut akan tampak menyerupai ombak lautan yang bergulung-gulung.

Namun seiring berjalannya waktu makna alun-alun kemudian bergeser. Dalam buku Haryoto Kunto yang berjudul Semerbak Bunga di Bandung Raya, Prof. van Romondt (1962) menuturkan bahwa pada dasarnya alun-alun merupakan halaman depan rumah para penguasa, raja, bupati, wedana dan camat. 

“Sedangkan pusat kegiatan masyarakat sehari-hari dalam ihwal pemerintahan, militer, perdagangan, kerajinan dan pendidikan, semua terselenggara di seputar istana sang penguasa (Lewis Mumford, “The City in History”, 1961).” Terang sang Kuncen Bandung, sebutan Haryoto Kunto, dalam bukunya.

Sementara itu makna alun-alun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai tanah lapang yang luas di muka keraton atau di muka tempat kediaman resmi bupati dan sebagainya.  Lalu–setelah sistem kerajaan atau feodal lenyap–makna alun-alun kembali bergeser dan berubah bentuk tidak lagi berupa lahan kosong berumput, melainkan sudah dibangun menjadi sebuah taman dengan air mancur dan pot bunga, berfungsi sebagai tempat rekreasi dan olahraga pada Minggu pagi.

Diskusi Dongeng Bandung tentang Alun-alun Bandung yang diselenggarakan Komunitas Aleut di Perpustakaan dan Toko Buku Rasia Bandung, 22 Juni 2025. (Foto Reza Khoerul Iman BandungBergerak)

Komponen dan Fungsi Alun-alun

Kalau kita memperhatikan kawasan alun-alun di kota-kota besar Jawa seperti Bandung, Yogyakarta, atau Solo dengan detail, di sekelilingnya selalu ada bangunan-bangunan khas seperti pendopo, masjid agung, dan pasar. Bukan tanpa sebab, Alex Ari menerangkan bahwa bangunan-bangunan tersebut sudah menjadi komponen yang membentuk satu kesatuan tata ruang kota tradisional yang disebut catur gatra (empat unsur).

“Di Lembang juga sama ada alun-alun Lembang, ada masjid agungnya, pasar, dan ada rumah penguasa lokalnya. Atau katakanlah kota lain Sumedang, Garut, atau Cianjur bisa dilihat juga hampir sama gitu ya. Ada masjid agung, alun-alun, rumah bupati, dan pasar. Empat unsur itu yang dinamakan catur gatra,” jelasnya.

Bangunan masjid baru masuk ke dalam komponen catur gatra setelah ajaran Islam menyebar di Nusantara. Haryoto Kunto dalam bukunya menyebut hanya ada tiga komponen saja yang melengkapi alun-alun, misalnya pada zaman Hindu di Alun-alun Bubat yang terletak di depan istana Kerajaan Majapahit hanya ada bangunan istana raja/bupati, rumah patih, dan pasar yang menghiasi alun-alun. 

Kemudian kehadiran kompeni Belanda yang menjajah Nusantara turut memberikan perubahan terhadap warna, bentuk, dan corak baru dalam tata kota di sekitar alun-alun.

“Setelah Daendels rampung membangun Jalan Raya Pos dari Anyer sampai Panarukan yang menelan korban 30.000 “koeli priboemi”, tiga komponen baru mengambil tempat di sisi alun-alun. Loji (kantor dagang) kompeni yang terletak berhadap-hadapan dengan pendopo kabupaten, kantor pos dengan kandang kuda di halaman belakangnya, dan sebuah bui atau penjara,” tulis Haryoto Kunto dalam bukunya Semerbak Bunga di Bandung Raya.

Secara umum fungsi alun-alun digunakan sebagai ruang publik dan pertemuan. Masyarakat sering bersantai, berkumpul, dan berdagang di sana hingga hari ini. Namun secara historis alun-alun bukan hanya digunakan untuk ruang rekreasi. Dulu berbagai kegiatan seperti pertandingan sepak bola, atraksi tradisional seperti Rampogan, hingga tempat untuk melakukan hukuman juga pernah dilakukan di alun-alun.

Pertandingan sepak bola di Alun-alun Kota Bandung tempo dulu. (Sumber KITLV 13616)

Alun-alun Bandung

Alun-alun Bandung memiliki sejarah panjang dan berbagai fungsi serta peran yang telah berubah seiring waktu. Usianya sudah setua Kota Bandung itu sendiri. 

Berawal dari perintah Daendels pada tahun 1810 untuk memindahkan ibu kota Kabupaten Bandung dari Dayeuhkolot–yang kelewat jauh sekitar 11 kilometer di selatan Jalan Raya Pos–ke dekat lintasan tersebut.

Alex bercerita, setelah pencarian yang panjang Bupati Bandung saat itu, Wiranatakusumah II, kemudian memilih lokasi sebidang lahan di sisi Jalan Raya Pos, di tepian barat kali Cikapundung (sekarang Alun-alun Bandung). Pemilihan lokasi ini dinilai ideal serta memenuhi syarat teknis dan mistik. 

“Ada berbagai, ya beberapa pertimbangan, khususnya menurut pertimbangan orang tua dahulu, sebuah tempat kediaman atau kampung itu harus memiliki apa yang dinamakan paguyangan badak putih gitu atau tempat berkubangnya badak,” tutur Alex.

Seiring dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan tata kota di Bandung, kawasan alun-alun juga menjadi semakin ramai, terutama di malam hari. Pusat-pusat kerja di masa itu masih tersebar jauh dari jantung kota, sehingga orang-orang baru bisa keluyuran di dalam kota ketika malam hari. 

Pada tahun 1920-an, pembangunan di sekitar alun-alun. Haryoto Kunto menyebut secara bertahap orang mulai mendirikan bangunan di sekitar alun-alun, salah satunya gedung pertunjukan serbaguna “feestterrein”. Gedung ini menyajikan beragam tontonan dan makanan. 

Selain itu, Alun-alun Bandung mulai sering digunakan untuk pertandingan sepak bola dan pertunjukan seni.

Pada awal 1970-an, orang mulai mendirikan bangunan bertingkat di alun-alun timur. Kemudian disusul berdirinya beberapa gedung bertingkat sebagai “shopping centre” di Jalan Dalem Kaum seperti Kings Centre, Parahyangan Plaza, lalu Palaguna Nusantara yang menyita lahan bekas bioskop Oriental, Varia, dan Elita.

Semakin padat dan maraknya pembangunan di sekitar Alun-alun Bandung membuat Haryoto Kunto khawatir soal masa depan. Ia bahkan menilai kalau pembangunan tidak bisa dikontrol ke depannya akan banyak gedung bertingkat dan terlihat semakin sesak.

“Alun-alun Bandung di masa depan, bakal makin berjubel dengan gedung bertingkat, apabila rencana untuk mendirikan bangunan bank di sisi barat Kabupaten (pendopo) jadi dilaksanakan,” ramal Haryoto Kunto dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1986.

Kenangan di Alun-alun Bandung

Sebagai “jantung kota”, Alun-alun Bandung merupakan tonggak bersejarah yang bisa banyak bercerita tentang suka-ria dan duka-nestapa warga kota sepanjang masa. Ia menyimpan banyak cerita warga dan momen-momen bersejarah yang telah berlangsung.

Alhta, salah satu peserta dan pegiat Komunitas Aleut, bercerita bahwa dulu bermain di Alun-alun Bandung adalah momen yang sangat dinantikan. Biasanya ia dengan keluarga akan berburu jajanan di halaman Masjid Agung Bandung. 

“Jika diingat-ingat, rasanya dulu lebih dekat dan hangat ketika di Alun-alun Bandung meskipun saya tidak kenal dengan orang-orang yang ada di sana. Biasanya saya dan keluarga juga sengaja main ke alun-alun saat bulan Ramadhan, tepatnya menjelang lebaran karena mau berburu baju lebaran,” kata Alhta kepada BandungBergerak.id.

Namun menurutnya Alun-alun Bandung sekarang sangat berbeda jauh dibandingkan dahulu. Sekarang walau lebih rapi dan bersih, tapi Alhta merasa kehilangan suasana meriah dan hangatnya. Ia juga belum pernah lagi masuk ke halaman Masjid Agung Bandung karena sering ditutup sehingga merasa segan dan tidak leluasa. 

Bagi banyak warga seperti Alhta, perubahan dan perkembangan di Alun-alun Bandung tak selalu seiring dengan perbaikan suasana. Bahkan bagi sebagian yang lain ada yang kehilangan dan merasa wajahnya sudah kian memudar.  Atau sebenarnya Bandung sudah tidak memiliki alun-alun lagi? seperti yang pernah ditulis oleh Ir. Suwardjoko Warpani M.Sc,. dalam Harian Pikiran Rakyat edisi 12 Oktober 1984 dengan judul “Sebenarnya, Bandung Sudah Tidak Punya Alun-alun”. ***

Dongeng Bandung #1 (2) : Junghuhn – Bukan Hanya Kina

Oleh: Dongeng Bandung

Tulisan berikut ini bukan milik kami, karena hanya merupakan salinan dari salah satu bab buku Bianglala Sastra; Bunga Rampai Sastra Belanda tentang Kehidupan di Indonesia karya Dick Hartoko (Penerbit Djambatan, 1985). Bab yang disalin ini berjudul “Bukan Hanya Kina,” satu tulisan mengenai Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1879). Seperti juga pada bab-bab lainnya yang menuliskan riwayat singkat tokoh-tokoh penulis Hindia Belanda ini, setiap bab tersebut memuat juga cuplikan pendek karya tulis dari tokoh bersangkutan dan diberi tanda “Fragmen”. Untuk Junghuhn, fragmennya diambil dari buku Jawa Jilid 1.

Dick Hartoko, yang namanya tercantum pada sampul buku ini juga sebenarnya bukanlah penulis murni buku ini, karena isinya sebenarnya merupakan penulisan kembali buku lain yang berbahasa Belanda, yaitu Oost-Indische Spiegel karya Rob Nieuwenhuys (Em. Querido’s Uitgeverij, BV, Amsterdam, 1972). Tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam buku ini lebih mengutamakan yang memiliki minat pada bidang sastra dengan alasan bahwa mata seorang sastrawan sering kali lebih tajam daripada lensa seorang ilmuwan; bahwa mereka dapat lebih mendalam menghayati obyeknya, sehingga hasilnya bukan semata khayalan, melainkan hasil simpati dan empati karena turut menderita dan merasakan nasib rakyat yang dilukiskannya.

Kisah penulisan ulang buku karya Rob Nieuwenhuys ini dimulai dengan Sub-Panitia Pelaksana Perjanjian Kebudayaan Indonesia-Belanda pada tahun 1974 yang menanyakan kepada Dick Hartoko, apakah sanggup menerjemahkan atau menyadur isi buku Oost-Indische Spiegel. Yang mula-mula dilakukan adalah memilah isi buku berdasarkan relevansinya untuk kalangan pembaca Indonesia. Tidak semua isi dari karya asli, Oost-Indische Spiegel, dituliskan kembali, melainkan dipilih dengan kriteria a) turut mempengaruhi arus sejarah bangsa Indonesia, b) memberikan informasi mengenai sejarah bangsa, c) empati atau penghayatan mengenai alam dan masyarakat Indonesia, dan d) secara obyektif bermutu sastra.

Untuk keperluan pekerjaan ini, Rob Nieuwenhuys turut mengupayakan agar Dick Hartoko dapat berangkat ke Belanda dan mengadakan konsultasi langsung dengannya dengan tinggal di rumah Rob di Pondok Baru, Frisia Selatan. Rob memberikan keleluasaan penuh kepada Dick dalam pekerjaan ini, artinya, ada kebebasan untuk merombak, menyadur, dan mengubah buku aslinya, asal hasilnya menjadi cukup menarik bagi para pembaca di Indonesia saat itu. Jadi tak perlu heran bila satu waktu nanti membaca buku asli karya Rob dan membandingkannya dengan karya Dick ini, ditemukan ketidaksesuaian dengan buku asalnya, Oost-Indische Spiegel.

Bukan Hanya Karena Kina

F.W. Junghuhn (1809-1864)

Continue reading

Dongeng Bandung #1 (1) : Junghuhn dan Kang Malik

Oleh: Dongeng Bandung

Perpustakaan dan Toko Buku “Rasia Bandoeng”, Kamis, 19 Juni 2025

Malam itu kami kedatangan seorang teman. Teman yang secara virtual sudah kami kenal cukup lama, tapi dalam dunia nyata, malam ini adalah kali pertama kami saling berjumpa. Namanya yang kami kenal, Kang Malik Ar Rahiem, sesuai dengan yang biasa tertera pada buku-bukunya. Dibandingkan dengan kebanyakan teman-teman yang hadir, badannya agak lebih besar dan lebih tinggi. Sejak masih di pagar, dan seterusnya, Kang Malik selalu terlihat riang, sekaligus menandakan bahwa malam ini akan berlangsung menggembirakan.

Belakangan, Kang Malik menjadi cukup populer di antara kami. Tulisan-tulisannya, baik di blog (yang saat ini sedang tidak aktif), atau dari buku-bukunya, serta beberapa video pendek yang sering beredar di sana-sini, sering menjadi bagian dari perbincangan kami. Tidak selalu karena aspek keilmuannya – yang memang tidak selalu mudah juga kami pahami – tapi lebih sering karena banyaknya nama yang biasa disebutkannya: nama-nama tokoh, baik penulis, pejalan, atau peneliti, di masa lalu yang pernah singgah, tinggal, atau bekerja, di wilayah Priangan. Dari semua itu, yang terpenting bagi kami adalah nama-nama tempat. Setiap nama tempat yang disebutkan, selalu seperti yang memanggil-manggil untuk kami kunjungi. Begitulah yang terjadi, ada paruh-paruh waktu belakangan ini kami momotoran ke tempat-tempat yang belum pernah kami kunjungi sebelumnya dan kebetulan disebutkan oleh Kang Malik. Misalnya momotoran ke Cililin seperti yang bisa dibaca di sini atau ini.

Jalur jalan yang harus ditempuh menuju Gunung Buleud, Cililin. Foto: Komunitas Aleut.
Puncak Batu Nini atau Batu Candi di Gunung Buleud (Bulut) ketika Momotoran Cililin pada tahun 2024 lalu. Foto: Komunitas Aleut.

Entah bagaimana mulanya, masih di awal obrolan, Kang Malik bercerita tentang sebuah tempat bernama Garung, sebuah tempat terpencil di dekat pantai selatan Garut. Dalam buku Licht- und Schattenbilder aus dem Innern von Java (Franz Junghuhn, 1854) yang diterjemahkan oleh Kang Malik Ar Rahiem menjadi buku Cahaya dan Bayang-bayang dari Jawa (Muhammad Kang Malik Ar Rahiem, 2025), nama tempat Garung itu diterangkan begini: Desa kecil, terletak di selatan Kabupaten Garut, sekitar 20 km arah utara dari Cagar Alam Leuweung Sancang di pantai selatan Garut. Desa ini terletak di sisi barat Ci Kaengan.

Dalam buku ini, Junghuhn membuka tulisannya dengan sebuah babak berjudul “Garung”: Kami tiba di Garung setelah perjalanan yang sangat melelahkan melewati gunung dan lembah. Bawaan kami terbagi menjadi beberapa koper kulit yang tidak begitu berat, sehingga bisa dipikul di pundak atau di kepala dengan satu tangan. Para kuli, orang-orang Jawa dari Gintung yang berangkat tadi pagi, masih tertinggal di belakang. Padahal mereka berangkat lebih awal dari kami karena membawa barang-barang. Ketika kami menyusul mereka, mereka sedang tidur-tiduran di rumput, berteduh di bayang pohon bambu. Beberapa dari mereka sedang tidur siang, ada yang pintar menggunakan koper kulit sebagai bantal. Beberapa yang lain sibuk melinting rokok dengan tembakau dan daun jagung.

Buku Cahaya dan Bayang-bayang  dari Jawa yang baru saja menjadi koleksi perpustakaan kami. Buku Franz Junghuhn: Berkelana di Pulau Jawa (1835-1839) sementara ini masih berstatus wishlist.
Continue reading

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑