Lokasi terakhir yang kami kunjungi di wilayah Cikajang adalah Perkebunan Waspada yang didirikan oleh Karel Frederik Holle tahun 1865. Seperti sudah diceritakan sebelumnya, perkebunan terletak di atas sebuah kampung tua bernama Ciburuy, dan menempati lereng sebelah baratdaya Gunung Cikuray. Nama Waspada diartikan padan dengan istilah bellevue atau clear view. Nama yang sangat jelas maknanya bila kita sedang berada di lereng Gunung Cikuray. Pemandangan yang sangat jernih, sangat cantik.
Sebagian kondisi jalur jalan di Waspada. Pada bagian yang ekstrem tidak berhasil membuat foto, apalagi rekaman video, karena harus konsentrasi menghadapi jalanan. Foto: Komunitas Aleut.
Nama yang menjanjikan kecantikan pemandangan itu ternyata berbeda jauh dengan pengalaman menjalankan motor menempuh jalanan tanah yang sempit dan seringkali becek dengan jejak ban yang cukup dalam. Jalan ini benar-benar sempit, sehingga bila berpapasan dengan motor lain, maka salah satu harus berhenti untuk mengatur posisi agar keduanya bisa lewat. Jalanan yang benar-benar membutuhkan kewaspadaan tingkat tinggi. Salah kemudi, jurang di sebelah kiri taruhannya. Jarak pendek, kurang dari 6 km yang semula kami duga tidak akan terlalu berat, nyatanya benar-benar terbalik. Sekali-dua kelurusan jalan motor harus dibantu oleh kedua kaki. Langka sekali bertemu dengan badan jalan yang rata, dan bila bertemu, kami gunakan sebagai kesempatan sejenak untuk menghela nafas. Potongan jalan terakhir yang menyusuri lereng di atas jurang ini masih dinamai Jalan Waspada.
Yang cukup menarik perhatian kami di kawasan ini adalah sama sekali tidak ada jejak yang dapat menunjukkan bahwa kawasan ini dulu dipenuhi oleh tanaman teh yang menghampar membentuk sebuah punggungan gunung yang oleh van der Tuuk disebut without doubt the most beautiful spot in Java, consisting of a tea garden laid out by Mr. Holle. Berdasarkan surat-suratnya, sangat mungkin van der Tuuk telah mengunjungi dan menyaksikan pemandangan indah ini paling sedikit dua kali.
Singkat cerita kami tiba di Kampung Waspada yang ternyata cukup padat. Rumah-rumahnya kebanyakan berbahan kayu. Jalur jalanan di antara rumah-rumah cukup sempit dan kontur tanah naik turun cukup curam. Di sebuah rumah yang ada warung dan halaman cukup luas untuk memarkikan motor, kami berhenti. Ada beberapa ibu-ibu sedang ngobrol dan tampaknya mereka cukup amazed oleh kedatangan kami, mungkin terlihat seperti mahluk-mahluk planet yang muncul tiba-tiba dari balik pepohonan.
Kampung Waspada di lereng Gunung Cikuray. Foto: Komunitas Aleut.
Segera kami cairkan suasana dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan santai, apakah ini Kampung Waspada? Apakah di warung ada kopi dan pop mie? Dan seterusnya. Dalam sekejap sudah terjadi lalu lintas obrolan yang sebagian besar diisi oleh kebingungan ibu-ibu yang tidak tahu apa-apa tentang apa pun yang kami tanyakan.
Seluruh kompleks pabrik dan bangunan-bangunan yang tergambar dalam foto itu telah hilang musnah dalam waktu kurang dari 100 tahun. Begitu juga nama pemiliknya, Baron Baud, hanya terdengar samar saja.
Berdasarkan situs online genea.org, Baron Baud, atau lengkapnya, Willem Abraham Baud (1816-1879) adalah putra Jean Cretien Baud yang pernah menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada periode 1833-1836. Ibunya bernama Wilhelmina Henriette Senn van Basel (1798-1831). Baud merupakan anak pertama dari pasangan ini, adik-adiknya berjumlah 10 orang.
Dalam buku Rumah Bambu; Koleksi Budaya Tani Tradisional Parahyangan karya H. Kuswandi Md, SH, diceritakan bahwa Baron Baud memulai karir perkebunannya dengan membuka perkebunan karet di daerah Bolang, Jasinga. Setelah menuai hasil, ia membuka kebun-kebun lainnya seperti yang sudah disebutkan sebelumnya. Keberhasilan usaha Baron Baud ternyata menimbulkan perselisihan dengan adik-adiknya, bahkan ada yang ingin menguasai perusahaannya, Cultuur Ondernemingen van Maatschappij Baud.
Setelah sebuah pertengkaran hebat dengan saudara-saudaranya, Baron Baud yang sedang sangat marah pergi ke Buitenzorg dan menemui seorang pegawai catatan sipil bernama Meertens untuk membuat surat adopsi anak perempuan hasil hubungannya dengan seorang Nyai. Anak ini diberi nama Mimosa, mengambil dari nama tumbuhan yang biasa ditanam di bawah pohon karet untuk menjaga agar tidak tumbuh alang-alang di sekitarnya. Mimosa tetap tinggal di kampung bersama ibunya yang telah menikah lagi dengan seorang kusir kereta kuda.
Ketika Baron Baud meninggal, saudara-saudaranya kembali mengutik-utik soal harta kekayaan Baron Baud. Meertens yang membuatkan surat adopsi Mimosa segera mencarinya dan berhasil menemukannya serta membujuknya untuk ikut ke Batavia. Mimosa kala itu masih seorang gadis kecil sehingga tidak mungkin mengurus harta kekayaan warisan Baron Baud. Gubernur Jenderal Hindia Belanda kala itu menyarankan agar dilakukan perwalian dan ditunjuklah Horra Siccerna, seorang mantan Raad van Indie sebagai wali untuk Mimosa.
Mimosa kemudian pergi ke Belanda dan setelah dewasa menikah dengan seorang warga Denmark bernama Baron von Klitzing yang kemudian mengelola perusahaan warisan Baron Baud. Sebelum Perang Dunia II Mimosa meninggal dunia dan dimakamkan di Jatinangor, di sebelah makam ayahnya, Baron Baud. Anak Mimosa dari Baron von Klitzing pernah datang ke Indonesia pada tahun 1957 untuk mengurus perusahaan dan perkebunan warisan dari kakeknya.
Demikian kutipan dari buku Rumah Bambu, tidak ada informasi lainnya atau lanjutan yang lebih detail soal nasib perusahaan peninggalan Baron Baud. Kenangan masa lalu yang tersisa darinya mungkin hanya sebuah menara di kompleks ITB Jatinangor sekarang, orang menyebutnya Menara Loji. Sampai beberapa tahun lalu, orang masih dapat menyaksikan dua bongkah struktur tembok berbentuk makam dengan nisan yang sudah hilang. Entah, apakah saat ini dua makam itu masih ada di tempatnya atau juga sudah hilang tergusur pembangunan kawasan baru di sana?
Peta daerah Tandjoengsari berskala 1:20.000 dari arsip KITLV dengan nomor kode D G 15,10. Diterbitkan oleh Topographisch Bureau Batavia tahun 1909.
Menambahkan informasi di atas, dapat dilihat dalam cuplikan peta di atas bahwa di sekitar Menara Loji saat ini dahulu terpusat kegiatan perkebunan Jatinangor. Di situ terletak rumah administratur, pabrik, pasar, dan juga makam, yang berdasarkan cerita yang beredar, adalah makam Baron Baud.
Karel Frederik Holle (1829-1896)
Dengan perasaan agak kacau karena tidak berhasil menemukan jejak yang cukup berharga dari Pabrik Pamegatan, kami beranjak menuju tempat berikutnya, yaitu Perkebunan Cisaruni, untuk melihat replika monumen Karel Frederik Holle.
Pada tanggal 25 September 1843, Karel Frederik (KF) Holle, bersama saudara-saudaranya, yaitu Adriaan Walraven Holle, Albert Holle, Herman Holle, Albertine Holle dan Caroline Holle, turut kedua orangtuanya, pasangan Pieter Holle dan Alexandrine Albertine berlayar di atas kapal “Sara Johanna” yang di nakhodai oleh pamannya, Guillaume Louis (Willem) Jacques van der Hucht, dari Belanda ke Pulau Jawa. Mereka tiba di Batavia tanggal 23 Februari 1844 setelah mengarungi lautan selama lima bulan penuh.
Rombongan ini adalah angkatan pertama dari keluarga ini yang kelak akan memberikan pengaruh besar dalam bidang perkebunan di Hindia Belanda. Janji kehidupan baru di negeri baru, Hindia Belanda, tidak semanis bayangan. Mereka memulai usahanya dengan membuka perkebunan di Parakansalak. Usaha yang sangat berat. Di tahun-tahun pertama, ada banyak anggota keluarga mereka yang meninggal dunia karena berbagai masalah kesehatan,termasuk istri dan beberapa anak van der Hucht, begitu juga dengan ayah Karel Frederik Holle. Kematian ayahnya membuat KF Holleh bersaudara diasuh oleh van der Hucht dan mengirimkan mereka ke Batavia untuk mendapatkan pendidikan privat bersama anak-anak gubernur jenderal JJ Rochusen.
Pada usia 18 tahun, KF Holle bekerja sebagai klerk di Kantor Residen Cianjur (1846-47), kemudian dipindahkan ke Directie van de Cultures dan akhirnya ke Directie van Middelen en Domeinen di Batavia (1847-1856). Pada tahun 1857, KF Holle diangkat menjadi administratur perkebunan teh di Cikajang. Di sini ia bekerja selama lima tahun sebelum akhirnya membuka perkebunan sendiri di lereng Gunung Cikuray. KF Holle seorang yang sangat cerdas dengan minat keilmuan yang luas. Di bidang perkebunan ia merintis sebuah model manajemen baru dengan melakukan pembinaan pada masyarakat sekitarnya.
Dengan bantuan keuangan dari NP van den Berg, direktur utama De Javasche Bank di Batavia, KF Holle membuka perkebunan yang dinamainya Waspada sebagai padanan dari kata Perancis, Bellevue. Kedekatannya dengan kalangan pribumi membuatnya sangat dikenal dan disukai oleh masyarakat sekitarnya. Perhatiannya terhadap kesejahteraan masyarakat sangat besar, ia menyediakan rumahnya di Waspada sebagai tempat belajar warga. Bahkan, Hasan Mustapa yang pernah menjadi Penghulu Besar Aceh dan Bandung pun di masa kecilnya sempat bersama warga lainnya belajar di rumah KF Holle. Hasan Mustapa sangat mengagumi KF Holle yang disebutnya selalu membela kepentingan rakyat kecil.
Karel Frederik Holle, theeplanter te Garoet KITLV 12544 (1892)
KF Holle memiliki banyak minat yang dikembangkannya sendiri, di antaranya bidang-bidang pendidikan, bahasa dan sastra, filologi, sampai arkeologi. Konon kefasihannya berbahasa Sunda melampaui kebanyakan orang Sunda sendiri, bahkan ia adalah inisiator dalam mempertahankan penggunaan bahasa Sunda yang saat itu banyak tergantikan oleh bahasa Jawa sebagai bahasa resmi. Ia menerbitkan banyak buku bacaan bahasa Sunda untuk pelajaran sekolah dan mengumpulkan cerita-cerita rakyat.
Dalam bidang filologi, ia menerjemahkan naskah yang kini dikenal dengan nama Amanat Galunggung yang aslinya ditulis dalam aksara dan bahasa Sunda kuno. Ia juga meneliti prasasti Kabantenan di Bekasi, Batu Tulis di Bogor, Geger Hanjuang di Tasikmalaya, prasasti Kawali, dan mempelajari serta menyalin sebuah peta tua yang sekarang dikenal dengan nama Peta Ciela. Dalam bidang pertanian, ia memberikan pelajaran tentang cara bersawah secara terasering, penanaman padi yang diberi garis caplak, dan membawa berbagai jenis sayuran serta benih kacang merah yang belakangan disebut sebagai kacang hola. Ia menerbitkan majalah berbahasa Sunda bernama Mitra Noe Tani yang dibagikan kepada para petani di Sumedang. Di luar buku-buku, tulisan-tulisannya dalam berbagai bidang berjumlah lebih dari 200 buah.
Salah satu pengalaman perjalanan nebeng mudik dan arus balik tahun 2015. Foto diambil di jalur turunan gunung di antara Guci, Tegal dan Bumiayu. Engga ketemu keterangan lokasi persisnya. Foto: Komunitas Aleut.
Setiap momen Lebaran, biasanya sebagian penggiat Komunitas Aleut yang tinggal di Bandung dan tidak punya tempat mudik di luar kota, suka ikut-ikutan mudik ke mana saja yang dianggap bakal memberikan pengalaman perjalanan yang menyenangkan. Nebeng kampung temen. Yang dicari adalah pengalaman merasakan kepadatan jalan, kemacetan panjang, melibatkan diri dalam berbagai kesibukan dan keruwetan dalam perjalanan bersama banyak orang yang ketemu di jalan. Orang-orang yang sama sekali tidak kami kenal.
Setiap Lebaran, memberikan dua kali pengalaman seperti ini, yaitu saat larut dalam arus mudik, dan dalam perjalanan kembali ke Bandung saat arus balik. Pilihan perjalanan ini bisa pendek, seperti ke Garut, Tasikmalaya, atau ke Cianjur, tapi bisa juga panjang, seperti ke Banten Selatan, Pangandaran, sampai ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Semua dilakukan dengan menggunakan motor-motor biasa, motor perkotaan, motor matic. Jadi tidak ada yang menggunakan motor-motor spesialis ini-itu.
Entah sejak kapan kebiasaan ini hadir di Komunitas Aleut, konon sih sudah sejak komunitas ini didirikan, kurang lebih dua puluh tahunan. Dalam arsip Komunitas Aleut ada cukup banyak catatan perjalanan mengikuti arus mudik dan arus balik ini. Ternyata pernah sampai menyusuri garis perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah, mulai dari Brebes di Utara sampai Cilacap di selatan. Untuk ke Brebes, tentu saja harus dimotori dulu dari Bandung lewat Sumedang, Tomo, Majalengka, Jatiwangi, Palimanan, dan Cirebon. Begitu pula saat jalur kembali, dari Cilacap menempuh jalur jalan Kalipucang, Padaherang, Banjar, Singaparna, Mangunreja, Cilawu, Garut, dan akhirnya Bandung. Sepertinya ini jalur yang memutar-mutar. Entah seperti apa perjalanan saat itu, dalam situasi arus balik dan menempuh jalur yang memutar-mutar. Entah apa pula yang dipikirkan rekan-rekan Aleut saat itu.
Lebaran tahun ini, agak berbeda, karena hampir semua penggiat berpencaran pulan ke kampungnya masing-masing. Ada yang ke Ciwidey, Cianjur, Pangandaran, sampai ke Sumatra. Kami baru dapat berkumpul kembali di akhir minggu pertama bulan April, dan pada saat itu menyepakati untuk melaksanakan satu rencana tertunda, yaitu mencari beberapa jejak Karel Frederik Holle di wilayah Cikajang. Seperti biasa, tentu Holle bukanlah satu-satunya tujuan kami, selalu ada sampingan lainnya. Dalam catatan kami ada nama Baron Baud dan Perkebunan Pamegatan, Moh. Moesa dan Lasminingrat, sampai ke Hasan Arif, dll.
Sebenarnya sebagian tempat dan nama-nama yang jadi tujuan perjalanan kami hari ini sudah beberapa kali dikunjungi oleh rekan-rekan Aleut angkatan sebelumnya, kali ini kami hanya ingin memastikan beberapa hal sambil melihat perkembangannya saat ini. Di luar kunjungan pengulangan ini, ada juga beberapa hal yang memang baru didatangi oleh angkatan sekarang.
Kamojang Hill Bridge
Perjalan kami mulai pagi hari, langsug menuju Jembatan Kamojang, di Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung. Membaca di wikipedia, jembatan kuning ini dibangun tahun 2016 dengan panjang 138 meter dan ketinggian 1180 mdpl. Di bawah, mengalir Sungai Ibun. Sejak dibangun sempat berulangkali menjadi viral, baik karena keindahan pemandangannya, maupun karena banyaknya peristiwa kecelakaan yang terjadi di sekitar jembatan ini. Dari arah kami datang, Majalaya, tanjakan di bagian akhirnya luar biasa curam dan panjang pula, motor kawan kami sempat kepayahan untuk naik. Dari arah sebaliknya, berupa turunan panjang yang konon saat hujan sering licin, dan katanya faktor ini yang menjadi sebab terjadinya sejumlah kecelakaan.
Di area sekitar jembatan cukup banyak warung, dan hari ini terlihat sebagian besar dipenuhi oleh pengunjung. Setelah bergabung lagi dengan kawan-kawan yang terhambat oleh tanjakan, kami memilih untuk beristirahat di tempat yang agak tinggi setelah melewati jembatan, agar mendapatkan pemandangan yang lebih luas. Di sini dengan susah-payah kami coba mengidentifikasi beberapa gunung yang terlihat di sebelah utara.
Kawan-kawan Aleut sering menyebutnya sebagai Jambatan Bridge, entah bagaimana awal mula ceritanya bisa memberikan nama seperti itu. Foto: Komunitas Aleut.
Di sini kami hanya berhenti untuk secangkir kopi saset saja, lalu lanjut perjalanan langsung ke arah Cikajang. Di kawasan PLTP kami berhenti sebentar karena melihat sebuah tugu bambu runcing yang didirikan di atas tembok batu bata. Tugu ini juga merupakan gerbang masuk ke bagian dalam. Di sebelah bambu runcing terdapat sebuah prasasti yang sudah sangat samar tulisannya. Walaupun sudah melakukan beberapa cara, kami tidak berhasil membacanya, selain secara ragu mengidentifikasi angka 48. Di baliknya, di bagian dalam, ada prasasti sejenis, juga sudah tidak dapat lagi dibaca isinya. Bagian dalam dipenuhi oleh alang-alang. Kami tidak dapat menduga apa sebenarnya yang ada di dalam ini.
Saat bertanya kepada seorang petani yang lewat, barulah kami dapatkan informasi bahwa tugu ini merupakan bagian dari Taman Makam Pahlawan Tak Dikenal. Di bagian dalam itu sebenarnya ada makam-makam yang sekarang sudah tidak terurus dan tertutupi oleh alang-alang tinggi. Cerita mengenai makam ini belum kami temukan dalam buku. Tapi ada dua postingan di instagram atas nama dewilaksanaibun2016 yang menggambarkan kegiatan kerja bakti membersihkan dan merapikan taman makam dengan caption singkat “Taman Makam Pahlawan Tidak dikenal yg berada di #kamojang.” Lalu ada sebuah video di youtube atas nama Iptu Carsono SH dengan judul “Tomb of an Unknown Hero – KAMOJANG # Tracing the Tombs of an Unknown Hero in Kamojang Ibun.” Dalam bentuk tulisan hanya kami temukan dari Tribun Jabar dalam tulisan berjudul “Ziarah ke Taman Makam Pahlwan Tidak Dikenal di Kamojang Bandung, Makam Lima Tentara Siliwangi,” ditulis oleh Nappisah dan diunggah tanggal 18 Agustus 2024.
Komunitas Aleut saat mampir ke Taman Makam Pahlawan Tidak Dikenal, Kamojang, 8 April 2025. Foto: Komunitas Aleut.
Ringkasnya, Taman Makam Pahlawan Tidak Dikenal ini memang merupakan makam empat (dalam cerita lain disebutkan lima) orang tentara pada masa Hijrah Siliwangi ke Yogyakarta. Empat atau lima tentara ini mungkin anggota sebuah pasukan yang teringgal dari rombongannya dan menjadi korban serangan DI/TII. Para korban kemudian dimakamkan di lokasi peristiwa itu secara sederhana. Baru beberapa tahun kemudian Pertamina memberikan bantuan untuk memperbaiki kondisi makam dan menjadikannya sebuah taman makam yang layak. Sayang, saat kami datangi kondisi taman makam ini sedang kurang baik. Setelah membuat beberapa foto dokumentasi, kami lanjutkan perjalanan.
Pamegatan
Walaupun cukup ramai, perjalanan lancar-lancar saja, tidak ada kepadatan luar biasa kecuali di sekitar pasar-pasar yang sehari-harinya pun memang selalu padat dan macet. Sepanjang jalan antara Bayongbong-Cisurupan, jauh di sebelah kanan selalu terlihat pemandangan kawasan pergunungan Papandayan dengan rekahan kawahnya yang mengepul. Di hari yang cerah seperti ini, pemandangan yang sebetulnya cukup sering kami lalui ini terlihat lebih indah dari biasanya. Udara cukup segara walaupun panas terasa sangat menyengat.
Di jalur ini kami tidak berhenti lagi sampai ke satu titik yang selama ini kami kenali sebagai lokasi Pabrik Teh Pamegatan milik Baron Baud. Pamegatan hanyalah satu dari 14 perusahaan perkebunan yang dimiliki oleh Baron Baud, beberapa lainnya terletak di Cikasungka, Bogor, di Ciumbuleuit, dan di Jatinangor. Kami mendatangi tempat ini membawa rasa penasaran oleh lokasi perkebunan Pamegatan yang sebenarnya, karena kami menemukan sebuah peta yang mencantumkan lokasi pabrik dan perkebunan teh Pamegatan lebih jauh ke selatan.
Kompleks Pabrik Teh Pamegatan yang saat ini terlihat agak terbengkalai. Di dalam area ini masih terdapat beberapa bangunan lama di bagian depan dan ada bangunan baru agak jauh di belakang. Foto: Komunitas Aleut.
Dari keterangan angkatan lama, disebutkan bahwa memang di sinilah lokasi Pabrik Teh Pamegatan, hal ini pun pernah dikonfirmasi oleh sahabat kami alm. Pak Kuswandi, walaupun hanya secara lisan dan selewatan. Kepada seorang petani yang sedang lewat bermotor sambil membawa karung-karung rumput, kami coba cari keterangan. Ternyata beliau juga membenarkan dan menyebutkan bahwa keberadaan pabrik ini kemudian membuat nama kampung di sini menjadi Kampung Pabrik. Beliau juga mengetahui keberadaan perkebunan dan pabrik Pamegatan yang letaknya jauh di selatan itu dan menyebutkan bahwa nama kampung Pamegatan memang asalnya di sana. Tetapi kenapa ada dua nama Pamegatan, atau apakah pabrik ini merupakan pindahan dari pabrik yang di selatan itu, beliau tidak dapat menjelaskan. Kami pun belum dapat menyimpulkan secara tegas.
Dari sini, kami beranjak menuju lokasi Pamegatan yang di selatan itu, jaraknya sekitar 8 kilometer. Dengan bekal peta yang sudah disiapkan oleh salah satu rekan, menjadi tidak sulit untuk menemukan lokasi ini. Dari jalan raya utama Cikajang, belok ke kanan dan menyusuri jalan desa sekitar satu kilometer, lalu ketemulah dengan lokasi yang dicari. Tempat inilah yang selalu disebut sebagai Pamegatan (dan perkebunannya) di banyak peta lama.
Lokasi ini berupa satu kawasan terbuka dengan sedikit rumah saja di dekat jalan raya tempat kami masuk. Di dalam, hanya ada ladang-ladang, dan bukit-bukit kecil. Lebih ke belakang, sudah lereng pergunungan yang berdasarkan peta-peta lama bernama Gunung Mandalagiri dengan ketinggian 1813 mdpl.
Peta AMS lembar Garoet. Java, Madoera, en Bali 1:250.000 edisi ke-4. US Army Map Service, Washington DC, 1944.
Di sebuah warung di sisi jalan setapak, sedang berkumpul banyak bapak-bapak pekerja ladang. Sepertinya sedang ada pengangkutan sayuran, dan mungkin sebagian lagi sedang menumpang istirahat siang. Hampir semua bapak ikut ramai berkomentar dan menduga-duga jawaban atas semua pertanyaan kami. Hanya ada seorang ibu di sini, pemilik warung tersebut, yang juga ikut antusias melihat foto-foto yang kami tunjukkan dari layar smartphone.
Membandingkan foto lama yang kami temukan di situs KITLV dengan pemandangan nyata di depan kami, memang jelas ada kesesuaian. Dari situ dan dengan bantuan seorang bapak usia 60-an yang lahir di Pamegatan, kami dapat mengidentifikasi lokasi pabrik, yaitu lahan kosong persis di sebrang warung dan di depan tempat kami semua berdiri. Agak di belakang, lahan ini sedikit lebih tinggi dan seluruhnya sudah dijadikan ladang. Ke belakang lagi, mendaki bukit kecil, juga seluruhnya sudah berupa ladang. Ketika kami mention nama Baron Baud, ternyata sebagian masih dapat mengenali nama itu, walaupun tidak memiliki informasi apa-apa tentangnya.
Theeonderneming Pamegatan bij Garoet. KITLV 8021. Circa 1930.
Lahan bekas berdirinya Pabrik Teh Pamegatan yang sudah tidak menyisakan apapun selain secuil sisa fondasi bangunan di sana-sini. Foto: Komunitas Aleut.
Di lereng bukit kecil ini masih ada fondasi bekas pipa, dan di bagian puncaknya juga konon masih ada sisa bak kolam. Kami tidak naik ke atas, karena akan cukup melelahkan. Kami hanya pergi berjalan menyusuri ladang menuju satu tempat yang disebut sebagai bekas gedung atau rumah, dan bekas makam yang sudah dibongkar. Di sini kami temukan 1-2 sisa fondasi. Selain semua yang sudah disebutkan ini, sama sekali tidak ada sisa atau peninggalan lain dari Perkebunan Teh Pamegatan. Sama sekali sudah hilang. Dalam bentuk cerita pun sangat minim, itu pun seringkali kurang meyakinkan. Foto lama dari situs KITLV itu mencantumkan keterangan tahun 1930.
Kedatangannya kala itu menjadi perbincangan luas, khususnya di kalangan para Nasionalis. Perjumpaannya dengan Ki Hajar Dewantara disebut-sebut sebagai momen bersejarah bagi perkembangan pendidikan di Hindia Belanda. Ia adalah Rabindranath Tagore, pemenang penghargaan Nobel di bidang sastra tahun 1913. Tagore mengunjungi Hindia Belanda di tahun 1927 atas usaha dari Bond van Kunstkringen, termasuk Bandoengsche Kunstkring di dalamnya.
Rabindranath Tagore, atau sering disebut Gurudev, adalah seorang sastrawan Bengali yang menjadi salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah modern India dan dunia. Lahir pada 7 Mei 1861 di Kolkata (saat itu Calcutta), India, Tagore berasal dari keluarga Brahmin yang kaya dan terpelajar. Ayahnya, Debendranath Tagore, adalah seorang pemimpin spiritual dan reformis sosial, sementara ibunya, Sarada Devi, meninggal dunia ketika Tagore masih muda. Keluarga Tagore dikenal sebagai pusat intelektual dan budaya, yang mempengaruhi perkembangan awal Rabindranath.
Tagore tidak pernah menempuh pendidikan formal secara konsisten. Sebagai gantinya, ia belajar di rumah dengan bimbingan guru privat dan melalui pengalaman langsung. Pada usia 17 tahun, ia dikirim ke Inggris untuk belajar hukum, tetapi ia lebih tertarik pada sastra dan seni. Pengalaman ini memberinya wawasan tentang budaya Barat yang memberikan pengaruh besar pada karya-karyanya kemudian hari.
Tagore adalah penulis produktif yang menciptakan ribuan puisi, cerita pendek, novel, dan esai. Karyanya yang paling terkenal adalah kumpulan puisi “Gitanjali”, yang membuatnya meraih Hadiah Nobel Sastra pada tahun 1913. Ia tercatat sebagai orang non-Eropa pertama yang menerima penghargaan ini.
Tagore mendirikan sekolah eksperimental di Santiniketan pada 1901, yang lalu berkembang menjadi Universitas Visva-Bharati. Sekolah ini menekankan pembelajaran holistik, harmoni dengan alam, dan integrasi budaya Timur dan Barat.
Rabindranath Tagore disebut sebagai tokoh penting dan berpengaruh karena kemampuannya untuk menyatukan seni, sastra, pendidikan, dan filosofi dalam satu visi yang holistik. Karyanya melampaui batas geografis dan budaya, menginspirasi jutaan orang di seluruh dunia. Ia adalah simbol kebangkitan budaya India dan Asia pada awal abad ke-20.
Tagore meninggal pada 7 Agustus 1941, tetapi warisannya tetap hidup melalui karya-karyanya yang terus dibaca, dinyanyikan, dan dipelajari. Ia dianggap sebagai salah satu tokoh terbesar dalam sejarah sastra dunia dan sebagai duta budaya India yang membawa pesan perdamaian, kebebasan, dan kemanusiaan.