Month: March 2025

Bandoengsche Kunstkring, Bagian-3: Anna Pavlova, The Dying Swan

Irfan Pradana

Terlalu ceroboh jika melewatkan nama ini dalam riwayat perjalanan Bandoengsche Kunstkring. Kebesaran namanya kala itu menjadi incaran berbagai negara. Tiket pertunjukannya di Eropa selalu habis meskipun dibandrol dengan harga mahal.

Anna Pavlova adalah sosok yang namanya begitu melekat dalam dunia balet, seorang legenda yang mengubah wajah seni tari di zaman modern. Dalam catatan ensiklopedia online britannica.com, Anna Pavlovna Pavlova yang terlahir dengan nama Anna Matveyevna Pavlova, lahir pada 12 Februari 1881 di St. Petersburg, Rusia, Pavlova tumbuh dalam keluarga sederhana. Sejak kecil, ia memiliki ketertarikan besar pada dunia tari.

Di usia 10 tahun, impiannya mulai mendekati kenyataan ketika ia diterima di Imperial Ballet School, lembaga balet paling bergengsi pada masanya di Rusia. Namun, perjalanan Pavlova tidaklah mudah. Tubuhnya yang tinggi, ramping, dengan kaki yang melengkung tajam dan pergelangan kaki yang tipis dianggap tidak sesuai dengan standar balerina ideal pada waktu itu — yang lebih mengutamakan tubuh kecil dan padat. Rekan-rekan sekelasnya bahkan mengejeknya dengan julukan seperti The broom (Sapu) dan La petite sauvage (Si Liar Kecil).

Pavlova tidak menyerah. Ia justru menjadikan ciri fisiknya yang unik sebagai kekuatan. Dengan kerja keras dan dedikasi luar biasa, ia menguasai teknik balet dengan gaya yang khas — lembut, anggun, dan penuh emosi.

Tahun 1905 menjadi momen penting dalam kariernya ketika ia menarikan The Dying Swan, sebuah tarian solo yang koreografinya dirancang oleh Michel Fokine dengan musik dari komponis Camille Saint-Saëns. Tarian ini begitu mnegesankan sehingga menjadi identitas yang melekat pada Pavlova sepanjang hidupnya. Gerakannya yang penuh kelembutan dan ekspresi emosional yang mendalam membuat penonton terpukau, seolah-olah melihat seekor angsa yang sedang meregang nyawa dengan keindahan yang tragis.

Pada tahun 1906, Pavlova diangkat sebagai Prima Ballerina, gelar tertinggi bagi seorang penari balet. Namun, ia tidak puas hanya tampil di panggung Rusia. Pada tahun 1911, Pavlova membentuk kelompok baletnya sendiri, The Pavlova Ballet Company. Bersama rombongan ini, ia melakukan tur keliling dunia, termasuk ke Amerika, Jepang, Australia, hingga Hindia Belanda. Langkahnya yang berani membawa balet ke negara-negara yang sebelumnya belum mengenal seni ini menjadikannya pionir dalam memperkenalkan balet ke khalayak yang lebih luas.

Pavlova tidak hanya dikenal karena bakatnya yang luar biasa, tetapi juga karena inovasinya. Ia memodifikasi sepatu baletnya dengan tambahan sol keras untuk mendukung kakinya yang melengkung, sebuah inovasi yang kemudian menjadi dasar bagi desain modern pointe shoes. Selain itu, keberhasilannya sebagai balerina bertubuh ramping dan tinggi membuka jalan bagi para penari dengan bentuk tubuh yang berbeda untuk bersinar di dunia balet.

Sebagian kalangan memang menganggapnya old fashioned atau konservatif, tapi bagi sebagian lainnya dia adalah seorang inovator karena keberhasilannya menggabungkan ballet dengan bentuk-bentuk tari tradisional dari berbagai wilayah dunia, termasuk merevitalisasi jenis-jenis tarian yang sudah dilupakan orang. (The Swan Brand: Reframing the Legacy of Anna Pavlova. Jennifer Fisher. Cambridge University Press. 2012).

Dedikasinya pada seni balet begitu besar hingga ia tetap tampil, pun saat kondisi kesehatannya menurun. Pavlova meninggal pada 23 Januari 1931 akibat radang paru-paru. Konon, di ranjang kematiannya, Pavlova meminta kostum The Dying Swan dibawakan kepadanya, seolah menandakan bahwa balet adalah bagian dari jiwanya yang tak terpisahkan.

Continue reading

Bandoengsche Kunstkring, Bagian 2: Lingkar Seni Bandung

Irfan Pradana

Pasang Surut Pasang

Bandoengsche Kunstkring mengalami hiatus selama lima tahun, semenjak tahun 1907 hingga 1912. Tahun-tahun itu organisasi ini tidak menggelar kegiatan. Kepengurusan pun mengalami kekosongan setelah terakhir diketuai oleh Schaik.

Lima tahun masa kekosongan itu berakhir di tahun 1912, saat kepemimpinan Kunstkring berada di tangan Dr. M.H. Damme, seorang insinyur di Jawatan Kereta Api (SS). Sementara posisi sekretaris diisi oleh L. R. Middleberg. Jika mencari nama ini di laman pencarian, kita akan menemukan informasi kalau ia pernah menduduki jabatan sebagai walikota Ede, sebuah kota di Belanda, pada tahun 1941, namun kemudian dipecat oleh rezim Jerman yang tengah berkuasa.

Di bawah kepengurusan baru ini, Bandoengsche Kunstkring perlahan mulai menggeliat kembali, lantaran mendapat dukungan dari Belanda untuk mereaktivasi kegiatan yang sebelumnya cukup lama terhenti. Hasilnya beberapa pameran kembali digelar, misalnya sepanjang 3 – 16 Juni 1912 mereka menggelar pameran lukisan pelukis Belanda yang dikumpulkan oleh kelompok Larenschen Kunsthandel. Pameran ini digelar di gedung Loge St. Jan.

Pada tanggal 10 Juli, Bandoengsche Kunstkring mulai merambah bidang seni lain. Kala itu, untuk pertama kalinya mereka menggelar pementasan drama dengan mengangkat karya William Shakespeare yang berjudul Macbeth. Eduard Verkade, seorang aktor berbakat didaulat untuk berperan dalam pertunjukan ini. Acara digelar di Societeit Concordia tanpa pungutan biaya bagi seluruh anggota. Sementara non-anggota dipungut biaya sebesar dua gulden untuk menyaksikan pementasan ini.

Sebulan kemudian Bandoengsche Kunstkring kembali menggelar pameran lukisan. Kali ini yang dipamerkan adalah karya Carel Lodewijk Dake Jr. (1886-1946). Pameran digelar selama 4 hari, dari tanggal 15 hingga 18 Agustus 1912 di Societeit Concordia. Berikut adalah iklan-iklan kegiatan tersebut yang dimuat di koran De Preangerbode dan De Expres.

1. Larenschen Kunsthandel, De Expres 11 Juni 1912. 2. Eduard Verkade – Macbeth, De Expres 8 Juli 1912. 3. Carel L. Dake Jr, De Preangerbode 13 Agustus 1912.

Pada tahun 1913, Bandoengsche Kunstkring menggelar pameran lukisan cat air koleksi dari Kunsthandel Jac. de VRIES. Gsz yang berasal dari Arnhem. Seperti biasa pameran ini gratis bagi para anggota, sementara selain anggota dipungut uang masuk sebesar 50 sen. Gedung Loge St. Jan kembali dipilih sebagai tempat pameran ini berlangsung, mulai 3 sampai 10 Februari 1913.

Selain pameran di atas, setidaknya lima kali Bandoengsche Kunstkring menggunakan Gedung Loge St. Jan di tahun 1913. Empat di antaranya adalah:

  1. Pameran lukisan bertema Hindia Belanda karya Jan Larij pada 21-27 April (De expres 1 Februari 1913)
  2. Pameran lukisan Indische & Hollandsche oleh Jan L. Kleintjes pada 8-15 Juni (De Preanger-bode 7 Juni 1913)
  3. Ceramah tentang Seni Hindu oleh J. Scholte, pengajar di OSVIA pada 1 Oktober (De Preanger-bode 30 September 1913)
  4. Pameran lukisan dan aquarel oleh D. G. Ezerman, J. W. Huijsmans, J. L. Eland, dan L. Van Bergen pada 1-7 Desember (De expres 29 November 1913)

Di tahun yang sama, setelah sekian lama, akhirnya Bandoengsche Kunstkring kembali menggelar acara di Pendopo Kabupaten. Sebuah pameran seni bertema Britsch-Indische digelar pada tanggal 17 September. Yang menarik dari iklan acara ini adalah adanya pembagian kategori pemegang tiket, yakni antara non-anggota dan pribumi. Non anggota dikenai tarif sebesar 0,50 gulden sementara pribumi sebesar 0,25 gulden. Hal ini tidak saya temukan pada iklan-iklan sebelumnya. (De expres 15 September 1913).

Iklan pameran seni Britsch-Indische (De expres 15 September 1913)

Membuka Kelas Kursus

Ada hal menarik yang dilakukan Bandoengsche Kunstkring pada tahun 1913. Setelah sekian lama berdiri, pada bulan April 1913 mereka membuka kelas kursus menggambar. Dilansir koran De Expres, edisi 9 April 1913, kursus ini dimaksudkan bagi anak-anak yang memiliki bakat dalam menggambar. Para siswa akan dibimbing oleh H. Lubberink dan J. L. Eland (Kepala Departemen Desain dan Produksi Mebel di perusahaan J. R. De Vries & Co)

Kelas kursus berlangsung seminggu satu kali pada pukul 18.00—20.00 di gedung Loge St. Jan. Setiap peserta diharapkan berkomitmen untuk mengikuti kursus selama satu tahun, kecuali jika keluarganya berpindah tempat tinggal. Selama satu tahun kalender belajar, akan ada jeda waktu satu bulan sebagai masa istirahat. Selain itu, jika ada yang berminat, akan diadakan kegiatan menggambar dan melukis bersama di alam terbuka pada Minggu pagi.

Biaya kursus ditetapkan sebesar 1 gulden per bulan bagi anak-anak anggota, sedangkan non-anggota dikenakan biaya sebesar 2 gulden per bulan. Bagi mereka yang tidak mampu, perkumpulan membuka peluang memberi potongan bahkan pembebasan biaya secara terbatas. Syaratnya mereka harus mengajukan permohonan kepada pengurus. 

Pengurus meminta calon peserta atau orang tua yang ingin mendaftarkan anak-anaknya untuk mengajukan pendaftaran secara tertulis ke sekretariat (di Merdika-Park 8). Dengan mengajukan permohonan tersebut, peserta dianggap telah berkomitmen untuk mengikuti kursus selama satu tahun.

Sayangnya kabar kurang baik muncul di bulan November. Karena alasan kesehatan, Lubberink, untuk sementara waktu mengundurkan diri. Menurut informasi yang diterima, dua anggota pengurus perkumpulan menawarkan diri untuk mengambil alih sementara kelas tersebut. (De expres, 03 November 1913)

1914

Bandoengsche Kunstkring memulai tahun 1914 dengan pergantian pengurus. Jabatan ketua yang sebelumnya diemban oleh Dr. M.H. Damme, beralih ke F. A. J. Keuchenius. Sayangnya kepemimpinan Keuchenius pun tidak berlangsung lama. Ia digantikan kembali oleh G. C. Th. d’Arnaud Gerkens. Sementara posisi sekretaris tetap dipegang oleh Middleberg. Tahun ini juga menandai keterlibatan kakak beradik Schoemaker ke dalam Kunstkring dengan didapuknya Richard Schoemaker sebagai bendahara.

Adapun kegiatan Bandoengsche Kunstkring di tahun 1914, antara lain:

  1. Pameran Etsa dan Litografi karya Jan Toorop, Deskoen Van Angeren, Nieuwenkamp, Edz. Koning, dan lainnya pada 11-17 Februari (De expres 09 Februari 1914)
  2. Malam Musik, pada 20 Mei di Societeit Concordia (De expres 19 Mei 1914)
  3. Pameran Lukisan karya dari pelukis kelahiran Hindia, seperti: Akkeringa, Artzenius, Bleckmann, Briet, Broedelet, van Soest, dan lainnya di Loge St. Jan, dari tanggal 1 hingga 7 Juni.
  4. Malam Piano oleh Everhard Beverwijk pada 6 Juli 1914 di Loge St. Jan (De Preanger-bode 03 Juli 1914)

1915

Memasuki tahun 1915, Bandoengsche Kunstkring menggelar rapat tahunan. Hadir para pimpinan untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban. Pertemuan digelar di Loge St. Jan pada tanggal 27 Januari 1915. (De Preanger-bode 26 Januari 1915)

Sekretaris, Middelberg, membacakan laporan tahunan untuk tahun 1913. Dari laporan ini (yang merupakan laporan ketiga), diketahui bahwa situasi perang menyebabkan sedikit penurunan jumlah anggota, dari 127 menjadi 101. Namun, mengingat kondisi saat itu, jumlah tersebut masih dianggap cukup baik. Richard Schoemaker sebagai bendahara, setelah diperiksa oleh komite audit. Saldo per 31 Desember 1914 tercatat sebesar 932,96 gulden, meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 668,44 gulden.

Setelah itu, dilakukan pemilihan pengurus. Ketua, d’Arnaud Gerkens, mengucapkan terima kasih kepada para anggota atas kerja sama selama setahun terakhir. Ia kembali terpilih sebagai ketua. Anggota pengurus yang terpilih kembali adalah  Maas Qeesteranus, Middelberg, dan Stufkens, sementara  Giltay terpilih sebagai anggota baru.  Schoemaker memutuskan untuk tidak mencalonkan diri kembali. (Bandoengsche Kunstkring) De Preanger-bode 28 Januari 1915).

Bond van Nederlandsch-Indische Kunstkringen

Kunstkring baru bermunculan di berbagai kota. Karenanya diperlukan penyatuan yang kemudian melahirkan sebuah Bond bernama Bond van Nederlandsch-Indische Kunstkringen. Wadah persatuan ini diketuai oleh (lagi-lagi) P. A. J. Moojen. Keberadaan Bond ini berdampak besar terhadap Bandoengsche Kunstkring sendiri.

Tidak dapat dipungkiri bahwa situasi perang turut berdampak pada berbagai sektor, termasuk seni. Namun perlahan Bond semakin berkembang. Bond memiliki fokus dan perhatian lebih pada bidang seni musik. Tur Bond pun menjadi sajian utama dalam agenda Kunstkring. Bandung kelimpahan berkah akibat kerja sama ini yang sehingga memungkinkan untuk mendatangkan bintang-bintang kelas satu untuk tampil di Bandung. Sesuatu yang tidak mungkin dicapai oleh Bandoengsche Kunstkring sendiri.

Berdirinya Bond dan perubahan karakter perkumpulan seiring dengan bertambahnya jumlah anggota membuat beberapa perubahan dalam statuta Bandoengsche Kunstkring. Misalnya dalam mekanisme pengambilan keputusan. Dalam Pasal IX statuta asli tahun 1905, untuk melakukan perubahan diperlukan keputusan dua pertiga dari total jumlah anggota yang memiliki hak suara. Karena pada awal tahun 1917 jumlah anggota telah mencapai 131, maka diperlukan persetujuan dari sekitar 90 anggota untuk mengubah statuta. Sebuah hal yang sulit dicapai. Kesulitan ini akhirnya diatasi dengan keputusan rapat umum anggota pada Mei 1917 untuk mengajukan kembali status badan hukum, dengan mengusulkan statuta yang telah diubah kepada pemerintah agar mendapatkan persetujuan.

Statuta baru tampaknya tidak sepenuhnya memuaskan, setidaknya pada tahun 1918 sebuah proposal perubahan diajukan kepada Rapat Umum. Namun, ternyata dengan statuta baru pun tidak mudah untuk melakukan perubahan; masih diatur bahwa hanya keputusan dua pertiga dari anggota yang memiliki hak suara yang dapat mengubah statuta. Hal ini kembali menjadi tuntutan yang berat, dan selama tiga tahun berturut-turut tidak ada perubahan statuta yang berhasil dilakukan karena jumlah anggota yang hadir dalam rapat terlalu sedikit. Akhirnya, pada tahun 1921, berhasil dikumpulkan jumlah anggota yang memiliki hak suara yang cukup; perubahan statuta pun berhasil dilakukan. (Gedenkschrift uitgegeven ter gelegenheid van het vijf en twintig jarig bestaan van den Bandoengsche Kunstkring 1905-1930)

Perubahan ini dalam perjalanannya berhasil mendorong perkembangan Bandoengsche Kunstkring menjadi kian pesat. Mereka berhasil mendatangkan sederet nama sohor ke Bandung. Siapa saja nama-nama tersebut?

Bersambung

Bandoengsche Kunstkring, Bagian 1: Lingkar Seni Bandung

Irfan Pradana

Kop Bandoengsche Kunstkring dalam brosur aturan keanggotaan. Diterbitkan secara mandiri pada tahun 1910

“Dapatkah kita membayangkan hidup tanpa seni? Tentu saja sebagian besar dari kita tidak akan mampu melakukannya, karena seni telah memberikan makna spiritual yang lebih dalam bagi kehidupan kita, sebagaimana yang telah terbukti selama 25 tahun terakhir.”

Kalimat di atas merupakan penggalan kata sambutan dari J. E. A. von Wolzogen Kühr – Walikota Bandung periode 1928-1933 – yang ditulis di halaman pembuka buku peringatan 25 tahun berdirinya Bandoengsche Kunstkring. Kühr adalah ketua kehormatan Bandoengsche Kunstkring. Ia melanjutkan posisi pendahulunya, Bertus Coops, yang juga pernah menjabat sebagai Walikota Bandung. Selain Coops dan Kühr, sederet nama penting lainnya pernah memiliki keterkaitan dengan perkumpulan bernama Bandoengsche Kunstkring. Berikut ini sebagian kisahnya.

J. E. A. Von Wolzogen Kühr
(Gedenkschrift uitgegeven ter gelegenheid van het vijf en twintig jarig bestaan van den Bandoengsche Kunstkring 1905-1930)

Bandoengsche Kunstkring atau Lingkar Seni Bandung adalah sebuah perkumpulan pecinta seni di Bandung yang didirikan pada tahun 1905. Wadah ini dibentuk dengan tujuan mengakomodir para peminat maupun pelaku seni dalam upaya pemajuan kebudayaan di Kota Bandung. Perkumpulan ini didirikan beriringan dengan Bandung yang tengah dalam proses perubahan status menuju kota mandiri. Seni menjadi salah satu bidang yang tak luput dari perhatian selain pembangunan fisik.

Kenapa Bandung?

Bandung merupakan kota kedua yang memiliki perkumpulan seni setelah Batavia. Pembentukannya di kota ini mendahului kota-kota besar lain yang telah lebih dulu mapan – baik secara infrastruktur maupun jumlah penduduk – seperti Semarang atau Surabaya. Meskipun sedang berbenah besar-besaran, Bandung masih terbilang sebagai kota kecil yang sepi.

Dalam buku peringatan 25 tahunnya yang berjudul sederhana, “Bandoengsche Kunstkring 1905-1930; Gedenkschrift”, Bandoengsche Kunstkring menjelaskan beberapa alasan mengapa perkumpulan ini bisa hadir lebih dulu di Bandung. Dengan nada sedikit satir, mereka menyebut faktor cuaca sebagai salah satu faktor yang berpengaruh. Cuaca yang dingin membuat segala pekerjaan di Bandung tidak terasa melelahkan. Oleh sebab itu warganya masih memiliki tenaga dan pikiran untuk memikirkan kerja-kerja kesenian.

Faktor kedua adalah orang-orangnya. Secara kebetulan Bandung saat itu dihuni oleh orang-orang yang memiliki ide dan visi yang sama dalam bidang seni. Kesamaan ide itu ditopang dengan kemampuan para pendirinya dalam menerjemahkan ide ke dalam program organisasi.

Read more: Bandoengsche Kunstkring, Bagian 1: Lingkar Seni Bandung

Awal Pendirian

Perkumpulan ini diinisiasi oleh seorang hakim terkemuka, A. J. van den Bergh. Ia yang pertama kali membuat aturan rumah tangga dan rancangan keuangannya. Meski begitu ia tidak pernah masuk ke dalam jajaran pengurus.

Tongkat kepemimpinan yang pertama justru jatuh ke tangan arsitek P. A. J. Moojen. Pemilihan Moojen sebagai ketua bisa jadi dilatarbelakangi oleh pengalamannya selama bertahun-tahun menduduki jabatan serupa di Nederlandsch-Indische Kunstkring di Batavia. Oleh sebab itulah ia diharapkan mampu memimpin organisasi yang baru ini.

Sementara itu posisi sekretaris diisi oleh W. F. M. van Schaik, pemimpin redaksi Preangerbode. Ia baru tiba dari Belanda membawa semangat idealismenya. Kepemimpinan ini menandai berdirinya Bandoengsche Kunstkring secara resmi pada tanggal 15 Januari 1905. Kegiatan pertama Bandoengsche Kunstkring digelar pada pekan perayaan Paskah tahun 1905. Sebuah pameran diselenggarakan di Pendopo atas izin dari Bupati Bandung saat itu, R. A. A. Martanagara. Pameran ini menampilkan beragam hasil kerajinan seni lokal, seperti anyaman, tenunan, batik, ukiran kayu, keris, lampu tembaga, patung kayu, dan berbagai benda lainnya. Meskipun cuaca kurang mendukung, acara tersebut tetap menarik perhatian publik. Bahkan warga meminta tambahan satu hari lagi sebelum pameran ini diakhiri. (De Preangerbode, 22 April 1905).

Masih di tahun yang sama, Bandoengsche Kunstkring kembali menggelar kegiatan. Kali ini mereka menggelar pameran seni terapan karya-karya pelukis Wijnand Otto Jan Nieuwenkamp. Ia merupakan seorang pelukis, illustrator, dan etnografer yang banyak melakukan perjalanan ke berbagai negara, termasuk Hindia Belanda. Pameran ini digelar selama 6 hari dengan menampilkan karya-karya jenis etsa dan ukiran kayu Nieuwenkamp. Selain pameran, kegiatan ini juga dimeriahkan dengan permainan musik piano. (De Preangerbode, 1 November 1905).

Potret Wijnand Otto Jan Nieuwenkamp (De Boekenwereld, 31: 4, 2015) dan Karyanya Hoogvlakte van Bandoeng op Java 1913 (Rijksmuseum)

Pameran ini menjadi kegiatan terakhir Bandoengsche Kunstkring di tahun 1905. Sedianya mereka telah merencanakan ceramah dan pertunjukan musik dari sepasang pianis, Madlener & Vrins (Johannes Josephus Carolus Madlener dan istrinya, Catharina Henrietta Maria Vrins), namun urung terlaksana di tahun yang sama. Pertunjukan ini baru bisa dilangsungkan pada tahun berikutnya, tepatnya tanggal 9 Januari 1906 dan berlokasi di gedung Societeit Concordia.

Iklan pertunjukan Madlener & Vrins (De Preangerbode, 9 Januari 1906)

Menjelang perayaan Paskah, perkumpulan ini kembali menggelar pameran lukisan. Kali ini yang ditampilkan adalah ratusan cetakan karya pelukis Albrecht Dürer. Acara ini diulas sangat panjang dan mengisi halaman depan De Preangerbode edisi 10 April 1906.

Sebagai penutup tahun, digelar sebuah pameran lagi. Kali ini menampilkan cetakan karya pelukis besar dari Belanda, yaitu Rembrandt Harmenszoon van Rijn (1606-1669). Pameran ini digelar dari tanggal 7 sampai 11 Oktober 1906. Tahun itu dipilih bertepatan dengan 300 tahun Rembrandt.

Iklan pameran karya Rembrandt (De Preangerbode, 11 Oktober 1906)

Tidak banyak kegiatan Kunstkring pada tahun 1907. Sejauh pencarian saya, mereka hanya menggelar sebuah pameran karya seni dari Jogja dan lukisan cat air yang langsung diampu oleh sang ketua, P. A. J. Moojen. Kedua tema iNI digelar secara bersamaan di gedung Societeit Concordia pada bulan Februari 1907. Bulan berikutnya mereka menggelar rapat umum yang juga dipublikasikan melalui suratkabar De Preangerbode, edisi 18 Maret 1907. Salah satu agenda dalam rapat umum ini adalah pemilihan pengurus.

Rapat umum itu menandai dimulainya era surut perkumpulan Bandoengsche Kunstkring. Selama hampir 5 tahun perkumpulan ini vakum. Faktor yang paling berpengaruh adalah banyaknya pengurus yang mengalami mutasi, termasuk Moojen yang harus kembali ke Batavia. Barulah pada tahun 1912 organisasi ini perlahan bergeliat lagi.

Bersambung…

Harmen Westra: Eks Guru Besar THS yang menjadi Seorang Fasis

Irfan Pradana

Kira-kira setahun lalu, di beranda X saya muncul sebuah video ospek mahasiswa Institut Teknologi Bandung. Dalam video itu nampak barisan mahasiswa sedang mengikuti seruan dari orang di atas panggung. Mereka mengangkat tangan seperti gestur “Roman Salute” sambil meneriakkan kalimat “Salam Ganesha”.

Roman salute adalah gerakan mengangkat tangan kanan lurus ke depan dengan telapak tangan menghadap ke bawah. Pada masa modern, gerakan ini mencapai puncak ketenarannya saat digunakan oleh Nazi dengan nama “Hitler salute” atau “Sieg Heil”, yang menjadikannya simbol propaganda rezim Nazi. Setelah kekalahan Nazi dalam Perang Dunia II, gerakan ini dilarang di banyak negara karena dianggap sebagai simbol kebencian dan ideologi ekstrem.

Ilustrasi. Sumber gambar: itb.ac.id

Postingan video itu mendapat respon yang beragam, namun mayoritas mengidentikkannya dengan gestur salute ala Nazi. Misalnya ada warganet yang mengomentari video tersebut dengan cuitan “Uber Alles” atau “Hail Hitler”. Dari beberapa hasil selancar di dunia maya, Salam Ganesha merupakan tradisi unik di Institut Teknologi Bandung (ITB) yang mencerminkan rasa bangga dan semangat kebersamaan antara mahasiswa dan alumni.

Tradisi ini berakar pada simbolisme Ganesha, dewa pengetahuan dalam agama Hindu, yang juga menjadi lambang utama ITB yang berlokasi di Jalan Ganesha, Bandung. Dewa Ganesha, sebagai pelindung ilmu dan kebijaksanaan, mencerminkan semangat pencapaian intelektual yang sangat dijunjung di ITB. Salam ini kerap digunakan dalam berbagai acara resmi kampus, seperti penerimaan mahasiswa baru dan upacara wisuda.

Ngomong-ngomong soal fasis, ternyata saat ITB masih bernama Technische Hoogeschool dulu, pernah ada seorang guru besar yang menganut paham fasis. Namanya adalah Harmen Westra.

Beberapa waktu lalu Komunitas Aleut menggelar acara Ngaleut dengan tema “Selamat Tinggal Hindia; Janjinya Pedagang Telur”. Tema ini diambil dari buku dengan judul serupa. Buku tersebut merupakan buku sebuah memoar dari Pans Schomper, seorang Belanda yang lahir dan tumbuh di Hindia Belanda. Buku ini berisi kisah hidup Pans melewati tiga zaman, yakni zaman normal (ketika Belanda masih berkuasa penuh atas Hindia Belanda), zaman Jepang, dan zaman revolusi (yang mereka sebut sebagai Masa Bersiap).

Pada sebuah bagian, Pans menyinggung suatu peristiwa di Bandung ketika kekuasaan Belanda sedang berada di ujung tanduk. Pans menggambarkan suasana ketegangan yang melanda warga Eropa di Bandung menjelang kedatangan pasukan Jepang. Suatu penyerbuan massa terjadi usai berita kekalahan Belanda atas Jerman sampai ke Hindia Belanda. Tempat yang digeruduk itu adalah sebuah gedung yang lokasinya dekat rumah Pans di Jalan Naripan, yaitu gedung NSB alias Nationaal-Socialistische Beweging.

NSB adalah sebuah partai politik berhaluan fasis di Belanda yang didirikan pada tahun 1931. NSB diketuai oleh Anton Mussert, seorang fasis Belanda kelahiran Werkendam. Partai ini memiliki kedekatan dengan Partai Nazi Jerman dan memberi dukungan penuh kepada Jerman untuk memenangkan Perang Dunia II. NSB juga membantu berlangsungnya pendudukan Jerman atas Belanda.

Bendera Nationaal-Socialistische Beweging (Wikimedia Commons)
Read more: Harmen Westra: Eks Guru Besar THS yang menjadi Seorang Fasis
Anton Mussert dan Adolf Hitler 1941 (gld.nl)

Hal inilah yang menyulut kemarahan warga Belanda yang bermukim di Bandung hingga akhirnya melakukan penyerbuan ke gedungnya. Di Hindia Belanda sendiri, kekuatan NSB sangat diperhitungkan. Bahkan beberapa tulisan menyebutkan bahwa NSB di Hindia Belanda lebih kuat ketimbang NSB yang berada di Belanda (Het Koninkrijk der Nederlanden in de Tweede Wereldoorlog 1939-1945 – Indische Literaire Wandelingen).

Dalam pencarian informasi tentang NSB ini saya menemukan nama Harmen Westra. Nama ini tidak hanya terkait dengan NSB, tapi juga perkumpulan Bandoengsche Kunstkring, dan Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS) yang sekarang menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB).

Sumber: Beeldbank Haags Gemeentearchief

Bandoengsche Kunstkring atau Lingkar Seni Bandung (LSB) adalah sebuah perkumpulan pecinta dan pengembang seni yang sudah berdiri sejak 1905. Perkumpulan ini didirikan dengan cita-cita memajukan sektor kebudayaan kesenian di Kota Bandung. Harmen Nama Harmen Westra tercatat sebagai ketua perkumpulan ini pada tahun 1930 (Gedenkschrift uitgegeven ter gelegenheid van het 25-jarig bestaan van den Bandoengschen Kunstkring 1905-1930).

Kegiatan LSB di antaranya menggelar pertunjukan seni, pameran, pelatihan, dan konferensi bertaraf internasional. Beberapa nama kondang di bidang kebudayaan Kota Bandung sempat  terlibat di perkumpulan ini, termasuk arsitek C.P. Wolff Schoemaker.

Sementara itu di Technische Hoogeschool Bandoeng nama Westra tercatat sebagai guru besar bidang Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, dan Hukum Dagang. Ia diangkat pada bulan Juli 1924 pada masa THS di bawah pimpinan rektor Prof. Ir. Jan Klopper (ANETA, edisi 4 Juli 1924).

Harmen Westra dan NSB

Westra lahir pada 29 Mei 1883 di kota Den Haag. Ia merupakan profesor di bidang Hukum. Westra pergi ke Hindia Belanda pada tahun 1915 dan menikah dengan Stephanie Dom di Lumajang pada tahun yang sama. Selama di Hindia Belanda, Westra cukup banyak menduduki posisi penting. Ia pernah menjadi tenaga pengajar di OSVIA Serang (De Preangerbode, edisi 21 Juli 1927) dan juga menjadi anggota Volksraad pada tahun 1921 (Bataviaasch nieuwsblad, edisi 19 Februari 1921). Setelah menjadi guru besar di THS, Westra juga sempat mengajar di HBS sebelum kembali ke Belanda pada tahun 1927 dan mengajar di Universitas Utrecht sejak tahun 1931.

Pada tahun 1940 Westra diketahui terdaftar sebagai anggota NSB. Portal-portal artikel berbahasa Belanda yang saya temukan menyebutkan bahwa Westra memang seorang anti semit dan menaruh simpati terhadap Jerman. Anak dan menantunya, yakni Olaf Westra dan Christiaan Willem Jacob Bar. van Boetzelaer merupakan anggota dari organisasi underbow Nazi, Schutzstaffel (SS). Olaf tewas di pertempuran front timur, tepatnya di Leningrad (Haags Gemeentearchief – archief Leidschendam-Voorburg).

Pada tahun 1942 Harmen Westra ditunjuk menjadi walikota Den Haag. Dua tahun setelah Belanda takluk atas Jerman. Tentu saja penunjukannya ini dilatarbelakangi oleh keanggotaannya di dalam NSB. Ia naik menggantikan Van der Bilt yang sebelumnya menjabat sebagai walikota sementara. Van der Bilt adalah seorang Liberal yang selama menjabat kerap berseberangan ide dengan rezim Jerman. Karena itulah posisinya digantikan oleh Westra.

Semasa menjabat sebagai walikota, Westra terlibat dalam serangkaian kejahatan. Dia secara aktif berpartisipasi dalam penganiayaan terhadap orang Yahudi. Saat itu di Den Haag memiliki 17.000 penduduk Yahudi. Pada tanggal 9 Juli 1942, sesuai dengan Pasal 41 Peraturan Umum Kepolisian Den Haag, ia menetapkan sejumlah wilayah yang terlarang bagi orang Yahudi, antara lain di Apendans, Binnenhof, Doelenstraat, Heerenstraat, Houtstraat, Plein, Poten, dan Vijverberg. Ia juga memerintahkan penggantian semua nama jalan di Den Haag yang terkait dengan orang Yahudi. Antara Agustus 1942 dan April 1943, mayoritas orang Yahudi di Den Haag dideportasi ke kamp Westerbork untuk kemudian dikirim ke kamp pemusnahan.

Pada 1943 ia turut membuat daftar nama laki-laki Yahudi untuk ditangkap dan dihukum melakukan kerja paksa. Berkat sumbangsihnya ia dianugerahi penghargaan Krieg Verdien Strutz kelas 2, yakni sebuah penghargaan militer yang diberikan oleh Nazi selama Perang Dunia II kepada warga sipil. Penghargaan ini diciptakan oleh Hitler pada tahun 1939 dan diberikan kepada mereka yang menunjukkan dedikasi dan keberanian dalam mendukung upaya perang Jerman (Haags Gemeentearchief-archief Leidschendam-Voorburg).

Penangkapan

Menjelang masa akhir perang dan kekalahan Jerman, kondisi kesehatan Westra menurun. Keadaan itu memaksanya mengundurkan diri, dan posisinya digantikan oleh Henri van Maasdijk, sesama anggota NSB. Tak berselang lama Westra ditangkap bersama para anggota NSB lainnya. Mereka ditahan di rumah tahanan Scheveningen.

Dalam persidangan Harmen dituntut dengan hukuman mati, namun hakim akhirnya memutuskan Westra diganjar hukuman 20 tahun penjara. Pada 1947 ia mengajukan banding sehingga hukumannya berkurang menjadi 12 tahun. Walaupun begitu, Westra tidak menjalani hukuman secara penuh. Karena kondisi kesehatannya yang buruk, Ratu Juliana memberinya grasi pada 1951. Pada 10 September 1951, surat kabar Belanda melaporkan bahwa Westra telah bebas dan kembali ke Den Haag. Ia meninggal pada 23 Desember 1959.

Foto Harmen Westra (ketiga dari kanan) di rumah tahanan Scheveningen bersama Anton Musser (di tengah) ketua NSB (Sumber: rijnmond.nl).

***

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑