Oleh Irfan Pradana

Jan Bouwer, Nederlands Dagblad, 17 Desember 1988 (delpher.nl)

Di tengah kekejaman perang, terdapat banyak catatan menarik tentang cara orang untuk bertahan hidup. Salah satu yang paling dikenal adalah kisah Anne Frank yang bersembunyi di sebuah ruangan (Het Achterhuis) di dalam rumahnya di Amsterdam pada masa pendudukan Belanda oleh tentara Nazi.

Selama dua tahun dalam persembunyiannya, Anne Frank menuliskan semua hal yang dialami dan dipikirkannya dalam buku diary yang belum lama dia dapatkan sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke-13. Namun, pada Agustus 1944 ruang persembunyian ini diketahui oleh polisi dan semua penghuninya dibawa ke kamp konsentrasi Auschwitz-Birkenau di Polandia.

Setahun berikutnya, Anne Frank dan kakaknya Margot, meninggal karena sakit di Kamp Bergen-Belsen di Jerman. Ibunya, Edith, beserta orang-orang sepersembunyian meninggal di Auschwitz. Hanya ayahnya, Otto Frank, yang dapat bertahan hidup hingga berakhirnya Perang Dunia ke-2. Catatan harian Anne Frank yang juga dapat diselamatkan, kemudian diterbitkan pada tahun 1947 dan menjadi salah satu kisah paling berpengaruh di dunia.

Dalam rentang waktu yang sama, Hindia Belanda juga menyimpan cerita tentang orang yang bersembunyi selama masa Perang Dunia II. Awal mula kisah ini sama seperti kisah Anne Frank di atas, yaitu masuknya pasukan Nazi Jerman ke Belanda pada tahun 1940. Saat itu seorang jurnalis bernama Jan Bouwer memilih melarikan diri ke Hindia Belanda.

Jan adalah seorang Belanda yang lahir dan tumbuh di Hindia Belanda. Pada 1938 ia pergi ke Belanda untuk bekerja, namun invasi Nazi memaksanya untuk melarikan diri dan kembali lagi ke Hindia Belanda. Di sini ia menikah dengan seorang indo bernama Ivonne dan melanjutkan pekerjaannya sebagai seorang jurnalis untuk media Algemeen Nieuws- en Telegraaf-Agentschap (Aneta).

Kegentingan perang seolah terus mengikuti Jan. Ia lari dari kejaran Jerman untuk kemudian terjebak dalam invasi Jepang di Hindia Belanda. Pada tahun 1942 Jepang berhasil memaksa HIndia Belanda menyerah. Lewat perjanjian Kalijati Belanda menyerahkan kekuasaannya atas Hindia Belanda kepada Dai Nippon. Tak berselang lama dari perjanjian penyerahan kekuasaan tersebut, Jepang mulai memasuki kota Bandung.

Di sini pasukan Jepang mulai menangkapi orang-orang Eropa. Mereka yang ditangkap dijadikan tawanan perang dan dijebloskan ke kamp konsentrasi atau yang sering disebut sebagai kamp interniran.

Kamp ini dibagi menjadi beberapa sektor, di antaranya kamp untuk tawanan sipil pria, remaja, wanita, dan anak-anak. Lalu ada kamp untuk pejabat tinggi Hindia Belanda. Kamp ini tidak hanya diisi oleh orang Belanda, tapi juga orang Amerika, Inggris, dan Australia. Profesinya bermacam-macam, mulai dari seperti misionaris, administratur perkebunan, pengusaha, biarawati, serta perawat dan dokter.

Kondisi di kamp interniran sangat memprihatinkan. Seluruh komplek kamp dibentengi oleh pagar yang terbuat dari anyaman bambu dan kawat berduri. Para tahanan harus hidup berdesakan dan serba kekurangan. Kabarnya setiap hari mereka hanya diberi makan bubur kanji. Jika ingin makan lebih layak mereka harus bersiasat menghindari patroli agar bisa membeli makanan dari warga pribumi lewat celah-celah pagar. Cilaka dua belas kalau kepergok petugas, mereka bisa mendapat hukuman sangat berat.

Akibat keterbatasan ini kebanyakan tahanan mengalami gizi buruk, terutama anak-anak. Belum lagi masalah sanitasi di dalam kamp yang buruk sehingga memicu timbulnya berbagai macam penyakit mulai dari disentri hingga kolera.

Para tahanan pria umumnya dipaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan berat seperti pembangunan jalur kereta dan bangunan. Sementara tahanan wanita banyak yang dipaksa untuk melayani nafsu birahi para tentara Jepang.

Penyakit, gizi buruk, dan beratnya pekerjaan menyebabkan banyak tahanan meregang nyawa. Dengan segala kengerian  yang ada, kamp ini ibarat tempat buat menunggu dijemput ajal.

Ajaibnya Jan Bouwer berhasil lolos dari seluruh kesengsaraan di atas. Selama 3,5 tahun pendudukan Jepang, Jan bersama sang istri bisa hidup bebas. Lantas bagaimana caranya Jan bisa selamat?

Rupanya sejak mengetahui kabar kedatangan Jepang ke Bandung Jan mengundi nasibnya dengan bersembunyi di halaman belakang rumahnya. Saat itu Jan bersama istrinya tinggal di kawasan Dago, tepatnya di rumah bernomor 42B. Kini lokasinya telah berganti rupa menjadi pusat perbelanjaan Superindo Dago.

Waktu ditinggali Jan, rumah itu punya halaman belakang yang rimbun oleh belukar. Jan menyebutnya sebagai mijn rimboe atau “Hutanku”. Jadi setiap ada patroli dari serdadu Jepang atau polisi Indonesia, Jan akan bersembunyi di hutannya itu. Seringkali dia harus berada di sana selama berjam-jam, terkena terik matahari dan hujan demi menghindari pemeriksaan petugas. Yang lebih mengherankan lagi, ternyata tetangga Jan adalah orang Jepang. Namun keberadaannya tak pernah terendus oleh pihak Jepang.

Jan bersembunyi sendiri, karena Ivy, nama panggilan istrinya yang seorang Indo tidak termasuk golongan yang ikut ditangkap oleh Jepang. Lucunya di tengah segala ketegangan ini, Jan dan Ivy masih sempat-sempatnya berkembang biak. Kehamilan Ivy menimbulkan berita miring bagi warga sekitar. Mereka menduga Ivy main serong dengan lelaki lain, padahal Jan sendiri lah pelakunya.

Seperti Anne Frank, Jan juga membuat catatan harian selama masa persembunyiannya. Apalagi Jan adalah seorang jurnalis, jadi meskipun harus main petak umpet, ia masih menyempatkan diri untuk mengakses informasi. Lewat istrinya ia memperoleh perkembangan dunia melalui surat kabar lokal seperti Tjahaja dan Soeara Asia.

Tidak hanya melalui surat kabar, Jan juga mengakses informasi secara diam-diam melalui siaran radio luar negeri. Saat itu pemerintah Jepang melakukan sensor yang ketat terhadap media, salah satunya terhadap saluran mancanegara. Jadi setiap ada pemeriksaan, Jan harus mengubur perangkat radionya agar tidak ketahuan.

Senasib dengan penulisnya, catatan harian Jan di masa persembunyian selamat sentosa. Pada tahun 1983 catatan ini dibukukan dengan bantuan seorang sejarawan Belanda, Loe De Jong. Bukunya berjudul “Het Vermoorde Land”.

Melalui catatannya Jan mengisahkan detik-detik awal kedatangan Jepang ke Bandung. Ia ingat persis tanggal 10 Maret 1942 jam 6 sore harus kehilangan mobilnya di depan hotel Preanger. Seorang serdadu Jepang memaksanya keluar dari mobil lalu merampas kuncinya. Jan mengenali serdadu itu karena beberapa kali bertemu di sebuah toko pencucian film foto di Batavia.

Sabtu, 18 Maret 1942, Jan mencatat bahwa Bandung menjadi saksi peristiwa tragis. Pimpinan pemerintahan Hindia Belanda diperintahkan berbaris menuju stasiun kereta untuk diberangkatkan ke Batavia. Gubernur Jenderal Tjarda diangkut dengan truk, sementara para jenderal KNIL seperti Ter Poorten, Uhl, dan Pesman, berjalan di belakangnya.

Jan juga menceritakan tanggal 20 Maret setidaknya ada 1500 orang ditangkap dan dijebloskan ke penjara Struiswijk. Mereka diharuskan membersihkan toilet, mengepel lantai, dan menyemir sepatu serdadu Jepang. Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer masih berada di Bandung, tepatnya di Villa Mei Ling. Tjarda terus diinterogasi, dan diperkirakan akan dibawa ke luar Pulau Jawa.

Menjelang akhir April 1942, kurang dari dua bulan setelah Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, masyarakat di Bandung ramai menjual bendera Nippon untuk merayakan ulang tahun Kaisar Hirohito pada 29 April. Gubernur Jepang untuk Jawa Barat, Kolonel Matsui, telah menetap di Ciumbuleuit. Ada pelarian dari kamp-kamp tawanan militer di sekitar Bandung, dan Jepang mengancam akan menembak mati lima orang untuk setiap satu tawanan yang melarikan diri.

Cerita menarik lain pada akhir April 1943, Jan mencatat momen perayaan ulang tahun Kaisar Hirohito yang tidak semeriah sebelumnya. Hal ini dipicu oleh masyarakat Indonesia yang mulai merasakan kesulitan hidup akibat melonjaknya harga beras.

Di Alun-alun Bandung, diadakan rapat umum yang diinisiasi oleh Oto Iskandardinata, Gondhokoesoemo, dan Dokter Moerdjani dengan tema “Hancurkan Amerika dan Inggris.”

Sementara di Jakarta, Putera (Pusat Tenaga Rakyat) yang dipimpin oleh Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan K.H. Mas Mansoer, juga mengadakan rapat umum. Soekarno menyerukan semboyan, “Amerika kita setrika, Inggris kita linggis.”

Jan bukan seorang Belanda yang progresif. Secara pandangan politik ia sama dengan para kolonialis Belanda kebanyakan. Misalnya dalam tulisan Jan kerap menggunakan kalimat “Soekarno en zijn kornuiten” (Soekarno dan konco-konconya). Ia juga menunjukan skeptisisme terhadap kemampuan pribumi ketika Jepang membuka kembali sekolah pendidikan dokter. Jan sangsi akan ada dokter yang kompeten dari kalangan pribumi.

Pada 19 Agustus Jan menyebut “pengibaran bendera pemberontak” untuk peristiwa proklamasi 17 Agustus. Menurutnya berdirinya republik Indonesia malah menimbulkan kecemasan ketimbang kebahagiaan. 19 Agustus juga jadi hari terakhir persembunyian Jan.

Di hari itu ia mengunjungi seorang Belanda lain yang bernasib mujur sepertinya mampu lolos dari penangkapan. Nama orang itu Van Vierssen yang bekerja di British American Tobaco Company. Keduanya berjumpa merayakan kebebasan sambil menenggak bir seraya menyesap rokok bersama.

Setelah itu Jan Bouwer melanjutkan kerja jurnalistiknya di Nieuwsgier, Jakarta. Pada 15 Agustus 1949, ia turut meliput Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Setelah penyerahan kedaulatan, Jan tetap bekerja sebagai wartawan di Indonesia, namun pada tahun 1955, ia meninggalkan Jakarta untuk menjadi koresponden surat kabar Katolik De Volkskrant di Bonn. Setelah itu Jan tidak pernah kembali lagi ke Indonesia. ***