Month: May 2024

Catatan Momotoran Cililin; Susur Jalur Desa

Oleh: Fikri Mubarok Pamungkas

Catatan versi Story Maps ada di sini.

Mapay jalan satapak

Ngajugjug ka hiji lembur

Henteu maliré kacapé

Sabab aya nu ditéang

Dalam perjalanan momotoran ke wilayah Cililin (lagi) minggu lalu, saya teringat lirik lagu Mawar Bodas dari Doel Sumbang itu. Momotoran di Aleut memang sudah dapat dipastikan akan melewati kampung-kampung alias lembur, kawasan yang jauh dari daerah padatnya perkotaan. Begitupun dengan perjalanan momotoran kali ini yang justru kebanyakan melewati perkampungan, mungkin mirip susur kampung.

Kami telah merencanakan momotoran ini seminggu sebelumnya dengan tujuan latihan menulis catatan perjalanan bagi anggota ADP 2023 dengan media belajar momotoran. Tak banyak rencana destinasi yang akan dikunjungi, hanya beberapa saja, itu pun sekeinginannya di jalan. Momotoran kali ini juga tak seperti biasanya karena tidak menargetkan kunjungan ke tempat bersejarah, seketemunya saja. Karena itu, pada tulisan kali ini saya hanya menceritakan pengalaman pribadi saja dalam mengikuti perjalanan momotoran itu.

Saya merasa senang bisa momotoran lagi ke kawasan Cililin bersama Aleut, dan ini adalah momotoran yang ketiga kalinya buat saya ke daerah ini. Seperti sebelumnya, kali ini pun kami menempuh jalur jalan yang berbeda. Dalam perjalanan terakhir, kami mengambil jalur Jatisari lalu berbelok ke tanjakan cukup berat di Bahubang Legok, kemudian masuk ke jalur jalan berlumpur. Hari ini kami mengambil jalan lurus ke Jati Bunikasih, lalu Mariuk, Cipapar-Cibadak, dan melewati Desa Situwangi lagi tapi di kawasan yang berbeda.

Perjalanan sejak pagi tadi cukup menyenangkan, dimulai dari sekretariat Aleut, kemudian ke kompleks TKI untuk menjemput seorang rekan yang memang tinggal dekat daerah itu, lalu menuju Jatisari yang menjadi gerbang untuk kawasan yang akan kami datangi hari ini. Menjelang Mariuk, di Kampung Cibadak, kebetulan saya berada di urutan paling depan, sedangkan kawan-kawan lain di belakang dengan jarak tidak terlalu berjauhan. Di sebuah tanjakan, kawan paling belakang membunyikan klakson dan menghentikan motornya. Rupanya mau menyetel rem. Pada saat itulah ia sepertinya melihat sesuatu yang menarik perhatian dan memanggil kami yang berada di depan untuk memutar balik.

Ternyata ia melihat sebuah warung yang tampak menarik lokasinya, di dasar lembah berdampingan dengan hamparan sawah yang sedang menghijau segar. Pemandangan ini memang langsung terasa sangat menarik, membuat kami memutuskan untuk melihat langsung warung itu dari dekat. Jadi, kami putar balik, dan berbelok di sebuah jalan menurun yang agak teduh karena lebatnya rumpun-rumpun bambu di sisi kiri dan kanannya. Jalannya tidak lebar, tapi kondisinya termasuk bagus untuk ukuran daerah itu. Tidak terlalu jauh dari belokan tadi, kami sudah tiba di sebuah gapura bambu berukuran kecil di sisi kanan jalan. Gapura ini diapit oleh pagar bambu yang cukup tinggi sehingga bangunan di dalamnya hanya terlihat bagian atapnya saja.

Pemandangan ke arah Batu Nini dari Warung Lugina. Foto: Fikri Mubarok Pamungkas.

Sebelum masuk ke area warung, dari kejauhan saya melihat batu besar yang menjulang tinggi di lereng gunung di sebelah kiri saya. Batu itu sudah tak asing lagi buat saya karena beberapa waktu lalu pernah mendaki ke atasnya. Sungguh pengalaman luar biasa bisa berada di atas batu itu. Ketika melihat ke bawahnya, ada perasaan ngeri juga, karena merupakan jurang yang dalam. Dari sana asyik sekali mengamati kebun-kebun, hutan, sawah, dan permukiman yang tersebar jauh di bawah. Andai sebelum mendaki itu saya sudah tahu keberadaan warung ini, tentu saya akan mencari-cari lokasinya dari atas sana.

Gerbang Warung Lugina yang berbatasan dengan persawahan. Foto: Fikri Mubarok Pamungkas.

Kembali ke warung ini. Di gapura terbaca namanya: Warung Lugina. Tempatnya terlihat nyaman, didominasi warna hijau, merah marun, dan coklat. Warna hijau dari sawah yang menghampar di belakang serta tetumbuhan di seluruh area warung, merah marun dari warna atap warung, dan coklat dari warna pagar dan bangunan warung yang terbuat dari kayu dan bambu. Baru beberapa langkah, terasa beruntung juga menemukan keberadaan warung dengan lokasi yang nyaman di sini, apalagi mengingat sebelumnya sempat ada obrolan selintas ingin mampir ke sebuah resto atau cafe yang pernah populer bernama Breeze. Saat lewat, rasanya tempatnya terlalu modern bagi kami.

Kami menghabiskan waktu sekitar satu jam di Warung Lugina. Mengobrol seru dengan pengelolanya, Pak Rahmat, yang ramah dan senang bertukar cerita. Sambil ngobrol, beliau menggoreng beberapa piring bala-bala dan tempe, juga menyeduh minuman pesanan kami. Semua dilakukannya sendiri. Lalu tiba juga waktunya berpamitan dan melanjutkan perjalanan. Saya dan kawan-kawan menyimpan beberapa catatan dari obrolan yang santai dan menyenangkan ini, terutama mengenai pengalaman hidup Pak Rahmat sejak usia mudanya.

Kami kembali menyusuri jalanan di Kampung Cibadak menuju Desa Situwangi. Ruas jalannya tidak terlalu besar, bila dua mobil berpapasan, mungkin harus mengatur jarak agar bisa lewat satu per satu. Jalannya sih sudah dilapisi beton, buat motor cukup memudahkan. Perkampungan demi perkampungan kami lalui, juga hutan-hutan kecil, hingga sampailah kami di Desa Situwangi.

Dari Desa Situwangi kami mengambil jalan ke arah kiri dan tepat di sebuah pertigaan, rekan yang berada paling depan berhenti untuk menunggu rekan lainnya. Lalu ada seorang warga yang menanyakan “bade ka saha?” sontak kami sedikit bingung untuk menjawabnya. Untungnya saat melihat petunjuk arah di hp langsung teringat, bahwa kami akan mengunjungi Makam Eyang Dalem Angga Yuda. Maka kami pun langsung menjawabnya dan bertanya apakah jalur ini betul atau salah. Ternyata benar, jalan ini ialah jalur menuju Makom yang dimaksud.

Jalanan menuju makom lumayan menanjak dan semakin sempit di atasnya, mungkin hanya bisa dilewati oleh dua motor saja. Kami melewati sebuah kampung kecil dengan sawah-sawah di sebelah kiri jalan, sedangkan sebelah kanan jalan terdapat rumpun-rumpun pohon bambu, hutan kecil, dan ladang. Tepat di puncak, terdapat sebuah baliho yang menunjukkan bahwa makam Eyang Dalem Angga Yuda. berada di sekitar tempat ini, namun masih harus jalan kaki ke atas bukit.

Tidak ada tempat parkir di sini, sehingga kami harus menyusun motor-motor di lahan-lahan sempit di sela rumah paling depan. Dari sini berjalan kaki sedikit, lalu di sebelah kiri ada lorong sempit bertangga batu yang penuh lumut untuk naik ke atas bukit. Tidak terlalu jauh naiknya, mungkin sekitar 20 meteran.

Bagian atas bukit ini seluruhnya terisi oleh permakaman umum dan di tengahnya berdiri sebuah bangunan yang di dalamnya terdapat makam yang dikeramatkan, yaitu makam Eyang Angga Yuda. Makam-makam paling depan yang kami temui ukurannya tidak biasa, sekitar 3-4 meter panjangnya. Ketika bertanya pada dua orang bapak warga lokal yang sedang duduk-duduk dekat area makam keramat, ternyata mereka juga tidak tahu kenapa makam-makam di depan itu ukurannya panjang-panjang.

Lorong tangga menuju kompleks makam dan makam panjang yang kebanyakan tanpa nama. Foto: Deuis Raniarti.

Di dekat bangunan makam keramat ada sebuah bangunan lain dengan ukuran lebih kecil, katanya sih warung. Saya kira warung ini aktifnya bila sedang ramai orang datang berziarah ke sana. Makam-makam seperti ini memang selalu ramai sekali pada hari-hari atau event tertentu. Di salah satu sisi dinding luar bangunan ini terdapat spanduk besar berisi keterangan silsilah Eyang Dalem Angga Yuda. Bertanya tentang nama-nama yang tercantum pada bapak-bapak tadi pun hasilnya sama saja, nihil. Kejadian seperti ini cukup sering kami temui di tempat-tempat yang dikeramatkan seperti ini, para pengunjung seringkali tidak tahu apa-apa tentang siapa yang diziarahinya. Fenomena yang sangat menarik.

Saat kami datang ini ada beberapa orang yang sedang berziarah juga, termasuk satu pasangan sepuh yang berjalan dengan tertatih-tatih. Mereka baru saja keluar dari bangunan utama dan sepertinya sudah selesai dengan kegiatannya. Si ibu tampak bersemangat melihat rombongan kami dan menyerukan sesuatu, semacam “Tah kitu atuh anu ngarora, sok pada ziarah.”

Kami pun melihat-lihat ruangan dalam bangunan utama yang berisi makam Eyang Dalem Angga Yuda. Cukup luas juga dan terdapat sebuah area untuk tawasulan. Setelah itu kami mengelilingi area makam yang ada di belakangnya. Walaupun berada di ketinggian, tapi dari atas sini pandangan ke bawah tidak bebas, karena padat dan rimbunnya pepohonan yang mengelilingi area makam ini.

Kami tidak terlalu lama berada di area makam ini, kemudian turun lagi dan melanjutkan perjalanan menyusuri kampung yang cukup padat dengan jalan-jalan sempit yang cukup tajam tanjakannya. Kampung-kampung ini walaupun terlihat padat, tapi umumnya sepi. Mungkin sebagian besar penghuninya sedang sibuk berladang atau menggarap sawah. Tak terbayangkan sih keseharian warga di sini, bila akan pergi ke tetangga dekat saja harus berjalan kaki menempuh tanjakan atau turunan yang curam-curam begini.

Usai tanjakan panjang dan setelah SDN Budiwangi, kami bertemu jalan utama Bahubang-Batukarut. Ke kanan menuju Cihampelas, ke kiri ke Bahubang Legok yang sudah pernah kami lalui dalam perjalanan terdahulu. Di sini kami spontan mengambil jalan ke kanan untuk menuju lokasi berikutnya, yaitu ke Walahir. Jalanannya cukup bagus, di sisi kiri kanan jalan tidak terlihat ada rumah-rumah, hanya ladang dan tanah kosong. Di beberapa bagian ada jalanan rusak dan berpasir yang membuat motor kadang agak goyah. Sampai di bawah, kami baru menyadari bahwa jalan ini menuju ke Desa Utama, artinya kami malah balik lagi ke jalan utama, tidak jauh dari lokasi tadi bertanya tentang makam Eyang Dalem Angga Yuda, haha. Putar balik deh.

Lucunya, setelah putar balik ini, rombongan malah kepencar-pencar. Ada dua motor yang sudah melaju cepat jauh di depan dan tidak terlihat lagi dari pandangan. Nanti kami ketahui bahwa dua motor di depan ini pun ternyata terpisah cukup jauh, walaupun masih berada di jalur yang sama. Saya bersama dua motor lagi yang tertinggal di belakang berinisiatif mengambil sebuah jalan beton yang belok ke kanan. Jalan ini agak terlindung di balik lebatnya rumpun-rumpun bambu yang tinggi. Sedari tadi saya sudah mengetahui jalur jalan ini melalui google maps dan terlihat jalur ini merupakan yang terpendek untuk menuju ke Puncak Gantole.

Setelah agak jauh ke dalam dan tiba di sebuah pertigaan, hati mulai ragu, karena tidak terlihat rekan-rekan yang sudah duluan di depan. Ini tentu saja tidak biasa, karena di Aleut, bila berada di kawasan yang belum akrab dan menemui jalur bercabang seperti ini, sudah pasti akan ada yang menunggu agar yang di belakang tidak terpisah karena salah ambil jalur jalan. Saya pun memutar balik dan di bawah bertemu dengan satu motor lain yang rupanya menyusul kami karena tidak kunjung muncul di jalur yang sudah mereka tempuh. Kami kembali ke jalur jalan utama Bahubang-Batukarut.

Kawasan yang membuat rombongan kami terpencar-pencar. Jalannya mah lurus-lurus aja, tapi karena masing-masing pegang google maps, ya itulah yang akhirnya memisahkan haha. Foto: Deuis Raniarti.

Lagi-lagi di sebuah pertigaan, rekan yang di belakang saya ternyata tidak mengikuti dengan cepat sehingga terpisah kembali. Saya memutuskan berbelok ke kiri yang jalannya agak menanjak lalu menunggu di atas, sembari menunggu balasan chat dari rekan yang telah berada di depan. Setelah menerima balasan, kami memutuskan mengambil jalan lurus, sebab jika dilihat dari peta gmaps ada jalan yang mengarah ke rekan yang berlokasi di sana. Tapi setelah kami ikuti jalur ini, ternyata malah semakin menyempit, mungkin hanya cukup satu motor saja sehingga kami pun kembali berputar arah dan mencoba jalan lain yang berbelok ke kiri. Jalan ini justru lebih parah sampai ke ujung jalan beton dan mengarah ke hutan.

Akhirnya teknologi whatsapp juga yang menyelesaikan persoalan salah mengerti ini. Kami kembali ke jalan utama Bahubang-Batukarut, belok kanan, lalu menyusul rekan-rekan yang menunggu jauh sekali di depan. Akhirnya kami bertemu kembali bersama rombongan, setelah terpisah mungkin sekitar 20 menit.

Dari sini kami menempuh jalur jalan perkampungan yang kecil menuju Pojok Walahir dan Puncak Gantole. Menempuh lagi jalur tanjakan Cipamonokan sampai ketemu pertigaan ke Gedugan. Lalu belok kanan ke Pasirpanjang-Cijeruk yang menanjak dan mengikuti jalur jalan berliku. Jalan di sini kondisinya sangat baik dan nyaman dilalui. Jalanan yang mulus sangat membantu motor kami yang tenaganya pas-pasan ini dalam menapaki tanjakan. Di ujung tanjakan, persis di tikungan patah ke arah kiri, ada sebuah warung kecil di tepi jalan. Ke situlah kami mampir sebentar. Di dalam warung ini, ada sedikit teras menghadap ke lembah di bawahnya. Jajaran pergunungan di utara Bandung pun terlihat cukup baik, apalagi bila udaranya bersih. Sayangnya di teras dalam yang sempit ini sudah terisi oleh sepasang muda-mudi yang asyik masyuk selonjoran melupakan dunia sekitar. Jadi kami pilih teras yang sedikit lebih lega, tapi pemandangannya sepertinya ke arah Soreang, itu pun terhalang pergunungan yang baru saja kami lalui. Sebagian rekan duduk-duduk di bangku luar warung sambil memesan ini-itu.

Warung Pengkolan yang bikin betah nongkrong. Foto: Deuis Raniarti.

Warung ini memang nyaman untuk dijadikan tempat beristirahat, terutama setelah menempuh perjalanan menghadapi tanjakan yang cukup melelahkan. Angin sepoy-sepoy dan sejuknya hutan pinus di sebelah warung membuat betah berlama-lama di sini. Jualannya sih biasa saja seperti warung pada umumnya, mi instan, seblak, baso, berbagai minuman kemasan, dan kelapa muda. Lokasinya yang membuatnya jadi istimewa.

Lewat tengah hari, kami pun beranjak melanjutkan perjalanan, masuk lebih dalam melewati hutan pinus yang dijadikan tempat wisata, namanya Pinus Pananjung. Sepertinya tempat ini tidak banyak pengunjungnya, apa mungkin musimnya sudah berlalu? Di sebelah kanan jalan ada area yang agak lapang dan bangunan yang dari bentuknya seperti toilet, namun kurang terawat. Di sebelah kiri jalan berjejer warung-warung bambu yang cukup teduh karena berada dalam lindungan pepohonan. Tampaknya sedap juga buat sekadar nongkrong di situ bila kapan-kapan lewat lagi.

Setelah melalui tempat wisata lain yang cukup ngehits, yaitu Langit Gantole, kami pun memasuki sebuah kampung yang terlihat cukup padat. Modelnya kampung modern dengan rumah-rumah tembok. Warga cukup ramai berlalu-lalang, dan ternyatalah sedang ada keramaian, syukuran khitanan. Dari arah depan kami berjalan arak-arakan dengan kuda renggong dan di paling belakang berjalan pelan sebuah mobil bak yang membawa soundsystem dengan suara keras. Karena pemandangan seperti ini cukup langka bagi kami, jadi kami menepikan motor dan menunggu sampai seluruh arak-arakan lewat. Meriah sekali.

Foto atas: arak-arakan kuda renggong. Foto bawah di lapangan Puncak Gantole. Foto: Deuis Raniarti dan Fikri Mubarok Pamungkas.

Tidak jauh dari kampung barusan, lingkungannya sudah merupakan area terbuka yang termasuk ke kawasan Puncak Gantole. Di sebelah kanan sedang ada pembangunan pondok-pondok kayu berbentuk segitiga yang belakangan ini banyak ditemukan di mana-mana. Sepertinya sedang ada persiapan pembuatan lokasi wisata baru lagi. Melihat bentuknya sih, sama saja dengan banyak lokasi wisata yang sedang populer belakangan ini. Seragam.

Akhrinya kami tiba di Puncak Gantole dan menepi ke sebuah warung kecil. Pemilik warungnya senang bercerita, sedikit saja salah satu rekan kami bertanya, si ibu warung akan menjawabnya dengan panjang lebar, sambil selalu bercerita tentang keadaan pribadinya. Lama-lama malah si ibu curhat segala macam. Ya begitulah obrolan warung, bisa tidak terduga arah obrolannya. Usai rekan-rekan lain berkeliling area gantole dan berfoto-foto, kami melanjutkan perjalanan.

Kali ini akan mencoba jalur Gedugan, jadi kami agak memutar balik sedikit sampai pertigaan di bawah Warung Pengkolan tadi. Di sini ambil jalan ke kanan yang menuju ke Desa Kidangpananjung. Jalur jalan di sini tidak sebaik sebelumnya, tapi juga bukan jalan yang terlalu rusak. Beberapa kampung kami lewati, sampai tiba di sebuah pertigaan yang tidak terlalu mencolok karena belokan ke kirinya berupa jalan kecil berbatu-batu. Setelah melewati kantor Desa Kidangpananjung, kami berhenti sejenak di sebuah pertigaan kecil untuk memastikan jalur, karena sempat ada rencana untuk mencoba jalur ke kiri yang menuju Cicapeu.

Pada saat berhenti itu muncul serombongan ibu-ibu dari arah kiri yang menanyakan kami mau ke mana, ketika menyebutkan Cicapeu, ibu-ibu ini menyarankan untuk tidak melanjutkannya, karena kondisi jalan yang rusak parah serta jalurnya naik-turun curam. Katanya, orang situ pun enggan menggunakan jalur itu dan memilih jalur memutar-mutar saja bila ada tujuan ke arah sana. Berdasarkan google maps, jalur ini sebetulnya dapat tembus sampai Kutawaringin, tapi kali ini kami memilih percaya kepada warga lokal saja.

Sebetulnya ada beberapa rute jalan potong lain ke Soreang atau Kutawaringin dari tempat kami berada itu, misalnya lewat jalur Cikoneng-Puncakmulya yang akan melipir Puncak Gunung Aul dan bertemu dengan Simpang Lima Gunung Geulis dan Ciririp-Bangsaya bagian timur yang sudah pernah kami lalui beberapa waktu lalu. Bisa juga lewat jalur Gedugan Kulon ke selatan melalui Nagrog lalu bertemu dengan jalur Tegalpanjang yang ke arah timurnya akan bertemu dengan Desa Sukamulya, dan selanjutnya melipir Puncak Gunung Aul. Jalur ini menapaki punggungan perbukitan Puncak Paseban. Satu jalur lainnya adalah melewati jalan kecil belok ke kiri yang lokasinya tak jauh dari kantor Desa Kidangpananjung. Jalur ini terlihat lebih ringkas, tapi kurang meyakinkan karena garisnya yang tipis, jangan-jangan… Jalur yang melewati daerah Cibauk ini bisa langsung sampai Cibodas, Kutawaringin. Yah lain kali aja deh kayanya, kalau sudah ada informasi tambahan, apakah dapat dilalui oleh motor-motor matic manja kami ini.

Akhirnya kami memilih jalur yang sebenarnya menjauh, yaitu ke arah Kampung Lembang dan selanjutnya Mukapayung yang dapat dikatakan sudah cukup sering kami datangi atau lewati. Yah lumayanlah, menghindari jalan rusak ekstrim, ketemunya jalur turunan panjang yang tak kalah ekstrimnya. Dari sini kami melewati tempat wisata Lembah Curugan Gunung Putri, lalu keluar di Cililin. Akhirnya spontan spontan saja mampir beberapa tempat  bersejarah, di antaranya, Radio NIROM Cililin yang catatannya sudah ditulis oleh rekan lain beberapa waktu lalu. ***

Catatan versi Story Maps ada di sini.

Momotoran Sinumbra-Cipelah: Cerita dari Pemetik Teh Kebun Sinumbra

Oleh: Irfan Pradana

Plang Pabrik Teh di Kebun Sinumbra. Foto: Deuis Raniarti.

Semalam sepulang bekerja saya sempatkan untuk membeli nasi goreng di tempat langganan sejak kecil. Sambil menunggu pesanan datang, saya disuguhi segelas besar teh tawar hangat. Gratis dan bisa diisi ulang sesuka hati.

Saya jadi teringat pada masa-masa saya tinggal di Yogyakarta. Hampir di setiap warung makan di Jogja, teh tidak diberikan secara cuma-cuma. Pengunjung harus merogoh kocek tambahan jika ingin meminum teh, baik teh tawar maupun teh manis. Jika tak ingin keluar duit lagi, silakan minum air putih.

Haryoto Kunto dalam bukunya “Wajah Bandoeng Tempo Doeloe” sempat merekam fenomena ini. Teh di wilayah priangan adalah komoditas utama penopang perekonomian. Perkebunan teh membentang luas menguasai lahan yang berada di Jawa Barat. Imbasnya persediaan teh jadi melimpah ruah.

Sebagaimana hukum ekonomi, ketika supply melimpah, maka harga akan turun. Penjual makanan mungkin sudah memasukkan teh sebagai komponen harga pokok produksinya. Entah, yang pasti teh tawar disuguhkan gratis.

Membicarakan perkebunan teh —khususnya di wilayah Bandung— akan mempertemukan kita pada nama-nama pembesar, juragan teh, seperti Bosscha atau keluarga Kerkhoven. Nama mereka telah diabadikan di banyak monumen maupun literatur sejarah. Bosscha misalnya, namanya tetap harum hingga saat ini berkat sumbangsihnya dalam bidang pendidikan di kota Bandung. Namanya terpatri sebagai nama peneropong bintang di utara Bandung sana.

Lantas bagaimana cerita dari sekrup paling penting dari industri yang membesarkan nama-nama seperti Bosscha?

Tulisan ini merangkum isi perjumpaan kami dengan seorang mantan buruh pemetik teh di perkebunan Sinumbra, Rancabali. Namanya Ibu Iwin.

Ngalor Ngidul dengan Bu Iwin, Pensiunan Pemetik Teh di Sinumbra

Minggu lalu Komunitas Aleut kembali mengadakan kegiatan momotoran, kali ini tujuannya ke sekitar Sinumbra-Cipelah. Kami berkeliling di seputar Ciwidey dan Rancabali untuk menyusuri jejak Siluman Merah, Max Salhuteru, Perkebunan Teh Sinumbra, Desa Sukaati, hingga ke wilayah Cipelah, Cianjur.

Rute ini dibuat dengan satu jalur, sehingga seluruh destinasi kami lewati dua kali. Kami bertemu dengan Bu Iwin di perkebunan Sinumbra saat perjalanan pulang. Awalnya di Sinumbra kami hanya melawat ke pabrik dan masjid yang dibangun oleh Max Salhuteru. Mungkin bu Iwin masih bekerja di kebun saat pertama singgah tadi.

Continue reading

Storymaps Momotoran Sumedang 13-04-2024

Oleh Komunitas Aleut

Hari ini, Sabtu, 13 April 2024, kami melakukan kegiatan momotoran pendek saja ke daerah Sumedang. Salah satu tujuan awalnya adalah ingin melihat keramaian suasana arus balik setelah lebaran, tapi ternyata sejak berangkat dari Bandung, sama sekali tidak terlihat kepadatan kendaraan di jalur utama Bandung-Sumedang. Hanya di Cibiru saja ada sedikit kepadatan, selebihnya dapat dikatakan hampir kosong melompok. Semua jalur jalan nyaris lengang.

Berikut ini adalah catatan perjalanannya serta peta sejumlah lokasi yang kami kunjungi https://storymaps.arcgis.com/stories/4fc7cb88f6774dfe89472aed5d6d315a

Catatan Momotoran Sumedang: Dari Cijeruk sampai Gunung Puyuh. 13-04-2024.

Oleh Irfan Pradana Putra

Hari ini, Sabtu, 13 April 2024, kami melakukan kegiatan momotoran pendek saja ke daerah Sumedang. Salah satu tujuan awalnya adalah ingin melihat keramaian suasana arus balik setelah lebaran, tapi ternyata sejak berangkat dari Bandung, sama sekali tidak terlihat kepadatan kendaraan di jalur utama Bandung-Sumedang. Hanya di Cibiru saja ada sedikit kepadatan, selebihnya dapat dikatakan hampir kosong melompok. Semua jalur jalan nyaris lengang. Berikut ini adalah catatan perjalanannya.

Kami berangkat sekitar pukul 08.00 dan langsung menuju ke lokasi pertama di Cinunuk, yaitu lokasi sebuah pin di google maps dengan keterangan “Makam Ki Darman”. Tapi setelah tiba di lokasi, ternyata tidak ada makam di situ, hanya satu area bekas kantor pemerintah yang sepertinya sudah tidak digunakan lagi. Pagar depan terkunci. Di sebelah kiri ada sebuah plang khas pemerintahan yang kurang jelas terbaca dari tempat kami berdiri. Ke belakang, masih ada halaman. Tidak terlihat tanda-tanda keberadaan makam di sini. Lalu, kenapa ada orang yang nge-pin lokasi ini sebagai lokasi makam Ki Darman? Salah pin?

Setelah menelusuri riwayat dalang Partasuwanda melalui cerita dari putranya, Mumun Partasuwanda, yang sudah ditulis di  sini , kami mendapatkan beberapa nama tokoh yang mengawali keberadaan seni wayang golek di Jawa Barat. Di antaranya dalang Dipaguna Permana yang didatangkan oleh Bupati Bandung Wiranatakusumah II (memerintah 1794-1829), lalu Ki Darman, Ki Rumiang, dan Ki Surasungging, yang didatangkan pada masa Bupati Bandung Wiranatakusumah III (memerintah 1829-1846). Semua tokoh tersebut di atas berasal dari Tegal.

Dari empat nama di atas, Dipaguna dan Ki Rumiang yang berprofesi sebagai dalang, sedangkan Ki Darman adalah seorang pembuat wayang, dan Ki Surasungging pembuat alat musik. Yang memelopori pertunjukan wayang dengan bahasa Sunda adalah murid dari Ki Rumiang, yaitu dalang Anting.

Setelah melihat ada pin dengan tag Makam Ki Darman di google map, tentu saja kami merasa perlu untuk mendatanginya dengan harapan bisa melanjutkan potongan-potongan cerita tentang awal perkembangan seni wayang golek di Jawa Barat. Sayangnya, pin itu tidak diletakkan pada posisi yang tepat, sehingga kami tidak menemukannya.

Di sebrang jalan tempat kami kebingungan mencari lokasi yang disebut sebagai Makam Ki Darman itu ada sebuah rumah tua yang letaknya menjorok ke dalam dan di depannya punya jalan masuk sendiri. Di bagian dalam ada beberapa rumah. Kami ke sana mencoba bertanya. Ternyata keluarga ini dari kalangan ulama dan masih berkerabat dengan Hoofd Penghoeloe  Hasan Mustapa . Mereka menunjukkan lokasi makam yang letaknya lebih jauh ke dalam dari lokasi pin yang kami datangi. Untuk ke sana, harus ambil jalan memutar melewati Jalan Pandanwangi. Kalau masuk lebih jauh, bisa ketemu kampus UPI Cibiru.

Tidak terlalu jauh dari mulut jalan, agak menjorok di sebelah kiri jalan sudah terlihat keberadaan kompleks makam. Tidak terlalu besar. Kami masuk melalui jalan tanah lalu parkir di sebuah blok makam kecil yang berpagar dan terpisah dari makam-makam lainnya. Kami menemui seorang bapak yang tinggal di area makam itu. Ternyata beliau sama sekali tidak tahu soal Ki Darman, malah menunjukkan sebuah makam lain yang tidak terurus yang disebutnya sebagai makam Ki Takrim, yang juga seorang dalang dan cukup sering didatangi orang-orang dari jauh untuk berziarah. Nama Ki Takrim tidak ada dalam list kami, tapi si bapak mengatakan bahwa tokoh itu juga termasuk dari kalangan perintis wayang golek.

Makam Ki Dalang Takrim yang sudah tertutup oleh rimbunan tanaman dan alang-alang

Update: Beberapa hari kemudian baru kami temukan informasi yang lebih meyakinkan soal lokasi makam Ki Darman ini, yaitu di Kampung Babakan Sukamulnya RT.03/13, Cinunuk, Cileunyi. Sementara ini kami belum ke sana, mungkin dalam waktu dekat ini.

Continue reading

Toponimi Sapan dan Makna Balong bagi Masyarakat Sunda Tempo Dulu

Oleh: Aditya Wijaya

Balong yang terletak di Kampung (Visscherij En Vischteelt in Nederlandsch Indie)

Belakangan ini timbul rasa penasaran saya, kenapa kebanyakan orang Sunda suka membuat kolam ikan air tawar atau biasa disebut “balong” dalam Bahasa Sunda. Pertanyaan ini muncul ketika saya menonton video mengenai orang-orang Sunda yang bertransmigrasi di Sumatra, Kalimantan, dlsb. Saya perhatikan orang Sunda di daerah transmigrasi umumnya memiliki balong di dekat rumahnya.

Di Bandung dan sekitarnya, cukup banyak rumah makan Sunda yang menggunakan balong sebagai setting tempat rumah makannya. Saya rasa balong, saung dan tempat duduk lesehan sudah melekat menjadi ciri khas rumah makan Sunda. Ciri khas ini sepertinya sudah melekat di alam bawah sadar masyarakat Sunda.

Rasa penasaran ini kemudian bisa sedikit berkurang ketika menelusuri buku-buku lama. Dalam buku “Onderzoek naar de oorzaken van de mindere welvaart der inlandsche bevolking op Java en Madoera” tahun 1905 dari Landsdrukkerij dijelaskan bahwa jumlah kolam ikan air tawar di Jawa Tengah dan Jawa Timur lebih sedikit dibandingkan di daerah Priangan.

Kemungkinan besar penyebaran budaya kolam di wilayah Priangan dapat dijelaskan oleh letak lokasinya yang jauh dari pantai utara yang kaya ikan dan oleh kenyataan bahwa pantai selatan memiliki gelombang yang besar mengakibatkan sulitnya untuk mendapatkan ikan. Karena itu, kebutuhan akan ikan harus dipenuhi dengan cara lain.

Sebelum Reorganisasi Priangan (1872), para regent Priangan menyatakan bahwa penangkapan ikan di sungai-sungai merupakan hak eksklusif. Hak ini hanya dimiliki oleh para regent untuk memuaskan keinginan mereka akan ikan. Oleh karena itu penduduk hanya bisa mengandalkan budidaya ikan buatan.

Penduduk melakukan budidaya ikan ini di kolam buatan ataupun di sawah-sawah. Perkembangan pesat dalam budidaya ikan ini membuat perubahan yang signifikan dalam perekonomian penduduk. Perkembangan pesat ini berkat bimbingan, pelajaran, dan dorongan dari tokoh-tokoh terkemuda dalam masyarakat, seperti Raden Haji Mohamad Moesa dan K.F. Holle. Bahkan K.F. Holle menulis buku-buku panduan untuk budidaya ikan air tawar.

Secara umum, di mana ada lahan luas dan air melimpah memungkinkan orang Sunda untuk menggunakannya sebagai kolam ikan. Kolam-kolam ini selain sebagai sumber untuk mendapatkan ikan sebagai konsumsi mereka, dan biasanya juga digunakan sebagai tempat untuk mandi dan mencuci.

Saluran air yang mengalir ke kolam ditutupi dengan penyekat bambu di tempat masuknya air (dari pancuran) untuk memisahkan bagian lain dari kolam. Sementara, di bawahnya diletakkan beberapa batu datar besar sebagai tempat untuk mandi dan mencuci. Balong juga menjadi sumber pendapatan penduduk dengan cara menanam ikan bibit yang diperlukan untuk budidaya ikan. Biasanya ikan yang dibiakkan berjenis gurame, nila, dan tawes.

Continue reading

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑