Month: March 2024

Kaburnya Candi Bojongemas

Oleh Komunitas Aleut

Hari Minggu kemarin, untuk ke sekian kalinya, kami mampir lagi ke lokasi puing-puing Candi Bojongemas yang terletak di tepi Jalan Babakan Patrol, Desa Bojongemas, Kecamatan Solokanjeruk, Kabupaten Bandung. Dari foto-foto kunjungan selama ini terlihat kondisi saat candi belum berpagar, kemudian diberi pagar, dan sekarang pagarnya hilang. Plang yang terpasang di depan pun kondisinya mengenaskan, semua bidang mukanya habis oleh karat. Harus mau bersusah payah untuk coba membacanya.

Sudah sedari awal pun sebenarnya kami tahu soal ketiadaan informasi mengenai keberadaan candi ini, tapi ya tidak membuat situs ini jadi harus diskip dari perhatian. Dari pengalaman selama ini, bila kebetulan lewat jalan ini, ya pasti berhenti mampir sebentar, melihat-lihat lagi, walaupun pasti tidak akan ada informasi tambahan yang akan kami dapat. Jadi yang dimaksud dengan kabur pada judul di atas adalah ya informasinya.

Dua foto di atas adalah kondisi Candi Bojongemas pada saat kami berkunjung, 10 Maret 2024. Foto Komunitas Aleut. Pada cuplikan peta di bawahnya tertera nama Bodjongomas. Sialnya, pada saat memotong bagian yang diperlukan malah terlupa menyalin judul petanya. Nanti bila sudah ketemu akan kami cantumkan sumbernya.

Pulang dari perjalanan momotoran ini, iseng lagi browsing sana-sini tentang Candi Bojongemas, paling tidak, niatnya hanya ingin mengumpulkan atau mencatat ulang apa yang pernah ditulis orang dan dipublikasikan, baik di internet ataupun di buku-buku. Anggap saja bagian dari kerja pengumpulan data awal, ya walaupun hanya sekadar.

Dari internet, masih ketemu berita yang itu-itu juga, seputar kondisinya yang semakin memprihatinkan dan kekurangtanggapan pihak terkait untuk mengurusnya. Dugaan yang pernah diajukan mengenai latar belakang keberadaan candi ini dimention juga sedikit-sedikit, walaupun tidak banyak berarti. Misalnya soal periodenya yang mungkin semasa dengan Kerajaan Tarumanagara, atau kemungkinan keterhubungannya dengan Kerajaan Kendan dan Candi Bojongmenje di Desa Cangkuang, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung.

Mengenai penemuannya, tidak ada catatan angka tahun yang cukup jelas, namun dari cerita yang banyak diulang, disebutkan ditemukan di dalam sungai Ci Tarum pada saat pengerjaan pelurusan sungai itu, bisa jadi penemuannya berlangsung pada awal tahun 2000-an. Wartawan Kompas, Cornelius Helmy, yang menulis artikel dengan judul “Sungai Cikapundung; Rumah bagi Tiga Peradaban,” dan muncul pada HU Kompas edisi 9 Oktober 2010, menyebutkan: Jawa Barat ternyata juga memiliki tinggalan percandian. Pada 1984, ditemukan sejumlah candi di Jabar, seperti Batujaya dan Cibuaya di Karawang. Bojongmenje dan Bojongemas di Kabupaten Bandung menyusul pada 2002. Batujaya dikatakan sebagai yang tertua di Jawa dan Candi Bojongmenje dan Bojongemas diyakini berasal dari zaman yang sama dengan candi tua di kompleks Dieng.

Pada bagian lain tulisan itu: Buktinya adalah penemuan Candi Bojongmenje di Cicalengka dan Bojongemas di Solokanjeruk, Kabupaten Bandung. Candi ini sebagian ahli memperkirakan dari abad ke-7 M. Ada juga penemuan arca di sekitar Kebun Binatang Bandung, diduga dari era yang sama.

Ada juga yang mengatakan bahwa keberadaan candi itu sudah diketahui oleh masyarakat pada sekitar tahun 1980-an, seperti yang ditulis di Tribun Jabar ini. Repot juga sih, penemuannya yang baru berselang beberapa tahun ke belakang saja begitu sulit mendapatkan informasinya, apalagi soal kapan didirikannya dan bagaimana keberlangsungannya hingga akhirnya berada di tengah aliran Ci Tarum sebagaimana yang juga disampaikan di Tribun Jabar di atas.

Dulu ada warga lokal bernama Pak Adam yang mengetahui banyak soal penemuan dan hal-hal yang berhubungan dengan batuan candi, termasuk proses pemindahannya dari dalam sungai ke tepi jalan, namun beliau telah wafat beberapa tahun lalu dan tak ada yang menyimpan ingatan tentang cerita-cerita yang diketahui oleh Pak Adam. Hanya seorang warga lokal lain yang masih ingat sedikit-sedikit, misal bentuk awal susunan batuan candi tersebut seperti yang disampaikannya kepada Kompas.

Plang candi yang sudah lama mulai menunjukkan karat, akhirnya habis juga semua permukaannya. Tulisan di atasnya semakin kabur, semakin sukar dibaca, membuat pemandangan situs ini semakin aneh: tumpukan batuan yang entah apa ceritanya dan plang atau papan informasi yang entah apa isi tulisannya.

Dari arsip foto lama yang kami punya, kami salinkan saja di sini tulisan utamanya:

Sejarah: Candi Bojongemas yang selama ini dikenal masyarakat, sebenarnya dahulunya merupakan bangunan Pasaduan yaitu tempat yang dianggap suci dan sangat disakralkan oleh pemeluk ajaran Kandaan penganut mayoritas masyarakat Sunda, ada pun tokoh ajaran Kandaan adalah Rajaresiguru Manikmaya seorang Waisnawa (penganut agama Syiwa). Sebagai bukti telah ditemukannya arca Durga Nahesasuramardini, penduduk setempat menyebutnya Arca Putri yang sampai sekarang tersimpan di Museum Nasional Jakarta.

Sedikit informasi lain kami dapatkan dari buku Profil Peninggalan Sejarah dan Purbakala di Jawa Barat; Dalam Khasanah Sejarah dan Budaya (Edisi Revisi). Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, 2011. Pada bagian yang khusus membahas tentang Candi Bojongmenje sebanyak tiga setengah halaman, paragraf terakhirnya ternyata mengenai Candi Bojongemas, namun hanya begini bunyinya: Runtuhan bangunan candi juga ditemukan di Kampung Sukapada, Kelurahan Bojongemas, Kecamatan Solokan Jaya. Lokasi ini berada di tepi barat Sungai Citarum Lama. Batu-batu candi ini dipindahkan karena di lokasi tersebut dilakukan pelurusan sungai. Bagian candi yang masih tersisa adalah pipi tangga, ambang pintu, dan balok-balok batu yang kemungkinan merupakan bagian tubuh candi. Ya segitu saja.

Dari sebuah jurnal yang ditulis oleh Endang Widyastuti (Balai Arkeologi Bandung) dengan judul “Di Situs Indihiang Kota Tasikmalaya” dan dimuat dalam majalah Purbawidya Vol. 6, No.1, Juni 2017, disebut nama Candi Bojongemas satu kali, demikian … “Beberapa tinggalan yang telah diyakini sebagai bangunan suci atau candi yang telah tercatat adalah kompleks percandian Batujaya, Cibuaya, Cangkuang, Bojongmenje, Candi Ronggeng, Batu Kalde, dan Bojongemas. Bangunan-bangunan suci tersebut selain kompleks percandian Batujaya dan Cibuaya yang diyakini berasal dari masa Kerajaan Tarumanegara, kemungkinan berasal dari masa Kerajaan Sunda.” Jadi ada dugaan periodenya dari masa Kerajaan Sunda, namun tidak ada rincian lebih lanjut tentang ini.

Masih dari Endang Widyastuti, kali ini dalam sebuah hasil penelitian berjudul “Bentuk dan Pola Bangunan Suci Masa Hindu Buddha di Jawa Barat Bagian Timur” yang dimuat dalam Ringkasan Hasil Penelitian Balai Arkeologi Jawa Barat Tahun 2019. Demikian kutipannya: Lokasi-lokasi yang ditengarai menyimpan tinggalan berupa bangunan suci tersebut diantaranya Candi Bojongmenje, Candi Ronggeng, Batu Kalde, Bojongemas, dan Lingga yoni Indihiyang. Bangunan-bangunan tersebut diyakini sebagai bangunan suci meskipun ditemukan dalam kondisi yang sudah runtuh berdasarkan adanya temuan berupa arca nandi, lingga, yoni, atau gabungan dari arca-arca tersebut serta beberapa bongkah batu yang menunjukkan adanya bekas pengerjaan. Adanya arca-arca tersebut mengindikasikan adanya bangunan suci di lokasi tersebut, meskipun secara untuh bentuk bangunan belum terungkap. Ada penjelasan tambahan untuk Candi Bojongemas, yakni sebagai sebuah bangunan suci, mungkin sama maksudnya dengan istilah Pasaduan seperti yang tercantum pada plang Situs Candi Bojongemas.

Untuk menambah ketidakjelasan, di plang itu ada tertulis ditemukannya arca Durga Nahesasuramardini, penduduk setempat menyebutnya Arca Putri yang sampai sekarang tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Kami coba cari informasi tentang arca ini, tapi tidak ada yang cukup meyakinkan, yang jelas ejaan umum untuk nama itu adalah Durga Mahisasuramardini dan bukan Nahesasuramardini. Ya mungkin salah ketik saja.

Website wikipedia mempunyai satu halaman sendiri tentang arca Durga yang pernah ditemukan, tapi dari daftar yang ada, tidak ada yang dari sekitar Bandung. Di situs KITLV ada foto sebuah arca Durga dengan keterangan dari Bandung dan sudah dipindahkan ke Museum van het Bataviaasch Genootschap voor Kunsten en Wetenschappen te Batavia (sekarang Museum Nasional), namun tidak ada rincian lebih lanjut tentang nama lokasi yang lebih spesifik. Foto ini dibuat oleh Isidore van Kinsbergen sebelum tahun 1900. Dari keterangan yang ditulis oleh Junghuhn (1844), sepertinya patung Durga ini adalah yang ditemukannya di daerah pergunungan utara Bandung, di suatu tempat bernama Pamoyanan, tidak jauh dari Cipanjalu.

Arca Durga dari Pamoyanan, dekat Cipanjalu. KITLV 87628. Foto oleh Isidore van Kinsbergen, sebelum 1900. Caption asli: Beeld van Doerga afkomstig uit Bandoeng, overgebracht naar het Museum van het Bataviaasch Genootschap voor Kunsten en Wetenschappen te Batavia.
Arca Durga yang disebut berasal dari Tenjolaya, Cicalengka. Caption asli: Beeld uit Tendjolaja bij Tjitjalengka bij Bandoeng. KITLV 162754. Circa 1890.

Masih dari situs KITLV, ada satu foto arca Durga lainnya yang diberi keterangan “dari Tjitjalengka.” Foto ini sudah sering kami lihat dalam buku karya Haryoto Kunto, Semerbak Bunga di Bandung Raya (Granesia, 1986) dan disebutkan berasal dari Desa Tenjolaya, Cicalengka. Tentang arca ini tercatat juga dalam laporan N.J. Krom, pada nomor 115 dan 116.

Pada nomor 115 dari Cicalengka, disebutkan: Di halaman tempat kediaman kontrolir (dahulu) sebuah patung batu Polynesis kasar batu, mungkin berasal dari Tenjolaya. Sedangkan nomor 116 dari Tenjolaya dengan informasi awal dari katalog Verbeek nomor 58: Bekas-bekas tangga dan terras dari tanah, pada bagian teratas terdapat tiga alas kaki dan patung-patung. Salah satu dari patung-patung tersebut kini terdapat di Cicalengka (no 115). Dari desa ini terdapat juga sebuah kala dari batu, kini disimpan di Museum Pusat Jakarta; dari koleksi penggalian purbakala yang dikirim kesana itu terdapat patung Durga dari batu, tasbih, cincin mas, kalung, pecahan mas, senjata-senjata dari besi, kepingan arca batu dari sebuah bangunan, tempat penemuannya disebut “Warung Peuteuy”. Dari tempat tersebut ditemukan juga sisa-sisa bangunan diduga dari tempat yang sama ialah bukit Pamuruyan; dimana terdapat juga sebuah patung dan sebuah cincin.

Dari situs wikimedia commons, ada satu foto arca Durga dengan caption: Durga Mahisasuramardini, Dampiang, West Java, 8-9th c, National Museum, Jakarta, Java (By Photo Dharma from Sadao, Thailand – 091P1010349 Durga Mahisasuramardini, Dampiang, West Java, 8-9th c, CC BY 2.0, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=50791558). Dari hasil penelusuran internet, ditemukan foto arca yang sama  dengan keterangan asal dari Damping, sebuah nama tempat di Losari, Cirebon.    Dari catatan-catatan di atas, tidak ada informasi tentang arca Durga dari Bojongemas. Mungkin satu saat nanti perlu mencari dan melihat langsung ke Museum Nasional.

Yang menarik, saat menelusuri informasi arca ini malah ketemu satu artikel dari situs Pemerintah Kabupaten Bandung yang menyebutkan keberadaan batu prasasti Candi Bojongemas. Disebutkan bahwa prasasti itu ditemukan di dasar sungai Ci Tarum, dengan kondisi tulisan yang sudah tidak terbaca. Saat ini prasasti disimpan oleh salah seorang warga Kampung Sapan. Informasi mengenai batu prasasti ini, ya lebih gelap lagi. ***

Continue reading

Sekitar Bandung Lautan Api: “Kompi Istimewa Hutagalung”

Oleh: Komunitas Aleut

Dari sebuah buku berjudul Kereta Terakhir; Memoar Gadis Djoang yang ditulis oleh Oetari (Gramedia, Jakarta, 2015), saya menemukan satu nama yang selama ini jarang disebut dalam kisah-kisah masa Revolusi Kemerdekaan RI di Bandung. Dalam buku ini namanya disebut sebagai Kapten Hoetagaloeng. Kapten adalah pangkatnya dalam kemiliteran, sedangkan Hoetagaloeng atau menurut ejaan baru, Hutagalung, adalah nama marga suku Batak dari Sumatra Utara. Sedangkan nama dirinya, sepembacaan saya, tidak pernah disebut.

Kapten Hutagalung semula adalah seorang pedagang di daerah Cijerah. Pada masa awal revolusi, 1945, ia membentuk dan memimpin satu kelompok perjuangan bersenjata setaraf kompi dan bermarkas di sekitar perbatasan antara Bandung-Cimahi. Dalam buku memoar tersebut, pasukan ini sering disebut sebagai Kompi Istimewa Hutagalung. Dalam mengelola pasukannya, Hutagalung dibantu oleh Letnan Anang, seorang mantan guru sekolah dasar.

Hutagalung memanfaatkan sebuah bangunan bekas sekolah di Desa Warung Muncang, di persimpangan jalan raya dengan Andir, sebagai markas pasukannya. Pada waktu itu disebutkan bahwa lokasi ini terletak sekitar 3 kilometer dari Bandoeng. Bermarkas di tempat ini tidak selalu aman, apalagi lokasi ini tidak begitu jauh dari lapangan terbang Andir yang saat itu berada dalam kekuasaan tentara Sekutu. Mencari lokasi bekas sekolah ini sekarang ternyata tidak mudah juga. Bangunan-bangunan kebanyakan sudah berganti, begitu pula dengan penghuni kawasan, kebanyakan sudah orang baru.

Continue reading

Catatan Momotoran: Dari Pasir Rumbia Sampai Selakaso

Oleh: Aditya WIjaya

Penelusuran ini berawal dari satu paragraf catatan kaki dalam buku “Preanger Schetsen” karya P. De Roo De La Faille. Berikut keterangan dalam catatan kaki di buku tersebut:

Preanger Schetsen 1895 (halaman 12)

“Mungkin representasi ini adalah suatu “keterlibatan yang sangat kontroversial”: para pertapa umumnya tinggal di dalam gua. Namun, mengingat bahwa di pegunungan di sekitar sini tidak banyak gua atau setidaknya sangat jarang; mengingat bahwa di sini kita menemukan jejak-jejak penghormatan terhadap dewa, maka saya cenderung mengambil contoh desa di pegunungan, seperti yang masih sering kita temukan, misalnya di Pasir Roembija, di mana terdapat lonceng-lonceng kuil dan sebagainya.”

Terdapat informasi mengenai sebuah desa di pegunungan yang memiliki benda-benda purbakala seperti lonceng kuil dan lain sebagainya. Desa tersebut bernama Pasir Rumbia. Dari keterangan ini saya coba mencari lokasi persisnya lewat peta lama. Tak sulit menemukan lokasi pasti desanya, hingga akhirnya awal Oktober 2023 kami melakukan Momotoran ke sana.

Di Desa Rumbia terdapat sebuah mata air yang disakralkan oleh warga dan terdapat juga makam keramat. Sebenarnya tujuan kami bukanlah desanya tetapi Pasir Rumbia atau dalam Bahasa Indonesia artinya Bukit Rumbia. Menuju lokasi Pasir Rumbia medannya sulit karena kami harus mendaki bukit yang jalannya curam.

Untunglah ada jalan untuk motor dapat naik ke bukit itu pun hanya cukup untuk satu motor saja. Motor kami parkirkan di sisi bukit. Kata pertama yang saya ucapkan di posisi parkiran tersebut adalah “spektakuler”. Di depan saya terhampar sebuah pemandangan yang saya rasakan memang spektakuler, ada banyak undakan seperti teras yang tingginya sekitar 1-2 meter dengan batu kali sebagai penyusunnya. Batu kali ini banyak sekali, rasanya tak mungkin ada orang yang iseng menyusun banyak sekali batu-batu tersebut. Jika berfungsi sebagai tanggul, pondasi atau terasering untuk bercocok tanam rasanya kok tidak mungkin juga, karena lebar teras antar undakan terlalu pendek.

Undakan batu di Pasir Rumbia (Komunitas Aleut)
Undakan batu yang berada di punggung bukit sebelah kiri foto ini, saat kami datang digunakan untuk berladang. Tidak ada tanda-tanda untuk dibuka juga. Hanya punggungan sebelah kanan ini saja yang dibuka untuk berladang (Komunitas Aleut)

Apakah mungkin Pasir Rumbia dahulunya merupakan punden berundak yang berfungsi sebagai tempat peribadatan orang-orang di masa lampau? Inilah pendapat yang terus saya pikirkan saat berada di Pasir Rumbia. Berdiri di atas bukit dengan pemandangan yang luas ke arah barat, rasa-rasanya jika membayangkan sebuah tempat peribadatan masa lampau di Pasir Rumbia tidak ada salahnya. Lokasinya cocok betul!

Setelah selesai Momotoran dan sampai di Bandung, seperti biasa saya kembali mengulang atau mencari kembali materi-materi seputar Momotoran. Ternyata ada koreksi informasi seputar Pasir Rumbia. Barang-barang purbakala seperti lonceng kuil dan lain sebagainya terletak bukan di Pasir Rumbia melainkan di Desa Selakaso. Informasi ini saya dapatkan dalam:

Notulen van de Algemeene en Directie-vergaderingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.

Tahun 1894:

“Bahwa dia telah menerima surat dari anggota, Tuan P. de Roo de la Faille, calon pengawas di Tjitjalengka, tertanggal 21 Mei, yang berisi hal-hal berikut:

Selama verifikasi di lokasi di distrik Madjalaja, kami – Tuan de Graaff dan saya – di desa Selakaso, dekat pasir Roembija, tidak jauh dari Tjitaroem, menemukan beberapa senjata kuno. Senjata-senjata ini disimpan oleh seorang koentjen di sebuah saoeng yang cukup tinggi, berdiri di atas tiang, yang dapat diakses dengan tangga. Di dalamnya, kami menemukan: tiga lonceng kuil, disimpan dalam dua kotak bambu sederhana yang teranyam; dari salah satu lonceng tembaga, pegangannya berbentuk naga atau figur naga yang cukup bagus; selanjutnya, dibungkus dalam kulit daloewang, sebuah kris, sebilah klewang, sebilah pisau tembaga kasar, tujuh tombak yang kasar dengan sarung kayu mereka, dan sebuah ujung tombak yang dihiasi dengan beberapa helai daun emas; dan akhirnya dua lela tembaga berukuran sekitar 0,80 meter, dengan mulut lebih dari 1 cm diameter, bersama dengan yang ketiga yang lebih kecil, yang kurang dari 3 dm panjangnya: lela-lela ini memiliki tonjolan runcing di bagian bawahnya (mungkin untuk menopang meriam atau menancapkan ke tanah?). Selain itu, ada juga sebuah bak kayu berbentuk panjang yang tampaknya digunakan untuk gambang kayu.

Koentjen awalnya mengklaim tidak tahu benda-benda ini milik siapa; kemudian ia menyebutkan nama-nama pemukim terdahulu yang dikuburkan tidak jauh dari saoeng di bawah kiara tinggi, yaitu Embah Roembija, E. Anggem, E. Djagaraksa, E. Djagajoeda, dan E. Hadji Doerahman, tetapi nama-nama yang tidak bermakna ini tidak layak mendapat perhatian yang besar. Selain itu, ia tidak tahu atau tidak mau memberikan informasi lebih lanjut; ia mengklaim tidak memiliki piagem atau tulisan-tulisan kuno lainnya. Menurut Patih Tjitjalengka, kepercayaan rakyat mengatakan bahwa semua ini pernah dimiliki oleh Kjai Hjang Santang, sebelum putra kerajaan Padjadjaran ini memeluk Islam; makamnya – dikenal sebagai “Soennan Godog” terletak di Limbangan, dalam distrik Soetji.”

Peta tahun 1919 oleh Army Map Service U.S. (oldmapsonline)

Tahun 1906:

Pada bulan Juli yang lalu selama saya berada di Madja Laja, saya mendengar bahwa di Sela Kaso, di bawah kecamatan Patjet, Preanger-Regentschappen, ada beberapa benda purbakala logam dari zaman Hindu yang dijaga oleh seseorang bernama Pa Arsah. Penelitian lokal menunjukkan bahwa benda-benda tersebut meliputi:

1 Patung Akshobhya yang indah dari perunggu.

5 lonceng doa dengan pegangan yang berbeda, disebut Sangjang Këling.

4 senjata pukulan.

4 ujung tombak, salah satunya dihiasi dengan emas.

2 pisau belati.

1 kris.

1 pisau.

3 lonceng kecil.

1 tongkat besi, disebut entjis.

2 gunting pinang besi.

3 meriam tembaga.

Masih ada sebilah kropak yang harusnya ada, yang pada tahun 1902 dibawa oleh Wadana dari Tji-keulang ke Bandoeng. Terkait dengan barang-barang purbakala ini, saya diberitahu:

“Te djaman baheula doemoegi ka ajeuna dismipènan dina hidji saoeng sapertos papangopengan de Roembia.”

Mereka masih disimpan di sini sampai sekarang.

Awit ti nalika ratoe boeda djoemënèngan Ratoe Manabaja doemoegi kana sapoeloeh padjënëngan anoe masih kawëngkoe koe alam agama boeda.

Dëwi djënënganana pararatoe anoe sapoeloeh toeroenan teja, ijeu kasebat di handap:

Ratoe Maharadja Intën djadi radja Manabaja

(kediamannya saat ini di G. Poetri bjj Tji-panas, Garoet)

Kagëntos koe

Sangjang Wiroena njoeroepna Batara Wisnoe

Kagëntos koe

Ratoe Rawana

Kagëntos koe

Praboe Manabaja

Kagëntos koe

Praboe Boedjangga Lawa

Kagëntos koe

Praboe Poespa Lawa

Kagëntos koe

Praboe Hanjang djamboel poetih (dengan lambang putih)

Kagëntos koe

Praboe Wastoe Agoeng

Kagëntos koe

Praboe Radja Agoeng

Kagëntos koe

Praboe Panglimanan

anoe parantas islam. Itulah beberapa catatan informasi yang berhasil saya dapatkan mengenai Desa Selakaso. Semoga dapat kesempatan untuk berkunjung ke Selakaso, mencari jejak-jejak masa lampau yang mungkin saja terlupakan.

Peta awal abad 19 oleh Bik. Selakaso ditunjukan oleh panah warna merah (Nationaal Archief)

***

Storymaps Catatan Perjalanan Momotoran Cililin

Oleh Fikri Mubarok Pamungkas

Tulisan ini postingan ulang dari aslinya yang berupa storymap di situs online arcgis.

Pada hari Minggu, 3 Maret 2024 pagi itu sinar mentari tak menampakan wajahnya. Saya mengikuti kegiatan reguler Aleut yang biasa dilakukan rutin sertiap minggu. Kegiatan kali ini yaitu momotoran menyusuri daerah Cililin Kabupaten Bandung Barat untuk melihat peninggalan Stasiun Radio NIROM Cililin, selain itu juga pengenalan beberapa kawasan seperti Jatisari, Cibodas, Situwangi, Kp. Baru, Kidangpananjung, Walahir, Wisata Langit Gantole, dan seterusnya menuju Cililin.


Ide perjalanan ini sebetulnya telah disusun dua minggu lalu, namun baru minggu ini bisa melakukan perjalanan karena ada satu dan lain hal yang mengakibatkan diundur. Awal perjalanan dimulai dari SE Aleut melewati padatnya jalan M. Toha, Kopo, hingga Soreang. Setelah itu berbelok ke arah kanan menuju Desa Jatisari, suasana mulai berbeda rumah-rumah berderet berganti menjadi perbukitan di sebelah kiri, sedangkan di kanan jalan terdapat area pesawahan khas perdesaan.

Tanjakan yang terletak di Desa Jatisari, Tanjakan ini merupakan awal dimulainya perjalanan kami yang akan menyusuri naik turun pebukitan. Komunitas Aleut, 2024.

Perjalanan berlanjut menyusuri Desa Jatisari dan sampailah kami dihadapkan dengan tanjakan-tanjakan yang lumayan panjang dan berkelok kelok. Untungnya jalanan bagus telah diaspal sehingga cukup membantu untuk melewatinya, tapi tetap saja harus berhati-hati. Tanjakan ini merupakan titik awal perjalanan kami yang segera akan naik turun perbukitan. Saya mengikuti rekan yang berada di depan untuk berhenti menunggu kawan-kawan yang tertinggal di belakang, maka saya sempatkan untuk mengambil beberapa foto. Tempat kami berhenti merupakan area pertigaan, jika melihat ke jalur sebelah kiri sepertinya jalur menuju perkebunan warga setempat yang belum diaspal, hanya tanah dan rerumputan.

Perjalanan tidaklah mudah, kami dihadang oleh jalan penuh lumpur dan genangan air yang tentunya licin dan membuat motor kami kepayahan melewatinya. Komunitas Aleut, 2024.

Memasuki wilayah perkampungan, saya melihat warga berlalu lalang beraktivitas yang mungkin kebanyakan berprofesi sebagai penggarap ladang. Tak banyak rumah yang dilewati di sana hanya beberapa saja. Jalanan pun cukup sepi kami tak banyak berpapasan dengan pengendara lain, tak heran juga karena orang yang mau lewat sini mestilah yang punya tujuan khusus, kalo engga, mana ada orang lewat, lokasinya agak terpencil.

Saya tercengang seketika melihat jalur di depan dipenuhi lumpur dan genangan air. Bagaimana tidak, kami yang hanya menggunakan motor standard melewati jalur seperti ini sudah dipastikan akan kesulitan. Dengan usaha bahu membahu tolong menolong satu sama lain, kami pun dapat melewatinya. Dengan bekerjasama saat melewati genangan air dan lumpur yang licin satu demi satu motor didorong supaya melaju kembali. Belakangan mendengar beberapa cerita, katanya memang jalur ini adalah jalur khusus motor trail. Jalur lumpur ini tidak terlalu panjang, namun tetap saja cukup menguras tenaga.

Saat hendak menyerah, seorang petani di lembah menyemangati: Sayang, Pak, ga jauh lagi udah nyampe dataran di atas, setelah itu jalannya beton semua. Komunitas Aleut, 2024.

Kami berhenti sesaat di tengah jalur yang masih berlumpur, sembari menunggu rekan yang masih di belakang, kami membersihkan outsol sepatu yang penuh dengan tanah. Saat saya membersikan sepatu tiba-tiba terpeleset di rumput yang licin. Sontak membuat rekan melihat ke arah saya yang tengah terduduk di rerumputan. Saat Teh Rani mengulurkan tangannya untuk membantu, eh malah jadi teringat kejadian beberapa minggu sebelumnya ketika momotoran ke daerah Kutawringin, waktu itu saya terpental saat mencoba menahan motor Adit yang tidak bisa menanjak. Hanya saja waktu itu Insan yang mengulurkan tangan untuk menolong. Kedua momen ini terekam pula dalam foto. Jadinya seperti reka ulang kejadian saja haha. Saya mudah terjatuh karena lutut sebelah kanan saya sedang mengalami cedera ACL (Anterior Cruciate Ligament), sehingga tidak kuat dijadikan tumpuan atau saat menahan beban berat.

Setelah lewat jalur trail kami sampai di rest area di atas, sebuah dataran tidak terlalu luastempat biasa para pengendara motor trail beristirahat. Benar saja, tak lama kami duduk beristirahat para pengendara motor trail berdatangan. Dari kejauhan sudah terdengar suara motor trail, seketika saya mengikuti rekan Aleut yang melihat ke arah jalan untukmelihat pengendara motor trail begitu mudah melewatinya berasa jalur tak ada halangan yang sulit. Berbeda dengan kami yang menggunakan motor standard, kebanyakan menggunakan motor matic pula. Sembari beristirahat di sebuah saung, sementara beberapa rekan Aleut yang lainya membeli air mineral dan jajan di warung parapatan Ibu Adah. Saya mendengar cerita dari rekan yang telah mengobrol di warung, ternyata jalur ini merupakan jalur motor trail yang dengan sengaja tidak diaspal oleh pemerintah desa setempat. Tempat kami beristirahat ini terletak di Kampung Baru perbatasan antara Desa Cibodas dan Desa Jatisari.

Atas: Pertigaan menuju Puncak Batu Nini. Bawah: Puncak Batu Nini. Komunitas Aleut, 2024.

Perjalanan kami lanjutkan menuju Gunung Buleud, dengan tujuan Puncak Batu Nini. Sesampainya di pertigaan jalur Gunung Buleud, Batu Karut, dan Puncak Batu Nini, kami lihat ada beberapa petani dan di belakangnya ada sebuah saung kosong. Seperti biasa, kami sempatkan untuk bertegur sapa sambil bertanya ini-itu seputar Gunung Buleud dan kawasan setempat. Menurut bapak-bapak tanu itu Puncak Batu Nini sempat menjadi objek wisata yang viral, selalu dipenuhi kunjungan wisatawan setiap akhir pekan. Sambil bercerita itu, tangannya menunjuk ke sana-sini juga menggambarkan bagaimana padatnya kendaraan memenuhi hampir seluruh ruas jalan di sekitar waktu itu. Selain ke Puncak Batu Nini, Ada juga orang-orang yang khusus datang untuk berziarah ke Batu Karut. Mereka berjalan kaki dari arah kampung lalu dari pertigaan ini memutari Gunung Buleud dari arah sebelah kiri. Fenomena batu yang terlilit oleh akar-akar pohon tua itu dikeramatkan oleh sebagian orang.

Setelah mengobrol dengan bapak-bapak tani itu, kami berdiskusi apakah akan melanjutkan perjalanan menuju Puncak Batu Nini atau tidak, dan siapa saja yang ikut naik ke atas. Alhasil kelompok terbagi beberapa orang yang naik ke atas, ada juga yang menunggu di saung warga, dan ada juga yang ikut naik namun tidak sampai ke Puncak Batu Nini. Menurut penuturan bapak tadi memang lokasi Puncak Batu Nini sudah tidak jauh lagi, tapi ya namanya omongan warga setempat, tentunya berbeda dengan apa yang kami bayangkan.

Jalur menuju Puncak Batu Nini tidaklah mudah, karena sebagian besar telah tertutupi oleh ilalang rerumputan liar menghalangi jalan. Jalur jalan setapaknya berbatu dan sebagian lagi tanah, sehingga membuat jalan licin dan tentu saja menambah sulit perjalanan. Saya sampai beberapa kali harus merayap berpegangan keakar-akar dan rumput di sampingnya agar tidak tergelincir. Mungkin sudah beberapa bulan tidak ada lagi orang yang melewati jalur ke Puncak Batu Nini ini. Di atas sebenarnya ada beberapa warung yang dari penampilannya sih sepertinya masih buka, namun kebetulan saat itu tutup. Ada juga warung sudah tidak digunakan lagi dan hanya menyisakan rangkanya saja. Dapat dibayangkan dulu ramainya wisata Batu Nini ini, menurut beberapa berita, saat ramai dahulu, jalur ini juga digunakan oleh para pesepeda.

Akhirnya setelah melewati track menanjak dan licin, sampai juga di atas Puncak Batu Nini. Dari atas sini, terhampar pemandangan yang menakjubkan. Semilir angin merasuki badan serta rasa takjub melihat batu begitu besar diatas bukit Gunung Buleud. Mungkin ini yang dirasakan seorang naturalis Jerman di Tanah Priangan yang melakukan perjalanan menuju Cililin (Distrik Rongga) menyusuri lereng Gunung Buleud. Dapat dibayangkan kondisi wilayah di sini dahulu, sebagaimana diceritakan dalam tulisan tentang Ekspedisi Novara saat mengunjungi batu besar berbentuk kerucut ini dahulu. Cerita lebih banyak tentang ekspedisi ini bisa dibaca di bukunya Muhammad Malik ar Rahiem, Naturalis Jerman di Tanah Priangan (Layung, 2021).

Begini pemandangan dari warung di atas Venue Gantole. Ga ada kompas, ga ngecek arah juga,foto atas ada di sebelah kanan, dan foto bawah ada di sebelah kiri kami. Komunitas Aleut, 2024.

Melanjutkan perjalanan, kami sampai di Venue Gantole. Tempat ini sempat dijadikan lokasi penyelenggaraan perlombaan PON Jawa Barat 2016. Tapi kini gedung tempat para atlet paralayang itu terlihat sudah tak terurus. Dindingnya banyak ditumbuhi lumut dan tumbuhan liar. Hanya tempat wisata Langit Gantole yang berada di sebelahnya yang masih cukup ramai dikunjungi. Suasana di area Venue Gantole saat kami datang terlihat sepi, warung-warung masih buka, tapi tidak banyak tamu. Kami memilihi salah satu warung untuk tempat istirahat sebentaran, sambil menikmati pemandangan menyejukkan mata yang terbentang luas di depan mata: hamparan sawah bertingkat-tingkat, perbukitan, dan Waduk Saguling yang ujung-ujungnya seperti akar serabut menjorok ke kaki-kaki bukit.

Perjalanan selanjutnya mestinya mengunjungi peninggalan Stasiun Radio NIROM Cililin, tapi ternyata hari itu bangunan bekas stasiun radio tersebut sedang digunkan acara oleh sebuah paguyuban di Cililin, parkiran pun tumpah ke jalanan. Akhirnya kami putar balik ke SMAN 1 Cililin. Setelah mendapatkan izin penjaga, kami pun masuk ke dalam lingkungan sekolah. Berkeliling ke seluruh bagiannya, termasuk ke dalam ruangan bekas kantor staf stasiun radio yang sempat digunakan sebagai rumah tinggal oleh Westerling pada tahun1950-an. Kini bangunan tersebut dijadikan ruang tata usaha dan ruang kepala sekolah.

Dua foto di atas diambil di dalam kompleks SMAN 1 Cililin. Komunitas Aleut, 2024.

Ruangan-ruangan di dalam bangunan di kompleks ini terasa cukup sejuk. Beberapa bangunan tampak sudah berganti rupa, sementara interiornya masih dipertahankan keasliannya. Jendela-jendela yang masih menggunakan yang lama. Selain itu, kami melihat beberapa foto lama yang dipajang di dinding tembok. Mengenai Cililin, saya menemukan sebuah novel yang menceritakan kisah menarik di Cililin, judulnya The Belle of Tjililin. Novel karya Soeka Hati ini diterbitkan oleh Tan’s Drukkery tahun 1934, yang beralamatkan di Surabaya. Isinya kisah cinta klasik dengan latar masyarakat heterogen. Diceritakan kondisi sosial masyarakat di Jawa Barat tahun 1920-1930-an, terkhusus di wilayah Cililin yang penduduknya digambarkan sebagai pembuat minyak dari kacang yang katanya terbaik di Jawa Barat. Selain itu, tergambarkan juga bahwa masyarakat Cililin merupakan masyarakat yang religius dan taat beragama.

Diskusi di ujung perjalanan, di Saung Lalakon. Komunitas Aleut, 2024.

Setelah menempuh perjalanan menyusuri Cililin, kami melintasi kawasan padat ramai di Cihampelas, sebuah kecamatan bagian dari Kabupaten Bandung Barat yang penduduk dan lingkungannya terasa lebih modern. Dalam perjalanan pulang, kami mampir ke rumah makan Saung Lalakon yang terletak di kaki Gunung Lalakon. Kami memilih tempat di area bawah, tempat duduk lesehan di atas panggung yang di bawahnya ada kolam ikan. Sembari menunggu pesanan datang, kami bertukar cerita pengalaman perjalanan yang telah dilalui, karena dari setiap perjalanan tentunya ada sebuah pelajaran yang dapat dipetik untuk bekal hidup yang lebih baik. Seperti dalam tulisan yang kami lihat tertera di dinding SMAN 1 Cililin tadi: Guna Wulang Gapuraning Rahayu. ***

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑