Berikut ini adalah artikel dari Gerrit Hendriks (1890-1945) tentang Rumah Potong Hewan di Jalan Arjuna, Bandung, yang kami terjemahkan dari majalah Locale Techniek, volume 5 Tahun 1936. Gerrit Hendriks bekerja sebagai arsitek untuk biro pembangunan Gemeente Bandoeng sepanjang tahun 1929-1942. Ia terlibat dalam perancangan dan pembangunan beberapa bangunan monumental di Kota Bandung, di antaranya Departementsgebouw Gouvernementsbedrijven (Gedung Sate, saat bekerja untuk Burgerlijke Openbare Werken, 1922), Juliana Ziekenhuis (RSHS, 1929), Abattoir di Slachthuisweg 45 (Rumah Potong Hewan, 1935), dan Gebouw Indische Pensioenfondsen Wilhelminaboulevard 9 (Gedung Dwi Warna, 1940). Gerrit Hendriks meninggal dunia di kamp internir Jepang di Cimahi pada tanggal 3 Agustus 1945.
Pada bagian akhir, ditambahkan keterangan pendek dalam bahasa Indonesia saat itu dan kami salin utuh di sini. Keterangan gambar juga kami salin sesuai dengan teks aslinya. Semoga bermanfaat.
“Rumah Potong Hewan di Kota Bandung”
Pada tahun 1935, rumah potong sapi yang baru telah selesai dibangun, sehingga konstruksi seluruh kompleks rumah potong untuk Kota Bandoeng dapat dianggap selesai dan telah digunakan.
Pembangunan dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama mencakup gedung administrasi, dua rumah dinas, dan pintu masuk utama. Pembangunan ini dimulai pada tahun 1934 dengan pembangunan rumah potong babi dan beberapa kandang. Saat ini, tahap ketiga dan terakhir, yaitu rumah potong sapi, juga telah selesai.
Lokasi:
Area rumah potong terletak di bagian barat Bandoeng di Jalan Slachthuis (Slachthuisweg, sekarang Jl. Arjuna), dekat dengan jalur kereta api Bandoeng-Tjimahi. Hewan ternak diantar ke bagian belakang dari tempat pembongkaran khusus yang terletak di jalur samping rel tersebut dan kemudian dibawa ke kandang observasi (Nomor 11 dan 5 pada gambar 1).
Tanah:
Tanahnya hampir datar dan cocok untuk pembangunan. Oleh karena itu, tidak diperlukan langkah-langkah khusus dalam hal pondasi. Selama pembangunan gedung administrasi, rumah dinas, dan pintu masuk, jalan utama (hanya pengerasan sementara) sudah dibangun oleh pemerintah bersamaan dengan penanaman pohon yang diperlukan.
Selama pembangunan selanjutnya, tanaman ini, dengan beberapa pengecualian, tidak mengalami kerusakan sehingga saat ini area rumah potong sudah memiliki tanaman yang cukup maju.
Pembagian:
Persyaratan untuk memisahkan sepenuhnya rumah potong sapi dan babi telah menjadi dasar perencanaan (lihat gambar 1 untuk seluruh rumah potong, dan gambar 2 untuk rumah potong sapi saja). Di kedua sisi pintu masuk utama (yang juga berfungsi sebagai pos penjaga) diatur jalan menuju rumah potong sapi dan babi, yang kemudian terhubung ke ruang distribusi.
Titik tertinggi jalan Bandung – Kawah Papandayan (Algemeen Handelsblad)
Beberapa waktu lalu seorang rekan di Aleut melontarkan sebuah pertanyaan terkait nama tempat di Gunung Papandayan. Dia menanyakan arti nama Ghober Hoet. Kemudian seorang rekan lainnya mencoba menjawab bahwa Ghober Hoet kemungkinan besar merupakan Bahasa Belanda di masa lalu tetapi cara penulisannya saat ini kemungkinan salah. Jika diartikan ke Bahasa Indonesia, Hoet atau Hut artinya Pondok.
Pertanyaan ini lama tersimpan di kepala saya. Hingga akhirnya terjawab dengan tak sengaja setelah selesai kegiatan Momotoran Aleut ke Perkebunan Sedep akhir Januari lalu. Sekembalinya dari Momotoran, saya mencoba mencari informasi mengenai jalan antara Bandung – Sedep – Papandayan yang dibuat oleh Bandoeng Vooruit. Hal ini biasa saya lakukan setelah melakukan Momotoran, kurang lebih untuk menambal informasi yang tidak didapatkan atau luput selama Momotoran.
Jalan menuju Kawah Papandayan dengan melewati Santosa – Sedep – Negla – Cileuleuy diresmikan pada akhir Desember 1935. Peresmian ini dihadiri oleh Residen Tydeman, Walikota Bandung saat itu J.M. Wesselink, Kepala Kepolisian Verspoor, hampir semua administratur perusahaan perkebunan terdekat, perwakilan Direksi Sedep, para-Regent dari Garut dan Cianjur, pihak-pihak yang berkepentingan dari industri hotel dan pariwisata, Salomons dari Aneta, dan lain sebagainya.
Barisan mobil yang memanjang tiba di Sedep sekitar pukul setengah sepuluh pagi. Mereka disambut hangat oleh keluarga Bertling. Musik marching band ikut menyemarakkan suasana dengan lagu-lagu ceria. Setelah menikmati secangkir kopi dan kue, mereka melanjutkan perjalanan melintasi kebun teh menuju ke kawah.
Ada sedikit kendala saat mobil dari Residen Tydeman yang memimpin rombongan mengalami kerusakan. Akibatnya mobil tersebut harus berjalan dengan sangat pelan bahkan untuk di area yang datar. Ini menyebabkan sebagian besar mobil rombongan kehabisan air sehingga ketika jalan mulai menanjak, sebagian besar mobil mengalami overheat. Terjadilah keterlambatan dan banyak mobil yang harus ditinggalkan di pinggir jalan. Para penumpangnya melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju kawah.
Jawaharlal Nehru bersama Soekarno saat mengunjungi Kawah Papandayan pada tanggal 9 Juni 1950 (Antara)
Akhirnya tibalah mereka di pinggir kawah, di tempat sebuah monumen didirikan untuk mengenang peristiwa penting ini. Pertama-tama, W. H. Hoogland, Ketua Bandoeng Vooruit, berbicara kepada para hadirin sebagai berikut:
Ini tulisan lanjutan Catatan Momotoran Kertamanah yang bagian pertamanya bisa dibaca di sini.
Memasuki jalan raya Pangalengan cuaca malah berubah jadi panas terik, padahal rasanya baru saja kami pakai jas hujan. Terlihat lucu juga, karena hanya kami iring-iringan motor yang mengenakan jas hujan. Walhasil badan pun terasa gerah. Jahil sekali langit hari itu. Tujuan berikutnya adalah ke kawasan perkebunan dan Pabrik Teh Santosa yang wilayahnya termasuk ke dalam Kecamatan Kertasari.
Di gerbang perkebunan Malabar, kami semua berhenti di Warung Nasi Rehan yang katanya sudah lama jadi langganannya Komunitas Aleut. Di sini kami tidak makan di tempat, tapi beli bungkus untuk dimakan di Santosa nanti. Sebelumnya saya sudah cukup sering mendatangi Rumah Bosscha dan sesering itu juga melihat warung nasi ini dalam perjalanan, tapi ini adalah kali pertama saya mampir dan membeli beberapa pilihan makanan untuk bekal.
Warung Nasi Rehan di Pintu, Malabar. Foto Komunitas Aleut.
Di dalam warung sudah cukup banyak orang antre beli makanan dan rata-rata untuk dibungkus juga. Dibandingkan warung-warung lain di sekitar, sepertinya Warung Rehan ini paling populer. Pilihan menunya cukup banyak, masakan rumahan. Semua tampak menggugah, tapi tidak mungkin juga mengambil semuanya. Saya memilih nasi dengan lauk tambusu (usus sapi) yang dimasak dengan parutan kelapa.
Bekal sudah lengkap, saatnya melanjutkan perjalanan. Memasuki perkebunan Malabar kami melihat iring-iringan warga mengenakan kaos partai. Ternyata hari itu sedang ada kampanye besar dari salah satu caleg. Mendekati lapangan desa di Tanara, kendaraan kami terjebak kemacetan parah. Hampir 30 menit kendaraan tidak bisa maju maupun mundur. Kesabaran menjadi semakin tipis karena matahari kian terik menyengat kulit. Akhirnya saya dan seorang kawan di depan mencari-cari jalan tikus demi menghindari kemacetan.
Kami coba memasuki jalanan kecil dan masuk ke perkampungan warga. Warga bilang tidak ada jalan, tapi kami nekat saja dan akhirnya masuk ke area perkebunan teh malabar. Menerjang jalan berbatu dan berlumpur. Orang Sunda bilang “Ngaprak”. Lumayan, lah, hitung-hitung refreshing nyukcruk galur kebon. Bonus ketemu makam (lagi) yang berderet memanjang di tepi kebun. Di bawahnya ada aliran kali kecil. Makam-makam ini tidak segera terlihat karena semuanya terletak agak tersembunyi di balik ilalang tinggi dan beberapa pohon besar.
Tidak ada kata “Nyasar” di Aleut. Adanya adalah eksplorasi. (Dokumentasi: Komunitas Aleut)
Setelah mampir eksplor makam-makam itu, akhirnya kami dapat menemukan jalur untuk kembali ke jalan utama. Kawan-kawan lain entah di mana batang hidungnya. Saya dan satu kawan di motor lain melanjutkan perjalanan menuju pabrik Santosa. Nanti saja di sana janjian untuk bertemu. Kami berhasil melewati kemacetan parah yang sebetulnya kalau ditunggu juga durasinya sama dengan waktu yang kami habiskan untuk eksplor barusan.
Jalan menuju pabrik Santosa sudah sangat mulus. Saking mulusnya saya beberapa kali melepas tangan dari stang motor. Tidak khawatir akan terjatuh. Enaknya lagi, ditambah dengan pemandangan kebun teh yang rapat. Syahdu sekali rasanya tubuh diterpa angin perkebunan.
Lima belas menit jarak kami dengan motor kawan-kawan yang ternyata sudah leha-leha duluan di depan Pabrik Teh Santosa. Ternyata tadi mereka memilih menunggu kemacetan ketimbang mengekor kami mengeksplor jalan di sela-sela kebun. Sungguh kesabaran yang patut dijadikan teladan.
Kami memarkir motor di warung yang berada di seberang gerbang Pabrik Teh Santosa. Saya langsung menghampiri pos satpam untuk sekadar ngobrol. Pak Asep, nama satpam tersebut, memperbolehkan saya melihat-lihat dari luar. Kebetulan pabrik tetap beroperasi meskipun hari minggu. Demi mengejar target produksi. Menurutnya, bahan teh sedang melimpah usai beberapa bulan lalu lesu karena diterpa kemarau panjang. Semerbak wangi teh yang tercium, nikmat sekali. Ini pengalaman pertama menghirup aroma teh langsung di muka pabriknya.
Waktunya makan siang, kami membuka bekal yang dibeli tadi di Warung Rehan, lalu makan rame-rame di warung itu. Tentunya sudah minta izin dulu, bagaimana pun ada rasa engga enak karena beli di tempat lain tapi makannya di warung itu. Untunglah bapak-ibu pemilik warung mengerti situasinya, sehingga bukan hanya mengizinkan, bahkan membantu menyiapkan tempat dan minumnya. Sebagai gantinya, kami belanja apa saja yang bisa dibeli di situ.
Usai makan, sejenak kami meluruskan punggung sambil berbincang dengan bapak-ibu warung yang baik ini. Si bapak pensiunan dari Pabrik Teh Santosa. Ia purna tugas di tahun 2016 lalu dan sekarang bersama istrinya, yang juga pensiunan pabrik, membuka warung makanan. Saya makan sambil memandangi deretan pohon Rasamala yang begitu tinggi. Usianya mungkin lebih dari 70 tahun. Dulu pohon-pohon seperti ini ditebang dan digunakan untuk berbagai kebutuhan perkebunan, termasuk peti penyimpanan teh.
Batang-batang pohon Rasamala (KITLV)
Selesai dengan urusan perut, kami melanjutkan perjalanan ke pabrik teh Sedep yang terletak di kawasan perkebunan Negla. Menurut penuturan rekan-rekan yang sudah beberapa kali ke Sedep, di sana masih banyak bangunan lama, lebih banyak dari yang ada di wilayah Kertamanah. Jaraknya tidak terlalu jauh. Hanya 5 menit perjalanan motor dari lokasi pabrik Santosa.
Setibanya di Sedep, kami mulai berpencar mengambil dokumentasi. Saya mulai dengan bangunan mess yang –sayangnya– terkunci. Jadi saya hanya bisa memotretnya dari luar saja.
Pabrik Teh Sedep dan mess-nya. Foto Irfan Pradana Putra.
Kami beruntung karena salah satu kawan Aleut memiliki kenalan yang bekerja di pabrik Sedep. Kami berhasil menghubunginya dan yang bersangkutan memberikan izin untuk masuk ke kantor administrasi pabrik. Di dalam kantor ia menunjukkan album-album foto lama, arsip pabrik Sedep. Sayangnya banyak album yang tidak memiliki keterangan waktu, sehingga kami agak kesulitan menganalisa konteks sejarahnya. Rencananya kami akan datang lagi di lain waktu untuk mendigitalisasi arsip-arsip foto tersebut.
Dari sekian banyak album foto yang kami buka, saya tertarik pada salah satu foto yang menunjukan keberadaan sebuah tempat penitipan bayi di pabrik Kertamanah. Menyenangkan rasanya menemukan arsip lama mengenai hal ini.
Rumah Penitipan Bayi di Perkebunan Sedep. Arsip Pabrik Sedep
Cukup lama kami menghabiskan waktu di kantor pabrik Sedep. Semua kawan asyik memilah-milah dan menganalisa foto hingga lupa kalau waktu sudah menunjukan pukul tiga sore, padahal masih ada satu lokasi tujuan lagi yang sudah diagendakan untuk perjalanan kali ini. Kami segera berpamitan sambil berjanji akan berjumpa lagi dalam waktu dekat ini.
Tujuan terakhir hari ini adalah kawasan permukiman para pekerja Perkebunan Negla di Neglawangi. Jaraknya tidak terlalu jauh, apalagi dengan kondisi jalan yang sudah bagus seperti sekarang. Dulu, sebelum jalannya diperbaiki, katanya waktu tempuhnya bisa satu jam. Di lokasi permukiman ini saya tertarik pada susunan rumah bedeng dan jalur-jalur jalannya tertata rapi. Dari jauh, suasana kampungnya pun terlihat resik. Dari arsip foto lama terlihat bahwa paling tidak perkampungan ini sudah ada sejak tahun 1920.
Perumahan para pekerja Perkebunan Negla. Foto Komunitas Aleut
Rumah-rumah panggung di permukiman para pekerja Kebun Negla tahun 1925-1930. Foto dari Wereld Museum.
Tiba-Tiba di Garut
Di kampung terujung, Cibutarua, saya dapati rekan yang tadi paling depan sedang berbicara dengan seorang bapak. Lalu ia berputar dan masuk ke arah jalan yang tidak ada dalam rencana. “Hayu ka dieu,” serunya. Kami yang di belakang mengikut saja. Setelah beberapa saat, jalan beton yang rapi berubah total menjadi jalanan batuan khas perkebunan. Batunya besar-besar pula. Dan pas di sebuah belokan, saya kaget tiba-tiba melihat tugu dengan tulisan jelas “Batas Kabupaten Bandung – Garut.” Lah, kok sudah di Garut aja?
Faktor kedua yang membuat kaget adalah karena sehari sebelumnya saya baru saja turun dari pendakian ke Gunung Papandayan. Lalu sekarang, begitu saja nyampe Garut lagi, dari arah yang berbeda. Luar biasa Aleut. Pada saat motor tersendat gerakannya disebabkan oleh kondisi jalan yang parah, barulah saya berkesempatan bertanya akan ke mana arah perjalanan ini. Jawabnya, ke Kincir. Nama ini beberapa kali disebut sebelum perjalanan hari ini, dan ujug-ujug hari ini kami ke sana. Perjalanannya agak diburu-buru juga karena memang sudah sore dan tidak ingin terjebak gelap saat di pedalaman nanti.
Tugu Batas Kabupaten Bandung – Garut. Foto Fikri M Pamungkas
Jalan menuju Kincir ini sangat terjal. Kombinasi batuan dengan lumpur. Lagi-lagi yang berboncengan harus turun. Saya sudah kehabisan tenaga, tangan rasanya pegal bukan main. Maka saya memilih untuk turun dari motor, lalu cari parkiran yang cukup aman di jalan sempit ini, dan melanjutkan dengan berjalan kaki. Mula-mula saya bersama dua orang kawan menuruni area perkebunan karena menurut warga yang sedang bekerja di ladang lokasi Kincir ada di sana. Di bawah, kami sudah merambah ke sana-sini. Lahan datarnya tidak terlalu luas juga, karena setelah itu langsung jurang yang di bawahnya ada aliran sungai.
Nyatanya kami bertiga salah. Salah berbelok tepatnya. Karena area ini cukup curam, kami menyerah dan menyerahkan tugas mendokumentasikan Kincir ke dua kawan lain yang belum turun. Mereka coba mencapainya dengan motor melalui jalur jalan lain, namun gagal juga. Jalanan setapak itu terhalang oleh rimbunnya rumput sehingga ban motor tersangkut. Dari kejauhan terlihat mereka turun dari motor dan memarkirkannya di jalur jalan setapak.
Mereka berdua lanjut dengan berjalan kaki dan akhirnya menemukan mesin kincir yang dimaksud agak jauh di bawah, dekat dengan aliran sungai. Kondisinya mengenaskan karena tergerus longsor. Bangunan pelindungnya sudah tak bersisa sama sekali, sedangkan mesin-mesin besar dan berbagai peralatan lainnya terbengkalai begitu saja di ruang terbuka.
Kondisi Kincir. Foto Aditya Wijaya.
Kincir menjadi destinasi terakhir dalam Momotoran kali ini. Langit sudah gelap sehingga kami harus segera pulang karena penerangan jalan masih terbatas. Sambil berkendara pulang saya memperhatikan bangunan-bangunan unik yang terlewat. Salah satunya bangunan yang kini dijadikan Taman Kanak-Kanak di bawah ini. Bentuk atapnya unik seperti burung yang sedang mengepakkan sayapnya. Seorang rekan menyebutnya bergaya jengki, dan yang menjadikannya lebih unik lagi karena bangunannya berbahan papan kayu. Hanya sedikit bagian bawahnya berbahan tembok dan batu kali.
Bangunan kayu yang unik di Negla. Foto Deuis Raniarti.
Momotoran bersama Aleut memang tidak pernah gagal meninggalkan kesan, meskipun harus diakui selalu saja melelahkan. Setiap perjalanannya dipenuhi dengan spontanitas walaupun perencanaannya juga sebetulnya cukup detail. Pengetahuan yang didapat dari setiap perjalanan selalu memiliki manfaat lebih, tidak sekadar jalan-jalan atau lewat atau menikmati pemandangan.
Bagi saya perjalanan kali ini menebalkan keinginan untuk melakukan penelusuran lebih dalam mengenai dinamika kondisi buruh perkebunan. Hal ini dipantik oleh bangunan bedeng serta arsip foto penitipan bayi yang saya dapatkan di kantor Sedep. Sebab, lagi-lagi, saya selalu lebih tertarik pada sejarah dari orang-orang kecil tak berpunya. Mereka yang menjadi sekrup-sekrup peradaban punya peran yang sangat penting selain para pembesar yang namanya selalu hilir mudik di dalam teks-teks sejarah. Semoga ada waktu dan tenaga untuk melakukannya. ***
Memasuki libur panjang dengan hari-hari kejepitnya kemarin ini, sudah bisa dipastikan wilayah Bandung Raya akan dipadati oleh banyak orang dan kendaraan. Apalagi di daerah-daerah yang memiliki kawasan wisata yang populer seperti Ciwidey. Kebetulan sejak Kamis lalu kegiatan momotoran minggu ini sudah disepakati akan ke Ciwidey dengan syarat sedapat mungkin tidak melewati jalan umum yang pasti akan banyak menyita waktu dalam perjalanan.
Sampai Sabtu malam kami sudah menimbang sejumlah beberapa jalur alternatif yang dapat kami ditempuh dengan menggunakan google maps. Membuatnya tidak sekali jadi, karena sedapat mungkin jalurnya tidak melewati jalan tanah atau yang kondisinya rusak parah. Di musim hujan seperti sekarang, kondisi seperti ini harus skip dulu. Maunya bisa lebih banyak menikmati perjalanan dan lingkungan alam yang kami lewati.
Kami berangkat lewat Taman Kopo Indah, lalu melaju sampai ke stadion Si Jalak Harupat. Benar saja apa yang kami khawatirkan. Dari kejauhan sudah tampak antrean kendaraan mengular tepat di depan stadion. Tidak bergerak saking padatnya. Untungnya kami ada di bagian ekor karena memang baru tiba, jadi kami memutar balik dan spontan saja masuk ke kawasan Kutawaringin. Ini bukan jalur yang sudah kami buat, tapi nantinya akan bertemu juga di satu titik. Dari sini kondisi lingkungan sudah langsung berubah drastis, memasuki wilayah perkampungan dan melipir pematang sawah.
Persis pukul sembilan kami mampir ke sebuah rumah makan yang dari jauh sudah terlihat asyik tempatnya. Namanya Sanona, terlihat seperti bertengger di atas lereng perbukitan Kutawaringin Soreang. Katanya, setiap akhir pekan tempat ini selalu ramai oleh pengunjung, terutama para goweser(pesepeda). Ya melihat lokasinya serta pemandangan yang menghampar di belakangnya sih tidak heran bila rumah makan ini selalau ramai.
Pemandangan dari Warung Sanona. Aya kuendah kitu.. Foto Komunitas Aleut.
Tempat makannya berkonsep bungalow sehingga pengunjung bisa duduk lesehan atau selonjoran di pendopo kayu yang tersedia. Apa yang bisa menandingi sensasi makan dan minum sambil memandangi langit biru, bukit-bukit, dan persawahan yang menghijau sekaligus? Apalagi jika ditemani oleh orang tersayang.
Kami memesan berbagai penganan ringan. Mulai dari tahu rebus, omelette, gehu, dan kue balok, namun menu yang paling spesial di sini adalah es serai lemon gula aren. Bisa dibayangkan setelah lelah bersepeda lalu menenggak segelas minuman segar dengan perasan lemon dan wanginya serai? Kalau kata Dede Inoen mah, “Mantapnyoooo!”
Menikmati beberapa menu Warung Sanona. Minuman di kiri itu segarrrr.. Foto Irfan Pradana Putra.
Selain menu yang kami pesan, Sanona juga menyediakan menu makanan berat semacam nasi goreng, ayam goreng atau bakar, sampai ikan gurame asam manis. Karena masih pagi, jadi kami hanya memesan makanan-makanan yang ringan saja. Semakin siang Sanona semakin ramai didatangi oleh para pesepeda dan rombongan keluarga. Kami segera bergegas meninggalkan Sanona untuk memberi kesempatan bagi pengunjung lainnya mendapatkan tempat duduk dan menikmati suasana. Di ruang-ruang publik seperti ini sudah seharusnya semua orang punya kesadaran untuk saling berbagi.
Keluar dari gerbang Sanona jalanan langsung menanjak sampai ketemu pertigaan di atasnya. Kami ambil jalan yang ke kiri. Mulai dari sini, jalanan yang kami tempuh sudah mulai naik turun curam melewati kawasan perkampungan. Lepas dari setiap kampung, kami akan selalu berjumpa dengan pemandangan persawahan dan bukit-bukit hijau. Hari ini banyak sekali bonus perjalanannya.
Kali ini saya berjalan di urutan paling depan dengan bekal google maps. Menghabiskan dulu Jalan Cikadu, lalu Jalan Bangsaibane. Nama jalan terakhir ini terdengar sangat unik dan langka, tapi entah apa maknanya. Tidak sempat juga mencari keterangannya. Di sisi timur, berdasarkan peta digital panduan kami ini, ada beberapa gunung yang tidak terlalu tinggi, di antaranya Puncak Cadas Gantung dan Puncak Pasirmalang.
Dari titik ini maps sempat membawa kami ke arah jalan yang tidak kami inginkan, karena tiba-tiba di depan kami sudah melintang jalan raya Sadu yang sudah tidak asing lagi. Jalanan padat dan ramai. Ternyata setelah memasuki Jalan Cadasngampar, maps-nya aktif sendiri dan mengarahkan ke jalan utama Soreang-Ciwidey. Sedari awal kami ingin menghindari jalan utama, jadi kami putar balik, kembali ke arah Jalan Cikadu.
Kemudian masuk ke Jalan Kutawaringin di Desa Sukamulya. Di sebelah kiri, atau arah selatan, selalu terlihat Gunung Singa. Selama ini Gunung Singa selalu hanya terlihat dari jalan raya utama Soreang-Ciwidey saja dan kali ini saya berkesempatan melihatnya dari arah yang berlawanan. Kapan-kapan sekalian naik saja ke puncaknya, amanlah, tidak terlalu tinggi, dari browsing sih katanya 1089 mdpl.
Di Sukamulya ini perjalanan terus mengarah ke barat. Mendekati ujung jalan, di sebelah kiri jalan atau arah selatan, terlihat pemandangan Gunung Aul. Di ujung jalan ini ada pertigaan dan SD Puncak Mulya. Dari sini kami ambil jalur jalan ke selatan menempuh jalur jalan Gunung Geulis Sukamulya. Sampai di Simpang Lima Gunung Geulis, lagi-lagi ada spontanitas, tidak mengikuti jalur yang sudah disusun, yaitu menuju Cioyod, melainkan mengambil jalan ke arah barat, yaitu Jalan Ciririp-Bangsaya.
Pada bagian ini saya tidak tahu alasan mengambil jalur jalan berbeda itu karena yang membawa jalan di depan sudah berganti oleh Rani. Sangat mungkin karena ingin menghindari jalur jalan tanah atau jalan yang kondisinya rusak parah. Sejak Gunung Geulis kondisi jalan sebenarnya sudah berkurang kemulusannya, selain itu, umumnya sempit-sempit, mungkin hanya pas buat satu mobil. Bila dua mobil berpapasan bakal perlu atur-atur posisi agar bisa lewat. Jalannya datarnya pun jarang panjang, umumnya pendek-pendek karena kemudian selalu naik turun.
Di sisi lain, jalur spontan ini ternyata memberikan pengalaman lain pula. Di sini saya menemukan sebuah fenomena unik. Kami mampir ke sebuah warung yang ternyata memang sudah dikeceng oleh Rani untuk dimampiri., namanya Warung Bi Oon. Ya kebetulan juga sih, beberapa rekan sudah kebelet perlu ke toilet pula.
Warung Bi Oon COD di Kampung Balekambang, persis di garis perbatasan antara Kabupaten Bandung dengan Kabupaten Bandung Barat. Foto Komunitas Aleut.
Sambil pesan minuman panas, kami dengar satu cerita menarik dari Bi Oon yang juga ditanyakan oleh Rani, yaitu bahwa warungnya juga dikenal baik dengan nama Warung COD. Di google maps, lokasinya tertera dengan nama Warung Bi Oon COD. Ibunya engga terlalu mengerti soal nama warungnya di google maps, tapi beliau bercerita bahwa warga sekitar sering berbelanja online dan menggunakan warungnya sebagai alamat kirim. “Seueur da nu sok naritip teh, aya ti lajada, sopi, duka naon deui. Nya panginten ameh gampil we dikirimna ka dieu, engke teh anu pesen nya nyarandakna ka dieu.”
Ditanya siapa yang menyematkan nama warungnya di google maps, beliau ternyata tidak mengetahui persis. “Nya panginten eta weh nu sok ngaririman barangna,” kata si Ibu sambil menunjukkan Perkembangan teknologi internet memang banyak memberikan pengaruh di berbagai lini kehidupan. Mulai dari pola komunikasi, interaksi, hingga pola pemenuhan kebutuhan sehari-hari, seperti berbelanja. Toko-toko offline kini mulai berguguran, digantikan oleh etalase di dunia maya yang daya jangkaunya bahkan bisa sampai pelosok-pelosok desa yang terpencil.
Bi Oon dan warungnya secara tak langsung telah terseret masuk mewarnai kebiasaan baru ini. Ia berperan sebagai lokasi transit untuk barang yang dipesan oleh warga di kampungnya. Alih-alih mengirimkan langsung pada pemesan, para kurir akan menaruh paket kiriman di warung Bi Oon. Nantinya si pemesan yang akan mengambil paket tersebut.
Taktik ini muncul untuk menyiasati sulitnya akses yang lebih jauh ke alamat pemesan. Sementara itu kurir harus memastikan paket diterima dan sampai dengan selamat. Maka Warung Bi Oon yang lokasinya berada di depan kampung adalah solusinya.
Bi Oon sendiri tidak memasang tarif atas jasanya tersebut, meski begitu para pemesan yang terbantu, tak jarang memberi uang tip jasa. Semua pihak bahagia. Karena itulah warungnya kini memiliki nama tambahan, “COD” yang berasal dari istilah Cash on Delivery.
Selalu menyenangkan melihat cara-cara adaptif manusia dalam menyiasati perkembangan zaman. Bi Oon hadir dalam cepatnya arus perputaran informasi. Membantu warga kampung sekaligus para kurir. Menjadi jembatan dalam rantai distribusi yang semakin serba instan.
Jalur jalan di depan Warung Bi Oon COD dan patok perbatasan kabupaten. Foto Komunitas Aleut.
Setelah dua kali hujan seperti akan berhenti tapi tiba-tiba membesar lagi, akhirnya kami bersepakat untuk melanjutkan saja perjalanan ini walaupun bakal didera hujan lebat. Harus ekstra hati-hati saja, biar lambat asal selamat. Ga ada yang dikejar juga selain pengalaman, dan pengalaman tidak butuh kecepatan kan?
Akhirnya kami berhujan-hujan menghabiskan jalur jalan Ciririp Bangsaya sampai Nanggerang. Sejak meninggalkan Warung Bi Oon COD, jalur jalan konsisten naik-turun dengan belokan tajam yang pendek-pendek. Sebagian ternyata memang cukup licin. Tanjakan-tanjakan dan turunan-turunannya benar-benar memberikan banyak ujian, bukan cuma soal skill, tapi juga kehati-hatian, kewaspadaan, sekalian kesabaran dan ketabahan haha…
Bagian lanjutan perjalanan yang cukup berbahaya ini semoga bisa saya sampaikan dalam tulisan berikutnya. Salam. ***
Minggu, 14 Januari 2024 saya berkesempatan menjadi bagian dari ekpedisi Komunitas Aleut untuk menelusuri jejak sejarah di sekitaran Tegallega, Bandung. Dari sekian banyak tempat yang kami telusuri, Jalan Belakang Pakgede menjadi tempat yang paling memantik rasa penasaran saya. Meski ukuran jalannya sama saja dengan gang-gang lain di komplek kebanyakan, tapi tempat ini pernah jadi bagian penting dalam perjalanan sejarah beberapa tokoh Islam modernis-konservatif yang sampai sekarang memiliki kedudukan terhormat dalam sejarah pergerakan Islam. Dua dari mereka adalah Hassan Bandung dan Muhammad Natsir.
Bagian belakang lokasi Kantor Pegadaian Negeri. Jalan kecil di belakang kantor ini sekarang bernama Jalan Belakang Pakgade. Foto: Google Maps
Ajip Rosidi dalam buku Muhammad Natsir; Sebuah Biografi (Girimukti Pasaka, 1990) menuturkan bahwa, Pakgade dulunya adalah kos-kosan kelas pekerja dengan latar belakang yang beragam. Mulai dari para pedagang di sekitar Pasar Baru, para pegawai kelas menengah pemerintah Belanda, hingga guru agama seperti Hassan Bandung. Buku itu juga mencatat bahwa di sinilah salah satu tokoh Persis itu menggembleng Natsir tentang keislaman
Situasi jalan ini sekarang sepi, langka terlihat keberadaan orang, baik warga setempat ataupun yang sekadar lewat. Sepertinya tidak banyak rumah juga, hanya ada area parkir luas dengan gedung bertingkat, gudang-gudang penampungan kardus atau rongsok lainnya, sebuah halaman beratap yang cukup besar, entah bekas bengkel atau halaman parkir, seorang ibu warung di Gang Sutur menyebutnya garasi. Halaman kosong dengan fungsi garasi seperti ini terlihat yang paling banyak mengisi ruas Jalan Belakang Pakgade sekarang. Di ujung jalan, dekat Gang Kote, barulah ada beberapa rumah di sisi kiri dan kanan jalan, rasanya hanya ada belasan rumah.
Untuk masuk ke Jalan Belakang Pakgade, kami masuk dari selatan lewat Gang Sutur yang sempit. Bagian kiri jalan ini diisi oleh warung nasi, lalu ada portal yang dijaga oleh seseorang bapak dan ia akan membukanya bila ada mobil yang lewat. Setelah itu ada sebuah rumah bergaya lama di sisi kiri jalan, bukan gaya kolonial, sepertinya dari masa setelah kemerdekaan. Di sisi kanan adalah belokan masuk ke Jalan Belakang Pakgade dari sisi barat. Lalu ada satu rumah di kanan dan di seberangnya sepertinya bekas gedung perkantoran. Entah masih aktif atau tidak, karena tidak terlihat ada tanda-tanda keaktifan dari luar.
Tak biasanya aku terbangun pagi sekali, aku melongok ke luar. Sudah ramai orang berjalan berbondong-bondong. Hari ini ada memang ada kegiatan besar, penganugrahan Ridder in de Orde van Oranje-Nassau yang akan diterima oleh administratur perkebunan Kertamanah. Aku pun bergegas, ingin segera bergabung dengan orang-orang. Aku berjalan perlahan, tatapanku tak hanya ke depan. Aku melirik ke kanan dan ke kiri, laki-laki dan perempuan Belanda berpakaian dengan mode fashion terkini. Orang sepertiku juga sama, memakai pakaian terbaik yang mereka punya untuk menghadiri perayaan yang megah ini.
Kulihat beberapa pekerja sibuk menerima banyak telegram untuk tuannya, pekerja yang lain sibuk menata kiriman karangan bunga yang terus berdatangan, dan di bagian lain terlihat tumpukan bingkisan hadiah untuk Sang Tuan.
Kuhampiri Sang Tuan yang sedang berbahagia, “Halo tuan, perkenalkan, saya Rani, dari masa depan.” Ia terkejut. “Dari masa depan? Apa yang kau lakukan di sini?” Aku menjawab “Aku hanya ingin turut mengucapkan selamat atas pencapaianmu, terima kasih atas kerja kerasmu selama berpuluh tahun di sini.” Ia yang menerima ratusan ucapan selamat pada hari itu membalas ucapanku dengan senyuman. “Bagaimana kau mengenalku?” Ia tampak keheranan. “Tentu saja aku kenal, siapa yang tak kenal pada administratur yang sukses ini? Lihat saja ke depan sana, apa karangan bunga itu tak cukup membuatku paham?” Ia pun tertawa. “Tuan Jongkindt, apa kau tidak akan bertanya padaku tentang apa yang akan terjadi di masa depan?” tanyaku, “Hahaha, tidak. Biarkan ia terjadi seperti yang seharusnya. Aku akan menjalani kehidupanku seperti biasanya.” Balasnya. “Baiklah, kalau begitu aku harus kembali. Sampai bertemu lagi.”
90 tahun kemudian…
Pagi itu sekelompok orang bermotor menuju Kertamanah, menembus kabut tebal di jalan Pangalengan yang berkelok-kelok, pendek-pendek. Cuaca saat itu tak menentu, kadang hujan kadang tiba-tiba panas. Sepanjang perjalanan terlihat rumah-rumah bedeng yang sederhana berjajar rapi, ukurannya tidak terlalu besar, di tengahnya terdapat sekat yang memisahkan rumah menjadi dua bagian, masing-masing bagian itu dihuni oleh satu keluarga. Atapnya unik, mengerucut ke atas, dan melebar ke bawah. Kupandangi beberapa kali, rumah yang biasanya terlihat hitam putih dalam arsip kini memunculkan warnanya.
Foto 1 Rumah Bedeng di Perkebunan Kertamanah. Jalannya sudah ditinggikan sehingga posisi rumah berada di bawah jalan. Komunitas Aleut, 2024.
Kami tiba pukul sepuluh di kediaman Jongkindt Coninck semasa ia menjadi administratur di Kertamanah. Lokasinya sekitar 400 meter dari Lapangan Cinyiruan. Rumahnya tidak langsung terlihat dari jalan, perlu menanjak sedikit ke sebelah kiri. Area rumahnya cukup luas. Bangunannya pun cukup besar. Bagian bawah dindingnya menggunakan bahan campuran batu kali, agak khas untuk rumah-rumah lama. Atapnya sepertinya sudah berganti.
Desir angin Pangalengan yang menerpa tubuh pagi ini sungguh terasa menggigit, padahal kali ini saya duduk di belakang, dibonceng oleh Reza, rekan di Komunitas Aleut. Hari ini kami mengadakan perjalanan momotoran ke kawasan Pangalengan untuk mengungjungi beberapa lokasi di sana. Rute yang sudah disusun adalah Cinyiruan/Kertamanah, Talun-Santosa, Sedep, dan Negla.
Karena kali ini kami berbagi catatan dengan rekan-rekan lain, saya hanya akan bercerita pengalaman di bagian Santosa saja. Bagian awal perjalanan mungkin sudah diceritakan rekan lain, kami diterpa hujan sejak di Cimaung. Bukan hujan turun sekali saja, tapi hujan yang sebentar-sebentar berhenti, lalu turun lagi. Akibatnya, bolak-balik juga pasang lepas jas hujan. Walaupun begitu, tak ada yang perlu dikeluhkan, perjalanan tetap terasa menyenangkan seperti biasanya.
Singkat cerita, kami melewati belokan di depan gerbang Perkebunan Malabar, ambil ke kiri, lalu menyusuri kawasan perkebunan tetangganya Malabar sampai tiba di tugu pertigaan Talun-Santosa di depan Pabrik Teh Santosa. Bagian jalan ini kurang lebih 10 kilometer panjangnya. Akses jalan cukup bagus, semua sudah dibeton. Durasi perjalanan lebih kurang 20 menit dengan kecepatan relatif santai.
Embung Cihaniwung. Foto Komunitas Aleut, 2024.
Sepanjang perjalanan menuju Santosa pemandangannya adalah kawasan perkebunan teh yang selalu terlihat indah. Bukan hanya suasana, hati juga terasa sejuk oleh suguhan alam seperti ini. Kami melewati beberapa cekungan penampung air atau embung, yaitu waduk berukuran mikro yang dibuat untuk menangkap kelebihan air saat musim hujan seperti sekarang ini.
Di wilayah Pangalengan ini embung sudah dibuat sejak dahulu. Kebanyakan orang menganggapnya sebagai danau bisa saja, danau kecil dengan pemandangan indah di sekitarnya, sehingga seringkali disinggahi orang yang kebetulan lewat. Sebagian embung itu belakangan ini dijadikan objek wisata, ada beberapa yang menjadi cukup populer, seperti Cicoledas milik Kebun Malabar dan Cihaniwung milik Kebun Talun-Santosa. Pengemasan wisata di Cihaniwung terlihat lebih masif dan ramai dibanding Cicoledas yang baru ada 1-2 warung saja di atasnya.
Hari mulai siang, pukul 12.43, saat saya beserta dua rekan Aleut lainnya sampai di depan kantor Desa Santosa. Aneh juga rekan-rekan lain masih tertinggal di belakang, padahal tadi pas kejebak macet di sekitar Tanara mereka ada di depan kami. Hari itu memang ada acara besar di lapangan Tanara yang membuat jalanan macet oleh manusia dan kendaraan. Mungkin sekitar setengah jam kami terpaksa merayap pelan di tengah kepadatan tadi. Belakangan baru saya tahu, ternyata rekan-rekan di depan berinisiatif mengambil jalan perkampungan demi menghindari macet. Jadi jalan mereka berputar-putar ke tengah perkebunan. Makanya tiba lebih belakangan di pertigaan Santosa ini.
Sembari menunggu rekan-rekan di belakang tiba, saya mencari minuman ke sebuah warung di depan Kantor Desa Santosa. Dari sini terlihat Pabrik Teh Santosa. Di tengah pertigaan jalan terdapat tugu penunjuk arah, kanan ke Sedep, lurus ke Kertasari. Tak lama kemudian, rekan-rekan sudah tiba, dan langsung menuju tempat parkiran pekerja Santosa yang di dalamnya ada warung.
Beberapa rekan langsung melangkahkan kaki ke halaman pabrik dan mengobrol dengan penjaga di gerbang, lalu ke area pabrik. Rekan-rekan yang tinggal di warung sibuk mengobrol dan memesan macam-macam. Ini pertama kalinya saya berada di dalam area Pabrik Teh Santosa, terdengar suara seorang petugas bagian kemananan menjawab pertanyaan Irfan, “Eta teh anu tos janten, atos siap dikirim. Eusina sa-sak sapertos semen, lima puluh kilo(gram).”
Hak sewa lahan Santosa didapatkan oleh J.H.W. Rusch pada tahun 1894, lalu persiapan lahan sampai sekitar 1901. Bibit-bibit awal yang didapat dari Perkebunan Gambung ditanam di blok Tebakasih dan Cisabuk. Dilanjutkan dengan membuka pabrik dan perumahan karyawannya pada tahun 1905. Pada tahun 1912 pabrik ini mengalami kebakaran besar yang membuat aktivitas pengolahan terhenti sampai tahun berikutnya. Pada 1913 pabrik didirikan lagi, kali ini lebih besar dan lebih luas. Pada tahun 1920 pabrik ini membangun turbin tenaga listrik di Cibutarua-Cileuleuy.
Pada masa Jepang, kawasan perkebunan teh dibongkar dan diganti dengan tanaman pangan sepeti jagung, singkong, ubi, dan talas. Pada masa revolusi kemerdekaan, perkantoran di Santosa dijadikan kantor darurat pemerintahan Kabupaten Bandung yang terpaksa mengungsi akibat peperangan. Rumah-rumah bedeng pun diisi oleh para pegawai pemerintahan. Dengar dari rekan-rekan lain, kantor darurat pemerintahan kabupaten ini akan terus berpindah menyusuri jalur perkebunan dan hutan di sini. Dari Santosa lalu ke Pasirgaru, pindah lagi ke Cikopo, dan akhirnya ke Bungbulang, Garut.
Setelah keadaan kembali normal dan perkebunan pun sudah berada dalam pengelolaan Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) III Unit Jawa Barat, satu per satu perkebunan tetangga digabungkan dengan Santosa. Dimulai dengan kebun tertua, yaitu Lodaya yang sudah berdiri sejak 1882, digabungkan pada tahun 1965. Kemudian pada tahun 1983 bergabung kebun Cikembang, dan akhirnya pada 1993. Kebun Talun yang sudah berdiri sejak 1902 pun ikut bergabung. Sejak itulah dikenal nama kebun Talun-Santosa (Talsan) yang sering ditulis tanpa tanda pisah jadi Talunsantosa.
Di sisi lain, lembaga pengelola perkebunan pun mengalami perubahan-perubahan nama, dari PPN III menjadi PPN Aneka Tanaman X, lalu menjadi PNP XIII, pada tahun 1968. Tiga tahun berikutnya, berubah lagi menjadi PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII.
Perbandingan kawasan Santosa sekarang dan dari peta lama di oldmapsonline.
Berada di area pabrik dan perkebunan Santosa ini udara terasa sejuk sekali. Walaupun pemadangan alam tidak bebas karena berada di dataran yang cukup luas dengan pepohonan besar dan tinggi di sekitar, namun tetap nyaman. Desa Santosa memang berada dalam lingkungan pergunungan di sekitarnya, ada kompleks gunung Wayang-Windu, Pergunungan Malabar, dan di selatan paling tidak ada gunung-gunung Kendeng, Papandayan, Geulis, dan Kancana. Desa ini berada di ketinggian 1500 mdpl dengan suhu rata-rata 20 derajat celsius.
Berdasarkan buku Kisah Para Preanger Planters yang ditulis oleh Her Suganda, Priangan menjadi salah satu sasaran utama politik tanam paksa karena topografinya yang lengkap, wilayah utara cenderung dataran rendah, wilayah tengah bergunung-gunung, wilayah selatan pun masih berbukit-bukit. Wilayah tengah dan selatan ini sangat cocok untuk usaha perkebunan yang memerlukan iklim sejuk. Setelah diterbitkannya Agrarische Wet (Undang-undang Agraria) pada 1870 yang memungkinkan pengusaha swasta membuka usaha perkebunan, wilayah tengah ke selatan ini pun menjadi perhatian utama mereka, terutama untuk penanaman kina, kopi, dan teh.
Santosa dan sebagian besar perkebunan di sekitarnya dibuka sebagai respon atas undang-undang itu, dan dari masa inilah lahir para juragan teh yang perusahaan dan produknya merambah ke seluruh dunia. Sekarang para peminat sejarah populer kenal dengan baik nama-nama juragan tersebut, van der Hucht, Holle, Kerkhoven, dan Bosscha. Kiprah dan riwayatnya masih terus diungkap dan diceritakan kembali. Nama Santosa memang tidak sebesar Malabar atau Gambung, tapi berbagai perannya, baik dalam bidang perkebunan ataupun kesejarahan lokal, tetaplah merupakan bagian penting yang juga perlu digali lebih dalam untuk mengisi mozaik sejarah Bandung Raya yang masih banyak berlubang.
Bangunan Pabrik Teh Santosa saat ini yang sudah mengalami berbagai perubahan karena bangunan aslinya rusak pada masa perang. Foto Komunitas Aleut 2024.
Sambil merenungkan berbagai peristiwa yang terjadi di masa lalu, di depan bangunan pabrik saya berhenti sejenak. Tiba-tiba aroma teh menyeruak dengan kuat. Wangi sekali. Sangat berbeda bila dibandingkan dengan aroma teh yang biasa saya hirup dari teh yang dijual di pasaran. Sejenak saya menikmati waktu yang langka ini.
Saat menengok ke sebelah kiri, di luar pagar pabrik, terlihat pepohonan besar dan tinggi yang berjajar di tepi jalan utama. Teduh sekali. Sudah berapakah usia pepohonan itu? Puluhan tahun? Atau mungkin ratusan tahun? Mereka adalah saksi bisu perjalanan perkebunan dan Pabrik Teh Santosa. Pasti punya lebih banyak cerita. Seandainya mereka bisa bercerita, saya akan mendengarkannya dengan penuh khidmat. ***
Pagi itu, 28 Januari 2024, kami memulai perjalanan pukul delapan pagi. Cuaca sedang sangat enak sekali, tidak panas, cenderung mendung. Udara nyaman ini ternyata hanya berlangsung sampai sekitar Banjaran-Arjasari, karena setelah itu hujan mulai turun.
Memasuki jalur Cimaung kami harus berbagi jalan dengan iring-iringan bis pariwisata. Entah berapa kali saya harus menutup wajah karena terkena kepulan asap hitam dari knalpot bis itu. Saya hitung setidaknya ada lima bis berjalan berurutan dan semuanya berplat nomor luar Bandung. Tiba di belokan jalan ke arah Gunung Puntang, bis-bis ini satu per satu berbelok ke kanan, rupanya menuju lokasi permakaman Emmeril Kahn Mumtadz, putra Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang wafat beberapa waktu lalu terhanyut di arus sungai Aare di Bern, Swiss.
Menembus Kabut di Cimaung
Setelah lewat Cimaung, udara dingin mulai menyergap. Di depan, jarak pandang menjadi terbatas karena kabut turun cukup tebal. Pada jalanan berkelok-kelok terlihat kabut turun cepat dari arah perbukitan. Jalanan terasa lebih licin dari sebelumnya, mesti lebih berhati-hati berkendara kalau tidak mau tidak tergelincir dan wassalam masuk jurang.
Cabang jalan menuju perkebunan teh Kertamanah. Google Maps.
Tiba di persimpangan sebelum Secata, kami langsung mengambil arah kiri untuk masuk ke kawasan perkebunan Kertamanah. Hujan mulai reda dan kabut perlahan hilang. Mata kami langsung dimanjakan oleh permadani hijau perkebunan teh Kertamanah. Jalanannya mulus, sehingga sekarang lebih mudah diakses oleh banyak orang. Saya perhatikan mulai banyak dibangun warung atau wahana wisata di sisi kiri kanan jalan. Pagi itu dari arah berlawanan banyak sekali orang berjalan kaki dalam kelompok-kelompok besar dan kecil. Entah dari mana, mau ke mana, atau ada acara apa di depan sana.
Salah satu sudut perkebunan teh Kertamanah. Foto: Komunitas Aleut, 2024.
Ketika Jerman masuk ke Bloemendal pada bulan September 1944 dan menganggap wilayah itu sebagai daerah Kamp, Carla dan Marga pun harus mengungsi ke Overveen, sementara ibu mereka dirawat di rumah sakit setelah operasi fibroid dan sedang mengidap trombosis paru. Carla kemudian tinggal terpisah walaupun masih tetap di Overveen, kemudian bersama pacarnya, Theo Brans, mengungsi ke Marlot, di pinggiran Den Haag. Singkatnya, Carla, Marga, dan ibunya mengalami masa-masa yang sangat berat akibat perang.
Karel membalas surat itu dengan kabar yang kurang beratnya, di antaranya menyebutkan beberapa nama yang meninggal di kamp: van Rhijn (Malabar), Vol Z (Wanasari), van Dincklage (Arjasari), Heimer (Purbasari), Brants (Lodaya), Bertling (Sedep), van Gogh (Sinagar), Harmsen (Negla), dll.
Karel bercerita bahwa saat Jepang masuk ke Negla, mereka merangsek ke dalam rumah dengan bayonet terhunus dan mengambili senjata, kamera, dan barang-barang lain. Pada bulan November 1942, Karel dipanggil ke Bandung dan ditahan di kamp. Satu per satu pengusaha perkebunan masuk dan ditahan. Bulan Januari 1943, Karel dibawa kembali ke Negla dan diberi tugas sebagai juru tulis serta menyiapkan ekstrak kina dalam jumlah besar. Saat itu Negla dikelola oleh eorang pemuda Jepang di Sedep. Tak lama kemudian, Karel kembali dibawa ke tahanan di Bandung.
Selain Karel, Artz yang mengelola Kebun Gambung pun dikembalikanke posisinya dan setelah itu kembali diinternir lagi. Sepertinya pada waktu itu tentara Jepang memerlukan orang-orang tertentu untuk tetap melanjutkan bekerja sementara waktu pada bidang-bidang tertentu.
Pengalaman Karel dalam kamp dimulai di Hotel Istana, Bandung, sejak 22 November 1942 sampai 15 Januari 1943. Lalu kembali ke Negla sampai Desember 1943, kemudian ditahan kembali di Depot Batalyon-1 Bandung. Pada bulan Februari 1944 dipindahkan ke Kamp IV Batalyon-9 Cimahi sampai dengan 15 Agustus 1945. Walaupun saat itu statusnya sudah bebas, namun ada perintah dari militer Sekutu agar para tahanan untuk sementara tetap tinggal di tempat. Selanjutnya ia pindah ke Batalyon 15 Bandung dan baru keluar bebas dan ditempatkan di Lombokstraat 25A pada 10 Februari 1946.
Karel Kerkhoven di Lombokstraat 25A. Foto tahun 1946.
“Di sana!” kata Marga, sambil menunjuk ke arah topi yang berada di atas lemari pajangan di ruang tamu rumahnya di Belanda kepada Wijnt van Asselt. “Di sana”adalah di Hindia Belanda, di wilayah pergunungan perbatasan antara Pangalengan dengan Garut. Negla.
Para pembaca novel Heeren van de Thee karya Hella S. Haase tentu ingat bagaimana novel itu dibuka dengan kata-kata “Di sini” oleh kakek Marga, Rudolf Eduard Kerkhoven (1848-1918), ketika memutuskan bahwa itulah tempat yang tepat, kawasan pergunungan Gamboeng, untuk membuka usaha perkebunannya.
Terasa nian nuansa berbeda antara “Di sini” dari Ru(dolf) Kerkhoven dan “Di sini” dari Marga. Ru mengucapkannya dengan rasa optimis, dengan bayangan masa depan yang akan ditempuhnya dengan bekerja keras. Masa depan yang gemilang.
Marga mengucapkan “Di sana” dengan rasa berat. Ada rasa kehilangan. Masa lalu yang panjang di lembah-lembah berhutan lebat di antara pergunungan Kancana, Papandayan, dan Kendeng. Topi yang ditunjuknya itu adalah simbol semua masa lalunya di Negla. Topi itu pemberian dari tukang kebun keluarganya yang bernama Ardi sebagai kado perpisahan ketika Marga dan keluarganya akan berangkat menuju negeri leluhurnya dan meninggalkan Hindia Belanda. Topi itu terus berada di sana, di atas lemari pajangannya, sebagai pengingat pada apa yang telah hilang.
Van Asselt menemukan salinan puisi karya Leo Vroman yang sudah diedit oleh Marga dari tumpukan arsip keluarga Kerkhoven. Begini bunyinya: Korn malam ini dengan cerita / Tentang bagaimana Indie menghilang / Saya akan mendengarkan seratus kali / Dan aku akan menangis selamanya. Baris kedua itu sebenarnya berbunyi: Tentang bagaimana perang menghilang.
Apa yang dapat diserap dari cerita ini selain kesan kehilangan yang begitu mendalam dirasakan oleh Marga.
Margaretha Cornelia Kerkhoven (1923-2013) adalah putri kedua pasangan Karel Felix Kerkhoven (1887-1966) dengan Cornelia Wiegert (1895-1983). Ia dilahirkan di Bandung pada 18 Maret 1923. Kakaknya, Charlotte Elfriede Kerkhoven yang biasa dipanggil Carla, berusia selisih tiga tahun, juga dilahirkan di Bandung pada 9 Juni 1920. Sejak kecil, kedua anak perempuan ini tinggal bersama orang tuanya yang baru saja membuka perusahaan perkebunan di lembah antara pergunungan Kendeng, Papandayan, dan Kancana. Saat ini merupakan wilayah perbatasan antara Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut.
Bila nama Karel Felix Kerkhoven kurang dikenal, mungkin perlu diingatkan bahwa ia adalah putra kelima pendiri perusahaan perkebunan terkemuka, Gamboeng, Rudolph Eduard Kerkhoven (1848-1918). Ibunya, Jenny Elisabeth Henriette Roosgaarde Bisschop (1858-1907). Setelah wafat, kedua orang tuanya dimakamkan di belakang rumah tinggal mereka yang besar di Gamboeng.
Rudolph pula yang memilih tempat dan mengusahakan hak sewa lahan di kaki Gunung Papandayan itu pada tahun 1898. Ketika itu nama daerahnya masih disebut sebagai Kantjana, sesuai dengan nama gunung yang ada di dekatnya. Ia membagi lahan itu menjadi empat petak, Kantjana I, II, III, dan IV, dan menyimpan dana di Kantjanafond’s untuk kelak digunakan anak-anaknya membangun dan mengelola perkebunan yang sudah sejak lama direncanakannya itu.