Month: January 2024 (Page 2 of 2)

Pembukaan Masjid Cipaganti, 27 Januari 1934

Oleh: Aditya Wijaya

Masjid Besar Cipaganti di tahun 1933-1934 (Locale Techniek)

Siapa sih Bandoenger yang tidak mengenal Jaarbeurs? Jaarbeurs alias Pameran Dagang Tahunan di Kota Bandung itu, pada tahun 1933, sudah menginjak edisi ke-14.  Kegiatan pameran dagang ini sudah sangat kasohor sejak pertama diselenggarakan pada tahun 1920.

Sudah menjadi kebiasaan, panitia Jaarbeurs akan mengundang seluruh awak media untuk mengikuti sebuah tur sebagai bagian dari kegiatan ini. Tur ini dimaksudkan untuk melihat stan-stan yang dihadirkan di Jaarbeurs. Tur ini dipandu dengan cara menyenangkan oleh Bapak H. Ph. Chr. Hoetjer, Ketua Dewan Pengawas Jaarbeurs.

Tur dimulai dari gedung utama. Di sana terlihat pameran hadiah-hadiah yang ditujukan untuk para pemenang lotre Jaarbeurs, di antaranya ada dua buah mobil yang bagus, sepeda motor, dan beberapa kulkas.

Ruang-ruang di Jaarbeurs tahun ini diisi juga oleh stan Technical Handelmij. Sementara stan lainnya oleh De Rooy, lalu ada produsen produk-produk terbaru dalam bidang sanitasi, lampu, perlengkapan listrik, dan peralatan rumah tangga.

Sementara itu, ada sebuah stan dengan judul De Inheemsche Nijverheid atau Industri Pribumi. Stan ini mengambil tempat yang jauh lebih sederhana dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Begitu memasuki stan ini di Gedung C, perhatian langsung tertuju pada fasad masjid baru di Cipaganti yang layak untuk diperhatikan secara mendetail.

Kesan umum para awak media setelah mengikuti tur mengatakan bahwa Dewan Direksi Jaarbeurs berhasil membuat area-area di Jaarbeurs terlihat lebih ceria dan menarik, meskipun dengan catatan masih banyaknya tempat yang kosong. Hiasan untuk berbagai fasilitas hiburan menawarkan aspek yang sangat istimewa, akan sangat berkontribusi pada jumlah kunjungan yang lebih sering dan menciptakan suasana yang intim.

Peresmian Masjid

Hari Sabtu, 27 Januari 1934 pada pukul 10 pagi, dilaksanakan peresmian masjid baru di Cipaganti. Peresmian ini dilakukan oleh Kepala Penghulu R. H. Abdul Kadir. Pembangunan masjid dimulai pada bulan November 1932 dan desainnya telah dipamerkan pada Pameran Tahunan Jaarbeurs tahun 1933. Keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan masjid ini adalah sekitar 11 ribu gulden.

Di antara para tamu yang hadir, terlihat: Residen Bandoeng, Bapak M. F. Tydeman; Wali Kota Bandoeng, Ir. J. E. A. von Wolzogen Kühr; Asisten-residen Sonnevelt dan Velthuizen; Bapak E. Gobee, Penasehat Urusan Pribumi; Patih Bandoeng; Kepala Penyelidik Politik H. H. Albreghs; perancang masjid Prof. C. P. Wolff Schoemaker; para wali kota, Ir. H. Biezeveld, Tjen Djin Tjong, dan Ating Atma di Nata; Kolonel H. P.  Chr. Hoetjer; Ir. Coumans; dan Bapak Anggabrata, sebagai pembangun Masjid.

Setelah semua hadirin duduk di pendopo yang disiapkan di sebelah Masjid, patih mengambil kesempatan untuk menyambut semua tamu. Kemudian diserahkan kepada Bapak Anggbarata, yang menjelaskan tentang pembangunan tempat ibadah ini, lalu menyerahkannya kepada Kepala Penghulu.

Dalam bagian “Pedagang Indonesia” pada daftar alamat di Bandung tahun 1941 tertera nama Anggabrata sebagai Bouw en Grondbejrif dengan alamat Gr. Lengkong 64 (Delpher)

Selanjutnya, Kepala Penghulu, R. H. Abdul Kadir, menyambut semua tamu. Beliau berbicara tentang pembangunan Masjid. Sejumlah orang Eropa dan berbagai perusahaan Eropa telah berkontribusi pada pembangunan tempat ibadah ini. Dia mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan sumbangan dan bantuan untuk menyelesaikan rumah sakral yang berharga bagi umat Islam ini.

Kemudian Prof. Wolff Schoemaker, sebagai perancang masjid berbicara kepada para hadirin dalam bahasa Sunda dan memberikan penjelasan singkat tentang proses pembangunannya.

Setelah pidato-pidato ini selesai, dibuka kesempatan bagi para tamu untuk mengunjungi masjid, para tamu Eropa diminta oleh kepala penghulu untuk melepas sepatu mereka. Hampir semua tamu memanfaatkan kesempatan tersebut.

Masjid Cipaganti

Masjid Baru Cipaganti di Nijlandweg Bandung saat itu dipandang sebagai sesuatu yang aneh, tapi juga cantik. Masjid ini didesain oleh seorang arsitek yang sudah sangat dikenal namanya, terutama di Kota Bandung, yaitu Prof. C. P. Kemal Wolff Schoemaker, dengan Anggabrata sebagai kontraktornya. Pendirian masjid dilakukan dengan keterbatasan dan persediaan biaya yang sangat sedikit. Dengan pertolongan Bupati Bandung saat itu, dipergunakanlah banyak hasil karya seni pribumi. Terlebih yang menarik perhatian adalah hiasan dari ubin berbahan tanah yang dibuat oleh Keramisch Laboratorium di Bandung. Selain itu ada juga hiasan berbahan besi, sementara semua bagian kayunya dibuat oleh murid-murid pribumi dari Gemeentelijke Ambachtsschool.

Kiri: Lampu utama masjid buatan Laboratorium Keramik di Bandung. Kanan: Mihrab menghadap kiblat, tempat Imam memimpin shalat.
Terlihat mihrab tempat Imam shalat (Locale Techniek)
Terlihat arah luar masjid dari gapura pintu masuk (Locale Techniek)

Jika kita masuk lebih dalam ke ruangan masjid, akan terlihat sebuah lampu berukuran besar. Lampu ini tergantung di bagian tengah masjid dengan rancangan Islam. Mangkuk di bagian bawah lampu mempunyai bagian yang tengah-tengahnya terbuat dari albash dengan hiasan berupa huruf-huruf kaligrafi Arab. Lampu ini juga memiliki 25 titik penerangan terhias dengan plat-plat berbahan kuningan, dengan tulisan beberapa lafal Al-Quran. Lampu ini dibuat oleh Keramisch Laboratorium di Bandung.

Dasar plengkung masjid berbentuk bangunan persegi dengan hiasan pita yang lurus. Semuanya ini mendapatkan lapisan dari ubin glasuur berwarna hijau, memberikan rupa yang cantik, terutama karena warna ubin glasuur hijau mendekati warna tembaga. Di pinggirannya tertulis lafal Al-Quran.

Sinar matahari dapat masuk dari arah selatan melalui rangkaian jendela yang memiliki kaca berwarna. Di kanan kiri masjid terdapat dua tempat untuk mengambil wudhu. Tempat wudhu ini berbentuk bangun pojok segi delapan dengan lapisan tegel glasuur.

Tujuh buah pancuran dipasang sekeliling tempat wudhu. Pancuran di sebelah barat sengaja tidak dipasang, hal ini bertujuan agar orang yang mengambil wudhu jangan sampai menyingkur arah kiblat.

Tempat berwudhu (Locale Techniek)
Tampak depan masjid (Locale Techniek)

Itulah gambaran singkat kondisi Masjid Cipaganti pada saat awal pembukaannya. Saat ini jika rekan-rekan berkunjung ke Masjid Cipaganti, masih dapat merasakan keaslian pada bagian utama masjid yang belum banyak berubah. Lampu utama masih seperti aslinya dan beberapa hiasan yang menempel juga rasanya masih sesuai aslinya buatan Laboratorium Keramik di Bandung.

Sumber:

1. Majalah Locale Techniek Maret 1934

2. Koran De Koerier 24 Juni 1933

3. Koran De Koerier 26 Januari 1934

4. Koran De Koerier 27 Januari 1934

5. Koran Het Nieuws Van Den Dag 29 Januari 1934

***

Kisah Pembunuhan Nji Eroem di Regol, 17 Januari 1922

Oleh Komunitas Aleut

Salah satu terbitan koran yang memuat berita kasus pembunuhan Nji Eroem oleh suaminya, Darta, di Desa Regol. De Preanger-bode 21-01-1922.

Mula-mula kami tertarik pada sebuah berita peristiwa pembunuhan yang terjadi di Perkebunan Meluwung di Banjar. Pembunuhan yang sepertinya berlatar belakang perampokan ini terjadi pada bulan Januari tahun 1954, korbannya adalah seorang pegawai bernama C. Groenestein yang baru berusia 33 tahun. Jenazah Groenestein sudah dibawa ke Bandung dan rencananya akan dimakamkan di Permakaman Pandu.

Saat mencari informasi tambahan tentang kasus inilah kami menemukan sebuah berita kecil yang malah mengalihkan perhatian. Isi berita dalam koran De Express tanggal 16 November 1922 ini singkat saja, yaitu bahwa Landraad telah menjatuhkan hukuman dua puluh tahun penjara kepada seseorang bernama Darta yang telah membunuh istrinya.

 Ada beberapa berita lain mengenai kasus tersebut yang kami temukan, namun yang menarik perhatian adalah sebuah berita dari De Preanger-bode tanggal 25 Januari 1922 yang menyebutkan bahwa sebuah peristiwa bunuh diri telah terjadi di Desa Regol, daerah yang menjadi lokasi kantor atau sekretariat Komunitas Aleut dalam beberapa tahun belakangan ini. Tentu saja pada kami langsung timbul bayangan-bayangan di sebelah mana kira-kira peristiwa pembunuhan tersebut terjadi.

Koran terakhir itu juga mengatakan bahwa minggu lalu sudah memberitakan peristiwa bunuh diri yang dilakukan oleh seorang perempuan pribumi bernama Nji Roem, pada hari Selasa sore, yang bila dihitung mundur dari tanggal pemberitaannya, maka kejadiannya berlangsung pada tanggal 17 Januari 1922. Diceritakan bahwa beberapa hari setelah peristiwa tersebut, polisi menangkap suami Nji Roem, seorang tukang cukur bernama Darta, yang dicurigai telah membunuh istrinya. Sebelumnya, Darta melaporkan kepada kepolisian bahwa istrinya telah bunuh diri.

Pemeriksaan Darta tidak berhasil menemukan bukti-bukti sehingga kepolisian pun membebaskannya. Namun, karena kasus ini menarik perhatian, penangannya pun dialihkan dari kepolisian umum (Algemeene Politie) ke kepolisian pemerintah (Bestuur Politie), sehingga Darta kembali ditahan dan dilakukan pemeriksaan ulang.

Seorang saksi, pembantu Darta yang bernama Halimah, memberikan pernyataan yang memberatkan, yaitu bahwa pada pagi jam 9 hari Selasa minggu lalu itu Darta menyuruhnya untuk pergi ke Alun-alun dan menyampaikan pesan kepada Nji Roem yang berjualan lotek di sana agar segera pulang ke rumah. Halimah juga diminta menggantikan Nji Roem berjualan lotek sementara istrinya pulang. Saat itu, Darta mengatakan bahwa ia merasa tidak enak badan dan akan tinggal di rumah saja.

Dua jam kemudian, sekitar pukul 11, Darta mendatangi Halimah di Alun-alun untuk mengumpulkan uang hasil penjualan loteknya sambil mengatakan bahwa ia telah menyimpan harta milik istrinya di sebuah lemari untuk persiapan bila ia menikah lagi. Halimah diminta untuk terus melanjutkan jualan loteknya selama istrinya tidak ada. Saat itu diketahui bahwa Darta mengenakan celana berwarna khaki.

Pukul setengah dua, Halimah mendatangi rumah pasangan Darta dan Nji Roem, namun ternyata rumah itu tertutup. Ia melihat Darta ada di teras depan rumah tetangga, yaitu rumah Nji Iti, dan sedang minum sesuatu di sana. Darta hanya berkata pelan kepada Halimah agar tidak masuk ke rumahnya.

Untuk melanjutkan cerita ini, kami tambahkan berita dari Preanger-bode tanggal 26 Januari 1923, dua bulan setelah Darta dijatuhi hukuman 20 tahun penjara oleh Landraad Bandoeng. Dalam berita ini ada sedikit perubahan nama, dari Nji Roem menjadi Nji Eroem.

Mula-mula pembaca diingatkan pada vonis Landraad terhadap Darta karena telah membunuh istrinya, Nji Eroem. Darta mengajukan banding dan Dewan Pengadilan (Raad van Justitie) yang membuka kembali kasus tersebut. Diperlukan juga saksi-saksi tambahan yang pemeriksaannya mulai dilakukan pada 24 Desember 1922.

Sebelum memberikan laporannya, penulis berita ini merasa ada perlunya menyampaikan rincian kasus pembunuhan yang dianggapnya aneh dan sangat sensasional.

Tanggal 17 Januari 1922 itu, Darta kembali ke rumahnya pukul lima sore dan menemukan pintunya terkunci. Kemudian ia meminta bantuan polisi untuk mendobrak pintu rumahnya. Setelah berhasil masuk rumah, Darta dan polisi itu menemukan Nji Eroem terbaring di atas tikar sudah dalam keadaan tidak bernyawa. Ada luka menganga di leher Nji Eroem, dan di bawah kaki kanannya tergeletak sebuah golok berlumuran darah. Darta pingsan karena terkejut.

Setelah itu ia mengatakan bahwa istrinya pasti bunuh diri karena ia telah mengetahui perselingkuhan istrinya itu dengan seorang pria bernama Karta. Ia juga mengancam akan menceraikan istrinya. Selanjutnya, Darta juga mengatakan bahwa bila kematian istrinya bukan karena bunuh diri, pastilah itu akibat dibunuh oleh Karta. Polisi Pengawas (Opziener-politie), Lapre, yang tiba di tempat kejadian bersama dengan Asisten Wedana dari Bandung Barat, segera melakukan pemeriksaan keadaan yang memberatkan Darta, sehingga malam itu juga Darta ditangkap.

Dari penyelidikan, ditemukan fakta-fakta berikut:

  1. bahwa leher korban digores hingga ke tulang belakang, yang menurut dua orang dokter polisi tidak mungkin dilakukan sendiri oleh korban, terutama tidak dengan golok tumpul yang ditemukan tergeletak di samping mayat.
  2. bahwa golok yang tergeletak di bawah kaki kanan korban tidak mungkin ditaruh di sana oleh korban sendiri setelah kematiannya.
  3. bahwa di dinding dekat mayat tergantung celana panjang berwarna khaki, yang menurut pemeriksaan polisi milik Darta. Celana ini berlumuran darah, tetapi bukan di bagian yang menghadap ke mayat, melainkan di bagian yang menghadap ke dinding!
  4. bahwa ditemukan  lubang kecil di dinding bambu di sebelah pintu belakang rumah Darta, tempat jarinya bisa dengan mudah masuk dan bisa membuka gerendel dari luar. Tampaknya sangat mencurigakan bahwa terdakwa, yang merupakan penghuni rumah, tidak menyadari keadaan ini, dan ketika menemukan rumahnya terkunci, dia tidak mencoba masuk melalui pintu belakang ini. Ini memberi kesan bahwa Darta sengaja langsung melapor ke polisi untuk mengalihkan kecurigaan dari dirinya.

Penyelidikan lebih lanjut juga mengungkapkan fakta-fakta memberatkan lainnya. Saksi kunci, Darta, mengaku sakit pada pagi hari kejadian dan berada di rumah sampai jam dua siang. Darta juga menyangkal memakai celana khaki yang disebutkan di atas pada hari itu. Namun, beberapa saksi mata mengaku melihatnya di Alun-alun sekitar pukul 11 pagi mengenakan celana tersebut. Celana ini kemudian diidentifikasi secara khusus oleh pelayan Darta, Nji Halimah, yang bertugas mencuci dan memperbaiki pakaian terdakwa, sebagai celana yang sama yang dikenakan Darta pada pagi hari itu.

Setelah penyelidikan awal yang cermat, Darta diadili di Pengadilan Negeri pada tanggal 12 Oktober dan 15 November 1923.

Terdakwa menyangkal semua tuduhan terhadapnya dan kemudian memberikan penjelasan rinci tentang bagaimana dia menghabiskan hari kejadian. Dia mengakui golok dan celana berdarah yang dihadirkan di pengadilan sebagai miliknya, tetapi menyatakan tidak tahu bagaimana celananya bisa berlumuran darah.

Sepuluh saksi kemudian diperiksa. Selaku saksi pertama dan kedua, Polisi Pengawas Lapré dan Asisten Wedana Bandung Barat menyatakan hal yang sudah disampaikan di atas dan menambahkan bahwa mereka mendapat kesan tegas bahwa Nj Eroem dibunuh dalam tidurnya, di dalam kamar, tempat ditemukannya jenazah. Tidak ditemukan bekas darah, kecuali pada kasur tempat jenazah dibaringkan, dan pada celana yang ada didekatnya, dan tidak terlihat adanya bekas perlawanan baik pada jenazah maupun pada ruangan.

Kedua saksi juga menilai tidak mungkin menggorok leher seseorang yang melakukan perlawanan radikal seperti yang terjadi di sini. Menurut Asisten Wedana, pembunuhan itu dilakukan dengan cara yang sama seperti penyembelihan sapi di kalangan Pribumi, yakni dengan terlebih dahulu memberikan pukulan dan kemudian menarik kembali pedangnya ke arah yang berlawanan!

Saksi dan ahli ketiga kemudian diperiksa oleh Dr. Samjoedoprawiro (Samjoedo Prawiro) yang meninggal sesaat setelah mengetahui pembunuhan tersebut. Ia pun menilai tidak mungkin Nji Eroem bunuh diri. Bahkan dengan pisau cukur sekalipun sangatlah sulit untuk memotong massa yang membentuk jaringan tenggorokan, apalagi dilakukan sendiri dan hanya dengan golok biasa, tentunya tidak mungkin.

Nji Halimah, pembantu Darta, adalah saksi keempat. Inti kisahnya bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh Darta yang sebelumnya mengaku sakit atau tidak enak badan dan hanya berbaring saja di tempat tidur sampai pukul 2 siang itu. Padahal menurut Halimah ia tidak sedang sakit apapun dan terlihat sedang duduk di beranda rumah depan untuk waktu cukup lama. Pagi harinya terdakwa menyuruhnya ke Alun-alun dan menggantikan tugas Nji Eroem. Setelah itu ia tidak pernah lagi melihat Nji Eroem dalam keadaan hidup. Sudah dikonfirmasi pula bahwa pada sekitar pukul 11 Darta mendatanginya ke Alun-alun untuk meminta uang hasil penjualan lotek. Jadi, tidak betul Darta hanya berbaring saja karena sakit sampai pukul 2 siang.

Ada tambahan keterangan dari Halimah, bahwa ketika ia kembali ke rumah Darta pada pukul setengah tiga itu, Darta yang sedang duduk di rumah depan melarangnya masuk ke dalam rumah. Ternyata setelah itu Darta masih mengatakan sesuatu, yaitu bahwa bila ada polisi menanyainya, ia harus mengaku tidak ada di rumah sejak pukul 7 pagi hingga 7 malam. Ketika Halimah menanyakan apa maksud ucapan Darta itu, dijawab bahwa “Nji Eroem telah dibunuh.” Halimah merasa sangat terkejut dan sama sekali tidak berani menceritakannya lagi. Selanjutnya, Halimah juga menyatakan bahwa celana yang berdarah itu ia kenali sebagai celana yang sama yang dikenakan Darta saat ia pergi ke Alun-alun pagi hari, dan ketika dia bertemu di sore hari.

Terdakwa kemudian menyatakan bahwa Nji Halimah berbohong tentang segala hal dan bahwa dia menolak kebenaran tersebut. Kebohongan itu dikemukakan karena ia sering memarahinya di masa lalu!

Nji Ijem yang punya warung di Alun-alun bersebelahan dengan Nji Eroem, adalah saksi kelima. Ia menyatakan bahwa yang bersangkutan (Darta) sekitar pukul 11.00 mendatangi Nji Halimah yang duduk di sebelahnya, dengan mengenakan celana panjang khaki. Menanggapi pertanyaan Nji Ijem ini, terdakwa Darta berkata “Itu bukan urusanmu; Anda akan mendengar sesuatu yang istimewa sore ini.”

Sebagai saksi keenam, Nji Entjih, tetangga terdakwa, mengaku mendengarkan keluhan dari Nji Halimah: “Nji Eroem ada di rumah, tapi kamu jangan masuk. Kalau polisi datang, katakan bahwa kamu berada di Alun-alun dari pukul 7 pagi hingga 7 malam.” Malam itu juga Nji Entjih mendapatkan pengakuan dari terdakwa bahwa Nji Eroem telah terbunuh dan pelakunya adalah Karta.

Adik korban pembunuhan, Nji Iti, yang diperiksa sebagai saksi ketujuh, sama seperti saksi sebelumnya, mengatakan bahwa terdakwa Darta telah mengadu kepadanya bahwa istrinya dibunuh dan pelakunya adalah Karta yang telah berselingkuh dengan istrinya. Namun tentang hal ini, saksi mengatakan hal yang sama dengan semua saksi lainnya, tidak mengetahui adanya perselingkuhan Nji Eroem dengan Karta, bahkan tidak mungkin Nji Eroem dapat berselingkuh, karena ia sering bercerita betapa ia sangat mencintai suaminya itu.

Lagi-lagi terdakwa tidak mengakui telah menceritakan soal pembunuhan tersebut kepada para saksi, dan menuduh mereka semua telah berbohong. Darta mengatakan bahwa istrinya sendirilah yang sudah mengakui bahwa ia telah berselingkuh dengan Karta. Darta pun sudah mengetahuinya lewat mimpinya.

Karta, pria yang diduga melakukan perselingkuhan dengan istri pelapor, hadir sebagai saksi kedelapan. Ia dengan keras membantah hal tersebut. Tidak pernah ada hubungan tercela antara Nji Eroem dengan dirinya, bahkan tidak sekalipun ia pernah ke rumah Nji Eroem saat terdakwa tidak ada di rumah.

Mengenai pernyataan saksi Karta, Darta menyebutkan bahwa penyangkalan perselingkuhan itu hanya untuk mengalihkan kecurigaan!

Saksi kesembilan yang didengarkan adalah Haji Enoh. Ia sempat melewati rumah terdakwa pada sore hari kejadian. Terdakwa menghentikannya dan bertanya bagaimana dia dapat menceraikan istrinya. Saksi kemudian bertanya: “Istrimu di mana?” Terdakwa menjawab, “Dia ada di dalam rumah, tetapi saya sudah mengambil semua pakaiannya.” Saksi kemudian memanggil nama Nji Eroem, namun tidak mendapat jawaban. Belakangan, saat terdakwa berada di dalam penjara, ia menulis surat kepada Haji Enoh yang isinya meminta agar mengatakan bahwa ketika ia memanggil nama Nji Eroem, ia mendapatkan sahutan dari dalam. Surat ini kemudian diserahkan oleh Haji Enoh kepada pengadilan dan sudah dikumpulkan sebagai dokumen.

Terdakwa Darta mengatakan bahwa ia menyurati Haji Enoh karena menginginkan adanya saksi yang dapat memastikan istrinya masih hidup pada pukul empat sore.

Ketika terdakwa diberitahu bahwa menurut keterangan medis diketahui istrinya telah meninggal beberapa jam pada waktu itu, terdakwa Darta menjawab: “Dokter juga bisa saja salah.”

Sebagai saksi terakhir yang didengarkan pengakuannya adalah Nji Namah yang pada pagi hari kejadian melihat Nji Eroem berjalan di jalan desa Regol dan mengenali celana khaki yang dihadirkan di persidangan.

Setelah mendengarkan keterangan saksi-saksi tersebut di atas, juga ditambah dengan pemeriksaan ulang terhadap Polisi Pengawas Lapre, Asisten Wedana, dan juga Karta, guna memastikan kemungkinan perselingkuhannya, ternyata tidak didapatkan fakta-fakta lain yang dapat meringankan terdakwa Darta.

Berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan dan kesaksian para saksi, pengadilan akhirnya memutuskan Darta bersalah atas pembunuhan istrinya, dan menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup. ***

Membersihkan Makam Dick de Hoog, 6 Januari 2024

Oleh: Komunitas Aleut

Tentang Dick de Hoog bisa dibaca di sini https://komunitasaleut.com/2023/07/22/makam-dick-de-hoog-yang-terlupakan/

Setelah hari Selasa, 2 Januari 2024 lalu kami mengunjungi makam Raymond Kennedy, hari ini 6 Januari 2024, kami kembali lagi ke Makam Pandu, tapi khusus untuk menengok (lagi) makam Dick de Hoog.

Dalam kunjungan tanggal 2 itu sebenarnya sebelum pulang kami juga mampir ke makam Dick de Hoog, dan melihat bahwa kondisinya buruk sekali, tertimbun tanah cukup tebal, dan di atasnya berserakan segala macam sampah, botol, plastik, pecahan batuan, sisa tembok, bekas bakaran, dlsb. DI atas tanah yang sudah tebal itu juga tumbuh semak belukar yang cukup lebat dan sudah berakar kuat.

Hari itu sudah kami sepakati akan kembali ke makam Dick de Hoog untuk membersihkan semampu yang dapat kami lalukan, sekaligus membuat daftar perlengkapan yang perlu di bawa nanti, salah satunya adalah cement remover karena bagian permukaan nisa sudah tertutup oleh sisa adukan semen. Kami duga di atas nisan ini pernah dijadikan tempat mengaduk semen untuk pembuatan makam lain yang lebih baru.

Atas: Kondisi makam pada tanggal 2-1-2024. Bawah: Kondisi makam pada tanggal 6-1-2024 setelah dibersihkan tumpukan sampah dan batu-batu yang berserak di atasnya. Foto: Komunitas Aleut.
Continue reading

In Memory of Raymond Kennedy 1906-1950

Oleh: Komunitas Aleut

Untuk suatu keperluan kegiatan, belakangan ini kami cukup sering bolak balik ke kompleks makam Pandu, memeriksa sejumlah makam orang Belanda atau Eropa, termasuk ke Ereveld. Setiap ke sana selalu ambil jalur jalan setapak yang berbeda, bisa lewat mana saja, asal tidak terlalu banyak mengulang, agar bisa melihat dan menemui hal-hal yang berbeda.

Salah satu makam yang menarik perhatian adalah yang nisannya menjulang agak tinggi, lebih mirip sebuah monumen. Di bagian tengah terpahat namanya, Raymond Kennedy, yang sepertinya sudah sering diwarnai. Di bawah namanya ada jejak berbentuk kotak yang menunjukkan bahwa di situ pernah ada sebuah plakat terpasang. Sisa-sisa pantek plakat itu pun masih ada di keempat sudut kotak itu. Entah plakat apa yang pernah ada di situ.

Makam Raymond Kennedy tahun 2022. Foto: Aditya Wijaya.

Di bawah, tempat jenazah dikuburkan, konon masih ada prasastinya, namun saat ini bagian bawah kubur ini dalam keadaan tertimbun tanah yang cukup tebal dan ditumbuhi semak-semak yang cukup lebat. Menurut keterangan dari website Komunitas Aleut, wafatnya tahun 1950. Dari tulisan rekan-rekan lama di website itu terkesan tokoh peneliti ini cukup penting bagi institusi pendidikannya, Yale University di New Haven, Connecticut, USA.

Di website Komunitas Aleut sudah ada sejumlah catatan tentang tokoh ini, sudah lama-lama juga dipublishnya, dan umumnya berkaitan dengan kunjungan ke Makam Pandu juga. Yang mengagetkan adalah informasi bahwa beliau ini meninggal terbunuh di daerah dekat Sumedang. Ini semakin membuat penasaran, ada peristiwa apakah di balik makam ini? Kami putuskan untuk menuliskan lagi riwayat dan latar peristiwa di balik tokoh ini.

Sebagian informasi dasar yang diperlukan sudah ada di website Komunitas Aleut yang intinya menerangkan bahwa beliau ini sedang melakukan penelitian antropologi dan sosiologi di wilayah Indonesia pada periode akhir masa Revolusi Kemerdekaan RI. Ia tidak sendirian, melainkan bersama dengan seorang koresponden majalah Time dan Life bernama Robert Doyle. Tokoh terakhir ini tinggal dan berkantor di Hong Kong dan sedang berkeliling mewawancarai kalangan petani mengenai situasi sosial politik Indonesia saat itu.

RIWAYAT RINGKAS RAYMOND KENNEDY, 1906-1950

Riwayat ringkas Raymond Kennedy didapatkan dari Council on Southeast Asia Studies di Yale University di website www.cseas.yale.edu dan dari sebuah jurnal yang ditulis oleh John F. Embree dari Yale University untuk The Far Eastern Quarterly. Tulisan berjudul Raymond Kennedy, 1906-1950 ini terbit pada edisi Volume 10, No.2, pada bulan Februari 1951. Di luar dua sumber ini ada beberapa informasi tambahan dari sana-sini yang setelah terkumpul, dapatlah diringkas seperti ini:

Continue reading

Makam Pandu atau Makam Eropa Baru (De Nieuwe Europeesche Begraafplaats) di Bandung

Oleh: Aditya Wijaya

Pintu masuk Makam Pandu, terlihat relief dan tiang tinggi dengan lentera kaca di atasnya (Locale Techniek)

Belakangan ini saya sering sekali mengunjungi Makam Pandu, kunjungan ini dalam rangka melakukan inventarisasi makam-makam tua di sana. Satu demi satu makam saya coba arsipkan baik foto, inskripsi, serta lokasinya.

Inventarisasi ini mengharuskan saya untuk berkeliling dari ujung ke ujung kompleks makam. Sedikit banyak saya menjadi tahu kondisi terkininya. Penuh dan sesak adalah dua kata kunci kondisi Makam Pandu saat ini. Untuk sekadar berjalan saja menyusuri makam-makam di sana rasanya sangat sulit. Saya terkadang harus loncat ke sana sini melewati makam-makam. Terkadang juga harus berhenti hanya demi mencari jalan yang sedikit nyaman. Tidak banyak jalur jalan yang jelas di antara makam-makam, selain jalur jalan setapak utama, bahkan sepertinya sebagian jalur jalan ini pun sudah terisi oleh makam-makam.

Ukuran makam yang bervariasi, dengan atap makam yang tinggi membuat beberapa kali kepala saya terbentur, lumayan sakit sih, soalnya bahan makam terbuat dari bebatuan kasar. Selain itu, bahan batu kasar ini bisa membuat pakaian tergores, dan paling parah hingga sobek. Tak jarang sesekali bagian tubuh terkena goresan batu makam hingga mendapatkan luka kecil.

Kondisi Makam Pandu sekarang ini membuat saya penasaran, bagaimana sih perjalanan Makam Pandu dari awal pembangunan hingga kondisinya seperti sekarang? Untuk menjawab pertanyaan ini sebenarnya saya menyimpan satu artikel dari sebuah majalah “Locale Techniek” yang ditulis A. Poldervaart.

Kita putar mundur waktu ke warsa 1930-an. Saat itu kompleks makam orang Eropa di Bandung terletak di Jalan Pajajaran. Karena pertumbuhan Kota Bandung yang semakin cepat, makam ini dengan segera di kelilingi oleh rumah-rumah penduduk. Hal ini menyebabkan biaya yang sangat mahal jika orang ingin menambah lahan untuk permakaman, sementara luas areanya tidak dapat ditambah lagi. Oleh karena itu maka direncanakan secara bertahap untuk menutup makam ini dan membuka kompleks permakaman baru.

Tidak semua lahan dapat digunakan untuk membuat makam baru, harus memilih tanah yang relatif datar, dapat meresap dan mengalirkan air dengan baik, tidak mendapat kiriman atau banjir air dari tempat yang lebih tinggi, dan tanahnya tidak terbuat dari lempung atau lapisan tanah yang keras.

Dalam memilih lokasi untuk makam baru, harus diperhatikan juga kemungkinan bertambahnya luas kota, jangan sampai lokasi baru ini kelak menahan perluasan kota. Sebab orang-orang juga tidak merasa senang tinggal dalam rumah yang letaknya berdekatan dengan kompleks makam.

Berdasarkan berbagai pertimbangan di atas, maka dipilihlah sebuah lahan yang dianggap cocok untuk makam baru tersebut. Lokasinya ada di barat laut kota, dekat dengan lapangan udara Andir yang secara alami akan membatasi dan menghalangi ekspansi permukiman ke arah itu. Di lokasi baru ini juga terdapat saluran irigasi (jalur pipa Leuwilimus) yang terletak di sepanjang sisi utara makam. Saluran irigasi ini bertugas mengumpulkan dan mengalirkan semua air permukaan.

Continue reading

Menyusuri Jalur Jalan Bukanagara – Cisalak, Subang

Oleh: Azura Firdaus

Momotoran kali ini sebenarnya merupakan momotoran kedua kami ke Subang (setidaknya untuk kami anggota ADP 2023) melalui jalan yang kurang lebih sama, yaitu jalur Bukanagara-Cisalak. Jalur jalan ini relatif jarang dilalui oleh orang banyak, kecuali penduduk dari kedua tempat itu. Penyusuran jalur ini sebenarnya merupakan bagian dari eksplorasi sebagian wilayah Subang, terutama bagian selatan dan Kota-nya. Memang wilayah ini yang paling sering dikunjungi oleh Komunitas Aleut, mungkin juga sebagian wilayah timurnya, karena menurut cerita, cukup sering juga ke Cibuluh yang ada di Tanjungsiang. Pasti akan butuh perjalanan berjilid-jilid yang panjang bila ingin menjelajah seluruh bagian wilayah Kabupaten Subang.

 Jalur Bukanagara-Cisalak ini dipilih selain karena kami belum melewatinya secara menyeluruh pada perjalanan sebelumnya, namun juga karena jalur ini merupakan jalur lama yang setidaknya sudah ada sejak tahun 1911 atau sekitar 112 tahun yang lalu. Jalur ini sudah masuk dalam peta topografi Belanda sebagai jalur utama penghubung Cisalak – Bandung melalui Bukanagara – Puncak Eurad – Maribaya; bahkan jauh sebelum itu, setengah dari jalur ini merupakan Jalur Jalan Pedati dari Cisalak sampai Bukanagara yang dibuat oleh Raden Rangga Martayudha dan T. B. Hofland.

Saya secara pribadi sangat bersemangat ketika melewati jalur ini, selain memiliki pemandangan yang indah, di sepanjang jalan juga bisa membayangkan perjalanan para administratur dan para pekerja perkebunan lainnya yang biasa menggunakan jalur jalan ini dalam berbagai keperluan untuk menuju Kota Bandung ataupun Subang.

Potongan jalur Bukanagara-Cisalak dari Google Maps dan Peta Topografi Belanda (KITLV)

Perjalanan kami mulai dari daerah Regol, Bandung, dengan tujuan awal ke Maribaya lewat Buniwangi. Memasuki kawasan wisata Maribaya, kami meninggalkan jalan utama dan langsung menghadapi sebuah tanjakan yang cukup curam dengan belokan yang tajam. Di tengah-tengah tanjakan ini ada lubang-lubang dengan batu besar-besar yang tidak kami temukan di perjalanan sebelumnya. Oleh karena itu, kami harus selalu berhati-hati dan memperhatikan jalan dengan lebih cermat.

Selepas dari tanjakan tersebut, kami memasuki kawasan perkebunan yang luas. Dari sana, jika kita melihat ke belakang, ke arah Maribaya, terlihat jelas bentangan Patahan Lembang. Di depan, adalah jalur perjalanan menyusuri ladang-ladang, hutan pinus, dan kawasan perkebunan. Jalur ini akan membawa kami menuju Puncak Eurad yang saya anggap sebagai titik awal jalur jalan tua ini. Pemandangan alam di sepanjang jalan ini pun sangatlah indah, bahkan kami bisa melihat pemandangan kota di kejauhan dari atas sini.

Continue reading

Coffee Break di Kafe Nyentrik yang Menyuguhkan Pemandangan

Oleh : Fikri M Pamungkas

Hari ini, untuk yang kedua kalinya saya bersama Komunitas Aleut dan tim yang tergabung dalam ADP 2023 melakukan perjalanan momotoran ke Kota Nanas alias Subang. Rute perjalanannya sebagian hampir sama dengan perjalanan dua minggu lalu, tapi bukan Aleut namanya jika rute yang sama persis, maka tentunya ada hal yang berbeda. Selain itu, momotoran kali ini dilakukan hari Jumat, 22 Desember 2023, berbeda daripada jadwal momotoran biasanya.

Seperti biasa, beberapa hari sebelum momotoran saya bersama rekan ADP 2023 mengumpulkan informasi dan tujuan-tujuan yang akan dicari. Mencari informasi dari berbagai sumber literatur, misalnya buku, internet, serta dari web yang menyediakan peta-peta lama, sudah merupakan bagian dari tradisi dan proses belajar dan pelatihan di Aleut, terutama untuk saya dan rekan ADP 2023. Oiya tepat sehari sebelum momotoran, saat kami menyusun rute perjalanan, ADP 2023 telah mengadakan kelas literasi pengenalan peta dasar yang dilaksanakan di sekretariat Komunitas Aleut sore hari Kamis, 21 Desember 2023, jadi setelah menyerap apa yang telah disampaikan saat kelas literasi, langsung saja dipraktikkan di lapangan.

Dari sekian panjangnya rute perjalanan momotoran kali ini, ada satu tempat yang menarik, nyentrik, nan unik bagi saya, yaitu Cupumanik Coffee. Hayu ikut saya ke sana.. Singkat cerita, kami berangkat pagi hari dari Sekretariat Komunitas Aleut, lalu melaju melewati jalur Buniwangi, Maribaya, terus belok kiri melewati Desa Wangunharja, Cikawari, serta Puncak Eurad. Dari jalur tersebut tidak ada yang berbeda dengan perjalanan dua minggu sebelumnya, hanya lebih cepat karena tidak berhenti-berhenti lagi. Begitu pun dengan cuaca, panas teriknya matahari tetap menemani perjalanan ini. Sesampainya di Perkebunan Bukanagara, saya melirik sebelah kanan, tepat diatas perkebunan teh terdapat bangunan peninggalan kolonial Belanda berupa bangunan afdeling atau administratur perkebunan. Namun kali ini kami tidak berhenti dikarenakan tempat itu telah dikunjungi dua minggu lalu.

Rumah afdeling perkebunan, dokumentasi dua minggu lalu saat Momotoran Subang Part-1 yang dapat dibaca dalam tulisan-tulisan lain di website Komunitas Aleut. Foto: Fikri M. Pamungkas.
Continue reading

Senyum Terkembang di Subang: Sebuah Catatan Perjalanan (Bagian 2)

Oleh: Irfan Pradana Putra

PLTA CIJAMBE

PLTA Cijambe adalah salah satu Pembangkit Listrik Tenaga Air tertua yang ada di Jawa Barat, bahkan Indonesia. Usia sebenarnya bahkan jauh lebih tua dibanding PLTA Gunung Tua yang juga terletak di Subang. Rencananya jika sempat, kami juga akan berkunjung ke Gunung Tua.

Air PLTA Cijambe bersumber dari dari kali Cigadog yang ditahan di danau Gunung Tua. Dua turbin tipe Francis digunakan untuk menggerakkan masing-masing alternator 600 kW Brown Boveri (1924), dengan jalur distribusi menuju Subang dan koneksi ke PLTA Cijambe serta Cinangling Dawuan.

PLTA Cijambe dengan tulisan “Tjidjambe  – Anno – 12 October 1952” di dindingnya. Foto: Komunitas Aleut.

Sebagaimana Bandung memiliki Perusahaan Listrik GEBEO yang membangun PLTA Dago Bengkok, Subang juga memiliki perusahaan serupa, namanya EDUCO Maatschappij ter Exploitatie van Openbare Werken op de Pamanoekan en Tjiasemlanden (Electricity Department Utilities Company) yang membangun tiga PLTA di Kabupaten Subang, yaitu Cijambe, Gunung Tua, dan Cinangling. Selain tiga PLTA itu, masih ada tambahan satu Pembangkit Listrik Uap di Pabrik Sisal/Agave Sukamandi dengan kapasitas 800 kW, yang menggunakan bahan bakar kayu dan sampah Sisal/danas.

Namun, bagaimana dengan kebutuhan listrik di daerah yang tidak terjangkau oleh ketiga PLTA tersebut – seperti Cipunagara, Manyingsal, Cigarukgak, Sumurbarang, Bukanagara, dan Jalupang?

Bukanagara, misalnya, memiliki saluran 6 kV yang diisi daya dari pembangkit listrik tenaga air dengan alternator berpenggerak roda Pelton sekitar 75 kW dan trafo step up sekitar 100 kVA, 380V/6kV. Manyingsal memiliki mesin diesel 50 hp yang menggerakkan generator DC Morse sekitar 20 kW (220V). Jalupang memiliki alternator 18 kW yang digerakkan oleh diesel. Tjipoenegara menggunakan lokomotif Marshall sekitar 80 hp yang menggerakkan generator DC sekitar 5 kW, 220V. Beberapa tempat seperti Cigarukgak, Sumurbarang, dan Tjipeundeuj (Cipeundeuy) menggunakan diesel lighting set di rumah manajer, umumnya pada 220 atau 110 volt. Hingga saat ini PLTA Cijambe masih beroperasi dan menjadi pemasok utama listrik di daerah Subang, khususnya Kasomalang hingga Ciater.

Selama berkeliling area PLTA Cijambe, kami ditemani oleh Pak Awang, salah satu pegawai yang sehari-hari mengontrol PLTA. Ia mengantar kami ke sebuah bangunan tua yang kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Menurut keterangannya, bangunan ini dulunya digunakan sebagai kantor administrasi PLTA. Kami juga sempat berbincang dengan Pak Awang perihal PLTA Gunung Tua. Ternyata secara rutin dan bergiliran Pak Awang juga bertugas mengontrol PLTA Gunung Tua.

Bekas Kantor Administrasi PLTA Cijambe. Foto: Komunitas Aleut.
Continue reading

Rumah Sakit PTPN VIII; Jejak Warisan Kesehatan Di Subang

Oleh: Elisa Nur Azizah

Dalam minggu ini, Komunitas Aleut kembali mengadakan Momotoran Subang, kali ini adalah bagian kedua, lanjutan dari Momotoran Subang bagian pertama tanggal 19 November lalu. Tujuan kali ini sebenarnya lebih banyak untuk pengenalan Kota Subang, sayangnya, ketika kami berkeliling di sekitar Alun-alun yang dihiasi oleh bangunan bersejarah seperti SMP 1 Subang, RS PTPN VIII, Hotel Subang Plaza, dan lainnya, kami hanya mampu mengamati dari atas motor saja, tidak sempat berinteraksi dengan warga setempat. Ya, karena banyaknya lokasi yang dituju, jadi tidak semua tempat bisa dimampiri satu per satu.

Tanpa mengurangi rasa penasaran, saya memutuskan untuk mengunjungi kembali Rumah Sakit PTPN VIII yang beralamatkan di Jalan Oto Iskandar Dinata No.1, Karanganyar, Coklat, Subang. Dalam kunjungan ini sempat teringat, bahwa setiap kali saya atau keluarga berobat, kami selalu melibatkan rumah sakit ini, karena pelayanannya yang memuaskan.

Prasasti pembukaan Rumah Sakit Pamanoekan en Tjiasemlanden pada 25 Juli 1914 menjadi saksi bisu awal perjalanan RS PTPN VIII yang kini lebih dikenal sebagai RS PPN di Kota Subang. Prasasti tersebut dibuat tentunya sebagai penanda sejarah, namun sayangnya, saat saya mengunjungi RS PTPN VIII ini, keberadaannya tidak begitu diketahui lagi oleh pengunjung umum. Menurut Bapak Mugia Nugraha yang pernah memotret prasasti tersebut, prasasti RS PTPN VIII dapat dilihat dengan menghubungi Ibu Irma yang menjabat sebagai Ketua Bidang Tata Usaha di RS PTPN. Informasi ini saya peroleh setelah sebelumnya menghubungi Pak Mugi via instagram message untuk mencari informasi lebih lanjut.Pertanyaan yang muncul saat itu, apakah prasasti tersebut tidak lagi tertempel di dinding, atau mungkin tidak lagi diperlihatkan kepada khalayak umum?

Rumah sakit yang awalnya milik P&T Lands ini menorehkan sejarahnya sebagai rumah sakit tertua kedua di Jawa Barat setelah Rumah Sakit Dustira Cimahi (1897). Peresmian RS P&T Land pada masa itu dilakukan oleh Residen dari Batavia, H. Rijf Snijder. Dengan C.H. Strutt sebagai direktur pertamanya dan dukungan dari seorang dokter Eropa, Dr. A.A. Jesse, beserta tim dokter Djawa, RS P&T Lands mampu memberikan pelayanan kesehatan dengan kapasitas mencakup 50 bangsal untuk pribumi dan 6 bangsal untuk orang Eropa, yang mencerminkan perhatian yang besar terhadap kebutuhan kesehatan masyarakat lokal.

Kawasan sekitar kompleks RS PTPN VIII juga menyimpan kisahnya sendiri yang panjang. Di sebelah kanan terdapat sekolah yang dulunya bernama ELS (Europese Lagere School), yang kemudian menjadi SMP Negeri 1 Subang pada tahun 1951. Sementara di sebrang kanan kompleks, dulunya berdiri Kantor Keuangan perusahaan Inggris yang menjadi saksi bisu perubahan zaman. Setelah Inggris, kemudian gedung ini berada dalam pengelolaan perusahaan Belanda, bahkan sempat menjadi hotel pada tahun 2000 dengan nama Hotel Subang Plaza. Subang Plaza tersebut sekarang sudah dimiliki oleh pihak RS PTPN VIII dan rencananya dua tahun ke depan akan dikembangkan menjadi Rumah Sakit juga.

Di Jalan Taman Sari 1, berseberangan dengan Rumah Dinas Wakil Bupati Subang, terdapat asrama karyawan rumah sakit. Menurut salah seorang karyawan RS PTPN VIII, setiap asrama atau satu bangunan tua, dapat menampung empat hingga lima orang karyawan. Asrama ini dibangun bersamaan dengan peresmian RS PTPN VIII pada tahun 1914. Saat saya berkunjung ke sana, hujan sedang turun dengan derasnya, sehingga mengurangi pandangan saya terhadap lingkungan sekitar. Yang dapat saya perhatikan adalah keberadaan tiga buah bangunan asrama, dan tidak dapat memastikan apakah masih ada asrama lain di belakang ketiga bangunan tersebut.

Asrama Karyawan RS PTPN VIII. Foto: Elisa Nur Azizah.
Continue reading
Newer posts »

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑