Setiap ada yang menyebutkan nama Soesman dalam konteks kesejarahan Kota Bandung, yang muncul dalam benak saya selalu sosok seorang pribumi. Setelah mencoba mencari informasi lebih banyak, ternyata sosok ini adalah seorang Belanda totok.
Nama lengkapnya adalah Francois Joseph Henry Soesman, sering disingkat F. J. H. Soesman, kelahiran Semarang pada tanggal 18 September 1851. Soesman menjalani sebagian besar hidupnya di Semarang dan memiliki kontribusi besar terhadap kemakmuran dan pertumbuhan Semarang.
Selama masa tinggalnya di Semarang, tercatat tahun 1898 Soesman mendirikan “Soesman’s vendu- commissie en emigratie-kantoor (Kantor lelang, komisi dan imigrasi Soesman)”. Kantor ini dengan cepat memperoleh semacam monopoli dalam mengimpor kuda Australia, termasuk kuda kecil untuk dogcars dari Sumba dan Bima, serta kuda Australia besar untuk kendaraan pribadi yang lebih elegan.
Beberapa waktu lalu Komunitas Aleut melakukan satu kegiatan penelusuran data atau kisah yang berkaitan dengan jejak-jejak keberadaan lembaga British Council di Bandung. Kegiatan ini dilakukan karena ada permintaan untuk terlibat dalam peringatan ulang tahun British Council yang ke-75.
Dalam penelusuran tersebut Komunitas Aleut menemukan fakta bahwa kantor pertama British Council di Indonesia terletak di Huis Zuur atau Sumatrastraat 46. Huis Zuur atau Rumah Zuur merupakan kediaman Willem Frederik Zuur seorang pemilik dan direktur dari N.V. Maatschappij tot Exploitatie der Suikeronderneming Djatiwangi.
Penelusuran tersebut terus berlanjut dari waktu ke waktu, hingga akhirnya dapat ditemukan informasi terkait arsitek Huis Zuur, yaitu Simon Snuijf.
SIMON SNUIJF
Simon Snuijf dilahirkan pada tanggal 11 Juni 1880 di Amsterdam, Belanda, dari pasangan Joseph Snuijf dan Rozette Sijes. Snuijf menikah dengan Maria Elisabeth Johanna van Crasbeek pada tanggal 20 Desember 1907 di Delft, Belanda Selatan dan pasangan ini bercerai pada tanggal 17 Februari 1926.
Simon Snuijf (Spiegel Historial)
Pada tahun 1899-1903, Snuijf menempuh pendidikan teknik sipil di Kota Delft. Tahun 1907-1919 ia bekerja di Burgerlijke Openbare Werken (BOW) di Batavia. Saat itu Snuijf mempunyai minat terhadap sirkulasi air minum dan sejenisnya. Minat ini ia implementasikan di akhir karirnya sebagai arsitek untuk membuat berbagai jaringan Waterleiding di kota-kota besar seperti Surabaya, Madura, Jember dan Banjarmasin. Di penghujung karirnya tahun 1934-1941 Snuijf menjadi Insinyur penasehat dan pelaksana tentang sumber air di kawasan urban.
Setelah bekerja di BOW, tahun 1919 Snuijf bergabung dengan Architectenbureau I.B.A. di Batavia bersama dengan FL Wiemans. Lalu karirnya berlanjut saat bergabung Firma I.M.A. de Vries di Surabaya. Sebagian besar bangunan karya Snuijf saat bekerja di BOW adalah Kantor Telepon dan Kantor Pos.
Snuijf juga menjabat sebagai Ketua Kon. Instituut voor Ingenieurs (KIVI) di Jawa Timur. Sebagai seorang Yahudi, tahun 1941 Snuijf harus berhenti sebagai anggota KIVI karena kantor pusatnya di Belanda diduduki oleh Jerman.
Sementara, itulah informasi dari Simon Snuijf yang bisa saya dapatkan. Hingga pada akhirnya Simon Snuijf meninggal tanggal 15 September 1944 di Batavia sebagai korban perang karena ia masuk dalam kamp interniran Jepang.
HUIS ZUUR
Huis Zuur merupakan salah satu dari dua bangunan karya Simon Snuijf di Bandung. Satu lainnya adalah bangunan NILLMIJ yang terletak di Jl. Asia Afrika. Bangunan yang sering disebut sebagai Huis Zuur ini masih kokoh berdiri dan masih dapat kita lihat hingga saat ini.
Huis Zuur tahun 1912 (O. Norbruis)
Huis Zuur terletak di Sumatrastraat 46, posisinya berada di hoek Jl. Sumatera dan Jl. Aceh. Jika kawan-kawan kebetulan lewat, bangunan ini akan terlihat mencolok dengan bentuk, warna dan gaya bangunan yang tentu saja berbeda dengan bangunan lain disekitarnya. Saat ini bangunan Huis Zuur masuk dalam lingkungan militer Kodam 3 Siliwangi.
Rasanya kalau saya tidak salah ingat di salah satu bagian tembok terdapat tulisan “ANNO 1912”, tulisan ini memberi petunjuk bahwa Huis Zuur dibangun pada tahun 1912. Angka tahun yang menunjukan tahun 1912 menandakan bahwa bangunan ini merupakan bangunan dari periode awal perkembangan kawasan di sekitar Jl. Sumatera. Menurut saya ada satu hal yang membuat Huis Zuur ini menarik dan istimewa. Pada bagian menara dari bangunan rumah ini terdapat karya patung arsitektural berupa terakota (tanah liat bakar) berbentuk hewan monyet yang diletakan pada bagian sudut menara. Selain bentuk monyet, ada juga terakota lain di dekatnya, sulit untuk mengenalinya, harus melihat dari jarak dekat agar jelas. Mungkin karya seni arsitektural terakota semacam ini tinggal satu-satunya di Kota Bandung.
Terakota berbentuk monyet karya Brouwer (Bouwkundig Weekblad)
Karya patung ini merupakan hasil karya dari Willem Coenraad Brouwer seorang ahli keramik dan pematung Belanda. Menurut J. Gratama dalam Bouwkundig Weekblad 32 Tahun 1912: “Karya ini memiliki kualitas yang sangat baik, sebuah karya seni yang lengkap, realisme yang hidup, ekspresi abstraksi yang baik melalui stilisasi. Karya patung arsitektural harus abstrak. Terakota pada monyet harus terlihat seperti monyet, tetapi monyet tidak boleh terlihat seperti terbuat dari terakota. Terakota sangat cocok untuk arsitektur bata kita, mampu mencapai efek-efek yang paling kaya dan memiliki pilihan warna serta kombinasi warna yang unggul dibandingkan dengan batu alam. Selain itu, dari segi ketahanan, tanah liat bakar ini tentu lebih unggul daripada batu alam.”
Kantor NILLMIJ Bandung tahun 1922 (CHB)
Kantor NILLMIJ Bandung tahun 1922 (CTM)
Buku Ulang Tahun British Council ke-75 (Komunitas Aleut)
Rasanya spektakuler jika saja diberi satu kesempatan untuk dapat berkunjung menjelajahi setiap sudut bangunan dari Huis Zuur. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat untuk kawan-kawan semua dalam mengapresiasi bangunan-bangunan yang ada di sekitar kita. Tulisan mengenai Simon Snuijf & Huis Zuur saya cukupkan sampai di sini, salam.
Sumber:
Buku Arsitektur di Nusantara, O. Norbruis
Buku Ulang Tahun British Council ke-75, Komunitas Aleut & British Council
Arsitek P. A. J. Moojen diapit dua wanita Eropa berkostum Batak dan Mr. D. Fock, saat pembukaan paviliun Belanda kedua di Pameran Dunia Kolonial di Paris (Wereld Museum)
Hari Jumat, 1 Desember 2023, saya berkesempatan mengikuti kegiatan “Ngobrol di Museum” dengan tema “Mencari Kekhasan Arsitektur Hindia Belanda” yang diselenggarakan oleh Disbudpar Kota Bandung bekerja sama dengan Bandung Heritage.
Ada satu hal yang menarik perhatian saya pada kegiatan tersebut ketika Bapak Aji Bimarsono (Ketua Bandung Heritage) mulai memaparkan materinya. Beliau menerangkan tulisan dari C. P. W. Schoemaker terkait “Arsitektur Indo-Eropa”. Dalam tulisan tersebut Schoemaker menerangkan pendapatnya terkait para arsitek di Hindia Belanda yang mencoba membuat bangunan dengan gaya “Arsitektur Indo-Eropa”.
Berikut ini kutipan dari tulisan Schoemaker di “Indisch Bouwkundig Tijdschrift 31 Mei 1923”:
“Namun, tidak dapat disangkal bahwa akhir-akhir ini telah ada bangunan-bangunan di Indonesia yang dibangun dengan gaya plester pribumi yang monumental, yang juga mencerminkan dorongan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan zaman.”
Jika Moojen, seorang pengagum seni Berlage dari Belanda, membawa prinsip-prinsip sederhana dan kebenaran dari Belanda ke sini, ia bekerja terlalu singkat untuk berkontribusi pada perkembangan gaya tropis yang sebenarnya.
Itu adalah Ed Cuypers, yang pertama kali menunjukkan nilai ornamen Indis di bangunan untuk Bank Javasche, tanpa memasukkan prinsip-prinsip gaya Indis dalam bangunan.”
“Meskipun merasa dan berusaha sebagai orang Indonesia, Maclaine Pont menjadi terdepan. Namun, dia pun belum—dengan cinta yang besar pada rakyat, terkecoh oleh seni bangunan kayu Jawa yang rusak—menemukan prinsip-prinsip arsitektur besar di negara-negara yang disinari matahari tropis yang menyengat, kadang-kadang dilanda hujan muson, di mana alam begitu kuat terorganisir, di mana banyak hal yang tak terbatas berkumpul menjadi kesatuan yang hebat, di mana kedamaian yang luas bergabung dengan dorongan kuat dari gunung-gunung tinggi yang dihiasi oleh lembah-lembah dalam.”
Hal menarik bagi saya adalah pendapat Schoemaker yang mengatakan bahwa sebenarnya kontribusi Moojen pada perkembangan gaya “Arsitektur Indo-Eropa” waktunya terlalu singkat. Bayangkan jika saja Moojen mendapat cukup banyak waktu untuk mengembangkan “Arsitektur Indo-Eropa.”