Month: December 2023 (Page 1 of 2)

Titim Fatimah, Cahya Sumirat dari Jalancagak, Subang

Oleh: Komunitas Aleut

Jumat sore itu, 22 Desember 2023, saya berjalan di belakang mengikuti kawan-kawan yang sudah duluan melewati gerbang utama dan memasuki area permakaman umum Istuning di daerah Jalancagak, Subang. Tujuannya adalah mengunjungi makam seorang tokoh seni, seorang sinden, yang pernah besar namanya pada tahun 1960-1970-an lalu: Titim Fatimah.

Kompleks makam yang cukup padat ini tidak terlalu luas, juga bila dibanding dengan lapangan yang ada di sebelahnya, mungking sekitar duapertiganya saja. Kompleks makam terlihat bersih dan terawat, jauh dari kesan kumuh. Pada satu sisi terdapat pohon yang ukurannya besar sekali, pasti usianya sudah tua sekali. Bisa jadi makam ini seusia dengan pohon itu.

Walaupun kami tidak mempunyai informasi detail letak persis makamnya, tapi ternyata tidak terlalu sulit juga mencarinya. Dengan bekal sebuah foto dari google, kami tinggal membandingkan lingkungannya saja, dan … itu dia, yang ada empat tiang tapi tanpa atap. Letaknya tidak jauh dari jalan gang di perkampungan, dan dekat pula dengan pintu keluar masuk di sebelah kiri gerbang utama.

Satu per satu kami mendekati makam yang berpagar besi ini. Di keempat sisi pagar ada tiang-tiang yang harusnya berfungsi sebagai penahan atap, tapi malah atapnya yang sudah tidak ada. Entah atap seperti apa yang dulu melindungi makam ini, dan entah kenapa pula atapnya sekarang tidak ada. Di area makam tidak ada seorang pun, tidak ada yang bisa ditanya.

Makam Titim Fatimah dan kedua orang tuanya. Foto: Komunitas Aleut.

Di dalam pagar ada tiga buah makam, yang paling kiri terbaca pada nisan, namanya Hj. Amsuri binti Rinah, tanggal wafat 26 Januari 194(?). Di bawahnya masih ada tulisan yang sudah kabur, tidak terbaca, sepertinya “Jalan Cagak Subang.” Makam di sebelah kanan kondisi nisannya sama saja, sulit terbaca, namun bila diurut, sepertinya terbaca Damri Sumarta bin Subapraja (?), keterangan wafat dan seterusnya sulit dibaca. Nisan kedua makam ini dilapisi oleh kaca gelap tebal yang menambah kesulitan pembacaan. Badan makam dilapisi oleh porselen putih.

Continue reading

“Bandung adalah ibu kota bagi tiga perempat dunia, juga ibu kota dari separuh Italia.”

Oleh: Komunitas Aleut

Pier Paolo Pasolini di depan makam Antonio Gramsci di Roma, 1970. Wikimedia commons.

“BANDUNG adalah ibu kota bagi tiga perempat dunia, juga ibu kota dari separuh Italia.”

Judul tulisan ini diambil dari sebuah artikel dari Pieter Vanhove yang termuat di website Senses of Cinema pada bulan Desember 2015. Judul artikelnya sendiri juga menyebut nama Bandung, Pier Paolo Pasolini’s “Bandung Man”: The Indian and African Documentaries. Sesuai judulnya, Vanhove membahas karya-karya dokumenter tentang India dan Afrika karya Pier Paolo Pasolini, seorang sutradara film Italia, yang kadang dijuluki sebagai “Bandung Man”.

Julukan atau asosiasi Bandung Man bagi Pasolini berawal dari berbagai pemikiran dan pandangannya tentang kondisi dunia ketiga yang dirumuskannya sebagai Bandung Man dengan referensi langsung kepada peristiwa bersejarah, Konferensi Asia Afrika, yang diselenggarakan di Bandung pada 18-24 April 1955. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh 29 negara Asia-Afrika ini dibicarakan banyak hal terkait upaya perlawanan terhadap kolonialisme, netralitas terhadap Perang Dingin dalam bentuk Gerakan Non-blok, serta peningkatan ekonomi dan kerjasama budaya antarnegara.

Demikianlah, kalimat “Bandung adalah ibu kota bagi tiga perempat dunia, juga ibu kota dari separuh Italia” pun bukan datang dari penulis artikel itu, melainkan dari tokoh bahasannya, Pasolini. Berikut cuplikan artikel Pieter Vanhove:

“Pada tahun 1961, dalam sebuah artikel untuk Vie Nuove , Pasolini untuk pertama kalinya membahas ketertarikannya pada Dunia Ketiga, khususnya yang berkaitan dengan Bandung. Bagi Pasolini, Italia pada awal tahun 1960-an masih merupakan tempat yang ditandai dengan perpecahan yang sama antara negara-negara metropolitan dan bekas jajahannya. Ketimpangan yang luas di dunia pascakolonial mengingatkan Pasolini akan kesenjangan antara wilayah industri di Utara dan pedesaan di Italia Selatan. “Bandung adalah ibu kota dari tiga perempat dunia”, tulisnya di halaman Vie Nuove, “juga merupakan ibu kota dari separuh Italia.”

Vanhove melihat bahwa dalam Konferensi Bandung tahun 1955 itu, negara-negara Dunia Ketiga yang berpartisipasi telah mencoba merumuskan cara-cara alternatif untuk bekerja sama dalam dunia bipolar pada Perang Dingin. Peristiwa tersebut menandai lahirnya Gerakan Non-Blok, dan memberikan pengaruh pada generasi penulis, seniman, dan pembuat film. Dampak dari “Semangat Bandung” ini juga menarik imajinasi para intelektual Barat yang memuncak di akhir tahun enam puluhan dan awal tahun tujuh puluhan, ketika para seniman dan intelektual seperti Pasolini – yang kecewa dengan perkembangan yang terjadi di Uni Soviet – semakin banyak berbondong-bondong ke negara-negara non-blok seperti Ghana, Yaman, dan lain-lain. atau China untuk mencari alternatif.

Continue reading

Berkunjung ke Doofstommen-Instituut Bandung

Oleh: Aditya Wijaya

Awal bulan Desember 2023, saya mendapat kesempatan untuk berkunjung ke SLB Negeri Cicendo Kota Bandung. Ini kesempatan langka, berkat Komunitas Aleut rasanya saya bisa berkunjung ke berbagai tempat yang aksesnya sulit dan terbatas. Sayang rasanya bila pengalaman ini tidak saya tuliskan.

Sesaat setelah memasuki parkiran motor sekolah, seorang rekan Aleut memberi tahu bahwa ada plakat Bosscha di salah satu sisi dinding dekat parkiran. Plakat ini memiliki arti “Untuk mengenang mendiang Tuan K.A.R. Bosscha, yang warisan kerajaannya memungkinkan pembangunan gedung-gedung ini”.

Plakat Bosscha (Aditya Wijaya)

Memasuki beranda sekolah suasananya langsung berubah, mungkin ini suasana sekolah tempo dulu, gumam saya. Tegel sekolah ini masih asli seperti dulu dengan motif kulit jeruk. Genteng-genteng lama juga masih banyak menempel. Pintu dan jendela juga buatan lama, berbahan besi dengan ditandai cap tulisan “Surabaja” yang sudah sulit untuk dibaca.

 Saat itu kami diajak masuk ke ruang “Kepala Sekolah”. Di ruangan tersebut ada plakat dan sertifikat mengenai siapa saja yang berkontribusi dalam pembukaan Doofstommen-Instituut di Bandung. Ada juga foto-foto direktur sekolah dari masa ke masa. Sungguh ini adalah usaha yang bagus dari pihak sekolah untuk menjaga nilai sejarah.

Continue reading

Raden Rangga Martayuda, Jalan Pedati, dan Kademangan Batusirap

Tim ADP 2023

Ini tulisan loncat-loncat, alurnya seingetnya saja.

Dalam beberapa perjalanan Komunitas Aleut melalui daerah Bukanagara, kami selalu mampir ke sebuah tugu “Jalan Pedati’ yang terletak di sisi lapangan di sebrang Pabrik Teh Bukanagara. Begitu juga dengan momotoran pada hari Jumat, 22 Desember 2023 lalu, walaupun jaraknya hanya selisih dua minggu dengan kunjungan sebelumnya, tetap saja kami mampirkan sebentar untuk melihat-lihat lagi.

Tugu ini penting karena menyimpan informasi yang berhubungan dengan pembukaan kawasan Bukanagara untuk dijadikan perkebunan oleh P&T Lands atau Pamanoekan & Tjiasem Landen, dan terutama berhubungan dengan pembukaan jalur jalan yang disebut Jalan Pedati antara Bukanagara dan Cisalak. Berikut ini salinan tulisan pada dua sisi tugu tersebut:

Sisi pertama:

1847

Pembuatan Djalan Pedati

Bukanagara

Oleh

Raden Rangga Martayuda

Tuan Tanah

T. B. Hofland

P&T Lands

Subang

Sisi kedua:

1963

Dibawah Pengawasan Pemerintah

Daerah Tingkat I Djabar

Keputusan Gubernur Kepala Daerah

Djawa Barat

No. 376/BI/PEM/SEK ‘63

9 September 1963

Ketua Letkol Sammy Rahardjo, S.H.

Manager Estate R. E. Kosasih

Tulisan pada tugu di sebrang Pabrik Teh Bukanagara. Foto: Komunitas Aleut
Continue reading

Societeit Mardi Harjo

Oleh: Aditya Wijaya

Dari baca-baca tentang kesejarahan Kota Bandung, rasanya masih cukup banyak hal yang simpang-siur atau belum dapat diketahui juntrungannya. Salah satunya adalah terkait Societeit Mardi Harjo.

Pertama, mari kita berkenalan dengan istilah societeit. Societeit biasa digunakan untuk menyebutkan suatu perkumpulan sosial swasta, dan tak jarang bangunan tempat perkumpulan itu pun disebut societeit pula. Pada abad ke-18 & ke-19, Societeit merupakan perkumpulan eksklusif untuk kaum pria dari kalangan elite atau militer. Awalnya, kata “societeit” berasal dari kata Latin “societas“, yang berarti “komunitas” atau “perusahaan“. Kata ini berasal dari kata “socius“, yang artinya seperti “pendamping“. Oleh karena itu, kata societeit mengacu pada kelompok orang yang memiliki kesamaan.

Bahasan terkait Societeit Mardi Harjo awalnya saya dapatkan dalam diskusi di lingkungan Komunitas Aleut dan beberapa rekan Aleut mengatakan bahwa Societeit Mardi Harjo ini belum banyak muncul dalam diskusi kesejarahan di Bandung.

Jika kita menyebutkan kata societeit di Bandung, asosiasi kita akan langsung tertuju pada Societeit Concordia. Padahal di Kota Bandung paling tidak pernah ada tujuh societeit. Tiga di antaranya khusus untuk orang Eropa, yaitu Societeit Concordia, Vogelpoel, dan Harmonie.

Suasana sebuah pertemuan kaum pergerakan di Societeit Ons Genoegen yang terletak di Jalan Naripan. Walaupun mengutamakan keanggotaan dari kalangan Indo, namun banyak juga pribumi yang biasa datang ke Ons Genoegen, Foto dari buku Balai Agung di Kota Bandung (Haryoto Kunto, Granesia, 1996).

Hal ini menimbulkan sikap diskriminasi dari masyarakat kolonial, maka terpikirkan oleh masyarakat Indonesia yang tinggal di Bandung, terutama para pemuka kaum pergerakan, untuk mendirikan gedung pertemuan atau societeitnya sendiri. Societeit itu kelak berdiri dan dinamakan Societeit Mardi Harjo. Lokasinya terletak di sebuah gedung tua di ujung Jl. Kapatihan, belokan Jl. Dewi Sartika sekarang.

Continue reading

Momotoran Subang, 22 Desember 2023

Oleh: Tim ADP 2023

Rute Momotoran hari ini sebenarnya merupakan edisi lanjutan dari yang sebelumnya, berkeliling di wilayah Subang. Pada bagian awal perjalanan, kami mengulang jalur jalan sebelumnya, yaitu Maribaya-Cupunagara, karena ingin melihat beberapa hal yang kemarin terlewatkan akibat berbelok dadakan ke Ciwangun-Kasomalang.

Sedang tumben juga momotorannya tidak di akhir pekan, melainkan hari Jumat, karena ada beberapa agenda yang tak dapat dihindarkan pada Sabtu-Minggu pekan ini. Jadi, sudah pasti perjalanan akan terpotong sekitar satu jam oleh Jumatan di perjalanan.

CUPUMANIK COFFEE

Coffee break pertama kami lakukan di sebuah kedai kopi bergaya modern di Desa Cupunagara, namanya Cupumanik Coffee. Di sini sekalian mau nengok Cottages Cupumanik juga yang letaknya di seberang jalan, terpisah sedikit oleh kebun kopi. Minum kopi, pesan beberapa makanan dan minuman ringan, setelah itu lanjut jalan.

Perjalanan kali ini dipandu oleh Azura, karena Adit yang biasanya mengelola rute perjalanan sedang absen. Malam sebelumnya, Azura dan beberapa rekan lain sudah merancang rute perjalanan, menentukan titik-titik kunjungan, sebagai bagian dari kelas atau latihan perencanaan perjalanan di Komunitas Aleut. Jalurnya tentu sudah disesuaikan juga dengan kejaran pengalaman dari perjalanan ini. Dengan bantuan google earth atau google maps, perjalanan dilanjutkan untuk menuju Goa Jepang.

Peta digital ini rupanya sempat bercanda, karena mengarahkan kami untuk belok kiri meninggalkan jalan mulus dan masuk ke jalanan sempit naik-turun melewati perkampungan yang tidak terlalu padat. Masuk lebih dalam, sudah tidak terbedakan lagi mana jalur jalan dan mana halaman rumah warga. Yang jelas, setelah beberapa jarak, di kejauhan terlihat badan jalan aspal yang segera menyadarkan kami, bahwa sebetulnya tadi kami tidak perlu belok, karena jalan aspalnya memang nyambung ke sini, haha..

Dibandingkan dengan potongan jalur Maribaya-Cupunagara yang kebanyakan menempuh lereng bukit dan lembah dengan pemandangan perbukitan dan huta di sekitar wilayah itu, jalur Cupuagara-Cisalak ini terasa berbeda. Sebagian besar menembus hutan. Jalanan umumnya bagus, mulus, dan lebar. Jauh lebih lebar dibanding yang terlihat dalam rekaman foto perjalanan Komunitas Aleut beberapa tahun ke belakang. Dari arsip yang ada, perjalanan paling awal sudah dilakukan pada tahun 2007-2008, dan sejak itu berulang kali melewati kembali jalur ini untuk berbagai keperluan dan kegiatan komunitas.

Sisi kiri jalan umumnya tebing-tebing yang menjulang tinggi, kebanyakan tebing tanah merah, pada beberapa bagian ada juga tebing batu atau semacam itu. Sisi kanan, umumnya jurang yang cukup dalam, namun tidak terlalu terlihat karena rimbun dan lebatnya pepohonan dan tumbuhan lainnya. Saat memeriksa lebih dekat, ternyata di balik rimbunan pohonan ini terhampar lembah dan kompleks perbukitan yang luas. Mungkin sisi lain dari Gunung Canggah yang sisi sebelahnya sudah kami lalui sampai tiba di Cupunagara tadi.

Cupumanik Coffee di Desa Cupunagara, Subang. Foto: Komunitas Aleut.
Continue reading

Senyum Terkembang di Subang: Sebuah Catatan Perjalanan (Bagian 1)

Oleh: Irfan Pradana Putra

Pagi ini bener-bener telat bangun, padahal harusnya saya sudah berada di sekretariat Komunitas Aleut untuk mengikuti kegiatan Momotoran ke wilayah Subang. Dengan kecepatan turbo saya mandi oray, mengontak kawan-kawan menanyakan posisi untuk segera saya susul. Dengan kecepatan yang lebih tinggi saya memacu motor mengejar kawan-kawan yang sudah berada di daerah Dago, itu pun sedikit terpotong waktunya karena harus mengisi bensin dulu.

Tidak ada tanda-tanda kawan-kawan akan berhenti menunggu, jadi saya kejar titik pemberhentian pertama saja, di sekitar Maribaya. Saya mengambil jalan menuju kawasan Dago Giri lalu berbelok ke arah jalan Dalem Wangi, yang ujungnya mengarah ke kawasan Maribaya. Akhirnya saya bertemu rombongan juga, di sebuah kampung bernama Wangunharja, di atas Maribaya. Di sini langsung menyimak cerita-cerita seputar Maribaya dan Patahan Lembang yang terbentang di depan kami.

MARIBAYA

Sehari sebelum Momotoran hari ini, kami mendiskusikan dulu rute perjalanan yang akan ditempuh. Titik pertama yang akan kami kunjungi adalah Maribaya. Saya baru tahu kalau Maribaya dulu pernah begitu masyhur, hingga dijadikan judul dan tema sebuah lagu oleh kelompok musik The Cats dari Belanda pada tahun 1973. Setahun sebelumnya band ini tampil konser di Jakarta, dan di sela jadwalnya, mereka sempat mengunjungi Tangkubanparahu dan Maribaya di Lembang. Maribaya rupanya meninggalkan kesan manis bagi band ini:

The beauty of the place just stole my heart

I had never seen a paradise before

Maribaya ternyata sudah terkenal lama sebelum kedatangan band The Cats itu. Pada masa Hindia Belanda, kawasan ini sudah jadi salah satu tujuan wisata favorit, terutama karena keberadaan air terjun dan pemandian air panasnya. Richard dan Sheila Bennett dalam buku Bandung and Beyond yang terbit pada tahun 1980 menggambarkan Maribaya sebagai kawasan perkampungan yang indah. Richard dan Sheila juga menganjurkan agar tidak mengunjungi Maribaya di hari Minggu, sebab – menurut keduanya – setiap hari Minggu Maribaya akan sangat padat, bahkan mereka menyebut setengah penduduk Indonesia saat itu akan memadati Maribaya 🙂 

Meski begitu, sepanjang perjalanan melewati Maribaya hari ini saya tidak merasakan apa yang Richard dan Sheila itu tuliskan. Beberapa objek wisata di Maribaya tampak sepi. Jalanannya pun lengang, padahal saat itu hari Minggu. Zaman sudah berubah, semakin banyak pula pilihan tempat wisata. 

Zaman sekarang, tempat wisata biasa ramai dan padat saat awal buka, media sosial membuat orang penasaran untuk segera berkunjung, tapi tak lama kemudian jadi sepi, ditinggalkan, orang beralih ke tempat wisata yang lebih baru lagi. Begitu seterusnya. Tak heran di mana-mana bisa kita lihat puing-puing tempat wisata yang sudah tidak laku lagi karena tren berubah dengan cepat.

Kawan-kawan menepi sebentar untuk mengamati bentangan Patahan Lembang. Foto: Komunitas Aleut.

PATAHAN LEMBANG

Continue reading

UNI dan Seabad Dunia Sepak Bola di Kota Bandung: Bagian 4

USAHA NANTI ISTIRAHAT

Oleh: Haryadi Suadi

Kesebelasan UNI pada peringatan yubelium emasnya di tahun 1953. Tampak para pemain andalan UNI seperti Franciscus, Saris, Kiswoto, Budel, Kartono, dan Harting. Dok. Haryadi Suadi.

Lahirnya kembali UNI dari keadaan yang kacau balau ini sesungguhnya sesuai dengan cita- cita Kessler almarhum yang tak dapat dipatahkan semangatnya oleh siapa pun untuk bekerja keras demi kepentingan persepakbolaan (Pidato Komandan Militer Letkol Veth pada pembukaan Nieuw Houtrust 1 Maret 1947).

SEJAK tahun 1920-an bangsa kita tidak lagi cuma berpangku tangan sambil menonton. Mereka pun tidak ketinggalan membentuk organisasi sepak bola, seperti Persidja (Jakarta). BVB (Bandung), PSIM (Yogyakarta), VVB (Solo), PSM (Madiun), dan SIVB (Surabaya). Perlu diketahui bahwa Persib (BVB) di masa itu juga memiliki beberapa orang jagoan bolanya yakni Ibrahim Iskandar, Zainul Arifin, Saban, Cucu, Male, Sukiman, Ating Prawirasastra, dan empat orang Belanda, de Wolf, Boogh, Van der Putten, dan Wellfers.

Nama de Wolf di tahun 1930- 1936 terkenal sebagai the best keeper se-Bandung. Dialah yang telah berjasa mempertahankan benteng Bandung dalam kompetisi yang diadakan oleh NIVB di tahun 1931 sehingga kesebelasan Bandung berhasil meraih juara pertama. Ating di tahun 1958 menjabat sebagai Ketua Persib. Sementara itu, Ibrahim Iskandar menjadi Komisaris PSSI Wilayah Jawa Barat.

Kemudian, atas inisiatif Ir. Suratin, Dr. Soetomo, Oto Iskandar Dinata, Mr. Kusumaatmaja, dan Dr. Kayadu pada tanggal 29 April 1930 di Yogyakarta didirikan PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) semacam NIVB buatan Belanda. PSSI telah melahirkan nama-nama Maladi, Sunarto, Sarim, Rakhim, Sumadi, dan Dr. Suroso yang di masa itu mendapat julukan ‘bintang lapangan hijau’. Di tahun 1935 nama PSSI semakin berjaya dan bahkan kepopulerannya mampu mengimbangi NIVB.

Melihat kenyataan ini konon NIVB merasa tersaingi. Oleh karena itu, di tahun 1940 NIVB mengajak bekerja sama dengan PSSI. Tetapi, kerja sama itu hanya sebentar karena tentara Jepang keburu mendarat di Pulau Jawa.

Continue reading

UNI dan Seabad Dunia Sepak Bola di Kota Bandung: Bagian 3

NIEUW HOUTRUST NAMA SPORT HOME MILIK UNI

Oleh: Haryadi Suadi

TRIBUN (panggung) dari kayu yang dibangun UNI di Alun-alun Bandung tahun 1918. Dok. Haryadi Suadi.

UNI harus merupakan kampung halaman untuk setiap pemuda dan pemudi, dari mana pun mereka berasal. Lebih baik kita kalah dengan hormat, daripada kita menang dengan cara yang memalukan.

Kalau kita Inggriskan nama UNI, nama kita menjadi You and I bukanlah I and You (Paatje F. A. Kessler, Ketua UNI 1915).

SELAMA sekira 15 tahun sejak berdirinya pada 28 Februari 1903, UNI telah banyak menemui kesulitan. Terutama dalam soal lapangan tempat berlatih dan menyelenggarakan pertandingan. Tahun 1914 mungkin merupakan puncak dari kesulitan UNI. Pasalnya di masa itu mereka telah terusir dari lapangan Java Straat (Jalan Jawa) yang strategis dan terletak di tengah kota. Di lapang itulah nama UNI mulai populer pang karena mampu mengundang berbagai kesebelasan dari Batavia dan Surabaya. Karena tidak ada pilihan lain dan tidak punya uang untuk menyewa lapangan, mereka terpaksa pindah ke daerah pinggiran. Mereka dengan berat hati menerima tawaran dari Tuan Susman yang mengizinkan UNI dengan gratis berlatih di lapang Tegallega. Lapang tempat pacuan kuda itu merupakan tempat yang agak jauh dari pusat kota. Akibatnya nama UNI agak tersisihkan dan jumlah anggotanya turun drastis menjadi 40 orang.

Untunglah ada dewa penolong, yakni Tuan B. Coops, mantan Asisten Residen yang kemudian diangkat menjadi Wali Kota Bandung. Pada tahun 1914 atas kebaikan Coops, UNI diizinkan kembali menggunakan Alun-alun. Namun dengan syarat, wali kota mengontrakkan Alun-alun kepada pihak UNI selama 7 tahun (1914-1921). Syarat lain yang lebih menggembirakan, yakni UNI boleh memasang pagar darurat yang bisa dicopot setelah pertandingan selesai dan membangun panggung. Sebuah panggung dari kayu yang sederhana, tetapi bentuk arsitektur unik telah dibangun. Suasana Alun-alun Bandung pun jadi bertambah semarak dan meriah. Di saat itulah nama UNI bangkit kembali. Para anggota yang semula meninggalkannya dalam waktu cepat telah bergabung kembali sehingga di tahun 1917 anggota UNI bertambah menjadi 225 orang.

Continue reading

UNI dan Seabad Dunia Sepak Bola di Kota Bandung: Bagian 2

DIUSIR DARI ALUN-ALUN DAN PIETERSPARK

Oleh: Haryadi Suadi

KESEBELASAN UNI di Cirebon tahun 1912. Tampak Teddy Kesler (No. 3 dari kanan) berbaju putih-putih. Dok Haryadi Suadi.

Pemuda-pemuda UNI, janganlah merasa puas dengan hasil-hasil jang sampai sekarang saudara-saudara capai. Tetapi tetap berusaha mendapatkan hasil yang lebih tinggi agar bermain sepak bola  dengan secara sportief, menjadi suatu kegembiraan dalam hidupmu (Wim L. Kuik, Ketua pertama UNI).

KEKALAHAN yang menimpa kesebelasan Bandung dengan angka 12-0 ketika berhadapan dengan BVC Batavia sungguh sangat memalukan. Betapa tidak, disamping semakin merasa minder karena dicukur sampai gundul, juga mereka telah menjadi bahan tertawaan masyarakat. Seperti ditulis Wim Kuik dalam majalah Houtrustika Februari 1958, bahwa setelah bertanding dengan BVC Batavia, para pemain Bandung menjadi lesu. Mereka tampak stres karena menanggung rasa kecewa yang berat. Barangkali hanya Kuik yang berbesar hati dan selalu menasihati rekan-rekannya agar jangan putus asa.

Nasihat Kuik ternyata sangat manjur. Bahwa kekalahan harus menjadi cambuk dan hikmah yang berharga, telah diyakini oleh mereka. Konon semangat mereka bangkit kembali. Dan untuk meningkatkan kemampuannya, mereka punya cita-cita untuk mendirikan perkumpulan sepak bola yang baru yang akan dikelola secara lebih profesional. Sebulan setelah kekalahan yang memalukan itu, Kuik mulai sibuk kembali. Untuk mempersiapkan dibentuknya perkumpulan itu, dia menghubungi para pemain yang dianggap potensial, antara lain Huysmans bersaudara, Kees van der Velde, August Amade, Yap Rogeveen, dan Ernst de Vrees,

Akhirnya, cita-cita untuk membentuk perkumpulan sepak bola ini telah dikongkretkan dalam sebuah rapat khusus yang digelar pada tanggal 28 Februari 1903. Bertempat di gedung Kweekschool (sekarang kantor Polisi Tegallega) dalam ruangan senam, digelarlah rapat yang dipimpin oleh Tuan Kuik sebagai ketua Olympia. Tuaan Kuik tampak duduk di belakang meja bundar didampingi para pengurus Olympia, tuan-tuan Boulet dan Hein Adeboy. Dengan palunya Kuik memukul meja membuka rapat sambil mengucapkan kata-kata penuh semangat, “Tuan-tuan, nyonya-nyonya, selamat datang. Olah raga, memperkuat otot-otot!”

Continue reading

UNI dan Seabad Dunia Sepak Bola di Kota Bandung: Bagian 1

Minggu-minggu belakangan ini kami sedang coba cicil mengarsipkan berbagai dokumen yang selama ini tertumpuk begitu saja di perpustakaan Komunitas Aleut. Kertas-kertas hasil ketikan, fotokopi, print, kliping, segala macam, memenuhi rak-rak dan dan lemari dan sering menjadi pertanyaan, “Ini apa aja isinya ya?”

Dalam salah satu tumpukan itu ternyata ada dokumentasi tulisan-tulisan karya alm Pak Haryadi Suadi, yang sebagian besar pernah dimuat dalam koran Pikiran Rakyat dengan rentang waktu yang panjang, dari tahun 1990-an sampai awal 2000-an. Belum semua juga terperiksa.

Dokumentasi tulisan ini didapatkan langsung dari alm Pak Haryadi Suadi yang ketika itu sering meminta bantuan untuk mendigitalkan beberapa koleksi musik dan film jadul milik beliau. Dokumentasi tulisan Pak Haryadi Suadi semula ditujukan untuk dipublikasikan di blog yang dikelola oleh Komunitas Aleut, sebagian memang sempat dipublikasikan, namun pada awal tahun 2000-an blog dan providernya sudah tidak ada lagi, artinya arsip digitalnya pun ikut hilang.

Beberapa tulisan itu kami salin lagi, dan kali ini kami publikasikan sebagian di sini.

BANDOENGSE VOETBAL CLUB, PERKUMPULAN SEPAK BOLA PERTAMA DI BANDUNG

Oleh: Haryadi Suadi

Kesebelasan “Hercules” dari Batavia yang kerap berhadapan dengan kesebelasan Bandung di awal abad 20. dok: Haryadi Suadi

Tahun-tahun pertama dari abad ini, lambat laun mulai djelas bagi saja, bahwa sepak bola – atau sebaiknja dikatakan tendang-tendangan bola – mulai digemari oleh kebanjakan orang dan tjabang olah raga ini lambat laun tumbuh melampaui keolahragaan lainnja (Wim L. Kuik, Majalah Houtrustica, Februari 1958).

MEMASUKI abad 20, dunia olah raga di kawasan Hindia Belanda agaknya sudah mulai memasyarakat. Hal ini bisa dilihat bahwa di kota-kota besar di Jawa, di masa itu sudah terdapat banyak penggemar olah raga serta perkumpulannya. Cabang olah raga senam, main anggar, renang, loncat tinggi, balap lari, sepak bola, dan sebagainya, sudah biasa dilakukan orang.

Khususnya sepak bola, di masa itu termasuk cabang olah raga yang cukup populer di kalangan masyarakat. Namun harus diakui bahwa yang aktif berolah raga di masa itu hanya masyarakat Belanda, sedangkan orang pribumi hanya sebagai penonton dan tidak pernah turut dilibatkan.

Sejak kapan cabang olah raga sep ak bola ini mulai dikenal di Tanah Air kita, Tuan Wim L. Kuik menulis dalam majalah Houtrustica Februari 1958, sebagai berikut: Di akhir abad 19 masyarakat di Tanah Air kita belum mengenal sepak bola seperti yang kita kenal sekarang. Orang Belanda kelahiran Ujung Pandang tahun 1878 ini mengakui di masa kecilnya belum pernah melihat permainan sepak bola. Satu-satunya permainan sepak bola yang dia kenal hanya sepak takraw, yakni sepak bola tradisional asal Sulawesi.

Continue reading

Opa Hein Buitenweg

Oleh: Aditya Wijaya

Opa Hein, begitulah panggilan yang disematkan Haryoto Kunto kepada Hein Buitenweg. Panggilan ini bisa kita temukan jika membaca buku-buku karya Haryoto Kunto. Dalam bukunya beberapa kali Haryoto Kunto mengutip informasi dari Opa Hein. Siapakah sosok Opa Hein tersebut?

Hein Buitenweg bersama Putrinya sekitar tahun 1940 (Moesson).

Hendrik Christianus Meyer lahir di Belanda pada tahun 1893. Dia pindah ke Hindia Belanda pada usia 7 tahun dan menempuh pendidikan di Semarang dan HBS Surabaya. Saat berusia 16 tahun dia kembali ke Belanda. Di Belanda dia menjadi guru, namun pada tahun 1930-an, kembali lagi ke Hindia Belanda untuk bekerja di BPM (Bataafse Petroleum Maatschappij) di Cepu.

Continue reading

Sekitar Bandung Lautan Api: Simon Tobing

Oleh: Komunitas Aleut

Prasasti Ganesa 10. Foto: Komunitas Aleut.

Di depan kampus ITB Jalan Ganesha ada sebuah prasasti, “Warga Ganesa 10,” isinya adalah daftar nama dengan keterangan asal jurusan pendidikan, tanggal gugur, dan peristiwa terkait yang membuat mereka gugur. Salah satu nama yang disebut adalah Simon Lumbang Tobing, nama yang cukup sering muncul dalam bahasan seputar masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI di Bandung. Kadang ditulis dengan nama lengkap, tapi tak jurang juga disingkat menjadi SL Tobing atau hanya Tobing saja. Dalam prasasti di atas, tercantum keterangan: Simon Lumban Tobing (Mayor), Kogyo Daigaku, Oyokagakuka, Gugur 04-08-1949, Pertempuran DI/TII di Tasikmalaya.

PEMUDA REPUBLIK INDONESIA (PRI)

Nama Simon Lumban Tobing, atau biasa disingkat menjadi Simon Tobing saja, umumnya dikaitkan dengan kelompok perjuangan Pemuda Republik Indonesia (PRI). Kelompok ini semula bernama Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia (PPPI), dibentuk tak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Seluruh anggota kelompok ini berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Ketuanya adalah Suprapto dan markasnya di Jalan Tamblong.

Nama kelompok ini kemudian berubah menjadi Pemuda Republik Indonesia (PRI) dengan pemimpinnya Sujono dan pada jajaran staf-nya terdapat nama-nama yang dikenal sebagai sebagai pemimpin-pemimpin perjuangan, antara lain Sutoko, Mashudi, Surjono, dan Abdul Jabar. Kelompok ini mula-mula bermarkas di Toko Chiyoda (= Toko Kota Tujuh) di Groote Postwe, namun kemudian pindah ke Jalan Raden Dewi.

PRI mengelola pasukan-pasukan di kantor-kantor yang tersebar di banyak tempat di Kota Bandung, di antaranya terdapat di Andir, Sukajadi, Cicadas, Pasirkaliki, Kaca-kaca Wetan, Kosambi, dan Kiaracondong. Berperan sebagai komandan pasukan dalam PRI adalah Simon Lumban Tobing dan Sudarman.

Tatang Endan dalam bukunya “Bandung Lautan Api; Puncakna Perjoangan Rakyat Bandung Ngalawan Tentara Sekutu” (-, 2005) yang ditulis untuk Peringatan 60 Tahun Bandung Lautan Api, menceritakan bahwa selain mengajari keterampilan kemiliteran, Tobing juga selalu menyampaikan informasi seputar perkembangan situasi di luar, di antaranya tentang akan datangnya tentara Sekutu ke Bandung dan bahwa tidak mustahil tentara Belanda pun akan ikut datang untuk menegakkan kembali kekuasaan mereka di tanah bekas jajahannya ini. Disebutkan juga di sini bahwa “Bang Tobing” adalah mahasiswa di Kogyo Dai Gaku (Sekolah Tinggi Teknik/ITB).

Sedikit kisah tentang Simon Lumban Tobing diceritakan dalam buku “Tiada Berita dari Bandung Timur” yang ditulis oleh RJ Rusady W (PT Luxima Metro Media & USR Associates, Bandung, 2010) yang pernah menjadi bawahan langsung sebagai Kepala Bagian Penyelidikan dan Kepala Perhubungan dalam Batalyon 33 Pelopor pimpinan Mayor Tobing.

Pada bulan Februari 1946, Simon Tobing yang memimpin pasukan dalam PRI mengumumkan pembubaran pasukan Polisi Istimewa, dan sebagai gantinya akan membentuk Detasemen Pelopor. Rusady dan kawan-kawannya, antara lain Muchlis, Ukas Padmanegara, Sujoko, Iman Suripto, Sukarjo, Nondon, Ridwan Baay, Yuki Alibasyah, Tito Sumitro, Lukito Santoso, Edi M Achir, Lili Sumantri, Arbain M, menyatakan bergabung. Dari seluruh anggota Pasukan Polisi Istimewa hanya 20 orang saja yang bergabung dengan Detasemen Pelopor yang dipimpin oleh Simon Tobing ini. Yang lainnya bergabung dengan kelompok-kelompok lain yang sesuai dengan keinginan hati masing-masing.

Continue reading

J. W. Ijzerman, Kereta Api, dan Bandung

Para pembaca buku-buku karya Haryoto Kunto yang sering disebut sebagai Kuncen Bandung, tentu sering menemui nama tokoh Dr. J. W. Ijzerman. Namanya ditabalkan sebagai nama taman di sebrang kampus THS, Ijzermanpark, bahkan di teras taman itu didirikan juga patung dadanya. Di caption foto patung dadanya, Haryoto Kunto menuliskan bahwa Dr. Ijzerman berjasa memelopori pendirian Technische Hoogeschool yang sekarang menjadi ITB.

Sejak masa kemerdekaan nama taman itu lebih dikenal sebagai Taman Ganesha, sesuai dengan nama jalan di depannya. Sedangkan patung dada Ijzerman sudah tidak ada, karena sudah dipindahkan ke tempat lain dan berganti dengan monumen abstrak yang biasa disebut Patung Kubus atau Monumen Perjuangan Warga Ganesa 10, walaupun posisinya agak bergeser sedikit.

Dalam buku Semerbak Bunga di Bandung Raya Haryoto Kunto menyebutkan bahwa Ijzerman adalah seorang pegawai Staatsspoorwegen yang merancang dan memimpin pemasangan jalur kereta api dari Bogor ke Bandung. Pada saat itulah Ijzerman merasakan betapa perlunya tenaga teknisi untuk pembangunan, bukan hanya untuk bidang teknik sipil, tetapi juga ahli-ahli mesin dan elektro, semua dibutuhkan untuk melaksanakan pemasangan jaringan kereta api di seluruh Pulau Jawa.

Jan Willem Ijzerman. Koleksi geni.com
Continue reading

Kelas Literasi: Mengenal Dalang Umar Partasuwanda

Catatan Kelas Literasi Komunitas Aleut. Oleh Fikri M Pamungkas

Komunitas Aleut minggu ini, 10 Desember 2023, mengadakan Kelas Literasi bersama Bapak Mumun Partasuwanda. Beliau adalah anak angkat dalang terkenal di Jawa Barat, yaitu R. Umar Partasuwanda. Tempat kami mengobrol pun berlokasi di rumah peninggalan alm. Umar Partasuwanda di Jalan Inhoftank – tak jauh dari Museum Sri Baduga – yang sekarang ditempati oleh Pak Mumun.

Dari Obrolan yang mengalir santai itu, banyak sekali cerita yang disampaikan oleh Bapak Mumun Partasuwanda yang sempat menemani perjalanan Umar Partasuwanda dalang tersohor di Jawa Barat. Pak Mumun menjadi supir kepercayaan yang selalu menemani saat pergi keluar kota untuk pergelaran wayang golek. “Hampir seluruh Jawa Barat sudah ia kunjungi untuk menggelar wayang, apalagi pada bulan Agustus, banyak sekali perusahaan perkebunan di Priangan yang mengundang beliau. Itu bulan paling padat mendapatkan undangan untuk mengisi acara pergelaran wayang golek,“ tutur Mumun Partasuwanda.

AWAL KEMUNCULAN WAYANG DI JAWA BARAT

Sebetulnya tidak banyak sumber yang menceritakan bagaimana sejarah munculnya wayang di Jawa Barat, namun dari beberapa sumber yang ada, disebutkan bahwa awal munculnya wayang di Jawa Barat terjadi pada masa Bupati Bandung Adipati Wiranatakusumah II (memerintah 1794-1829) yang mengundang dalang Dipaguna Permana dari Tegal. Sekelompok kecil dalang yang berasal dari Tegal seringkali diundang oleh para bangsawan Sunda untuk menghibur.

Tercatat juga Bupati Bandung Adipati Wiranatakusumah III (memerintah 1829-1846) mengundang tiga seniman berasal dari Tegal, di antaranya, Ki Darman (pembuat wayang), Ki Rumiang (dalang), dan Ki Surasungging (pembuat alat musik). Menariknya, workshop Ki Darman yang kemudian tinggal di Cibiru, Ujungberung, sampai sekarang masih terkenal sebagai salah satu tempat pembuatan wayang golek yang berkualitas.

Murid Ki Rumiang yang bernama Anting, adalah dalang yang pertama kali menggunakan bahasa Sunda untuk pertunjukan wayang goleknya. Wiranatakusumah III juga menganjurkan agar masyarakat mempelajari wayang dari Jawa dan meminta agar pertunjukan wayang digelar pada siang hari. Jika pergelaran wayang kulit digelar siang hari, maka kulit tipis perlu diubah penampilannya menjadi tiga dimensi supaya dapat terlihat jelas oleh penonton.

Berbicara mengenai wayang golek, khususnya di Jawa Barat, menarik untuk dilakukan kajian lebih mendalam, karena dalam perkembangannya bentuk kesenian ini terus eksis, bahkan sampai sekarang masih banyak warga masyarakat yang menaruh minat besar terhadap pergelaran wayang golek.

Saya menjadi teringat dengan pemikiran Oswald Spengler yang melihat kebudayaan memiliki siklus hidup yang berproses melalui tahapan-tahapan biologis mahluk hidup, yaitu lahir, masa kanak-kanak, masa dewasa, tua, dan mati. Ringkasnya, kebudayaan mengalami proses “lahir”, “berkembang”, dan “mati”.

Continue reading
« Older posts

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑