Month: October 2023

Ngaleut Pertama: Terengah-engah di Citengah, Sumedang

Irfan Pradana

Setelah tertunda 10 tahun, akhirnya saya berkesempatan untuk mengikuti perjalanan Komunitas Aleut. Saya mengenal Komunitas Aleut dari cuitan Zen RS (Pemred Narasinews) sekitar tahun 2013. Kala itu saya sedang gemar membaca tulisan tentang sepakbola yang disajikan oleh Pandit Football, media sepakbola yang juga digawangi oleh Zen RS.

Salah satu rubrik yang paling saya gemari di Pandit Football adalah rubrik sejarah. Rubrik itu menampilkan sepakbola dan kaitannya dengan sejarah. Jenis artikel yang paling menarik minat baca saya saya adalah artikel yang mengupas pertautan antara sepakbola dengan sejarah, khususnya ekonomi politik, baik nasional maupun internasional. Berkat Pandit Football saya menemukan cara yang asyik untuk mengenal peristiwa-peristiwa sejarah.

Usai melihat cuitan Zen tentang Komunitas Aleut, saya mulai membaca tulisan-tulisan di komunitasaleut.com. Perkenalan dengan Komunitas Aleut semakin menambah keinginan saya untuk mengulik sudut pandang baru dalam mempelajari sekaligus menikmati sejarah.

Waktu berlalu, sebab satu dan lain hal saya selalu gagal mengikuti perjalanan Aleut. Urusan kampus dan pekerjaan menyita banyak waktu saya kala itu hingga tak pernah mendapat kesempatan turut serta dalam kegiatan Aleut. Seingat saya, saya hanya satu kali saja pernah hadir di acara diskusi Aleut di Kedai Preanger. Sayangnya saya pun lupa apa tema diskusi saat itu.

Bertahun-tahun tidak lagi berinteraksi dengan Aleut, akhirnya di hari Minggu, 15 Oktober 2023, saya memiliki privilese waktu luang yang bisa saya manfaatkan untuk ikut Ngaleut. Semalam sebelumnya secara mendadak saya menghubungi Rani, salah satu koordinator Komunitas Aleut, guna menanyakan sekaligus meminta izin untuk mengikuti kegiatan Aleut. Syukurlah memang dasar rejeki saya, Rani mengiyakan dan langsung memberi saya info mengenai jadwal serta lokasi titik kumpul untuk keberangkatan esok hari.

Tujuan utama dari perjalanan hari itu adalah sebagai rangkaian kegiatan menyusuri jejak Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Jawa Barat. Rute yang akan kami jalani antara lain Malangbong-Cibugel-Perkebunan Teh Margawindu-Citengah.

Continue reading

Catatan Perjalanan Momotoran Malangbong-Sumedang Lewat Margawindu

Oleh: Fikri M Pamungkas

Minggu ini saya mengikuti kegiatan momotoran bersama komunitas Aleut yang  ke empat kalinya. Saat ikut kegiatan momotoran biasanya selalu membawa motor Honda Astrea Prima 1990, meskipun hanya motor tua, kata kebanyakan orang sih motor tua itu klasik, makin tua makin asik. Tapi untuk momotoran kali ini disarankan oleh teman-teman agar tidak membawa motor itu, selain karena akan terlalu banyak yang bawa motor juga karena diberitahu bahwa nanti akan melewati jalur perjalanan yang terjal.

Cuaca pagi ini cerah. Setelah persiapan dari sekretariat Komunitas Aleut, dimulailah perjalanan kami menuju Malangbong. Awal perjalanan lancar-lancar saja tidak ketemu macet, lain dengan biasanya area Bandung bagian timur, dari Cibiru-Cileunyi sampai Rancaekek, yang terkenal dengan kemacetannya. Di Pom Bensin Rancaekek saya berhenti sejenak, menunggu teman-teman lain yang mengisi bensin, sambil menelepon salah satu teman yang terpisah dari rombongan. Untungnya tidak jauh dari sana kami bertemu kembali dan melanjutkan perjalanan.

Perjalanan begitu lancar sampai melewati Limbangan dan rombongan memutuskan untuk beristirahat sejenak meluruskan kaki dan punggung. Memesan minuman, kopi, dan makan gorengan dengan cabe, menjadi pilihan yang tepat, rasanya begitu nikmat. Sembari makan kami banyak mengobrol dan bercerita mengenai tujuan momotoran kali ini, yaitu ke warung Bu Farida, istrinya Pak Sardjono (alm), anaknya SM Kartosuwiryo. Lalu akan ke makamnya Rd Dewi Siti Kalsum, istri SM Kartosuwiryo, dan tentunya mengenal sejarah peristiwa DI/TII di Jawa Barat, khususnya di jalur yang kami lewati. Setelah selesai istirahat, kami melanjutkan perjalanan dengan mengambil jalur memotong. Tak jauh dari masjid Al-Barokah Malangbong ada belokan ke arah kiri berupa turunan, lalu melewati pemukimanan warga, kemudian sedikit menanjak sampai akhirnya di sebuah turunan lagi sudah terhampar pemandangan sawah yang begitu gersang. Cuaca terasa sangat panas dan jalanan penuh debu.

Foto: @DeuisRaniarti

Akhrinya sampai juga di warung Bu Farida, lokasinya di Kampung Bojong, Mekarasih, Kecamatan Malangbong. Tak lama, Bu Farida keluar dari dalam rumahnya, lalu bertanya-tanya mengenai keadaan sekarang, karena Komunitas Aleut sebelumnya memang pernah mampir ke sini, sehingga Bu Farida masih ingat.

Saya baru pertama kali kesana bertemu dengan beliau, sangat baik dan ramah. Dengan ramahnya beliau mempersilakan kami untuk masuk ke dalam rumahnya dan ditawarkan untuk mengobrol dengan putrinya. “Neng mangga bilih bade nyarios sareng pun anak da kaleresan nuju aya di bumi, ujar Bu Farida, kepada teh Rani.

Continue reading

Momotoran Panas ke Malangbong-Cibugel-Margawindu-Citengah

Ditulis oleh: Aditya Wijaya

Suara keyboard terdengar renyah saat saya mengetikkankan “Donovan’s Greatest Hits” di kolom pencarian Youtube. Rangkaian lagu dari Donovan ini akan menemani saya menulis kisah ini dan mungkin lagu-lagu lainnya yang akan menemani para pembaca.

Ini adalah catatan perjalanan momotoran Aleut yang kali ini terasa berbeda, pasalnya tema Momotoran Malangbong-Cibugel-Margawindu amat saya nantikan. Obrolan, diskusi, dan bacaan, menjadi bekal penting agar saat berkunjung ke suatu tempat bisa menjiwai, memaknai, dan membayangkan apa yang sudah terjadi di masa lalu, dan dampaknya di masa depan.

Tepat pukul delapan pagi di Hari Minggu dari Sekretariat Komunitas Aleut di Sri Elok, lima sepeda motor memacu kendaraannya ke arah timur. Langit biru dengan sedikit awan serta panas sinar matahari menemani perjalanan ini. Keadaan jalanan penuh debu dan sesekali kerikil kecil masuk ke mata, menyelusup melewati helm dan kaca mata.

Saat itu jalanan provinsi yang kami lewati sangat lengang. Beberapa perubahan kondisi lingkungan sangat terasa, khususnya di sekitar Cileunyi-Cicalengka. Maklum, ada jalur tol baru ke arah Sumedang yang nantinya akan dibangun juga jalur tol ke arah selatan. Jalanan ini sudah sering saya lalui, dari kecil saya terbiasa melakukan perjalanan dari Bandung ke arah selatan untuk berkunjung ke kampungnya Bapak. Jadi saya dapat merasakan perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi.

Nagreg-Limbangan-Lewo dilalui dengan was-was. Di jalur ini masih ada beberapa truk-truk besar yang jalannya lambat dan memaksa saya harus segera mendahului. Jika terus bermotor di belakang truk tersebut seringkali dikentuti dengan kepulan asap berbau solar dan suara bising tidak menyenangkan. Menyalip di jalur ini butuh konsentrasi penuh karena di sisi berlawanan banyak bis-bis cepat serta jalur yang berkelok-kelok dan lumayan menanjak.

Ada dua tempat yang sering saya dan keluarga jadikan tempat beristirahat. Pertama, Rumah Makan Tahu Sumedang sebelum Limbangan dan kedua, Pom Bensin yang ada air panasnya di Ciawi. Tetapi dengan Aleut ada satu tempat lain, yaitu warung di Lewo, rekomendasi seorang rekan dan sekarang dijadikan tempat langganan untuk beristirahat. Kami beristirahat di warung ini, lumayan untuk mengganjal perut kosong. Ada gorengan dengan bermacam variasi ditambah leupeut jika tidak kesiangan datangnya. Jika ingin makan berat juga ada beberapa menu makan seperti ayam goreng, timbel, dan lainnya.

Foto: @DeuisRaniarti

Setelah beristirahat, kami melanjutkan perjalanan menuju Malangbong, persisnya ke Kampung Bojong. Tak jauh dari warung tempat istirahat tadi, kami belok ke arah Desa Cibunar. Jalanan ke arah desa sedikit rusak tapi bisa dilalui dengan mudah. Di kiri-kanan jalan sawah-sawah yang telah panen terlihat berwarna putih, sangat kering, sementara batang-batang bambu pun tak mau kalah menampakkan kekeringan dan gersang.

Continue reading

Kisah Rob Aernout di Jayagiri

Oleh: Aditya Wijaya

Perkenalan saya dengan Aernout bermula saat mencari materi mengenai salah satu tokoh yang dimakamkan di Makam Pandu. Alkisah tokoh tersebut memiliki kaitan dengan seseorang yang bernama Aernout. Tulisan berikut ini banyak mengambil dari buku “De Zaak Aernout” yang ditulis oleh Peter Schumacher.

Buku “De Zaak Aernout” (Peter Schumacher)

Robert Carel Leo Aernout lahir pada tanggal 18 April 1911 di Den Haag. Awalnya ia mempelajari mengenai pertanian tropis. Pada tahun 1939 ia berangkat ke perusahaan teh pamannya di Jawa untuk mendapatkan pengalaman bekerja. Tiga bulan kemudian ia mendapat pekerjaan di perusahaan teh lain tidak jauh dari tempat pamannya.

Tak lama kemudian, tunangannya datang menyusul dari Belanda dan mereka menikah. Saat pecahnya perang dengan Jepang, Aernout dimobilisasi. Pada bulan Maret 1942 ia menjadi tawanan perang Jepang dan masuk ke berbagai kamp di Jawa. Istri dan dua anaknya yang lahir tak lama sebelum perang diinternir di berbagai kamp perempuan selama pendudukan Jepang. Pada tahun 1946, keluarganya menetap di Bandung.

Usai masa perang, Aernout bertugas sebagai pengemudi di Brigade V KNIL. Setelah dipromosikan dengan pangkat perwira terendah pada akhir tahun 1946, ia bekerja di Departemen Koordinasi Transportasi Militer (CMV). Tugasnya adalah mengatur sarana transportasi yang memadai untuk mengangkut barang, tentara, dan terkadang ternak melalui jalan darat, kereta api, dan pesawat. Aernout juga harus memastikan bahwa segala sesuatu di sepanjang rute yang dilalui berjalan dengan aman. Untuk itu, ia rutin menghubungi petugas dan bintara yang mengetahui situasi di lokasi. Ia juga rutin berkonsultasi dengan petugas keamanan, termasuk Letnan Otto Muller von Czernicki yang bekerja di bandara Andir.

Pembunuhan Rob Aernout

Awalnya kisah pembunuhan Aernout hanya menarik sedikit perhatian, mungkin karena alasan yang agak sinis, bahwa setelah Perang Dunia Kedua di Indonesia yang sedang memperjuangkan kemerdekaan, tentara Belanda sering menjadi korban para pejuang kemerdekaan atau geng-geng yang berniat menggerebek dan menjarah rumah-rumah orang Belanda (rampok).

Continue reading

Mencari Tegal Padoeng; Preanger Schetsen, 1895

Oleh: Komunitas Aleut

Judul di atas ini bukanlah judul kegiatan Ngaleut atau Momotoran kami kali ini, melainkan mengacu pada sebuah buku yang ditulis oleh P. De Roo de la Faille, diterbitkan oleh G. Kolff & Co, di Batavia tahun 1895. Sudah lama sekali, 128 tahun yang lalu. Pada colofonnya, tertera keterangan Niet in den Handel alias tidak tersedia secara komersial atau ya kira-kira tidak untuk dijual. Kami juga tidak memiliki buku ini secara fisiknya, hanya berupa dokumen digital yang kami dapatkan dari lembaga penyedia dokumen-dokumen lama melalui internet.

Beberapa waktu belakangan ini kami secara random saja selalu membahas isi buku ini, terutama yang berhubungan dengan nama-nama tempat yang disebutkan di dalamnya. Satu per satu tempat-tempat itu kami kunjungi dengan bermotor, tidak dengan perencanaan yang serius atau dengan kegiatan yang intensif juga, tetapi lebih karena kebetulan saja ada beberapa kali kegiatan kami, yang berhubungan dan kebetulan lagi, berdekatan dengan nama-nama tempat tersebut.

Begitu juga Minggu kemarin, 8 Oktober 2023, kami ingin menyelesaikan catatan kami tentang nama Tegal Padung yang disebutkan dalam buku itu, bahkan dijadikan sebagai lokasi acuan dalam salah satu bab-nya: Beberapa peninggalan purbakala di plateau Tegal Padoeng dan di desa Paboentelan. Sepertinya nama ini pernah penting di masa lalu:

“Tersembunyi di antara dua gunung, Malabar dan Rakutak, di kaki Gunung Windu, pada ketinggian 5000 kaki berdiri plateau kecil, Tegal Padung.”

Sebelumnya, kami sudah beberapa kali menelusuri nama ini, dengan bekal peta-peta lama, ke lokasi mulai dari Tjikembang, Lodaja, dan di sekitar perkebunan Kertasari sekarang. Sudah kami dapatkan sejumlah gambaran dan kami datangi nama-nama tempat lama yang ternyata masih hidup sampai sekarang, di antaranya Tjikembang, Lodaja, dan Argasari, serta nama-nama sudah menjadi samar saat ini, seperti Tjibitoeng, Paboentelan, atau Tegal Padoeng.

Continue reading

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑