Tulisan ini merupakan hasil latihan Kelas Menulis sebagai bagian dari Aleut Development Program 2020. Tulisan sudah merupakan hasil ringkasan dan tidak memuat data-data penyerta yang diminta dalam tugas.
Ditulis oleh: Farly Mochamad
Sungai Puar
Terdapat sebuah kampung yang permai di daerah Agam, Sumatera Barat. Namanya Sungai Puar. Gunung Merapi di timur, Gunung Singgalang di barat, lalu Danau Maninjau di barat Gunung Singgalang, serta Danau Singkarak di selatan. Indah nian.
Warga Sungai Puar terkenal dengan kerajinan rumahan besi dan baja dengan mutu yang baik. Sungai Puar sering disamakan dengan Sollingen di Jerman Barat, sebuah kota yang banyak menghasilkan besi dan baja, karena itu ada istilah Sungai Puar sebagai Sollingen van Sumatra.
Di kampung ini, pada tanggal 3 Juli 1883, lahir seorang bayi laki-laki dalam keluarga terpandang, ia adalah Abdoel Moeis. Ayahnya seorang Larak Sungai Puar, semacam camat, yang mempunyai perusahaan korek api, namanya Haji Abdul Gani. Ibunya berasal dari Kota Gadang, negeri yang terbilang maju di Sumatra Barat. Ibunya masih berhubungan darah dengan Haji Agus Salim, orang terpelajar yang berasal dari negeri itu. Sejak kecil Abdoel Moeis terbiasa mendengar hiruk-pikuk besi yang ditempa, sama seringnya dengan mendengar orang-orang berdebat dan bersilat lidah. Orang-orang Minagkabau terkenal pandai berbicara.
Batavia
Abdoel Moeis menjalani pendidikan di STOVIA (sekolah Dokter) di Batavia. Di sekolah ini Abdoel Moeis sibuk mengejar cita-citanya, tapi ia juga tak melupakan pergaulannya. Ia berteman dengan pemuda yang berasal dari berbagai daerah dan sering bertukar informasi tentang keadaan daerahnya.
Di STOVIA banyak sekali peraturan dan pembedaan, seperti orang Jawa dan Sumatra yang tidak beragama Kristen, mereka tidak boleh menggunakan pakaian Eropa. Lantas pakain seperti apa? Mereka diwajibkan memakai pakaian dari daerah masing-masing. Selain itu, sikap Belanda sangat angkuh dan sombong, malah orang Cina diberi kedudukan lebih tinggi dari pribumi.
Ketika Abdoel Moeis naik ke tingkat ke tiga yang sering sekali praktik, ia selalu merasa pusing, sehingga ia berpikir, apakah sebaiknya keluar saja dari sekolah dokter itu? Pikirannya penuh oleh pertanyaan: Apakah tidak sia-sia saja orang tua sudah membiayai sekolahnya? Pastilah mereka akan marah. Mau jadi apa nanti? Tukang kerajinan besi, atau bekerja di perusahaan korek ayah? Abdoel Moeis akhirnya memberanikan diri berbicara kepada orang tuanya. Ternyata tanggapan mereka cukup tegas dan bijaksana, “Mungkin ini bukan takdirmu, manusia boleh berkehendak, tapi Tuhanlah yang menentukan.” Ia lalu bekerja menjadi pegawai di Departemen Agama.
Bandung
Abdoel Moeis pindah ke Bandung dan menjadi sangat aktif di kota ini. Mula-mula ia bekerja di surat kabar Preanger Bode. Surat kabar ini menggunakan bahasa Belanda, pemimpinnya pun orang Belanda. Ia diberi pekerjakan sebagai korektor. Selama mengoreksi tulisan, ia sering membaca tulisan yang berisi penghinaan pada bangsa Indonesia. Dia selalu protes ke pemimpinnya, tapi tak bersambut. Tak habis ide, ia kirimkan naskah yang ditulisnya sendiri ke Surat Kabar De Express.
Surat Kabar De Express
Surat Kabar De Express merupakan surat kabar berbahasa Belanda yang dipimpin oleh Tiga Serangkai: Douwes Deker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soewardi Soerjaningrat. Surat kabar ini menyuarakan jiwa kebangsaan Indonesia. Banyak tulisan Abdoel Moeis dimuat dalam surat kabar ini.
Surat Kaum Muda
Karena sering bertengkar dengan pemimpinnya di Preanger Bode, Abdoel Moeis akhirnya diberhentikan. Ia kemudian pindah kerja ke surat kabar Kaum Muda yang telah mengenal kiprah Abdoel Moeis sebelumnya. Di sini Abdoel Moeis menjadi pemimpin redaksi dan mempunyai ruang kerja sendiri yang diberinya nama, Keos. Artinya, yang kalah dan takut.
Sarikat Islam
Selain sebagai jurnali, Abdoel Moeis juga aktif dalam organisasi Sarikat Islam. Ia diangkat sebagai wakil ketua Serikat Islam cabang Jawa Barat. Tidak lama setelah ini, Ia diangkat juga menjadi anggota Sarikat Islam Pusat.
Indische Partij
Pada zaman itu, orang boleh masuk lebih dari satu partai. Abdoel Moeis bergabung juga dengan Indische Partij yang merupakan bagian dari surat kabar De Express. Di sini ia menjadi staff redaksi dan membuat banyak karangan dengan kode nama AM.
Surat Kabar Neraca
Tahun 1916 Abdoel Moeis memimpin Surat Kabar Neraca, bersama dengan Haji Agoes Salim. Surat kabar yang cukup terkemuka ini menyuarakan haluan politik Sarikat Islam.
Indie Weerbarr
Indie Weerbarr adalah sebuah komite yang menuntut kepada Pemerintah Belanda agar pengelolaan Indonesia diperkuat. Tiga utusan dari komite ini berkunjung ke Belanda, salah satunya adalah Abdoel Moeis. Di Belanda, mereka dijamu oleh Ratu Wihelmina, lalu dibawa melihat gudang-gudang senjata. Abdoel Moeis juga ditawarkan untuk naik pesawat terbang. Di atas pesawat, ia terkesan dan pikirannya terbuka, bahwa bangsanya patut meniru kemajuan teknologi di dunia Barat. Dalam setiap kesempatan berbicara dengan para pemimpin Belanda, Abdoel Moeis menyampaikan idenya untuk membangun sekolah teknik di Hindia Belanda. Usulnya ini disambut baik oleh Pemerintah Belanda, sehingga beberapa tahun kemudian berdirilah Technicsche Hooge School (THS), atau yang sekarang dikenal dengan nama Institut Teknologi Bandung (ITB).
Volksraad
Pergerakan di Hindia Belanda semakin gencar. Dalam Volksraad (Dewan Rakyat) yang baru didirikan, Abdoel Moeis dan Tjokroaminoto ikut sebagai wakil dari Sarikat Islam. Organisasi lain yang punya perwakilan di sini, antara lain, Boedi Oetomo dan Insulinde. Dalam lembaga ini muncul masalah dengan tidak ditepatinya janji Gubernur Jenderal van Limburg Stirum, yaitu mengubah Volksraad menjadi parlemen.
Sebagai seorang pemimpin rakyat, Abdoel Moeis sering berkunjung ke daerah-daerah seperti Bone, Toli-toli, Sumatera Barat, dan daerah lainnya di Pulau Jawa. Di semua tempat itu Abdoel Moeis selalu berpidato dengan membakar semangat rakyat untuk memperoleh kemerdekaan. Sebuah peristiwa pembunuhan pembesar Belanda di Sumatera Barat membuat Pemerintah Belanda menuduh Abdoel Moeis yang menjadi biangnya. Ia dianggap menghasut rakyat dan diberi sanksi tidak boleh lagi menginjakkan kaki di Sumatera Barat.
Tahun 1922 ia diangkat menjadi Ketua Pengurus Besar Buruh Pegadaian. Waktu itu kaum buruh Indonesia hidup menderita, gaji mereka kecil, karena itu selalu hidup dalam kekurangan. Mereka dipaksa bekerja keras dan sering dihina, disamakan dengan binatang, mereka melakukan aksi pemogokan yang dipimpin oleh Abdoel Moeis. Mula-mula hanya buruh di Yogyakarta saja yang mogok, tetapi kemudian menjalar ke tempat-tempat lain. Akibat pemogokan itu, tiga ribu orang buruh dipecat. beberapa orang kawan seperjuangannya ditangkap dan diadili. Abdoel Moeis dijatuhi hukuman oleh Pemerintah Belanda. Ia dilarang melakukan kegiatan politik dan diasingkan ke luar daerah, Abdoel Moeis memilih Cicangtu, Wanaraja, Garut.
Wanaraja
Dalam pengasingan ini, Abdoel Moeis tidak menjadi diam atau lemah. Ia mengajarkan cara bertani dan berternak secara modern. Semua kegiatan dan gerak-geriknya selalu diawasi oleh polisi Belanda, sehingga ia mendatangi Polisi Garut dan meminta agar tidak diawasi seperti itu, dengan janji tidak akan melakukan pelanggaran-pelanggaran.
Di Wanaraja, Abdoel Moeis juga tetap menulis, dan kali ini merambah ke dunia sastra dengan menulis novel berdasarkan pengalaman hidupnya dan diberinya judul, Salah Asuhan. Kisahnya, Abdoel Moeis pernah jatuh cinta kepada seorang perempuan Belanda. Karena perbedaan kelas dan adat, ayah perempuan itu melarang hubungan mereka, sehingga sang perempuan depresi, lalu memilih jadi pelacur, bahkan akhirnya bunuh diri. Selain Salah Sauhan yang menjadi tonggak sejarah sastra Indonesia, Abdoel Moeis juga menulis beberapa novel lainnya, di antaranya, Pertemuan Jodoh dan Robert Anak Surapati.
Pada 1937, Abdoel Moeis ditawari pekerjaan sebagai pegawai kontrolir atau pengawas untuk daerah Garut. Mulanya ia ragu-ragu, tapi akhirnya ia menerimanya dengan berbagai pertimbangan. Tahun 1939 Pemerintah Belanda mencabut hukuman Abdoel Moeis. Ia dibebaskan.
Pada masa pendudukan Jepang, nama Abdoel Moeis tidak banyak terdengar, tetapi ia masih tetap berusaha membela kepentingan rakyat kecil. Dalam masa ini ia bekerja sebagai pengacara. Tahun 1945 gembira sekali hati Abdoel Moeis ketika mendengar kabar bahwa Indonesia sudah merdeka. Saat itu usianya 62 tahun.
Tahun 1946 Abdoel Moeis menerima surat dari Presiden Soekarno yang isinya bahwa ia diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Pengangkatan itu diterimanya dengan rasa haru, rupanya ia masih dihargai orang. Pemimpin negara masih mengharapkan buah pikirannya. Tetapi apa yang terjadi kemudian, sungguh-sungguh menyakitkan hatinya, pelantikannya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung dibatalkan. Ia tidak mengerti apa sebabnya, tetapi kemudian diketahuinya bahwa ada orang yang mengirimkan surat fitnahan kepada presiden, dalam surat itu dikatakan bahwa Abdoel Moeis pemah bekerja sama dengan Pemerintah Belanda pada masa akhir pembuangannya.
Bandung
Abdoel Moeis pindah ke Jakarta. la mencoba mengadu untung di ibu kota Republik Indonesia itu. Tetapi ia kurang beruntung, kehidupannya sangat sulit. la hampir-hampir tak bisa membiayai anak-anaknya, karena itu Abdoel Moeis pindah kembali ke Bandung. Umurnya sudah semakin tua, penyakit jantung dan tekanan darah tinggi sudah sering menyerangnya. Dalam umur yang hampir tujuh puluh tahun, Abdoel Moeis masih bekerja sebagai penulis. Tulisannya ia kirimkan ke Penerbit Mustika dan Van der Kroof di Jakarta.
Tanggal 17 Juni 1959, Abdoel Moeis menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ketika itu usianya 76 tahun. Abdoel Moeis dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung.
Pada bulan Agustus 1959, Abdoel Moeis diberi gelar sebagai Pahlawan Nasional pertama oleh Presiden Soekarno. Di Bandung, namanya hanya dikenal menjadi salah satu nama jalan dan terminal di sebelah selatan kompleks Alun-alun Bandung, yaitu Jalan dan Terminal Abdoel Moeis.
Kesan
Membaca buku ini, saya merasa hadir dalam situasi seperti yang diceritakan dalam buku. Saya baru menyadari bahwa Bandung merupakan tempat berprosesnya banyak sekali tokoh nasional. Dengan banyaknya pergerakan dan tokoh nasional yang berkiprah di kota ini, saya merasa Bandung pantas sekali bila mendapatkan julukan sebagai kota Pahlawan.
Dikutip dari jawaban orang tua Abdoel Moeis Ketika Abdoel Moeis meminta untuk berhenti sekolah dokter di STOVIA “Mungkin ini bukan takdirmu, manusia boleh berkehendak, tapi Tuhanlah yang menentukan,” nyata sekali bahwa selalu ada orang tua yang mendukung setiap langkah anaknya. Meskipun Abdoel Moeis tidak menjadi dokter, tapi Abdoel Moeis menjadi seorang politikus yang berani, jurnalis dan sastrawan yang berpena tajam, serta menjadi Pahlawan Nasional Pertama Republik Indonesia.
* * *