Month: June 2018

17:30 WIB: Waktu Indonesia bagian Blekok

1. Kampung Blekok

Oleh: Audya Amalia

“….the glory of the past, had gone to underground and people just forgot

some people try hard, to wake up in this age to take back their life….”

Hari Minggu tanggal 24 Juni 2018, sepanjang Jalan Soekarno-Hatta Bandung menuju tujuan, earphones di telinga saya terus mengulang-ngulang lagu Unperfect Sky-nya Elemental Gaze. Sambil berdoa supaya hujan sore itu di-pending dulu dan membayangkan seperti apa tempat tujuan ngaleut episode kali ini.

Adalah Kampung Rancabayawak alias Kampung Blekok yang berada di daerah Cisaranten Kidul, Gedebage. Di kawasan ini banyak burung blekok (dan burung kuntul kerbau) hidup, nongkrong, belajar, bermain, bersarang, berkeluarga, berkembang biak.

Apakah Anda baru mendengarnya? Sama, saya juga L

Sesampainya di sana, kami disambut oleh aroma khas burung blekok dan sayup-sayup suaranya dari atas rumpun bambu —atau mari kita sebut saja basecamp-nya para burung blekok. Lalu kita juga disambut oleh Mang Ujang, ketua RW setempat alias kepala adat alias bapak dari semua burung blekok alias dosen pembibing luar heueheu. Menurutnya populasi burung blekok di sini mencapai 2700 ekor. Dan mulai bulan Juli-September biasanya kedatangan juga burung-burung yg bermigrasi dari Australia.

2. Burung Blekok
Maap. Kamera tak mampu menjangkau detail geng burung blekok. Foto Audya
Continue reading

Mengenal Lebih Jauh Sang Tohaan Kobul

SAVE_20180622_143006
Situs makom keramat Santoan Kobul|Foto Ariyono Wahyu Widjajadi

Oleh: Ariyono Wahyu Widjajadi (@A13xtriple)

Di sisi jalan raya Cipatik-Soreang terdapat sebuah papan penunjuk informasi mengenai sebuah situs makom keramat Santoan Kobul. Tepatnya situs ini terletak di Desa Jatisari, Kecamatan Kutawaringin, Kabupaten Bandung. Lalu siapakah Santoan Kobul? 

Garis Keturunan Sang Tohaan

Jika berdasarkan silsilah dalam “Babad Bupati Bandung” Santoan (Sang Tohaan) Kobul atau Ki Gedeng Kobul berasal dari garis keturunan Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi. Dalam garis keturunan ini terdapat beberapa nama-nama tokoh legendaris dalam lingkup sejarah Sunda, salah satunya adalah Pangeran Jaya Pakuan atau yang dikenal dengan julukan Bujangga Manik/Ameng Layaran. Dalam naskah Babad Bupati Bandung, Jaya Pakuan/Layang Pakuan adalah cucu Prabu Siliwangi dari puteranya bernama Prabu Kunten/Sunten yang berkuasa di Gunung Patuha.

Dalam buku “Tiga Pesona Sunda Kuna” yang memuat naskah perjalanan Bujangga Manik, Gunung Patuha merupakan tempat terakhir yang didatanginya sebelum proses naik menuju nirwana. Jaya Pakuan kemudian memiliki putera bernama Prabu Layang Jiwa/Larang Jiwa. Sang Adipati Kertamanah yang dimakamkan di muara Sungai Cisondari merupakan anak dari Larang Jiwa. Salah satu keturunan Adipati Kertamanah inilah yang kemudian menurunkan keluarga bangsawan Gajah/Cipatik yaitu melalui putera bungsunya yaitu Raden Tumenggung Suryadarma Kingkin yang dimakamkan di Cilamaya. Sedangkan anak tertua Adipati Kertamanah yaitu Ki Gedeng Rungkang menikah dengan putri dari Kiyai Dipati Ukur. Pasangan ini memiliki dua orang putera yaitu Santoan/Kyai Gedeng Kobul dan Santoan Kunur. Dicatat pada Babad Bupati Bandung Ki Gedeng Rungkang dimakamkan di Candawut.

Versi lain mengenai silsilah Eyang Santoan Kobul dituliskan oleh Robert Wessing, seorang antropolog yang melakukan penelitian di daerah Pameuntasan dan sekitarnya pada medio tahun 1970-1980-an. Menurut informasi yang dikumpulkannya Eyang Santoan Kobul adalah salah satu putera dari Adipati Galunggung. Puteranya yang lain adalah Sembah Prabu Karir? makamnya terdapat di  Kampung Pameuntasan, Sembah Dalem Sumuli dikuburkan di Singaparna serta Eyang Agung makamnya terdapat di Kampung Mahmud. Dari informasi tadi bisa dilihat bahwa tiga dari empat keturunan Adipati Galunggung berada di daerah yang berdekatan yaitu Cipatik, Pameuntasan dan Mahmud.

SAVE_20180622_143113
Terlihat di belakang Gunung Lalakon|Foto Ariyono Wahyu Widjajadi
Continue reading

#InfoAleut: Ngaleut “Kampung Blekok”

2018-06-24 Ngaleut Blekok

Halo Aleutian. Bandung yang kita tinggali ini masih menyimpan sedikit ruang untuk burung blelok. Ruang tersebut bernama Kampung Blekok. Namun kampung tersebut semakin terhimpit oleh pembangunan kota yang masif. Masihkah kampung Blekok ramah bagi burung blekok. Mari kita cari tahu bersama-sama.
.
Minggu, 24 Juni 2018.
Pukul 14.14 WIB.
Kumpul Taman Regol Bandung

Konfirmasi ke narahubung Komunitas Aleut:
Line @ Komunitasaleut
Whatsapp +6289680954394 (Upi)
.
.
#KomunitasAleut
#ngaleut

Melewati Puncak Cae

Oleh : Fauzan (@BandungTraveler)

Perjalanan di bulan puasa kali ini, membawa penulis dan rekan-rekan dari Komunitas Aleut hinggap di atas Gunung Cae, perbatasan Kabupaten Bandung dan Garut. Gunung ini berada di antara Cihawuk, Kertasari dan Puncak Drajat Garut. Dari Jalan raya Ciparay – Cibeureum kita harus berbelok ke sebuah jalan kecil Continue reading

Jalan Lain Ke Garut: Puncak Cae

Oleh: Arif Abdurahman (@yeaharip)

Di pertigaan jalanan mungil perkampungan, terpancang petunjuk jalan sederhana bertuliskan Garut. Bukan rambu petunjuk jalan buatan Dishub, yang dari lempeng besi berwarna hijau dan biasanya ditambahi keterangan jarak tempuh itu. Hanya papan tanda dari kayu atau bambu atau triplek (saya lupa tak sempat memotretnya), dengan tulisan tangan.

Sebelumnya, setelah main air di aliran Cigeureuh yang dingin di Kawasan Gunung Puntang, tujuan kami sebenarnya menuju Perkebuan Sedep untuk ditembuskan ke Cikajang. Saya sendiri belum pernah, tapi momotoran ke Sedep saat Ramadan tahun 2016 selalu jadi cerita yang pantang terlupa. Rencana berubah di Situ Santosa, Abang menawarkan untuk melipir ke Puncak Cae, salah satu tempat yang dijadikan basis operasi penyergapan Kartosoewirjo. Belokan ke Perkebunan Sedep harus saya lewatkan hari ini, semoga ada kali lain.

Di jalan Cibeureum-Pacet, kami berbelok ke daerah bernama Cihawuk. Masuk ke dalam, melewati turunan curam yang penuh kerikil dekat aliran Sungai Citarum, terus melaju, dan tibalah kami di pertigaan dengan papan tanda tadi. Entah berapa jam dan kilometer lagi yang harus kami tempuh, yang pasti dengan belok ke kiri dan percaya saja pada papan tanda tadi, kami bakal sampai di Garut.

puncak cae
Continue reading

Sebentar Lagi Jayanti, Sebentar Lagi Rancabuaya, Sebentar Lagi Sampai

naringgul menuju cidaun

Oleh: Arif Abdurahman (@yeaharip)

“Sebentar lagi, tinggal lewat gunung itu, langsung laut,” janji saya saat melindas jalanan Naringgul.

Kata “sebentar” mengundang beragam makna, bisa sebuah jebakan sekaligus pembebasan, seringnya hanya janji kosong. Kengerian bagi para murid belet yang lembar jawabannya

masih melompong saat diultimatum oleh pengawas dengan kata tadi bahwa ujian akan segera berakhir. Sukacita bagi suami yang ditenangkan dengan kata itu bahwa tanggungan dalam perut istrinya selama berbulan-bulan akan jadi tangis orok. Bagi pemimpi menyedihkan, bagi pengusaha perfeksionis, kata “sebentar” punya parameter waktu berbeda.

Dengan kata “sebentar” tadi, saya serasa pengkhotbah yang melakukan kebohongan publik yang mewanti-wanti bahwa hari akhir sudah dekat, untuk kemudian menginsafi bahwa wacana kiamat adalah klise usang, hasil dari ketakutan dan kedunguan manusia di tiap zaman. Kata “sebentar” membenarkan diri atas ketaktahuan dan kesoktahuan. Tapi saya masih bisa berdalih, kata “sebentar” yang saya pakai berfungsi bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk memberi ketenangan.

Terbukti, sepanjang jalan Naringgul-Cidaun, perempuan di jok belakang saya terus memeluk tasnya dan terlelap. Jalanan Cianjur setelah dari arah Ciwidey siang itu hanya menawarkan terik dan kondisi ideal untuk mengantuk. Curug-curug kurang air, hanya mengalirkan pipis bocah. Hamparan sawah, diselingi rumah-rumah, serta tebing-tebing gunung yang kering makin meninabobokan siapa saja siang itu. Tentu, mengantuk apalagi tidur saat berkendara adalah cara bunuh diri paling kalem. Apalagi saat bermotor, mengantuk sedikit saja, keseimbangan bakal agak goyah. Masalahnya, kantuk lebih sering melanda mereka yang dibonceng.

Saya tak merutuki, justru merasa terbebaskan. Beban untuk menciptakan dialog berganti menjadi beban untuk menyeimbangkan diri agar motor tetap melaju aman. Setelah turunan curam Naringgul yang selalu sukses memanaskan cakram motor saya dan bikin rem blong, jalanan selanjutnya memang agak landai berbukit-bukit, tapi relatif mulus. Sebelumnya, sehabis Rancabali, kecepatan bermotor kelompok agak memelan. Kantuk menusuk. Bagi yang pernah membonceng Akay melintas malam-malam di Gunung Gelap, Pameungpeuk, Garut, saya tak merasa kesulitan, apalagi perempuan di jok belakang tidur dengan cukup tertib.

Continue reading

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑