Selamat malam, Aleutian.
Ada sedikit perbedaan di kegiatan akhir pekan bersama Komunitas Aleut. Dua jenis ngaleut akan dilaksanakan dalam waktu yang sama. Ngaleut momotoran, tanggal 26-28 Januari 2018 bersama @djeladjahpriangan sekaligus Kelas Literasi pekan ke-127 ke Geopark Ciletuh dan satu lagi ngaleut dalam kota bersama @tunemap.id
Info tentang ngaleut bersama Tunemap ini akan dibagikan dalam postingan selanjutnya
Bagi Aleutian yang mendaftar untuk ikut dikegiatan Momotoran bersama @djeladjahpriangan harap berkumpul di @kedaipreanger pukul 19.00 wib
Siap-siap Jam, akang, teteh!
***
Seperti yang mimin sampaikan di postingan selanjutnya bahwa ada dua ngaleut yang dilaksanakan bersamaan. Kegiatan ngaleut dalam kota kali ini ditemani sama teman-teman dari @tunemap.id dalam Mapmyday 2
Aleutian yang berminat mengikuti ngaleut mapping kota bersama kami, mangga segera daftarkan namamu via whatsapp +6289680954394 (Upi) atau via Line Komunitasaleut (pakai @) .
Pada tahun 1905, sebuah penginapan berdiri di Landraadweg. Bentuknya masih berupa satu bangunan yang menghadap Sungai Cikapundung. Seperti pada penginapan kelas menengah di Bandung pada waktu itu, penginapan ini memiliki taman luas yang mengelilingi bangunan. Penginapan ini bernama Villa Maria.
Baru pada tahun 1910, dilakukan penambahan dan perombangan terhadap Villa Maria. Saat itu dilakukan pembangunan gedung tambahan yang saling terhubung dengan bagian belakang bangunan utama. Continue reading
“Manghev, jadi ayeuna teh moal tumpak kareta?” tanya saya kepada Mang Hevi.“Kumaha carana? Jalurna ge geus euweuh,” jawab Mang Hevi sambil tertawa geli. “Tong boro ka Ciwidey, nepi ka Kordon ge geus moal bisa atuh,” samber Mang Irfan yang juga ikut seuri. Dan saya baru sadar begitu bodohnya saya menyadari hal itu, seumur hidup di Bandung, mana ada orang ke Ciwidey naik kereta api, padahal bukan satu-dua kali saya ke daerah selatan Bandung. Anggap saja kelinglungan saya pagi itu disebabkan oleh pekerjaan yang super padat belakangan hari. Pantas saja titik kumpul tour kali ini bukan di stasiun kereta. By the way, dua orang yang berbincang dengan saya ini merupakan kawan saya dari Komunitas Aleut yang terlibat dalam “Susur Jejak Spoorwegen” yang diselenggarakan oleh MooiBandoeng. Imbuhan “mang” pada nama panggilan saya kepada mereka menandakan perbedaan usia yang harus dijaga. Continue reading
Seperti yang sudah dijadwalkan jauh-jauh hari, hari Sabtu tanggal 20 Januari Susur Jejak Spoorwegen Bandjaran-Tjiwidey akan dilaksanakan, plus kegiatan Kelas Literasi di dalamnya.
Jadi Kelas Literasi pekan ini khusus bagi peserta yang sudah terdaftar sebagai peserta tur.
Untuk Ngaleut hari Minggu Komunitas Aleut akan menyusuri jejak kudeta APRA, Angkatan Perang Ratu Adil di Bandung yang gagal
Hayu! Segera daftar di nara hubung yag tertera di poster. Aleutian yang belum terdaftar sebagai anggota resmi Komunitas Aleut tapi tertarik dengan kegiatan ini, bisa langsung melakukan registrasi di ngaleut nanti
Kumpul di Alun-alun Bandung pukul 07.30 wib
Untuk konfirmasi kesertaan bisa via Whatsapp +6289680954394 (Upi) dan Line Komunitasaleut (pakai @) Kuy ah!
Pidi Baiq dalam novel Dilan Bagian Kedua: Dia Adalah Dilanku Tahun 1991 (2015) menceritakan bahwa tokoh Milea sempat bertemu kembali dengan Dilan di Bandung pada tanggal 25 Juli 1992. Saat itu hubungan Dilan telah putus dengan Milea yang kemudian pindah ke Jakarta. Milea berada di Bandung pada hari itu untuk menghadiri pemakaman ayahnya Dilan.
Saat itu digambarkan bahwa Dilan telah didampingi seorang perempuan yang menurut Milea merupakan pacar baru Dilan. Lenyaplah kesempatan bagi Milea untuk bersatu kembali dengan Dilan. Belakangan, dalam novel Milea: Suara dari Dilan (2016) diketahui bahwa perempuan yang mendampingi Dilan selama prosesi pemakaman bukanlah pacar Dilan, melainkan hanya saudara sepupu. Pedih.
Catatan ini bukan untuk menelusuri kisah asmara Dilan dan Milea lebih lanjut. Pembahasan berikutnya justru lebih terkait dengan lokasi pemakaman yang menjadi latar kisah tersebut. Ayah Dilan, yang seorang tentara, dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Cikutra. Takdir Tuhan telah menggariskan bahwa lebih dari 25 tahun sejak tanggal pemakaman sang ayah menurut novel Dilan, Komunitas Aleut menyelenggarakan kegiatan Ngaleut Taman Makam Pahlawan pada 14 Januari 2018. Saya pun turut dalam kegiatan tersebut. Continue reading
Homer adalah seorang pengarang Yunani kuno yang menuliskan kisah-kisah dari masa klasik sekitar abad ke-8 dan abad ke-7 sebelum Masehi. Dua bukunya yang terkenal adalah “Iliad” dan “Odyssey”. Dalam “Iliad”, Homer bercerita mengenai pengepung kota Troy yang berlangsung selama 10 tahun oleh gabungan kekuatan-kekuatan di Yunani.
Pangkal peperangan terjadi karena Pangeran Paris dari Troy melarikan Ratu Helen, istri Raja Sparta, Menelaus. Tindakan tadi memicu peperangan antara kerajaan-kerajaan sekutu Sparta melawan Troy. Salah satu panglima dalam pasukan Sparta adalah Achilles yang kemudian berhasil membunuh panglima perang Troy yaitu Pangeran Hector yang merupakan kakak dari Pangeran Paris.
Sumedang Larang Penerus Kerajaan Sunda
Kisah tragedi yang hampir sama yaitu perang karena berebut pasangan, kemudian terjadi di wilayah Kerajaan Sumedang Larang pada abad ke-16 Masehi. Menurut “Carita Parahyangan”, Prabu Raga Mulya atau Prabu Suryakancana adalah Raja Pajajaran terakhir. Pada tahun 1579 Prabu Raga Mulya memberikan mahkota kerajaan yaitu “Mahkota Binokasih Sanghyang Pake” kepada Prabu Geusan Ulun, Raja Sumedang Larang yang baru saja diangkat menggantikan ibundanya, Ratu Pucuk Umun. Penyerahan mahkota kerajaan itu kemudian menjadi simbol bahwa Sumedang Larang sebagai penerus kekuasaan Kerajaan Sunda. Continue reading
Setahun yang lalu sungai ini sempat menjadi buah bibir warga Kota Bandung. Kala itu Bandung diterpa hujan deras yang berlangsung kurang lebih 3 jam. Durasi hujan yang lama dan intensitas hujan yang deras telah yang membuat debit air tak bisa lagi ditampung oleh sungai Citepus. Hingga air terpaksa meluap dari aliran sungai. Luapan air itu meluap ke daerah pinggiran sungai seperti Pagarsih, Astanaanyar. Bahkan saking derasnya luapan air sempat menyeret sebuah mobil yang terparkir di tepi jalan raya.
Tak hanya soal meluapnya air di kala musim penghujan. Ada hal yang menarik lainnya mengenai sungai Citepus. Yakni nama sungai ini masuk ke dalam karya sastra abad ke-20 karya Chabanneu yang berjudul Rasia Bandoeng. Sungai ini melintasi beberapa lokasi di Kota Bandung, seperti Pasirkaliki, Kebonjati, Saritem, Sudirman, dan Cibadak. Sehingga, namanya mungkin sudah tidak asing didengar oleh masyarakat Bandung. Namun, tak banyak orang yang tahu bahwa nama Citepus ada kaitannya dengan nama tumbuhan, yakni Tepus. Dan mungkin saja wujud dari Tepus sendiri belum banyak diketahui oleh masyarakat, terlebih lagi bagi masyarakat kota sekarang. Continue reading
Mari bergabung di kegiatan diskusi dalam Kelas Literasi Komunitas Aleut. Pekan ini Kelas Literasi akan diadakan di @kedaipreanger dengan tema APRA, kudeta yang Gagal
Jangan lupa hari Sabtu, tanggal 13 Januari 2018 pukul 14.14 wib
Konfirmasi kehadiran Aleutian via whatsapp +6289680954394 ( Upi) dan Line Komunitasaleut (pakai @) .
.
Di @kedaipreanger ya, Aleutian. Sampai jumpa. #KomunitasAleut #kelasliterasi
***
Jangan lupa hari Minggunya kami punya kegiatan yang rutin dilaksanakan
Pekan ini ada Ngaleut Taman Makam Pahlawan. Mari kita ziarahi para pahlawan yang terbaring di area makam yang dibangun pada tahun 1958 dan diperuntukan bagi pejuang dan tentara yang gugur
Ngaleut akan dimulai pukul 07.38 wib konfirmasi kehadiran bisa via Whatsapp dan Line +6289680954394 ( Upi )
Line Komunitasaleut (pakai @) Bagi peserta yang sudah mendaftar dalam kegiatan ini langsung berkumpul di depan Taman Makam Cikutra.
Hayu ngaleut!!
Pintu Masuk Museum Gedung Sate | Photo Komunitas Aleut
Oleh : Rulfhi Pratama (@rulfhi_rama)
Tentunya kamu sangat senang karena mendapatkan tiket Museum Gedung Sate yang diberikan oleh Indischemooi dan Mooi Bandoeng sebagai bonus kegiatan Biotour volume #2. Kamu bersama rombongan berjalan dari Cibeunying Park menuju Museum Gedung Sate. Rasa lelah yang tadi mendera kamu rasanya hilang seketika, kamu berada pada barisan paling depan, tak sabar ingin segera sampai di sana.
Setibanya di halaman belakang Gedung Sate, kamu merasa senang. Wajar saja ini kali pertama kamu menginjakan kaki di Gedung Sate. Pintu masuk Museum Gedung Sate tak terlampau jauh dari pintu gerbang belakang. Setibanya di pintu masuk Museum Gedung Sate, kamu pun berbaris bersama rombongan. Kaki mu gemetar, jantungmu berdebar, rasa penasaran hinggap dalam benakmu. Dilewatilah pintu masuk Museum Gedung Sate. Continue reading
Ngaleut adalah kegiatan rutin dari Komunitas Aleut yang dilaksanakan setiap hari minggu. Kegiatannya berupa tur dengan berjalan kaki, menyusuri beragam bangunan dan lokasi yang bersejarah di Kota Bandung yang tiap minggunya tersebut memiliki tema yang berbeda-beda. Dan foto di atas adalah titik terakhir yang kami kunjungi dari kegiatan ngaleut dengan tema kuliner hari minggu kemarin.
Seperti yang terlihat dalam gambar, Toko Sidodadi terletak di Jalan Otista nomor 255 dan merupakan toko kue dan roti yang juga menyediakan beragam camilan-camilan tradisional. Katanya, toko ini telah ada sejak tahun 1960-an. Harganya murah. Dari yang saya lihat di etalase kaca, satu potong roti berkisar antara Rp. 4.000. – Rp. 7.000. Rasanya enak dan cukup tebal sehingga cukup mengenyangkan. Saya mencoba masing-masing satu yang isinya coklat dan vla. Dan apa yang membuat unik lagi salah satunya adalah karena kemasan bungkusnya yang menyertakan himbauan KB (Keluarga Berencana) dan untuk membuang sampah pada tempatnya. Continue reading
Seperti sudah jadi sebuah kewajiban atau fardhu setiap rombongan khafilah musyafir Komunitas Aleut berkelana ke Sperata-Sinumbra, Ciwidey, selalu singgah ke kue balok Bah Ason. Nama lengkapnya Sonbahsuni, letaknya jongkonya di pinggir pasar dekat perempatan Pabrik Sinumbra dengan jalan ke arah Perkebunan Nagara Kana’an. Jadi bukanlah fardhu ain atau fardhu kifayah tapi fadhu Bahsuni lebih tepatnya.
Di sebrang jongko kue balok Bah Ason terdapat sebuah mesjid yang pada dindingnya terpasang dua prasasti. Prasasti yang paling besar merupakan prasasti pendirian mesjid. Di sana tertulis beberapa nama yang telah berjasa dalam pendirian Mesjid. Namun yang paling menarik adalah terdapat satu nama yang rasanya bukan nama orang sunda, yakni Max I. Salhuteru. Continue reading
Sekitar 45 Kilometer dari Kota Bandung, terdapat sebuah Danau yang menyimpan beribu pesona dan cerita, Situ Cileunca namanya. Lokasi tepatnya berada di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Berada di ketinggian 1550 Mdpl, membuat Situ Cileunca memiliki hawa yang sejuk dan menyegarkan. Bahkan di saat-saat tertentu suhu di sana dapat mencapai 10°Celcius. Selain suasana danau yang syahdu, ketika kita berada disana mata kita akan dimanjakan dengan pemandangan perkebunan teh yang berada di sekitar danau.
Sejarah Situ Cileunca
Situ Cileunca bukanlah Danau yang terbentuk secara alami, Situ ini merupakan Danau buatan yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan listrik dan sebagai cadangan air bersih bagi warga Bandung. Jika dilihat dari sejarahnya, pada awalnya kawasan Cileunca merupakan Kawasan Hutan Belantara yang dimiliki oleh seorang Belanda yang bernama Kuhlan (Ada yang mengatakan bahwa Kuhlan adalah Willem Hermanus Hooghland pemilik Borderij N.V. Almanak). Jika dilihat dari waktu pembangunannya, Situ Cileunca berhubungan dengan keberadaan Pemancar Radio Malabar yang berada di sekitar kawasan Pangalengan.
Situ Cileunca tempo dulu di sekitar tahun 1920-1932 (Sumber: tropenmuseum.nl)
Pembangunan Situ Cileunca memakan waktu selama 7 tahun diperkirakan antara tahun 1919-1926. Membendung aliran Kali Cileuca dan dialirkan melalui Bendungan Dam Pulo. Konon pembangunan Situ Cileunca dikomandoi oleh dua orang pintar Arya dan Mahesti, uniknya dari cerita yang beredar di masyarakat pembangunan Situ Cileunca tidak dilakukan dengan menggunakan cangkul, namun menggunakan halu (alat penumbuk padi).
Sejak zaman kolonial, Situ Cileunca sudah dijadikan tempat wisata. (Sumber : tropenmuseum.nl)
Pada zaman dahulu, Situ Cileunca sudah dijadikan sebagai tempat wisata oleh orang Belanda, Para wisatawan ketika itu biasanya berenang di tepian atau menaiki perahu berkeliling danau. Dahulu pernah ada kapal Belanda yang dipenuhi oleh wisatawan tenggelam di Situ Cileunca. Semua itu masih perkononan hingga pada akhir 2016 ketika Situ Cileunca disurutkan untuk maintenance bendungan, warga menemukan bagian dari kapal belanda tersebut di dasar danau.
Potongan Kapal Besi Zaman Belanda
Karena jaraknya yang tak begitu jauh dari Kota Bandung, Situ Cileunca dijadikan salah satu alternatif destinasi liburan bagi warga Bandung. Kini di Situ Cileunca selain menikmati pemandangan, sudah banyak kegiatan dan fasilitas yang bisa dinikmati di sekitar Kawasan Situ Cileunca. Mulai dari menaiki perahu berkeliling, wisata petik strawberry, berkemah hingga yang ekstrim seperti Outbound dan Rafting di Sungai Palayangan.
Jembatan Cinta, Situ Cileunca.
Salah satu spot favorit saya di Cileunca adalah Jembatan Cinta. Jembatan ini merupakan jembatan yang dibangun untuk menghubungkan dua desa di Cileunca, Desa Pulosari dan Desa Wanasari. Sebelum dibangun jembatan ini warga harus mengambil jalan memutar yang memakan waktu lebih lama. Warga pun berinisiatif membangun jembatan untuk mempermudah akses antar desa. Kata warga sekitar, jembatan ini seringkali dijadikan sebagai tempat kumpul muda mudi dari kedua desa. Dikarenakan alasan itu maka jembatan ini pun dinamakan Jembatan Cinta. Lagipula segala seuatu yang diembel-embeli kata “cinta” terdengar lebih menjual kan?
Jembatan Cinta Situ Cileunca
Spot ini menjadi favorit saya karena dari sini kita dapat menikmati banyak hal, mulai dari pemandangan Perkebunan Teh Malabar di sebelah Timur Cileunca hingga mengamati kegiatan dan berinteraksi dengan warga sekitar. Ditambah lagi untuk mencapai spot ini tidak dipungut biaya (dasar mental gratisan, hehe).
Dalam tenang airnya, Situ Cileunca masih menyimpan banyak misteri yang belum terkuak.
Sudah pernah atau ingin datang ke Sini? Silahkan bagi pengalaman Anda di kolom comment di bawah ini.
Batu nisan W.G. Jongkindt Coninck/foto oleh Asep Suryana
Oleh: Vecco Suryahadi (@Veccosuryahadi)
Pada bulan Juni 1934, sebuah perayaan spesial untuk Tuan W.G. Jongkindt Coninck diselenggarakan di Kertamanah. Banyak telegram, karangan bunga, serta bingkisan diterima oleh panitia perayaan di Kertamanah. Saking spesialnya perayaan ini, banyak artikel koran Belanda yang merekam peristiwa ini. Tapi siapa sih Tuan Jongkindt ini?
Untuk mengenalnya, mari kita mundur sekitar 50 tahun dari perayaan itu yakni tahun 1884.
Pada tanggal 22 Juni 1884, Willem Gerard Jongkindt Conninck dan kakaknya bernama Gerrit Jan Jongkindt Conninck datang di Hindia Belanda untuk pertama kalinya. Tujuan mereka ialah mencari peruntungan di bidang perkebunan. Perlu diketahui Willem dan Gerrit berumur 18 dan 24 tahun.
Karir Willem diawali sebagai pegawai perkebunan tembakau di Sumatera. Pada awalnya, dia bekerja perkebunan di Belawan. Lambat laun, karena kerja keras dan ketekunannya, dia berhasil menjadi seorang administratur perkebunan tembakau di Deli pada tahun 1889. Saat itu dirinya berumur 23 tahun!
Setelah 15 tahun berkarir di Sumatera, Tuan Willem pindah ke perkebunan di Jawa. Perkebunan pertama yang disinggahinya berlokasi di Lampegan. Lalu, dia pindah ke Kertamanah dan menjadi administratur perkebunan pada 1 April 1904.
Selama di Kertamanah, fokus Tuan Willem lebih ke arah budidaya kina. Metode pengolahan tanah, pemilihan benih, dan penanggulangan penyakit kina menjadi fokusnya. Salah satu penelitian yang dilakukan Tuan Willem tentang penyakit kina diterbitkan di koran De Preangerbode edisi Juli 1913.
Berkat metode-metode itu nama perkebunan Kertamanah dan Willem G. Jongkindt Conninck terkenal di Jawa. Hal itu terlihat dengan banyaknya undangan sebagai pembicara yang diterima oleh Tuan Willem. Salah satunya adalah undangan Tentoonstelling te Semarang yang menempatkan dirinya di seksi agrikultur dan holtikultura.
Hingga pada tahun 1934, Willem Gerard Jongkindt Conninck dianugerahi Ridder in de Orde van Oranje-Nassau berkat jasa dan kiprahnya selama 50 tahun di budidaya kina. Penganugerahan itu dirayakan di Kertamanah. Banyak koran Belanda yang merekam peristiwa ini.
Sayangnya, jejak langkah Tuan Willem Conninck di bidang budidaya kina berhenti saat pendudukan Jepang di Hindia Belanda. Bahkan kehidupan Willem Gerard Jongkindt Conninck pun berhenti saat dirinya berada di Kamp Interniran 7 Ambarawa. Dia meninggal di sana pada tanggal 23 Januari 1945. (Vss/Rap)
Priangan. Kata yang sudah akrab di telinga kita. Bukan cuma bagi urang Sunda melainkan juga bagi dunia. Tapi apakah Aleutian sudah tahu arti dari kata Priangan?
Nah. Kelas Literasi pekan ke-124 akan membahas tentang Sejarah Priangan.
Mangga diantos di @kedaipreanger hari Sabtu, tanggal 6 Januari 2018. Kegiatan ini akan dimulai pukul 14.00 wib.
Aleutian yang berminat gabung di kegiatan ini bisa langsung konfirmasi kesertaan di nara hubung uang tertera di poster dan Line Komunitasaleut (pakai@) Hayu ngedai di @kedaipreanger Kita berliterasi. #komunitasaleut #kelasliterasi
***
Selain kota wisata, Bandung terkenal dengan ragam makanan dari yang sudah melegenda maupun ragam makanan yang baru diperkenalkan kepada masyarakat. Aleutian yang hobi jajan dan icip-icip makanan, hari Minggu, tanggal 7 Januari 2018 nanti akan ada Ngaleut dengan tema Kuliner. Siapkan bekal uang untuk jajan nanti.
Kumpul di depan Savoy Homann Hotel pukul 07.37 wib. Jangan telat, Aleutian. #komunitasaleut #ngaleut #ngaleutkuliner
Ilmu sosial di Indonesia bersifat ahistoris, karena ia mengabaikan konteks kesejarahan di mana masyarakat Indonesia hidup. Para ilmuwan sosial kita cenderung mengimpor begitu saja teori-teori sosial yang mereka dapat dari Barat tanpa mempertanyakan keabsahannya ketika diterapkan dalam konteks lokal. Padahal, “ilmu-ilmu sosial tidak bebas nilai” dan “ilmu sosial itu sebelumnya merupakan satu ideologi imperialisme ekonomi.
Pernyataan tersebut sampai sekarang masih terdengar kurang nyaman bagi para akademisi ilmu sosial. Bukankah jauh lebih mudah membaca kebijakan Jokowi melalui kacamata Simon Kuznet, atau mengimajinasikan negara persis seperti apa yang dipaparkan Taqiyuddin Al-Nabhani?. Mengapa harus mempersulit diri dengan menambahkan pengetahuan struktur sejarah, politik, budaya, dan ekonomi lokal Indonesia yang minim sumber dan data yang rawan terdistorsi? Continue reading