Month: August 2017

#InfoAleut: Kelas Literasi “Perang Pasifik” dan Ngaleut Kawasan Militer Bandung

“6 atau 12 bulan pertama dalam perang melawan Amerika Serikat dan Britania Raya saya akan bertempur dan mendapatkan kemenangan demi kemenangan. Tapi jika perang berlanjut lebih dari itu, saya tidak punya harapan untuk sukses ” -Laksamana Isoroku Yamamoto, Panglima Armada Gabungan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang

Selamat malam, Aleutians. Biar enggak lupa, Sabtu, 26 Agustus 2017 ini mampir ke @kedaipreanger . Literasi pekan ke-107 dengan tema Perang Pasifik akan berlangsung.

Mangga daftar segera ke nomor kontak di poster. Lebih enak lagi kalau datang langsung ke Kedai untuk info lebih lanjut.

Ga bisa ikut KL di hari Sabtu? Tenang, Aleut masih punya kegiatan lain di hari Minggu 😀

Bandung yang kita kenal sekarang sebagai tempat tujuan wisata, sempat akan dijadikan pusat militer oleh Hindia Belanda. Beberapa infrastruktur untuk kepentingan militer mulai dibangun dan para prajurit mulai dipindahkan dari Batavia ke Bandung.

Lantas bangunan apa saja dan alasan apa yang melatar belakangi dijadikannya Bandung sebagai pusat militer saat itu? Cari tahu bersama di minggu pagi dalam kegiatan #ngaleut kawasan militer Bandung

Cara gabungnya gampang kok. Langsung saja konfirmasi kehadiran dan informasi lainnya bisa hubungi nomor 0896-8095-4394. Kumpul di Taman Musik pukul 07.30 WIB.

Jangan lupa ajak teman-temanmu, keluargamu biar ngaleutnya makin rame 😀😀

 

Dari Situs Penjara Banceuy

Oleh: Hendi “Akay” Abdurahman (@akayberkoar)

Dari Situs Penjara Banceuy

Saya melihat Sukarno sedang termenung ditemani buku dan pena. Kegelisahan begitu jelas terlihat dari raut wajahnya. Walaupun hanya dalam bentuk patung, keberadaannya terasa esensial. Di tempat inilah Sukarno mendapatkan gagasan dan juga mengumpulkan berbagai rumusan untuk menulis pledoi yang terkenal: Indonesia Menggugat.

Inilah pertama kali saya menginjakkan kaki di Penjara Banceuy, Bandung. Sebuah penjara yang penuh sejarah, terutama yang berkaitan dengan Sukarno.

Angga menuntun saya ke setiap penjuru, “Nah lihat dan bayangkan, di kamar nomor 5 dengan ukuran 1,5 x 2,5 meter ini Sukarno pernah tinggal,” ujarnya sambil menunjuk ke arah bangunan serupa kamar.

“Haaaah!!!!” saya tertegun. “Gilaaaa… Sempit banget.” Continue reading

#InfoAleut: Kelas Literasi “Kelas Menulis” dan Ngaleut Kakaretaan

Tulisan yang baik harus mampu membuat si pembaca mendalami setiap kata dalam tulisan tersebut.

Seseorang pernah berkata menulis itu butuh ilham. Dan Ilham itu datang karena pembiasaan. Kelas Literasi pekan ke-106, kita akan belajar bagaimana membuat tulisan yang baik dan menarik.

Lantas apa saja yang membuat tulisan itu menjadi baik dan menarik? Yuk kita cari tahu bersama di Kelas Literasi Pustaka Preanger:

19 Agustus 2017
@kedaipreanger Jl.Solontongan 20D
Pukul 13.45 WIB

Untuk konfirmasi kehadiran silahkan ke nomor 0896-8095-4394

Satu lagi kegiatan @komunitasaleut minggu ini: Ngaleut Kakaretaan. Hari Minggu kumpul di Stasiun Bandung (Jl. Stasiun Barat) jam 07.50 WIB

Mangga daftar ke nomor 0896-8095-4394. Oh ya jangan lupa siapkan uang buat beli tiket kereta.

Yo…ayo…kita kakaretaan.

Jalan Panjang Lahirnya Kamus Bahasa Sunda

Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)

Pada satu pagi di akhir 1973, Ajip Rosidi seorang dosen bahasa dan sastra Sunda pada Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, didatangi seorang sepuh yang menyampaikan kabar bahwa dirinya baru saja menyelesaikan sebuah kamus bahasa Sunda yang digarap dari 1930.

Orang tua itu memperkenalkan dirinya sebagai R.A. Danadibrata. Ajip tentu saja kaget dan tidak percaya, sebab nama R.A. Danadibrata mulanya tidak dikenal sebagai ahli bahasa Sunda.

Saat itu, penyusun kamus bahasa Sunda identik dengan R. Satjadibrata yang telah melahirkan beberapa karya, di antaranya: Kamus Sunda-Indonesia (1944, 1950), Kamus Basa Sunda (1948, 1954), Kamus Leutik Indonesia-Sunda jeung Sunda-Indonesia (1949, 1950, 1956), dan Kamus Indonesia-Sunda (1952). Selain R. Satjadibrata, ada juga orang asing yang menjadi pelopor penyusunan kamus bahasa Sunda, yaitu Jonathan Rigg (A Dictionary of the Sunda Language of Java) pada 1862.

Ketika sang sepuh itu menyambangi rumahnya, Ajip mendapati kamus bahasa Sunda setebal 2.000 halaman. Setelah itu ia baru yakin bahwa R.A. Danadibrata telah melakukan kerja besar. Penyusun kamus tersebut menyampaikan bahwa ia mengerjakannya tidak menggunakan sistem kartu seperti umumnya para leksikografer bekerja.

Tapi dicatet anu tuluy diketik tapi sering kudu dibalikan deui ngetikna lamun aya kecap anu anyar kapanggih anu kudu diselapkeun. Kitu deui anjeunna mah ngempelkeun kekecapan keur kamus téh lain tina téks anu dimuat dina naskah, majalah atau buku, tapi ngasruk ka pilemburan jeung gang-gang leutik kota Bandung, ngajak ngobrol ka jalma-jalma anu tepung sarta nyatetkeun kumaha ngagunakeunana. Ngan hanjakal, cara anu katingal tina naskahna, henteu dibarengan atawa dilengkepan ku panalungtikan kecap-kenap tina téks.”

“Tapi dicatat yang kemudian diketik, tapi mengetiknya sering harus diulangi lagi kalau ada kata yang baru ditemukan yang harus disisipkan. Beliau juga mengumpulkan kata-kata untuk kamus bukan dari teks yang dimuat dalam naskah, majalah atau buku, tapi berkeliling mendatangi perkampungan dan gang-gang kecil di Kota Bandung, mengajak berbicara kepada orang-orang yang ditemuinya serta mencatat bagaimana menggunakannya. Tapi sayang, seperti yang terlihat dalam naskahnya, tidak dibarengi atau dilengkapi oleh penelitian kata-kata dalam teks,” tulis Ajip Rosidi menjelaskan proses kreatif R. A. Danadibrata dalam pengantar untuk cetakan pertama kamus tersebut pada 2006.

Keterangan Ajip Rosidi ihwal proses kreatif R.A. Danadibrata dalam mengumpulkan kata untuk kamusnya disampaikan juga oleh penyusun kamus tersebut kepada Majalah Manglé No. 993, 16-22 Mei 1985:

Lantaran mindeng ditugaskeun kudu ngasruk ka pilemburan, jorojoy aya niat hayang ngumpulkeun kecap-kecap basa Sunda keur pikamuseun, nya dina taun 1930 éta niat téh dimimitian ku jalan nyatet-nyatetkeun kecap basa Sunda nu kapanggih,” ceuk R.A. Danadibrata.

“Karena sering ditugaskan harus mengunjungi perkampungan, kemudian ada niat ingin mengumpulkan kata-kata bahasa Sunda untuk kamus, maka dalam tahun 1930 niat tersebut dimulai dengan cara mencatat kata bahasa Sunda yang ditemukan,” ungkap R.A. Danadibrata.

Sosok R.A. Danadibrata

R.A. Danadibrata adalah seorang pensiunan wedana yang waktu itu tinggal di lingkungan pendopo Kabupaten Bandung, di selatan alun-alun Kota Bandung sekarang. Tempat tinggalnya tersebut tidak terlalu jauh dari Ajip Rosidi yang pernah menyewa rumah di Gang Asmi, Jalan Moch. Toha, Kota Bandung.

Seperti pengakuannya yang dituturkan kepada Majalah Manglé, R.A. Danadibrata  sudah tertarik pada bahasa Sunda dari sejak masih sekolah di OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren), pendidikan bagi calon pegawai bumiputera pada zaman Hindia Belanda. Tapi karena kesibukannya di pemerintahan, ketertarikannya itu tidak bisa dikembangkan.

Sementara Ajip Rosidi menambahkan dalam harian Kompas, edisi Selasa, 5 Pebruari 1974, bahwa niat R.A. Danadibrata untuk menyusun kamus bahasa Sunda diperoleh dari guru yang juga pamannya di Sekolah Raja (penyebutan lokal untuk OSVIA), yaitu R. Djajadireja yang terkenal karena buku bacaan yang disusunnya, yaitu Rusdi jeung Misnem.

“Ketika itu mereka berdua menetapkan pula urutan abjad yang akan dipergunakan kamus yang hendak disusun itu,” tutur Ajip kepada Kompas.

Ketika Jepang tiba di Indonesia dan merebut kekuasaan dari Belanda, kamus yang ia susun telah selesai. Namun sayang, kecamuk revolusi fisik membuat R.A. Danadibrata harus mengungsi ke Ciamis, dan kamus yang disusunnya tidak mungkin dibawa serta. Waktu ia kembali ke Bandung, kamus tersebut tak bersisa, hangus terbakar.

Ngan lapur, waktu mulang deui ka Bandung éta naskah téh kapanggih sacewir-cewir acan lantaran béak kaduruk,” ceuk R.A. Danadibrata. Atuh pagawéan nyusun kamus téh dibalikan ti enol deui.

“Tapi luput, waktu kembali lagi ke Bandung naskah tersebut tidak ketemu selembar pun karena habis terbakar,” kata R.A. Danadibrata kepada Manglé. Maka pekerjaan menyusun kamus dimulai lagi dari nol.

Jalan Berliku 

Maksud R.A. Danadibrata menemui Ajip Rosidi 44 tahun silam, tujuannya hanya satu yaitu untuk meminta solusi bagaimana caranya menerbitkan kamus tersebut. Meski waktu itu menjabat sebagai Direktur penerbit Pustaka Jaya, Ajip merasa kesulitan karena garapan utama Pustaka Jaya bukan menerbitkan buku berbahasa Sunda.

Sebagai ikhtiar, akhirnya Ajip mengundang para wartawan untuk mengabarkan ihwal kamus tersebut, dengan harapan ada orang Sunda yang jugala dan mempunyai katineung membantu menerbitkan kamus yang dalam hitungan saat itu memerlukan biaya sebesar Rp15 juta..

Karena dana yang diharapkan tidak kunjung ada, maka Ajip memutuskan untuk menerbitkannya lewat Pustaka Jaya, dengan terlebih dahulu menyusun tim redaksi untuk menyuntingnya. Sampai  1981 ketika Ajip meninggalkan Pustaka Jaya dan pindah ke Jepang, pekerjaan tim redaksi belum juga selesai. Setahun berselang, saat Ajip berlibur ke Indonesia, kamus tersebut belum juga diterbitkan.

Ajip melihat bahwa direktur Pustaka Jaya yang baru tidak berniat menerbitkannya. Ketika bertemu lagi dengan Ajip, R.A. Danadibrata bercerita bahwa dirinya berniat melaksanakan ibadah haji dari honorarium kamus tersebut. Maka Ajip bersama H.I. Martalogawa yang bekerjasama mendirikan penerbit Girimukti Pasaka berunding untuk membeli hak cipta kamus tersebut.

Akhirnya hak cipta kamus dibeli seharga Rp2 juta  dengan dana talangan dari H.I. Martalogawa. Uang sebesar itu cukup untuk biaya ibadah haji R.A. Danadibrata beserta istrinya. Rencana penerbitan kamus bahasa Sunda susunan R.A. Danadibrata kemudian dialihkan ke proyek Sundanologi pimpinan Dr. Edi S. Ekadjati tanpa menunggu hasil penyuntingan dari tim redaksi yang telah dibentuk tapi tak kunjung selesai.

Sebelum rencana itu terlaksana, Dr. Edi S. Ekadjati diberhentikan dari Kepala Proyek Sundanologi, dan tak lama kemudian Proyek Sundanologi dibubarkan. Kamus bahasa Sunda R.A. Danadibrata lagi-lagi gagal terbit. Setelah menemui jalan buntu.

R.A. Danadibrata kemudian membeli kembali hak ciptanya. Hingga pada 13 Oktober 1987, ia meninggal dunia sebelum karyanya terbit. Dua tahun sebelum wafat, kepada Manglé ia berkata: “Sim kuring téh umur geus dalapan puluh taun. Kahayang téh méméh ninggalkeun pawenangan, hayang nempo heula kamus sim kuring geus ngajanggélék jadi buku. Upama sim kuring mulang tur éta kamus masih mangrupa naskah kénéh mah, hartina pagawéan sim kuring téh gaplah,” ceuk R.A. Danadibrata.

“Saya sudah berumur delapan puluh tahun. Keinginan saya sebelum meninggalkan dunia ini adalah ingin melihat kamus saya sudah menjadi buku. Apabila saya wafat dan kamus masih berupa naskah, artinya pekerjaan saya sia-sia,” ujarnya.

Pada 2003 Ajip Rosidi dari Jepang kembali ke tanah air. Ia kemudian mendirikan penerbit Kiblat Buku Utama dan teringat kamus karya R.A. Danadibrata. Rachmat Taufiq Hidayat selaku direktur Kiblat Buku Utama bersama Dr. Edi S. Ekadjati kemudian menghubungi ahli waris R.A. Danadibrata untuk menerbitkan kamus tersebut.

Bekerjasama dengan Universitas Padjadjaran, pada 2006 Kiblat Buku Utama menerbitkan kamus bahasa Sunda karya R.A. Danadibrata yang telah lama terbengkalai. Selama 33 tahun sejak rampung untuk kedua kalinya, dan 76 tahun sejak R.A. Danadibrata memulai pekerjaannya yang mula-mula, kamus bahasa Sunda dengan lebih dari 40.000 kata tersebut akhirnya hadir memperkaya khazanah bahasa Sunda. Meski tak bisa menyaksikan karyanya,  R.A. Danadibrata menjadi pelajaran bahwa segala usaha keras pada ujungnya akan membuahkan hasil. (tirto.id – irf/dra)

***

Pertama kali dimuat di Tirto.id pada 16 April 2017

#InfoAleut: Kelas Literasi “Bandung Bersiap Tijd” dan Ngaleut “Alun-alun dari Masa ke Masa”

Selamat pagi!

Bersiap Tijd atau Masa Bersiap adalah periode mencekam bagi orang Eropa di Hindia Belanda. Salah satu kota yang merasakan mencekamnya masa itu adalah Bandung.

Pada periode itu, kekacauan terjadi di berbagai tempat di Bandung. Salah satunya di kamp konsentrasi.

Kelas Literasi pekan ke-105 ini akan mengangkat tema periode mencekam itu. Untuk lebih jelasnya, yuk ke @kedaipreanger hari Sabtu 12 Agustus 2017.

Sedangkan di hari Minggu, kita bakal Ngaleut “Alun-alun Bandung dari Masa ke Masa”

Kota Bandung memiliki sebuah anekdot terkait dengan Alun-alun. Konon, wajah Alun-alun akan selalu berubah setiap kali berganti pimpinan.

Benarkah demikian? Untuk mengetahui jawabannya, di Minggu kita bakal #Ngaleut “Alun-alun dari Masa ke Masa”. Kita bakal melihat bagaimana bentuk Alun-alun dan daerah di sekitarnya saat ini untuk dibandingkan dengan situasi yang digambarkan lewat buku-buku sejarah maupun foto-foto tempo dulu.

Kalau tertarik buat gabung, langsung aja konfirmasi kehadiran ke nomor yang tertera di poster atau LINE @FLF1345R, lalu kumpul di depan BRI Tower (Jl. Asia-Afrika) pukul 07.32 WIB. Informasi lain seperti soal pendaftaran keanggotaan #KomunitasAleut bisa langsung kontak nomor di poster ya.

Kuy, jangan lupa ajak kawan, tetangga, orang terkasih, atau gebetanmu untuk ikutan supaya Ngaleut-nya tambah seru 😁

Kelas Literasi: Menggabungkan Semangat Berbagi, Berdiskusi dan Konsistensi

Oleh: Hendi “Akay” Abdurahman (@akayberkoar)

JIKA BOLEH BERASUMSI, bisa dikatakan Jogja adalah kota penerbit. Dari sekian banyak penerbit yang ada di Kota Gudeg ini, beberapa di antaranya sudah saya kenal karena memang buku-buku hasil terbitannya berjejer rapi di rak kecil yang sering saya kunjungi di Pustaka Preanger–perpustakaan milik Komunitas Aleut.

Sedangkan Bandung, kota tempat saya tinggal ini, adalah kota yang cukup terkenal dengan berbagai macam komunitas. Dari sekian banyaknya komunitas yang ada di Bandung, Komunitas Aleut –komunitas pengapresiasi sejarah Kota Bandung dan sekitarnya– adalah salah satu komunitas yang saya ikuti.

Dua perbedaan dari kedua kota ini sangat saya rasakan betul. Di Jogja, tumbuh pesatnya penerbit-penerbit terutama penerbit baru semakin hari semakin gencar. Di sisi lain, Bandung seperti yang sudah saya sebutkan tadi, dengan ragam komunitas yang ada, menjadikannya sebagai salah satu kota yang menjadi kiblat komunitas di Indonesia.

Ternyata tak hanya itu, beberapa tahun ke belakang, kantung-kantung literasi mulai terasa menggeliat di Kota Bandung. Walaupun bukan dalam hal penerbitan (karena menurut saya Jogja masih yang terdepan kalau dalam urusan ini) namun beberapa kegiatan seputar literasi mulai mewabah di kota yang konon dulunya pernah dijuluki sebagai Kota Kuburan ini.

Karena tinggal di Bandung, saya sangat merasakan geliat itu. Salah satu buktinya adalah kegiatan yang dilaksanakan di akhir tahun 2016 dengan tema “Pekan Literasi Kebangsaan” yang mana acara ini diselenggarakan di Gedung Indonesia Menggugat, tempat bersejarah karena menjadi tempat pembacaan pledoi Bung Karno di tahun 1930.

Jauh sebelum kegiatan itu, dalam komunitas yang saya ikuti, saya sudah cukup sering melakukan kegiatan seputar literasi yang mencakup dalam berbagai hal: membaca, menulis, mendengarkan, dan juga menyimak. Ditambah dengan diskusi lainnya yang setiap Sabtu rutin dilaksanakan. Kegiatan itu bernama Kelas Literasi Pustaka Preanger. Continue reading

#InfoAleut: Kelas Literasi dan Ngaleut “Okultisme di Bandung Doeloe”

Selamat malam Aleutian.

Kabar terbaru buat kalian yang menantikan info kegiatan Aleut selanjutnya. Seperti di minggu lalu, Kelas Literasi dan Ngaleut di minggu ini akan saling berkait lagi .

Kelas Literasi di hari Sabtu ini berjudul “Okultisme di Bandung Tempo Doeloe”, sebuah buku karya @logesumurbandung yang merupakan pegiat Komunitas Aleut.

Dalam Kelas Literasi pekan ke-104 ini, kita akan membahas soal okultisme dan freemasonry yang pernah berkembang di Kota Bandung. Jika kawan-kawan tertarik buat gabung, langsung saja konfirmasi ke nomor yang tertera di poster dan kumpul di Kedai Preanger pukul 13.45 WIB

Oh iya, dengan ikut Kelas Literasi ini kawan-kawan jadi akan punya bekal lebih untuk Ngaleut keesokan harinya karena…

…yup, di hari Minggu kita bakal Ngaleut “Okultisme di Bandung Doeloe”. Kalau sehari sebelumnya kita membahas bukunya, di Ngaleut ini kita bakalan liat langsung beberapa jejak-jejak okultisme dan freemasonry di Kota Bandung.

Mau ikut tapi bingung gimana caranya? Gampang kok. Langsung aja konfirmasi kehadiran ke CP yang terlampir di poster dan kumpul di Taman Vanda pukul 07.34 .

Ayo ajak juga kawan, keluarga, atau orang terkasih buat ikutan dua kegiatan seru Komunitas Aleut minggu ini 

Legenda Lagu Anak Sunda Mengkritik Kekuasaan

Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)

Lagu yang memuat kritik sosial yang, salah satunya, menyindir kekuasaan bukan baru di Indonesia. Jauh sebelum lagu-lagu kritik Iwan Fals menjadi populer, di tatar Sunda telah hadir lagu “Ayang-ayang Gung”. Lagu ini, meski menjadi pengiring permainan anak-anak dengan cara didendangkan bersama-sama dan dibawakan secara ceria, namun sejatinya adalah sindiran keras terhadap pejabat yang haus kuasa sehingga menjilat kaum kolonial.

Menurut catatan Mikihiro Moriyama dalam Semangat Baru; Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19, yang mula-mula memperkenalkan lagu ini adalah  R. Poeradiredja (ketua editor untuk bahasa Sunda pada kantor Volkslectuur atau Balai Pustaka) dan M. Soerijadiradja (guru bahasa Sunda dan Melayu di Opleidingsschool atau Sekolah Pelatihan di Serang) dalam makalah yang berjudul “Bijdrage tot de kennis der Soendasche taal” yang dipresentasikan pada Kongres Pertama Bahasa, Geografi, dan Etnografi Jawa pada 1919. Berikut lirik lengkapnya: Continue reading

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑