Oleh: Arif Abdurahman (@yeaharip)
“Nah, yang kayak gini nih bisa dibikin catatan perjalanannya,” ucap saya dengan kagok, antara kedinginan dan grogi.
Hanya ada gelap di depan sana. Kami harus balik kanan setelah sadar jalan menuju Patuahwatee yang keluar ke Kawah Putih enggak memungkinkan untuk ditembus. Kami sudah dibuat gila, tapi kegilaan kami belum cukup edan untuk memutuskan bunuh diri berjamaah melewati jalanan itu. Maka tidak bisa tidak, jalur pergi harus disusur kembali. Bedanya, ini sudah malam. Hanya ada gelap. Gelap dan rasa cekam. Namun aleutan motor yang mengular begitu rekat dan perempuan yang ada di jok belakang membuang waswas dan menambah awas saya.
Bukan hanya gelap, tapi dingin. Kemeja flannel biru kotak-kotak cocok untuk dipakai pergi kencan, tapi tidak untuk menghadapi serangan dingin Ciwidey. Solusi menumpas dingin paling ampuh saat itu, ini murni alasan fisiologis, tentu saja pelukan. “Urang cuma pake flannel teh buat modus,” canda saya. Tapi dia menolak, malu-malu tapi mau. Karena sweater bermotif tribal saya kira sama tak terlalu fungsional. Hanya dingin yang memeluk. Anehnya, saya memang dingin, tapi tak terlalu kedinginan. Perlu disyukuri pula, lewat dingin ini membantu meredakan rasa sakit di pergelangan tangan kanan karena sebelumnya jatuh di Leuweung Datar. Ada gelap, juga dingin. Dingin yang menghangatkan. Continue reading