Month: March 2017
Oleh: Hevi Fauzan (@hevifauzan)
Rabu, 1 Maret 2017, untuk pertama kali, saya berkesempatan berziarah ke makan Kerkhoven di Gambung. Di sana, terdapat 3 makam, yaitu makam Rudolph Eduard Kerkhoven, Jenny, dan satu makam lagi yang kemungkinan sebagai tempat peristirahat pengasuh anak-anak mereka. Perjalanan ini terwujud bersama rekan-rekan dari Komunitas Aleut.
Perkebunan teh Gambung berada di Desa Cisondari, Kecamatan Pasir Jambu. Dari Bandung, tempat ini bisa diakses melalu jalan raya yang menghubungkan Soreang dan Ciwidey. Dari SPBU Pasirjambu, kita harus berbelok ke kiri, menuju Gunung Tilu.
Sempat dihentikan hujan dan berteduh di warung yang juga sebuah tempat penggilingan biji kopi, kami berempat masuk ke kompleks pusat penelitian teh dan kina. Setelah melewati pintu utama dan beberapa pos satpam, kami harus berhenti di dekat pabrik dan memarkirkan kendaraan di sana. Ternyata, untuk masuk ke makam, pengunjung harus membayar sekian rupiah. Pihak perkebunan memberikan list fasilitas apa saja yang bisa digunakan oleh pengunjung, termasuk list harga didalamnya. Untuk masuk ke kompleks makam Keluarga Kerkhoven yang letaknya terpencil di belakang, pengunjung harus membayar Rp 15.000 rupiah/orang bagi WNI dan 50.000/orang bagi non-WNI.
Sosok R.E. Kerkhoven bagi saya, menepiskan sosok para penjajah yang selalu digambarkan datang untuk mengeksploitasi alam Nusantara dan manusianya. Continue reading
Oleh: Vecco Suryahadi Saputro (@veccosuryahadi)
Maret 1903, tibalah 20 orang berkulit putih di pelabuhan Tanjungpriok. Sebagian dari mereka berkumis tebal, sebagian lagi tidak. Ada yang terlihat sepuh, dan ada pula yang muda. Tapi mereka punya satu kesamaan, yakni sama-sama orang Boer yang ikut Perang Boer.
Sebelum tiba di Hindia Belanda, mereka mendekam di Penjara Welikada, Colombo. Setelah bebas dari penjara, mereka mendapat pilihan antara kembali ke Afrika Selatan atau tinggal di Hindia Belanda. Dan rupanya mereka memilih Hindia Belanda.
Nah, kembali ke Boer-er yang baru tiba di Tanjungpriok.
Setelah tiba di Tanjungpriok, mereka meneruskan perjalanan ke arah Bandung. Tujuan mereka sederhana, yakni mencoba peruntungan dan memulai hidup baru.
Setelah tiba di Bandung, 20 boer-er ini membuka usaha. Ada yang berternak sapi di Pangalengan dan Lembang. Ada pula yang berternak kuda Australia di Parongpong. Dan sebagian dari mereka membuka perkebunan di Tatar Priangan.
Tapi apa itu saja bentuk usaha mereka? Tentu tidak. Continue reading
Dalam disertasinya tentang naskah-naskah Dipati Ukur, Edi Suhardi Ekadjati menyebutkan bahwa catatan tertua tentang tokoh ini mungkin yang ditulis oleh Salomon Muller dan P. van Oort dan diterbitkan dalam Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen tahun 1836. Salomon Muller dan van Oort adalah anggota des Genootschaps en Natuurkundige Komissie in Nederlands Indie yang sudah mendapatkan pelatihan dari Museum Leiden dan sedang melakukan perjalanan penelitian tentang dunia binatang dan tumbuhan di kepulauan Indonesia.
Pada tanggal 15 Januari 1833 pasangan ini berada di daerah Cililin, dua hari kemudian mereka diantar oleh beberapa orang penduduk setempat ke puncak Gunung Lumbung untuk menyaksikan peninggalan-peninggalan purbakala. Di puncak gunung inilah, Muller dan Oort mendapatkan cerita dari seorang tua tentang tokoh Dipati Ukur, tempat persembunyian dan benteng pertahanan terakhirnya. Catatan Muller dan Oort kemudian dimuat oleh NJ Krom dalam buku Laporan Dinas Kepurbakalaan (Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indië) yang terbit pada tahun 1914.
Pada hari Minggu lalu (12 Maret 2017), secara tidak sengaja kami juga sampai di lokasi yang dikunjungi oleh Muller dan Oort pada tahun 1833 itu. Di tengah ladang di puncak gunung ini, ada sepetak tanah yang dibatasi oleh susunan batu membentuk ruang persegi dengan beberapa pohon hanjuang merah yang menjadi batas petak. Di tengah petak terdapat pohon puspa dan nangka dan berbagai jenis tumbuhan lain, terutama hanjuang hijau. Nah di bawah pohon puspa inilah kami lihat dua buah batu panjang dalam posisi berdiri dan di bawahnya sebongkah batu lain yang sepertinya merupakan potongan atau sisa sebuah arca, pada bagian yang tertinggal masih bisa dilihat pahatan sepasang kaki.
Salah satu batu berdiri ini bentuknya tampak lebih modern, bagian atasnya melancip dan di beberapa sisi seperti ada bekas pahatan tulisan huruf Latin. Sebentar saya menduga batu ini seperti tugu triangulasi atau yang di beberapa tempat biasa disebut sebagai sayang kaak, kemudian ragu sendiri karena batu ukurannya lebih tinggi daripada yang biasa saya lihat. Pada batu yang lebih tua juga sepertinya ada bekas pahatan-pahatan, entah huruf atau relief, terlalu samar. Sementara pada bagian belakang sisa arca, terdapat pahatan yang membentuk huruf-huruf Latin, sepintas kami kira itu hasil vandalisme modern.
Tentu saja di sini kami tak bertemu dengan orang tua yang bercerita pada Muller dan Oort, tapi kami bertemu seorang tua lain, pensiunan Dinas Purbakala (?) yang sebelumnya bekerja di Cimahi dan ingin menghabiskan hari tuanya di Desa Mukapayung. Darinya kami mendengar tentang beberapa situs lain yang tersebar di puncak-puncak gunung di dekat Mukapayung, di antaranya Gunung Gedogan dan Gunung Masigit yang terlihat tidak terlalu jauh dari lokasi kami berdiri. Ya, kunjungan berikutnya ke kawasan ini, kami akan kunjungi dan lihat lebih banyak.
Oleh: Hevi Fauzan (@pahepipa)
“Tidak ada yang tidak mungkin, asal kita punya kemauan. Kalau kita lihat gunung Manglayang, gunung itu akan terlihat tinggi. Tapi kalau kita berusaha untuk mendakinya, maka gunung itu akan ada di bawah mata kaki kita.” – Bapak Suherlan, di Binong Jati, Minggu, 26 Februari 2017.
Penjajahan terkadang memberikan mimpi buruk pada daerah yang dijajahnya. Eksploitasi, baik alam maupun manusia seringkali menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat. Indonesia pernah mengalami mimpi buruk itu. Berabad lamanya, Nusantara menjadi ladang eksploitasi bangsa asing, dari Eropa, sampai Jepang.
Namun, ada pula para filantropis dari negara kolonial yang memberi sedikit manfaat bagi daerah penjajahnya. Di Indonesia, kita mengenal K.A.R. Bosscha misalnya, pengusaha teh dari Malabar, Pangalengan, yang memberi sumbangan fasilitas ilmu pengetahuan di Kota Bandung. Atau Multatuli, yang tulisannya berhasil menggugah semangat Politik Etis di Belanda sana. Bagi Indonesia, kolonialisme dapat dikatakan sebagai salah satu pintu masuknya modernisme, pendidikan, dan faham nasionalisme yang berujung pada kesadaran akan berbangsa di Hindia Belanda.
Sisa-sisa pembangunan di masa penjajahan pun menjadi fasilitas yang sampai kini bisa diamanfaatkan, seperti jalur kereta api, atau jalan-jalan antar kota di Pulau Jawa. Di Kota Bandung, terserak banyak sekali sisa-sisa peninggalan kolonial, terutama Belanda. Fasilitas-fasilitas fisik tersebut banyak yang masih bisa digunakan sampai sekarang. Continue reading
Oleh: Agus Sidiq Permana (@as.permana)
Kali ini akan kuceritakan pengalamanku Ngaleut di daerah Binongjati. Binongjati, nama itu memang tak asing lagi di telingaku, karena itu merupakan jalan tikus yang selalu kuambil jika Jalan Ibrahim Adjie macet parah.
Sudah lama juga kudengar bahwa daerah itu merupakan kawasan sentra industri rajutan, bahkan ada salah dua teman sekolahku yang berasal dari sana tapi mereka sudah tidak tinggal di sana karena sudah berkeluarga dan memiliki rumah di daerah lain di Kabupaten Bandung.
Setelah melewati Pasar Binongjati yang ternyata cukup ramai juga di hari Minggu pagi, walaupun seorang kawan berkata pasar ini kalah saing dengan Pasar Kiaracondong yang letaknya memang tidak terlalu jauh dari pasar Binongjati, kami akhirnya menemui beberapa plang usaha rajut yang ternyata pada hari Minggu banyak yang tutup.
Setelah beberapa kawan coba bertanya ke beberapa orang di sekitar sana, akhirnya kami mendapatkan orang yang dapat bercerita banyak tentang sentra industri rajut. Beliau bernama Pak Suherlan, beliau bercerita bahwa keahlian beliau merajut itu didapatkan dari ibunya. Yang dulu, sambung beliau, ibunya mendapatkan keahlian tersebut dari sekolah jepang yang bernama Naito. Mungkin kegiatan merajut itu seperti ekstrakurikuler pada sekolah jaman sekarang. Continue reading
Oleh: Angie Rengganis
Kegiatan Aleut pada hari Minggu (12/2/2017) pukul 07.30 Bandung diselimuti cuaca dingin dan diguyur hujan gerimis. Kami berjalan menyusuri Jalan Pajajaran menuju Tempat Pemakaman Umum Sirnaraga yang letaknya dekat dengan Bandara Husein Sastranegara. Berbeda dengan kegiatan Ngaleut sebelumnya, kali ini kami mendatangi pemakaman.
Sirnaraga merupakan TPU muslim di Bandung yang sudah ada sejak tahun 1920. Seperti layaknya pemakaman muslim lainnya, tata letak makam TPU Sirnaraga pun disusun sebagaimana aturan dalam Islam yaitu semua makam menghadap Kiblat. Kini lahan di TPU Sirnaraga sudah terbilang padat. Sulit untuk menemukan tanah kosong untuk makam baru. Banyak makam sudah dirapatkan satu sama lain demi mendapatkan ruang kosong untuk makam baru. Penuh dan padatnya susunan makam di TPU Sirnaraga membuat kami sedikit kesulitan menapaki jalan ditengah pemakaman.
Di TPU Sirnaraga, kami berziarah ke beberapa tokoh ternama di Indonesia. Beberapa nama sudah terdengar familiar di telinga kami. Beberapa diantaranya adalah tokoh pergerakan nasional yang berjuang bersama Soekarno yaitu Gatot Mangkoepradja yang wafat tahun 1898. Kemudian ada Soeratin, ketua pertama PSSI yang beliau dirikan tahun 1930, yang wafat tahun 1959. Continue reading