Month: February 2017
Oleh: Agus Sidiq Permana (@as.permana)
Selalu tepat waktu, itulah yang sedang saya dan teman-teman pegiat Aleut lainnya lakukan. Memang mengubah kebiasaan yang sudah mengakar dan mungkin sudah menjadi budaya ini sangat susah. Begitupun dengan Ngaleut kali, walaupun di poster sudah ditulis waktu kumpul 07.22 WIB namun tetap saja ada beberapa teman yang datang terlambat. Dan kegiatan pun molor 50 menit dari waktu yang sudah ditetapkan.
Walaupun belum lama gabung dengan Komunitas Aleut dan sering ikut kegiatan Ngaleut, namun Ngaleut kali ini sangatlah berbeda dari yang sebelum-sebelumnya yang bertema tentang kampung perkotaan dan kolonial. Kali ini kami Ngaleut ke Sirnaraga, sebuah tempat permakaman umum muslim yang berada sangat dekat dengan Bandara Husein Sastranegara.
Di TPU muslim tersebut dimakamkan beberapa tokoh terkenal, contohnya Gatot Mangkoepradja, Soeratin Sosrosoegondo, Otto Sumarwoto, Hartono Rekso Dharsono, Milica Adjie (Isteri Ibrahim Adjie), dan ada juga seorang penyanyi yang dimakamkan disana yaitu Poppy Yusfidawati atau lebih dikenal dengan nama Poppy Mercury.
Selain dari tokoh-tokoh diatas saya juga mendapati ada makam dengan nama Rd. Bratakoesoema yang tertulis kelahiran 1888 bahkan ada juga makam yang dijuluki mbah panjang yang wafatnya tertulis tahun 1602. Sangat menarik untuk ditelusuri dan di-crosscheck lagi tentang sejarah dua orang tersebut, mungkin akan saya ceritakan di lain waktu.
Melihat keadaan permakaman di TPU Muslim Sirnaraga yang begitu penuh dan terlihat jelas sekali perbedaan antara orang yang berada dan orang yang tidak punya. Hanya dengan melihat nisan makam dan pagar yang mengelilinginya saja kita sudah bisa membedakan. Continue reading
Oleh: Hendi “Akay” Abdurahman (@akayberkoar)
Hembusan angin di pagi hari serta merdunya desahan gerimis membasahi Jalan Pajajaran, Kota Bandung. Aku tak terlalu risau, juga tak perlu mengeluh pada semburat langit pagi yang sudah beberapa hari ini seolah menyuruhku berselimut. Cuaca seperti ini sudah akrab denganku. Ya, pilihannya hanya dua; kalau tidak gelap ya terang. Aku nikmati pagi itu sambil ngobrol dengan kawan di sebelahku, sebut saja si A.
“Wihh sepertinya ada orang meninggal nih. Coba lihat, gerombolan orang-orang itu mendekati kita” ujarku pada si A.
“Mana mana?” Si A menimpali sambil lirik kanan-kiri.
“Oiya ya… singkirkan selimutmu, segera cuci muka agar kau terlihat segar !” Si A memerintah.
“Oke, saat ada yang bergerombol seperti ini, dalam cuaca seperti apapun, kita memang harus terlihat segar,” jawabku.
“Iya iya.” Si A menggerutu sambil sedikit melirik lagi pada rombongan itu.
Aku dan si A saling bertatapan, siap memberikan senyum terbaik bagi gerombolan orang yang tengah menghampiri kami.
Dengan cuaca gerimis di pagi hari dan dinginnya Sirnaraga yang tak bermentari, tak mungkin ada orang-orang yang berniat berziarah. Kecuali ada yang meninggal bukan?” tanyaku pada si A.
Si A mengangguk. Kami senang karena akan ada asupan nutrisi baru yang akan kami peroleh. Continue reading
Oleh: Vecco Suryahadi Saputro (@veccosuryahadi)
Alkisah, pada awal abad 20, hiduplah pasangan suami istri bernama Soeridjan dan Bi Emi di Bandung. Rumah mereka di sekitar Tegallega. Pekerjaan mereka ialah mengurus rumah plesiran (bordil) dan isinya. Entah karena terkenalnya rumah plesiran mereka atau apa, kawasan sekitar rumah bordil milik mereka dikenal dengan nama Ijan yang diambil dari nama Soeraidjan.
Beberapa kilometer dari kawasan bernama Ijan, terdapat satu ruas gang bernama Gang Kapitan. Nama Kapitan untuk gang ini berasal dari jabatan pemilik rumah panjang yang berada di pinggir gang ini. Nama pemilik rumah itu ialah Tan Joen Liong yang memiliki jabatan sebagai Kapitan Titulair Tionghoa (jabatan yang diperolehnya setelah dia meninggal) di Bandung.
Seberang mulut Gang Kapitan, terdapat gang agak besar bernama Gang Sim Tjong (sekarang Gang Wangsa). Penamaan Gang Sim Tjong ini sama seperti penamaan Gang Kapitan, yakni dipengaruhi rumah di sekitarnya. Nama pemilik rumah di samping gang ini adalah Tan Sim Tjong. Continue reading
Selamat siang, Aleutians. Seperti biasanya di hari Jumat ini kami mau share dua info kegiatan mingguan Komunitas Aleut yang bakalan sayang banget kalau sampai kelewatan.
Di hari Sabtu besok akan berlangsung Kelas Literasi Pekan Ke-81 dengan tema “Media Televisi”. Dalam KL kali ini kita bakal ngobrol dan diskusi seputar pertelevisian nasional dari kaca mata personal para peserta. Bagi kawan-kawan yang tertarik, langsung saja datang ke Perpustakaan KedaiPreanger (Jl. Solontongan No. 20-D) besok siang pukul 13.00 WIB.
Sedangkan di hari Minggu kita bakal Ngaleut Sirnaraga. Dalam Ngaleut kali ini, kita akan main ke salah satu TPU Muslim terbesar di Kota Bandung untuk mencari tahu tokoh-tokoh yang dimakamkan di sana. Kalau kawan-kawan tertarik untuk gabung, langsung saja konfirmasikan dirimu via SMS/WA ke nomor 0896-8095-4394 atau LINE @FLF1345R (jangan lupa pake “@”) dan kumpul di Alfamart Jl. Pajajaran (Dekat Jl. Rama) pukul 07.22 WIB.
Oh iya, para peserta juga diharapkan untuk menyiapkan lotion anti-nyamuk dan payung/topi ya. Biar nanti makin enjoy saat Ngaleut yes. 😀
Jangan lupa ajak kawan, keluarga, kekasih, tetangga, atau gebetan untuk ikutan supaya acaranya bisa semakin seru. Sampai jumpa!
Oleh: Irfan Noormansyah (@fan_fin)
“Kalau Jerman dulu ngeruntuhin Tembok Berlin, kita malah bangun Tembok Berlin sendiri di kampung”, begitu cerita Kang Edi dari Manteos. Manteos ini bukanlah sebuah daerah di dataran latin sana, nama ini merupakan sebuah kampung yang letaknya hanya sekitar 5 menit berkendara dari Jl. Dago Bandung. Memang di kawasan tersebut terdapat sebuah tembok besar dan memanjang membentengi salah satu bagian kampung. Bedanya, bila Tembok Berlin di Jerman berfungsi untuk memisahkan, Tembok Berlin di Manteos justru berfungsi untuk mempersatukan. Tempat ini merupakan ruang publik yang sering digunakan warga dan anak-anak untuk beraktivitas. Tembok Berlin yang ikonik ini menjadi satu dari sekian banyak hal menarik yang saya temukan saat berkunjung ke Kampung Manteos. Sedikit meminjam branding campaign yang sering disuarakan National Geographic yaitu “let’s get lost”, menjelajahi dan menyesatkan diri pada setiap lekuk dari Kampung Manteos yang bagaikan labirin memberikan sebuah pengalaman tak terlupakan.
Perkampungan kota di Bandung tentunya bukan hanya Manteos saja, sebelumnya saya bersama dengan Komunitas Aleut pernah juga mengunjungi Cikapundung Kolot yang hilang, Blok Tempe yang revolusional, serta Cibuntu yang ternama. Namun tentu setiap kampung yang kami kunjungi memiliki keunikan yang membawa cerita baru dalam setiap episodenya. Keunikan Kampung Manteos ini terletak dari struktur perkampunganya yang didirikan di Lembah Sungai Cikapundung, sehingga dari kejauhan kampung ini akan terlihat seperti rumah yang bertumpuk. Tampilannya sering digambarkan sebagai Rio De Janeiro-nya Kota Bandung, atau mungkin boleh saja kalau kita sebut Rio De Janeiro Van Bandoeng. Continue reading
Oleh: Anggi Aldila Besta (@anggicau)
Entah beberapa orang dari seluruh warga Kota Bandung yang mengenal nama Manteos, apalagi kalau ternyata Manteos ini adalah nama sebuah kampung di Kawasan Bandung Utara. Bagi saya, sebenarnya nama ini pun masih asing setidaknya dua tahun ke belakang. Padahal jarak dari rumah ke kampung ini tidak sampai 11 km apabila ditarik garis lurus. Kampung ini memiliki lorong-lorong gang sempit dilengkapi dengan undakan-undakan tangga kecil yang terhubung satu sama lain, menjadikan Manteos seperti labirin yang berada di sebuah lembah. Tapi siapa sangka kalau kampung ini menyimpan banyak cerita menarik, cerita yang selalu disampaikan orang tua ke generasi berikutnya. Terutama cerita soal Ci Kapundung.
Nama Manteos sendiri berasal dari nama Matius, seorang tuan tanah warga Belanda yang mempunyai tanah di kawasan Kampung Manteos saat ini. Akan tetapi ada juga warga yang bilang kalau Manteos itu berasal dari kata Main House, karena dulunya di sekitar kampung ini ada penginapan milik orang Amerika yang sekarang menjadi gedung di komplek Dinas Psikologi Angkatan Darat. Namun sepertinya pendapat ini diragukan karena gedung tersebut dulunya dikenal sebagai Villa Mei Ling. Villa ini dulu dimiliki oleh orang Tiong Hoa yang juga seorang pedagang beras bernama Ang Eng Kan.
Secara wilayah, Kampung Manteos berada di Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong. Sangat dekat sekali posisinya dari Kantor Kecamatan maupun Polsek Coblong. Di kampung ini, masyarakat asli dan pendatang sudah berbaur. Apabila disimpulkan secara kasar, bagian bawah kampung banyak dihuni oleh pendatang, sedangkan bagian atasnya masih banyak penduduk asli yang telah bermukim sejak lama, seperti yang Pak Edi (tokoh pemuda setempat) bilang, “Saya itu diproses di sini, sampai sekarang punya anak masih tetap di Manteos”. Continue reading
Oleh: Delila Deagrathia
BANDUNG, infobdg.com – Ngaleut punya arti jalan-jalan barengan. Tapi kalau komunitas Aleut bukan cuma jalan-jalan aja tapi juga mencari dan belajar mengenai sejarah Bandung. Jalan-jalannya juga beneran jalan kaki loh wargi Bandung. Setiap hari minggu dengan rutin komunitas ini mencari ilmu sejarah disudut-sudut kota Bandung. Selain jalan-jalan di Bandung, komunitas ini mendapatkan ilmu lebih dalam tentang Bandung.
Di setiap sudut kota Bandung banyak kejadian dan sejarah yang wargi Bandung belum banyak tahu. Nah komunitas Aleut ini bakal lebih mengenalkan Bandung dari masa ke masa. Kang Irfan Teguh, anggota dari komunitas Aleut menceritakan bahwa dulu Bandung pernah mendapat julukan kota kuburan. Dulu kawasan Banceuy merupakan area pemakaman untuk warga Tionghoa, Eropa dan Belanda namun dipindahkan ke Kebon Jahe yang sekarang menjadi Gor Pajajaran untuk area kuburan warga Eropa dan Belanda, untuk warga Tionghoa dipindahkan ke Babakan Ciamis kemudian dipindahkan lagi ke Cikadut.
Namun untuk warga pribumi, menguburkan Jenazah hanya dilakukan di perkarangan rumah saja. Namun akhirnya pemerintah Hindia-Belanda melarang dan merubah kawasan Sirnaraga dan Astana Anyar menjadi pemakaman umum untuk warga pribumi. Bisa wargi Bandung bayangkan semerawut apa kuburan pada jaman dulu, pemakaman yang dipindah-pindah. Bahkan komunitas aleut menemukan batu nisan makan orang Belanda yang sekarang dijadikan tempat menyuci. Continue reading
Reporter: Astri Agustina
Di sini peserta diceritakan sejarah kedatangan etnis Tionghoa di Kota Kembang, dan perkembangan kawasan pecinan di Bandung.

Peserta jelajah kawasan pecinan Bandung. ©2016 Merdeka.com
Merdeka.com, Bandung – Menjelang pergantian Tahun Baru Cina atau Imlek, Best Western Premier La Grande Hotel menggandeng Komunitas Aleut untuk mengungkap sejarah kawasan pecinan di Bandung dalam hajatan bertajuk “Tour de Petjinan Van Bandoeng”.
“Kami mengajak Koko Cici Jakarta 2016, Mojang Jajaka 2016, dan Amoi Akko Bandung untuk meramaikan kegiatan. Juga rekan media untuk lebih mengetahui sejarah pecinan di Bandung serta Komunitas Aleut yang akan menjelaskan soal sejarah pecinan,” ujar General Manager Best Western Premier La Grande Hotel, Benedictus Jodie, Selasa (24/1).
Kegiatan yang diselenggarakan Selasa (24/1) mulai pukul 07.00 WIB itu dimulai dengan berkumpulnya peserta di Perpustakaan Alun-Alun. Di sini diceritakan sejarah kedatangan etnis Tionghoa di Kota Kembang, dan perkembangan kawasan pecinan di Bandung.
Dengan berjalan kaki, perjalanan dilanjutkan menuju Warung Kopi Purnama. Tempat ngopi penuh sejarah ini berada di kawasan Timur Asing atau Arab yang kini dikenal dengan nama Alkateri. Warung Kopi Purnama sendiri hingga saat ini masih mempertahankan tradisi penyuguhan kopi tiam.
“Warung Kopi Purnama berdiri sejak tahun 1930 dengan nama Chang Chong Se yang berarti silakan mencoba. Kedai kopi ini didirikan oleh Yong A Thong yang hijrah dari Kota Medan sekitar abad ke 20 yang membawa tradisi kopi tiam,” jelas Koordinator Aleut, Arya Vidya Utama.
Perjalanan dilanjutkan menuju Kopi Aroma, Kawasan Pecinan Lama yang berada di Pasar Baru, Babah Kuya, Cakue Osin, Hotel Surabaya, dan berakhir di Klenteng Satya Budhi sekitar pukul 12.00 WIB.
Oleh: Adi Ginanjar Maulana

Komunitas Aleut.(Ist)
BANDUNG, AYOBANDUNG.COM — Seorang penulis peraih Nobel Sastra Anatole France pernah mengatakan buku sejarah yang tidak mengandung kebohongan pasti sangat membosankan.
Anatole tidak mencoba sinis dalam kata namun realita yang berkembang mengatakan jika Tuhan sekali pun tidak mampu mengubah sejarah karena hanya ahli sejarah yang dapat melakukannya.
Anatole tidak salah pula tidak benar karena sejarah adalah pedoman cara manusia belajar memperbaiki diri dari masa lalu. Melupakan sejarah adalah sebuah kesalahan yang tidak boleh dilakukan suatu bangsa.
Lantas Komunitas Aleut hadir di tengah persimpangan makna yang membuat sejarah semakin terlupakan tergerus jaman. Para penggiat Aleut percaya jika kesadaran masyarakat untuk mencintai daerahnya dapat tercipta melalui pendekatan sejarah. Continue reading
Oleh: Vecco Suryahadi Saputro (@veccosuryahadi)

Di Indonesia, hidup banyak orang Tionghoa. Kehidupan mereka berada di tengah-tengah kehidupan kita. Di tengah-tengah keberadaan kita, mereka hidup dengan memegang teguh kebudayaan, kepercayaan, dan tradisi mereka.
Tapi, apa kita orang Indonesia mengenal mereka? Mengenal asal muasal kebiasaan mereka? Atau peradaban mereka? Atau yang buat pusing jika diperbincangkan, yakni kepercayaan mereka?
Kalau boleh saya mengutip perkataan Nio Joe Lan dalam buku “Peradaban Tionghoa Selayang Pandang”, maka saya akan jawab umumnya tidak banyak.
Tapi untuk apa mengenal mereka, peradabannya, kebudayaan dan seluruh pegangan-pegangan yang telah ada sejak nenek moyang? Continue reading