Month: November 2016
Oleh: Irfan Noormansyah (@fan_fin)
“Rumahnya di mana?”
“Di Pagarsih”
“Itu teh di mana?”
“Itu deket Kings, dari Cibadak juga deket”
“Oh”
Percakapan di atas sering terjadi saat orang yang baru saja dikenal bertanya mengenai tempat saya tinggal. Tapi itu dulu, karena semenjak beberapa minggu lalu, nama Pagarsih menjadi populer seantero Nusantara karena tragedi banjir yang menghanyutkan sebuah mobil Grand Livina. Kini spontan saat mendengar nama Pagarsih, orang yang mendengarnya akan langsung menanyakan kondisi rumah saya saat banjir kemarin, seperti keasyikan dapat bertemu langsung dengan korban hidup suatu bencana.
Tak berlebihan bila saya menyebut Pagarsih kini terkenal seantero Nusantara, karena berbagai media kemudian berebut memberitakan kejadian bencana banjir ini. Media serasa mendapatkan emas untuk dipahat saat melihat Kota Bandung yang pamornya belakangan terangkat berkat sepak terjang Walikotanya, kini mendapat bencana yang di luar perhitungan sang mantan arsitek dan warganya. Tapi kan namanya bencana, memang siapa yang menduga.
Saya warga asli Pagarsih sejak 28 tahun lalu…yaa sudah hampir 29 tahun.
Yang tak banyak orang tahu, pada dasarnya Pagarsih memang langganan banjir sejak dulu, namun untuk banjir yang sebesar sekarang memang dikarenakan cuaca ekstrim yang datang sekitar 1 dekade sekali. Karena walaupun tinggal di Pagarsih, rumah saya jarang sampai kemasukan air, hanya beberapa kali saja saya ingat saat banjir sebesar sekarang, yaitu pada tahun 1996, 1997, 2006 dan 2016. Warga lama yang sudah tinggal di Pagarsih puluhan tahun pun sudah banyak yang menyiasati banjir ini dengan cara membuat pagar kedap air atau meninggikan pintu masuk ke dalam rumahnya. Media pun hanya memberitakan soal mobil yang hanyut kan? Bukan rumah warga yang terendam air. Continue reading
Oleh: Arif Abdurahman (@yeaharip)
Bekal wawasan saya tentang jurnalisme adalah dari kuliah di University of Amsterdam, meski cuma ngambil Introduction to Communication Science, mata kuliah dasarnya komunikasi massa, dan ini hanya kuliah online di Coursera–saya juga ikut ambil filsafat dasar di University of Edinburgh, tapi enggak sampai tuntas. Yang saya dapat dari kuliah tadi adalah tentang sejarah komunikasi massa, bahwa komunikasi yang asalnya hanya milik penguasa, menjadi milik publik lewat yang namanya jurnalisme ini. Jika ditarik kebelakang, awal ketertarikan saya pada jurnalisme itu berkat pertama kalinya punya kamera DSLR, mula-mula belajar fotografi, tertarik dengan human interest, tentang memotret interaksi manusia yang merupakan satu topik dalam bidang jurnalistik, kemudian timbul juga keinginan sinting jadi jurnalis perang setelah nonton The Bang Bang Club. Dari fotografi, minat saya bergeser ke sastra, karena sadar bahwa bagaimanapun menggeluti fotografi butuh dana enggak sedikit, berbeda dengan menulis. Dari sini saya berkenalan dengan yang namanya jurnalisme naratif atau jurnalisme sastrawi. Continue reading
Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)
Minggu (6/11/2016), saya bersama Komunitas Aleut berkesempatan untuk mengunjungi Blok Tempe. Komunitas Aleut adalah sekelompok anak muda yang punya minat terhadap sejarah dan pariwisata, khususnya di Kota Bandung. Komunitas ini berdiri tahun 2006, dan sampai sekarang masih konsisten berkegiatan. Tiap pekannya, minimal mereka punya empat kegitaan rutin, yaitu: nonton film bareng (Selasa), Kamisan yang isinya konsolidasi internal (Kamis), Kelas Literasi (Sabtu), dan Ngaleut (Minggu).
Ngaleut diambil dari kata “aleut”, yaitu sebuah kata dalam bahasa Sunda yang artinya berjalan beriringan, persis seperti kalau kita berjalan di pematang sawah. Mengapa dinamakan demikian? Hal ini karena kegiatannya adalah mengunjungi setiap pojok Kota Bandung dengan cara berjalan kaki. “Karena dengan berjalan kaki, kita bisa melihat lebih banyak tempat yang sering terlewatkan kalau kita memakai kendaraan,” terang Arya Vidya Utama, salah seorang koordinator komunitas tersebut. Maka dengan berjalan kaki pulalah, Minggu itu, kami berkunjung ke Blok Tempe.
Blok Tempe adalah sebuah kampung kota yang sudah cukup lama menjadi populer setelah Ridwan Kamil (Walikota Bandung sekarang), bersama pemuda setempat melakukan banyak kegiatan posistif yang bersifat sosial. Secara administratif, Blok Tempe berada di Kelurahan Babakan Asih, Kecamatan Bojongloa Kaler. Kampung kota ini mulanya dikenal sebagai daerah tempat tinggal para mantan narapidana yang dipandang sinis oleh warga sekitar. Sampai sekarang, banyak pemudanya yang bertato: sebuah simbol yang kerap diidentikkan dengan premanisme. Continue reading
Oleh: Sora Soca (@SoraSoca)
Selain mendatangi langsung ke tempat-tempat bersejarah di Bandung, para pegiat aktif Komunitas Aleut, juga mempunyai kegiatan menulis. Meski bukan wajib, namun para pegiat aktif komunitas pecinta sejarah, wisata, dan lingkungan ini terbiasa menuliskan catatan perjalanan Ngaleut. Tulisan-tulisan mereka bisa dikunjungi di situs mereka, komunitasaleut.com.
Menurut pengasuh Komunitas Aleut, Ridwan Hutagalung, catatan perjalanan tersebut akan dibuatkan buku.

Kamisan Komunitas Aleut _Huyogo Simbolon
“Baru sekarang ini kita rencanakan buat buku yang relatif mewakilkan Aleut untuk diterbitkan. Bukunya berhubungan dengan catatan perjalanan komunitas Aleut dan kita meggandeng penerbit umum,” terangnya.
Meski tak merinci kapan buku akan diterbitkan, Ridwan mengaku materi buku sudah disiapkan. Terutamanya terkait catatan perjalanan Aleut. “Sudah ada (bahannya),” ujarnya singkat.
Ridwan menambahkan, para pegiat Aleut selalu dirangsang untuk menulis catatan perjalanan. Awalnya berupa tulisan ringan, namun tak jarang di antara mereka yang menggunakan literatur sehingga tulisan menjadi lebih berisi.

Buku Pernik KAA _Huyogo Simbolon
“Kita pernah bikin beberapa buku seperti saat ultah Aleut. Bahkan, anggota kita baik yang perorangan maupun yang ramai-ramai menulis buku terkait sejarah,” ungkapnya.
Selain itu, pegiat Aleut yang berasal dari berbagai latar belakang ilmu juga menambah warna di setiap catatan perjalanan mereka. Bahkan, dalam suatu kesempatan para pegiat Aleut melakukan peliputan dalam rangka Peringatan 60 Tahun Konferensi Asia Afrika (KAA). Catatan peliputan yang dilakukan awak komunitas ini kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Pernik KAA 2015: Serba-Serbi Peringatan 60 Tahun Konferensi Asia Afrika.
(Huyogo Simbolon)
Tautan asli: https://qubicle.id/story/membukukan-cerita-perjalanan-aleut
Oleh: Sora Soca (@SoraSoca)
Kamu takut jika harus berjalan sendirian mengenal sejarah atau lagi bingung dengan asal-usul suatu tempat di Kota Bandung? Datanglah ke Komunitas Aleut. Di komunitas ini dijamin kalian akan ditemani orang-orang yang bisa menuntun dengan sejarah kota.
Ingin bukti? Silakan datang ke jalan Solontongan nomor 20-D, Bandung. Di Kedai Preanger, mereka menyelenggarakan Kamisan Aleut setiap hari Kamis. Kamisan ini merupakan salah satu kegiatan yang diadakan untuk koordinasi dan konsolidasi pegiat aktif komunitas. Semua ide termasuk rencana kegiatan komunitas akan dibahas pada Kamisan.

Kamisan Komunitas Aleut_Huyogo Simbolon
Sorasoca berkesempatan menyambangi kegiatan yang dimulai sore menjelang maghrib ini. Para pegiat Aleut tampak serius berbincang. Namun selama Kamisan berlangsung suasana tetap cair. Canda tawa dan diskusi terhampar di sini.
Selain Kamisan, terdapat kelas literasi yang diselenggarakan Komunitas Aleut setiap hari Sabtu. Dalam kelas ini, para anggota tidak hanya dilatih untuk getol membaca. Tetapi juga lebih mendalami wawasan tentang sejarah dan hal-hal lainnya.

Ngaleut_Dokumentasi Komunitas Aleut
Salah seorang pegiat literasi, Gina Azriana, mengatakan kegiatan ini bermanfaat dan dapat menumbuhkan rasa percaya diri.
“Selain menambah teman dan wawasan, kegiatan ini bisa mengeksplor bakat kita. Mengikuti kelas ini juga membuat saya lebih berani bicara dari yang awalnya malu-malu,” ujar mahasiswi tingkat akhir jurusan Hubungan Internasional itu.
Gina menyebut alasan mengikuti kelas literasi ini bukan semata-mata karena ia anggota Komunitas Aleut. “Lama-lama jadi lebih banyak tahu dari buku. Saya paling suka saat meresensi,” ucapnya.

Ngaleut_Dokumentasi Komunitas Aleut
Program di Aleut yang tak kalah menyenangkan ialah dengan mengikuti kegiatan Ngaleut. Ngaleut merupakan kegiatan rutin yang diadakan setiap hari Minggu oleh Komunitas Aleut. Buat kalian yang hobi jalan-jalan sambil mengapresiasi sejarah bisa segera mendaftar. Bagaimana caranya?
Caranya mudah. Cukup dengan memantau mereka di sosmed @KomunitasAleut atau lewat instagram @komunitasaleut serta fanpage Facebook Komunitas Aleut. Nanti, setiap kegiatan reguler mereka akan diumumkan lewat akun-akun tersebut. Lalu, konfirmasi kehadiran keikutsertaan pada pengurus komunitas. Satu lagi, biaya pendafataran cuma sepuluh ribu rupiah! Dan kamu bisa mendapatkan pin keanggotaan. Bagaimana, sudah punya pilihan? (Huyogo Simbolon)
Tautan asli: https://qubicle.id/story/tiga-kegiatan-asyik-bersama-komunitas-aleut
Oleh: Sora Soca (@SoraSoca)
“The most effective way to destroy people is to deny and obliterate their own understanding of their history”
George Orwell
Bersumber dari buku seputar sejarah Bandung, yakni Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, karya Haryoto Kunto (Granesia, 1984). Buku ini lah yang kemudian menginspirasi Ridwan Hutagalung untuk menyusuri situs-situs penting di Bandung. Sekitar tahun 2003, kegiatan berjalan kaki menelusuri fakta-fakta di lapangan yang bersumber dari tulisan Haryoto Kunto sudah dilakukan bersama lima rekannya yang lain.
Tiga tahun kemudian Komunitas Aleut dibentuk. Tujuannya masih sama yaitu menjelajahi situs-situs penting sambil belajar bersama-sama mengenali sejarah di Kota Bandung.

Wajah Bandoeng Tempoe Doeloe _Huyogo Simbolon
“Intinya ada beberapa orang yang mengoleksi buku-buku tentang Bandung terutama bukunya Pak Haryoto Kunto. Orang-orang yang suka sama buku ini sering ngobrol dan kemudian tercetus ide untuk menelusuri apa yang ditulis dalam buku itu,” ujar Ridwan yang hingga kini aktif mengasuh Komunitas Aleut.
Dalam mencari berbagai fakta di lapangan tersebut, Ridwan mengatakan, banyak hal yang tidak disadari bahwa banyak tempat di Bandung yang memiliki sejarah. Tanpa disadari bahwa apa yang terlihat sehari-hari ternyata memiliki informasi yang menarik.

Ridwan Hutagalung_Huyogo
Setelah itu komunitas ini lebih rutin memperluas wilayahnya. Tidak hanya di kota tapi ke pinggiran Kota Bandung. Serta tidak alasan khusus dipilihnya hari Minggu untuk menggelar kegiatan Ngaleut. Hanya karena waktu luang yang ada hanya di hari Minggu.
Rupanya, anggota komunitas ini banyak menemukan data menarik yang justru tidak terungkap di dalam buku sejarah. Seperti cerita dari warga sekitar lokasi situs berada.
“Kita juga menggunakan sumber-sumber lain yang berkaitan dengan tempat itu. Referensi buku-buku berbahasa Sunda, Inggris dan Belanda terkait dengan sejarah Bandung,” katanya. (Huyogo Simbolon)
Tautan asli: https://qubicle.id/story/terinspirasi-suasana-bandung-tempo-dulu
Oleh: Sora Soca (@SoraSoca)
Menuntut ilmu merupakan metode mendapatkan kebahagiaan hidup. Maksud dari ungkapan tersebut memang benar. Namun, apa gunanya ilmu pengetahuan jika tidak bisa disampaikan kepada orang banyak?
Ilmu itu sendiri terdapat banyak cabangnya. Salah satunya sejarah. Mengacu pada kalimat penulis Belanda Edgar du Perron, “Bahasa yang sulit, tidak selalu mewakili pikiran yang bermutu”. Banyak sekali buku sejarah bermutu yang kita temui hanya bisa mengisi tumpukan buku yang tidak dibaca karena penulisannya yang terlalu ilmiah dan berat. Di sinilah ilmu sejarah harus lebih aplikatif.
Persoalan itu kemudian berusaha dipecahkan oleh Komunitas Aleut. Melalui kecintaan kepada Kota Bandung, mereka menggelar kegiatan rutin bernama Ngaleut setiap hari Minggu. Mereka berusaha membangun kesadaran masyarakat akan sejarah yang terjadi di kotanya. Apakah benar begitu?
Salah satu pegiat Komunitas Aleut, Gina Azriana, mengatakan Ngaleut membuatnya menyukai sejarah. Selain itu, kegiatan ini dapat menambah pertemanan dan wawasan tentang situs penting di Bandung.

Sejarah bisa apa saja, tidak hanya tempatnya tapi juga ada kisah menarik di sekitarnya. Saat bergabung dengan Aleut wawasan bertambah dan ternyata tidak hanya di Bandung,” kata mahasiswi asal Sintang, Kalimantan Barat itu.
Gina mengaku baru setahun bergabung dengan Komunitas Aleut melalui ajakan seorang teman yang sudah lebih dulu aktif. Sejak saat itu ia rajin mengikuti kegiatan reguler Aleut.
“Saya ikut Ngaleut perdana saat ada peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika. Sejak saat itu jadi sering kegiatan setiap Minggu,” ungkapnya.
Salah seorang koordinator Ngaleut, Arya Vidia Utama menjelaskan, sejak dibentuk 10 tahun lalu komunitas ini memang bertujuan mempelajari sejarah dengan cara mendatangi langsung tempat-tempat bersejarah yang dituju. Dengan menerapkan metode tersebut diharapkan mendatangkan pengetahuan baru bagi para anggotanya terkait sejarah.

Setiap Minggu, kata Arya, tema yang dibahas berbeda-beda sehingga lokasi yang menjadi titik-titik keberangkatan komunitas ini pun beragam mulai dari jalan raya, pemukiman penduduk dan sebagainya.
“Kadang temanya ditentukan dari hal apa yang mau dicari. Ada juga yang terkait dengan event terdekat di Bandung. Misal, HUT Kota Bandung kita cari yang berhubungan dengan momen tersebut,” terangnya.
Ngaleut sendiri merupakan kata dari Bahasa Sunda yang berarti berjalan beriringan. Mereka mengadakan Ngaleut untuk bersama-sama saat mempelajari sebuah tempat bersejarah. Hampir seluruh tempat bersejarah di Bandung sudah dikunjungi komunitas ini. “Sumber temanya sendiri dari buku. Tidak hanya baca dari satu literatur saja. Ada dari buku memoar, novel dan lain-lain,” jelas Arya.

Setiap koordinator juga berperan penting dalam menyampaikan sejarah. Mereka biasanya bergantian menyampaikan informasi terkait situs penting kepada pegiat Aleut.
“Siapa yang menguasai materi yang jadi penanggung jawabnya. Saya misalnya, bertanggung jawab yang di dalam kota. Yang lain ada tentang literasi, militer, kereta api dan masih banyak lagi,” ujarnya.
Komunitas Aleut juga pernah menjelajahi jejak sejumlah tokoh dan pahlawan nasional yang pernah tinggal di Bandung, seperti Soekarno, Mohammad Hatta, dr. Tjipto Mangeoenkoesoemo, dan Douwes Dekker.
Sleain itu, pegiat aktif menuliskan pengalaman Ngaleut dalam catatan perjalanan mereka yang dimuat di komunitasaleut.com. Dengan cara bercerita, diharapkan semakin banyak orang tahu akan sejarah dan tertarik mendalaminya.
Dikatakan Arya, para pegiat aktif juga turut menyumbangkan ide untuk tema Ngaleut. “Pegiat aktif juga memberi ide karena di pengurus di sini tidak sentris,” ucapnya.
(Huyogo Simbolon)
Tautan asli: https://qubicle.id/story/ngaleut-melangkah-beriringan-memaknai-sejarah
Selamat pagi dan selamat berakhir pekan! Es yusuel, hari ini mimin mau share dua kegiatan mingguan Aleut yang bakalan nyesel deh kalau dilewatin 🙂
Kegiatan pertama adalah Kelas Literasi Pekan Ke-68 yang berjudul “Jurnalisme Warga Bagian II”. Setelah minggu lalu dapet insight seputar jurnalisme, di pekan ini kita akan membahas praktik dari penulisan jurnalisme warga. Akan dibahas juga apakah tulisan tersebut telah memenuhi kaidah jurnalisme.
Bagi kawan-kawan yang tertarik bergabung, bisa menghubungi nomor CP 0896-8095-4394/LINE @FLF1345R dan datang ke Perpustakaan KedaiPreanger (Jl. Solontongan No. 20D) hari ini pukul 13.00 WIB. Aleutians juga bisa buat hadir untuk sekadar ikut menyimak dan berdiskusi kok 😀
Sedangkan di hari Minggu, kita akan Ngaleut Babakan Surabaya. Dalam Ngaleut kali ini kita akan kita akan menyusuri sudut-sudut perkampungan yang muncul pada akhir abad ke-19 ini. Bersama-sama kita akan mencari tahu jejak yang masih tersisa dan menggali kisah-kisah yang mengendap di daerah Babakan Surabaya 🙂
Kalau kawan-kawan tertarik untuk bergabung, langsung aja konfirmasi kehadiran via SMS/WA ke nomor 0896-8095-4394 atau LINE @FLF1345R (jangan lupa pakai “@”), lalu kumpul di depan Yogya Express Lucky Square (Jl. Jakarta) pukul 07.00 WIB. Gunakan alas kaki dan pakaian yang nyaman agar semakin enjoy saat Ngaleut nanti.
Jangan lupa ajak kawan, kekasih, istri, keluarga, tetangga, atau gebetanmu agar kegiatan minggu ini bisa dinikmati beramai-ramai dan semakin seru. Sampai jumpa 😀
Oleh: Rulfhi Pratama (@Rulfhi_Rama)
“Kring..Kring…Kring..’’ Suara alarm yang berbunyi dari HP tak bisa membangunkan saya agar tidak terlambat berangkat ngaleut ke Blok Tempe bersama Komunitas Aleut. Alhasil saya tak sempat bergabung dari awal walau saya sudah memacu kuda besi saya secepat Valentino Rossi. Saya tiba di Pasar Ulekan yang menjadi meeting point pukul setengah sembilan dan mendapati rombongan sudah berangkat Ngaleut. Untung saja salah satu rekan di men-share lokasi, jadi saya langsung meluncur menyusul mereka.
Di tengah jalan sebelum bertemu dengan rombongan saya bertemu dengan salah satu rekan yang memutuskan untuk jajan cilok. Tak kuasa mendengar kata cilok, saya pun memutuskan bergabung untuk ikut jajan. Ternyata cilok ini jadi favorit warga sekitar, banyak warga yang mengantri untuk jajan cilok ini, dan menurut Arfin cilok ibu ini kalo hari biasa dagang di sekolahan dan kalo weekend di sekitar Pasar Ulekan.

Cilok di Pasar Ulekan Pagarsih
Setelah cilok di tangan, kami pun segera bergabung dengan kawan-kawan yang sudah menunggu di depan. Di sini saya dan Aleutians lain mulai menelusuri gang demi gang yang ada di daerah Babakan Tarogong ini. Satu persatu warga sekitar kami tanya untuk menanyakan tempat yang bernama Blok Tempe sampai kami menanyakan ke seorang ibu-ibu yang sedang membantu mempersiapkan bahan makanan untuk dagangan anaknya. Continue reading
Oleh: Irfan Noormansyah (@fan_fin)
“Kang, upami bade ka Bale RT opat ka palih mana?”, tanya saya kepada seorang lelaki yang kaki kirinya dipenuhi tato. “Mangga, kantun lurus teras dugi mendak lapangan, engke mengkol ka katuhu”, begitu jawabnya sambil tersenyum ramah.
Minggu pagi itu saya terpisah dari kawan-kawan Komunitas Aleut yang hendak menuju Bale di kawasan Blok Tempe Bandung karena keasyikan memotret suasana kampung. Lelaki tadi hanyalah satu dari sekian banyak warga kampung yang merajah tubuhnya dengan tato. Sebelum tato menjadi trend lifestyle seperti sekarang, tato-tato tersebut sudah mereka dapat saat masih berprofesi sebagai preman dan sebagian saat menghuni lembaga permasyarakatan. Yak, pada tahun 90-an Blok Tempe sempat menyandang Kampung Narapidana karena rentannya kasus kriminalitas. Namun kini Blok Tempe telah berganti nama secara administratif menjadi Kelurahan Babakan Asih, karena warganya yang dikenal asih (ramah). Continue reading
Oleh: Angie Rengganis (@angiesputed)
Kegiatan Ngaleut pada hari Minggu (6/11/2016) dimulai dengan berkumpul di depan Pasar Ulekan Pagarsih Bandung. Setelah berkumpul, kami berjalan kaki menyusuri babakan Tarogong. Sebuah pemukiman padat yang dialiri aliran sungai di kanal Babakan Tarogong di sepanjang jalannya. Minggu pagi ini terlihat pemadangan sedikit berbeda dengan pasar tumpah di sekitar pinggir kanal. Tujuan mencari keberadaan Blok Tempe masih jauh. Kami harus melewati jalan besar dan menembus Gang Babakan Irigasi. Jalan semakin menyempit, kami memasuki gang perkampungan padat yang mengarah ke Blok Tempe.
Bertemulah kami dengan seorang Ibu yang sedang sibuk memotong sayuran. Kami pun bertanya menggali informasi tentang sejarah Blok Tempe dan asal usul nama tempe tersebut. Menurut beliau dulu di jaman penjajahan, di daerah sini banyak warga memproduksi tempe dan dikirimkan untuk dijual. Namun kini sudah tidak ada lagi yang warga yang memproduksi tempe, “Sekarang di sini warga banyak membuat bolu”, si Ibu menambahkan sambil bercanda. Obrolan pun panjang lebar berlanjut dengan cerita-cerita si Ibu yang menyangka kami ingin membeli tempe. Kami pun pamit dan meneruskan perjalanan menuju Blok Tempe dengan panduan arah si ibu.
Setelah beberapa lama menyusuri gang-gang sempit dan ditambah dengan bertanya ke warga setempat, akhirnya tibalah kami di tempat yang dicari, Blok Tempe. Sebuah kawasan yang masih berada di sekitar gang dengan petak tanah yang lebih luas. Kami menemukan sebuah bale yang berdiri dihimpit oleh rumah warga. Rangkanya mirip rumah pohon, terbuat dari bambu dan disusun membentuk panggung. Bale tersebut digunakan oleh Karang Taruna dan warga untuk mengaji. Di luar bale, tembok-temboknya penuh dengan mural yang kelihatannya tidak asal-asalan dibuat. Salah satunya tergambar tipografi tulisan Blok Tempe. Continue reading
Oleh: Nurul Ulu (@bandungdiary)
Tahun 1917 bulan Desember di kota Bandung terbit sebuah novel berjudul Rasia Bandoeng. Novel ini berkisah tentang sepasang muda mudi Tionghoa yang jatuh hati dan kawin lari. Karena keduanya berasal dari marga yang sama, maka cinta mereka terhalang tradisi. FYI, kisah dalam novel ini merupakan kisah nyata. Menambah nilai bonus bagi para pecinta cerita fiksi sekaligus sejarah.
Pertama ini kisah sungguh-sungguh terjadi. Kedua setting dalam novelnya berlatar Bandung di periode 1900-an.
Rasia Bandoeng terbit dalam tiga jilid. Jilid terakhirnya muncul di tahun 1918. Hampir 100 tahun sejak novel tersebut pertama kali hadir, sebuah komunitas sejarah di Bandung menyalin ulang dan menerbitkannya kembali. Komunitas Aleut bukan cuma menerbitkan ulang, tapi juga menyelenggarakan acara menyusuri tempat-tempat yang diceritakan dalam novelnya pada hari Minggu (30/10/2016).
Gak banyak acara jalan-jalan yang dibuat rutenya berdasarkan sebuah buku apalagi genrenya novel. Malah jarang banget. Atau hampir gak ada ya? Di Bandung saja yang menyelenggarakan walking tour berdasarkan novel kayaknya baru Aleut dan Lembang Heritage (waktu saya ikut tur ke Gambung, salah satu lokasi yang ada di novel Sang Juragan). CMIIW.
Cerita Novelnya
Tokoh utama di novel ini ada dua: Hilda Tan dan Tan Tjin Hiauw. Konfliknya muncul karena mereka berdua punya marga yang sama yaitu Tan. Di komunitas Tiong Hoa, orang yang marganya sama tidak boleh menikah, apalagi punya keturunan. Orang dengan marga yang sama artinya punya hubungan kekerabatan yang dekat (sedarah).
Dengan pria yang rentang umurnya berbeda tujuh tahun itu Hilda tidak peduli marganya sama. Pokoknya cinta mati ke si Tan Tjin Hiauw deh.
Hilda berasal dari keluarga kaya raya. Sebaliknya Tan Tjin Hiauw berasal dari keluarga yang kondisi keuangannya sedang bangkrut. Rumor mengatakan bahwa si laki-laki menyambut cinta Hilda lantaran ingin memperoleh kekayaan keluarga Hilda. Tapi bagaimana mungkin bisa kecipratan harta kekayaan ayahnya Hilda kalau Hilda sendiri ‘dipecat’ dari ahli waris keluarganya ya…
Secara garis besar kisah di novel ini sama kok dengan kebanyakan cerita di novel fiksi lainnya. Cinta kasih yang ditolak adat tradisi.
Menyusuri Ceritanya
Ngaleut Rasia Bandoeng hari itu destinasinya adalah tempat-tempat yang jadi lokasi Hilda dan Hilda Tan dan Tan Tjin Hiauw kencan dan jalan-jalan. Rutenya dari Gedung Indonesia Menggugat di Jalan Perintis Kemerdekaan ke area sekitar Braga, Pasar Baru dan Stasiun Bandung.
Biasanya kalau history walking tour kan jalan kaki terus hinggap di satu titik lalu cerita tokoh atau cerita penting. Ini kayaknya baru pertama kali saya menyusuri tempat-tempat bersejarah di Bandung yang bumbu ceritanya dari skandal sepasang kekasih. Bukan tentang gedung itu dibangun tahun berapa lah, rumah ini gaya arsitekturnya apa lah 😀 Seru juga sih kayak main detektif-detektifan *halah*
Waktu Alex (pemandu Komunitas Aleut) cerita kalau novel ini sebenarnya ada tiga jilid, dalam hati saya agak-agak bete ke penulisnya. Tega banget ya ke Hilda. Itu kayak mengupas tuntas skandal kisah cinta Hilda Tan dan Tan Tjin Hiauw tiga buku berturut-turut di muka publik. Seperti luka yang belum dicuci lalu ditaburi garam terus menerus.
Penulis menggunakan nama rahasia: Chabanneau*******. Di novel ini yang masih misteri adalah penulisnya sih. Itu satu-satunya rahasia yang belum terpecahkan.
Ditambah lagi fakta kalau novel ini dibuat berdasarkan surat-surat Hilda yang isinya curhat tentang perasaan dan hubungannya dengan Tan Tjin Hiauw. Belum cukup ini diangkat dari kisah nyata, si penulis menyatakan dalam pendahuluannya kalau nama tokoh dalam novelnya ia ubah sedikit tapi inisialnya sama dengan tokoh aslinya.
Masih belum cukup, konon penulis novel ini memeras Hermine (tokoh asli Hilda). Kalau tidak ingin kisahnya bocor ke muka umum, Hermine diminta membayar sejumlah uang. Hermine gak mau, lalu terbitlah novel Rasia Bandoeng.
Sepanjang mendatangi kawasan yang disebut dalam novel Rasia Bandoeng, cuma sedikit bangunan yang masih berdiri. Salah satunya eks Hotel Ekspres di Kebonjati. Saya mengenal hotel ini dengan nama Hotel Surabaya. CMIWW. Sekarang bangunan ini milik perusahaan Kagum, jadi hotel Gino Ferucci. Bagian depan gedungnya yang masih kuno masih dipertahankan. Tapi ke bagian tengah dan belakang sudah berganti wajah jadi modern dan bertingkat.
Kami juga melihat kawasan tempat Bioskop Venus dan Apollo (di Banceuy) yang gedungnya sudah tidak ada lagi. Juga ke lokasi kantornya Tan Tjin Hiauw dan toko milik keluarga Hilda. Termasuk ke lokasi Sarikat Kuli-kuli Tionghoa di Pasir Kaliki sebelum berbelok ke arah Stasiun Bandung.
Berbagi Sudut Pandang tentang Rasia Bandoeng
Bila tidak ada novelnya, gak ada acara Ngaleut Rasia Bandoeng hari itu. Gak ada yang tahu bioskop Apollo dan Venus. Gak ada yang tahu sejarah keluarga Tan Djia Goan, ayahnya Hilda. Gak ada yang tahu perihal Hotel Expres. Gak ada yang tahu Perempatan Kompa. Gak ada yang tahu dulu di Alun-alun Bandung ada pohon beringin dan kalau sore di situ mangkal PSK, gak ada yang tahu nama gang Ijan itu dulunya Soeria-Ijan, dan masih banyak detail-detail lokasi dalam novelnya yang bisa kami telusuri jejaknya hari ini. Ya ada sih di buku yang lain. Tapi kan beda buku beda cerita.
Juga saya baru tahu dari novel ini kalau istilah Pelesiran artinya kamu singgah ke rumah bordil. Juga panggilan ‘neng’ yang dulu berlaku untuk laki-laki.
Skandal dibalik terbitnya Rasia Bandoeng ini bisa jadi blessing in disguise. Kesusahan untukmu adalah anugerah untuk orang lainnya lagi.
Sama seperti karakter Hilda yang menurut saya keras kepala (dalam kosakata yang enak dibaca, maka ‘teguh pendirian’ adalah kalimat yang tepat :D). Di dalam angkot menuju pulang ke rumah, saya ngobrolin novel ini dengan Indra. Indra bilang kayaknya di dunia ini memang diciptakan sosok-sosok seperti Hilda agar orang lain belajar dari hidupnya.
Maksudnya Hilda orang gak bener terus kita belajar dari kesalahan dia gitu? Tanya saya pada Indra.
Indra menjawab. Every storm has its silver lining. Sisi negatifnya ya dirasakan oleh Hilda: dikucilkan dari keluarga, mesti berjuang dengan pendapatan Tan Tjin Hiauw yang gak sebanyak uang ayahnya, dan jadi omongan banyak orang. Tapi kan selalu ada sisi positifnya, yaitu belajar dari kesalahan Hilda. Buat Indra kesalahan Hilda adalah keras kepala, gak nurut pada orang tuanya. Tapi buat saya mah kesalahannya bukan itu sih.
Sebagai perempuan di tahun 2016, kesalahan Hilda buat saya adalah dia cinta dan merasa bahagia dengan orang yang punya ‘selir’. Tan Tjin Hiauw berhubungan dengan perempuan lain bernama Nyi Enon yang profesinya pelacur sih. Oleh Tan Tjin Hiauw, Nyi Enon disewakan rumah. Dalam buku sih disebut Nyi Enon dipiara Tan Tjin Hiauw.
Tapi perspektif perempuan di tahun 1914 mungkin berbeda ya. Apalagi kedudukan Tan Tjin Hiauw yang pernah jadi kepala bagian pembukuan dan wakil organisasi kuli-kuli Tionghoa. Masa iya gak berhubungan dengan lebih dari satu perempuan meureun ya 😀 Seumur-umur saya baca buku tentang bupati Bandung dan jabatan sejenis, baru Martanegara saja yang monogami.
Liefde is bliend. Cinta itu buta. Begitu kalimat pertama dalam bab XI di novel ini.
Kalau nikah semarga, saya gak bisa menilai itu salah sih. Kakak ipar saya menikah dengan perempuan yang masih satu keluarga. Anaknya sekarang empat. Terus biasa-biasa aja sih gak ada masalah heuheuehu. Prinsip tiap adat memang berbeda-beda ya.
Yang menarik saya baru saja membaca novel Memang Jodoh karya Marah Rusli. Ceritanya mirip Rasia Bandoeng, diangkat dari kisah nyata penulisnya sendiri. Marah Rusli adalah orang Minang yang menikah dengan perempuan dari Suku Sunda. Pernikahannya itu tidak disetujui keluarga Marah Rusli. Buku ini terbit 50 tahun setelah Marah Rusli wafat karena keinginan beliau sendiri. Kata Marah Rusli sih novel terakhirnya ini kisah nyata dan ia gak mau menyinggung tokoh-tokoh asli dalam novelnya. Kalau diterbitkan 50 tahun kemudian kan para tokoh dalam novelnya sudah meninggal. Begitu katanya.
Wow baik banget ya. Satu novelnya Marah Rusli itu menurut saya mah kenyinyiran dalam bentuk terbaik, tercerdas, terhalus, dan tersopan. Beda banget dengan Rasia Bandoeng ini. Sudah mah kejadiannya tahun 1913-1917, novelnya pun terbit di tahun 1917. Hilda Tan menanggung banyak beban di punggungnya. Tapi bener gak ya beban, bisa jadi kan Hilda mah cuek-cuek aja kan. Kadangkala orang yang gak mengalami kayak saya ini bisanya mendramatisir, yang ketimpa masalahnya mah kalem. Ya mungkin sih 😀
Menjadi peserta di Ngaleut Rasia Bandoeng, saya tentu saja baca novelnya dulu sebelum berangkat jalan-jalan. Ini buku membawa perasaan melankolis mengingat settingnya yang beneran Bandung tahun 1900an. Namun juga tragis.
Bacaan saya baru sampai di halaman 130an. Novelnya tamat di halaman 257. Sebelum membaca novelnya, seperti biasa saya baca Kata Pengantarnya yang lumayan panjang. Tapi wajib dibaca ya, jangan dilewatkan oleh sebab kata pengantarnya cerita panjang lebar tentang latar belakang novelnya disalin dan terbitkan ulang.
Lalu saya langsung baca daftar isi dan langsung loncat ke bagian terakhir.
Di bagian terakhir buku ini ada 12 tulisan seorang wartawan Pikiran Rakyat yang berkaitan dengan kehidupan nyata tokoh-tokoh dalam novel Rasia Bandoeng. Wah ini juga menarik banget!
Kalau bab cerita di novelnya ada 27 kalau gak salah. Jadi ya ini buku padat gizi 😀
FYI kalau kamu sama kayak saya, berasa pusing kalau baca tulisan berejaan lama, nah novel ini sudah menggunakan ejaan baru. Gak semua sih, karena tutur kalimatnya masih melayu tempo dulu. Beberapa kosakata masih dipertahankan aslinya. Tapi ejaan kayak OE diubah jadi U.
Ngaleut Rasia Bandoeng Tur jalan kaki yang melankolis sih menurut saya mah. Ngaleut yang menyenangkan. Buku apalagi yang bisa dijadiin tur jalan kaki gini ya? Mau lagi lah ikutan 😀

