Month: October 2016

#InfoAleut: Ngaleut Rasia Bandoeng (30/10/2016)

Selamat pagi, Aleutians! Di hari Sabtu yang cerah ini, mimin mau share #InfoAleut untuk #Ngaleut hari Minggu besok 🙂
 
whatsapp-image-2016-10-28-at-7-50-57-pm
Masih berkaitan dengan Peluncuran dan Diskusi Buku Rasia Bandoeng kemarin, di hari Minggu (30 Oktober 2016) besok kita akan Ngaleut Rasia Bandoeng. Di Ngaleut ini, Aleutians bakal menelusuri beberapa titik yang diceritakan dalam buku Rasia Bandoeng. Oh iya, Ngaleut ini juga merupakan lanjutan dari Ngaleut dengan nama serupa yang telah berlangsung di bulan Februari kemarin 😀
 
Kalau kawan-kawan tertarik untuk bergabung, langsung aja konfirmasi kehadiran via SMS/WA ke nomor 0896-8095-4394 atau LINE @FLF1345R (jangan lupa pakai “@”), lalu kumpul di Gedung Indonesia Menggugat (Jl. Perintis Kemerdekaan No. 5) pukul 07.00 WIB. Gunakan pakaian dan alas kaki yang nyaman agar bisa lebih enjoy saat Ngaleut 🙂
 
Jangan lupa ajak kawan, kekasih, istri, keluarga, tetangga, atau gebetanmu agar Ngaleut minggu ini bisa dinikmati beramai-ramai dan semakin seru. Sampai jumpa 😀

Rasia Bandoeng: Skandal Terlarang 100 Tahun Silam

Oleh: Irfan Noormansyah (@fan_fin)

Liefde Is Bliend” artinya cinta itu buta, entah sudah berapa banyak film dan buku yang mengambil tema tersebut. Demi cinta, Romeo bahkan berani menenggak racun karena ingin menyusul Juliet yang berpura-pura mati demi dirinya. Tak perlu jauh-jauh datang ke Verona untuk menelusuri kisah cinta buta yang melegenda itu, karena Bandung pun memiliki kisah cinta yang serupa, bahkan pernah hadir secara nyata. Kisah tersebut terangkum dalam novel berjudul “Rasia Bandoeng” yang terkubur 100 tahun lamanya.

Rasia Bandoeng menceritakan kisah seorang Hilda Tan, gadis belia putri kesayangan pengusaha kaya yang tersohor di Kota Bandung yaitu Tan Djia Goan. Pada usianya yang menginjak masa remaja, rupanya ia jatuh cinta pada seorang pemuda bernama Tan Tjin Hiauw. Percintaannya tak berjalan dengan mulus, karena sang pemuda berasal dari marga yang sama dengan dirinya, sehingga mendapat pertentangan dari sang Ayah. Pertentangan inilah yang menjadikan kisah cinta mereka menarik untuk diikuti. Dan dari kisah mereka inilah terungkap bahwa ternyata di jaman dahulu percintaan antara sesama marga dalam etnis Tionghoa itu tidak diperbolehkan.

Latar waktu dan tempat yang diceritakan di Rasia Bandoeng adalah nyata terjadi di Kota Bandung pada tahun 1912-1917. Berbagai tempat kejadiannya diceriterakan dengan sangat detail oleh sang penulis, bahkan sebagian foto tempat serta beberapa foto tokohnya dilampirkan di beberapa halaman.  Dari penuturan si penulis ini mengenai latar tempat, kita dapat mencoba menelusuri jejak cerita dalam novel, dan membandingkannya dengan kondisi saat ini.

Awalnya saat membaca sekilas Novel Rasia Bandoeng ini, saya sempat khawatir bahasanya yang menggunakan bahasa melayu klasik akan menyulitkan dalam mencerna isi cerita, namun ternyata penggunaan bahasa melayu jadul itu menjadi aspek menarik dalam buku ini. Dalam percakapan antar tokoh dalam novel terdapat pula celetukan berbahasa Sunda yang bagi saya memperpendek jarak waktu 100 tahun cerita tersebut, karena pada dasarnya bahasa Sunda yang digunakan tak terlalu jauh berbeda dengan yang saya gunakan pada jaman sekarang.

Rasia Bandoeng ini memuat banyak sekali kosa kata lama yang menjadi pengetahuan baru karena sudah tak dipergunakan lagi di jaman sekarang. Continue reading

#InfoAleut: Kelas Literasi Pekan Ke-65 dan Ngaleut Kampung Adat Cireundeu

Selamat pagi, Aleutians! Hari Sabtu ini adalah jadwal mimin buat membagikan dua kegiatan mingguan Aleut yang dijamin seru 🙂

whatsapp-image-2016-10-21-at-2-28-17-am

Kegiatan pertama adalah Kelas Literasi Pekan Ke-65 yang berjudul “Caption This” di hari Sabtu besok. Dalam Kelas Literasi kali ini, kita akan membahas dan mendiskusikan caption-caption di Instagram yang menarik sambil belajar juga bagaimana membuatnya. Bagi kawan-kawan yang tertarik bergabung, bisa menghubungi nomor CP 0896-8095-4394/LINE @FLF1345R dan datang ke Perpustakaan KedaiPreanger hari ini pukul 13.00 WIB. Aleutians juga bisa buat hadir untuk sekadar ikut menyimak dan berdiskusi kok 😀

whatsapp-image-2016-10-21-at-1-50-38-pm

Sedangkan di hari Minggu, kita akan Ngaleut Kampung Adat Cirendeu. Dalam Ngaleut kali ini melihat Kita akan berkenalan dengan adat dan budaya di salah satu perkampungan adat yang ada di Bandung. Salah satu yang terkenalnya adalah “filosofi singkong” 🙂

Kalau kawan-kawan tertarik untuk bergabung, langsung aja konfirmasi kehadiran via SMS/WA ke nomor 0896-8095-4394 atau LINE @FLF1345R (jangan lupa pakai “@”), lalu kumpul di Kedai Preanger (Jalan Solontongan No. 20-D) pukul 07.00 WIB. Cantumkan keterangan bawa motor atau tidak saat konfirmasi, dan Aleutians yang bawa motor diwajibkan bawa dua helm. Segera daftarkan dirimu karena kuotanya terbatas 🙂

Jangan lupa ajak kawan, kekasih, istri, keluarga, tetangga, atau gebetanmu agar kegiatan minggu ini bisa dinikmati beramai-ramai dan semakin seru. Sampai jumpa 😀

H.O.S Tjokroaminoto dan Pengaruhnya di Priangan

Oleh: Bagus Reza Erlangga (@bagusreza)

Haji Oemar Said Tjokroaminoto adalah sang Raja Tanpa Mahkota. Ia dilahirkan di Madiun pada 16 Agustus 1882 dengan gelar kebangsawanan Raden Mas, namun gelar ini ia tanggalkan dan menggantinya dengan Haji Oemar Said. Hal ini ia lakukan karena merasa gelar kebangsawanannya melekat erat dengan cap pro-kolonial. Ia memang sosok yang anti-kolonial, bahkan ia mengundurkan diri sebagai pegawai juru tulis di Madiun yang dirasa pro-kolonial untuk kemudian melarikan diri ke Semarang menjadi buruh angkut pelabuhan.  Di sini ia merasakan betul seperti apa penderitaan kaum pribumi kelas bawah.

Sepak terjang dan nama besarnya tidak bisa dilepaskan dari organisasi Sarekat Islam (SI). Sarekat Islam didirikan oleh H. Samanhoedi pada 11 November 1911 dengan tujuan menjadi benteng pelindung para saudagar batik dari tekanan Pedagang Cina dan Kalangan Ningrat Solo. Di bawah kepemimpinan H. Samanhoedi, Sarekat Islam berjalan lepas. Meski memiliki tujuan yang tinggi, kepemimpin Samanhoedi tidak dapat menjangkau anggotanya secara luas. SI tidak bisa memperluas kegiatannya yang terbatas hanya pada persaingan bisnis dengan Pedagang Cina dan Ningrat Solo saja.

Merasa organisasinya tidak berkembang, H. Samanhoedi dan R.M. Tirto Adhi Soerjo sebagai penyusun anggaran dasar pertama, mengajak Tjokro bergabung pada Mei 1912. Pada masa itu Tjokro telah dikenal dengan sikapnya yang radikal dalam menentang perilaku feodal. Continue reading

#InfoAleut: Kelas Literasi Pekan Ke-64 dan Ngaleut Kampung Karamat

Selamat Sabtu pagi, Aleutians! Seperti biasanya, di hari ini mimin bakal share dua info kegiatan mingguan Aleut yang bakalan seru banget. Mangga disimak 🙂

Kegiatan pertama minggu ini adalah Kelas Literasi Pekan ke-64 dengan tema “Cerpen”. Dalam kegiatan ini, kita akan bersama-sama membahas buku-buku cerpen dan bercerita pengalaman bacanya. Bagi kawan-kawan yang tertarik bergabung, bisa menghubungi nomor CP 0896-8095-4394/LINE @FLF1345R dan datang ke Perpustakaan KedaiPreanger hari Sabtu ini pukul 13.00 WIB. Aleutians yang minggu ini ga sempet baca buku juga bisa buat hadir untuk sekadar ikut menyimak dan berdiskusi kok 😀

Sedangkan di hari Minggu, kita akan Ngaleut Kampung Keramat. Dalam Ngaleut kali ini, kita akan kembali aprak-aprakan masuk ke dalam perkampungan kota.  Kita akan menelusuri dan mencoba menggali informasi tentang wilayah yang pernah juga disinggung oleh Ajip Rosidi di dalam bukunya 🙂

Kalau kawan-kawan tertarik untuk bergabung, langsung aja konfirmasi kehadiran via SMS/WA ke nomor 0896-8095-4394 atau LINE @FLF1345R (jangan lupa pakai “@”), lalu kumpul di Ruko Surapari Core (Jalan Surapati) pukul 07.00 WIB. Gunakan pakaian dan alas kaki yang nyaman agar bisa lebih enjoy saat Ngaleut  🙂

Jangan lupa ajak teman, pacar, istri, keluarga, tetangga, atau gebetanmu agar kegiatan minggu ini bisa dinikmati beramai-ramai. Sampai jumpa 🙂

Menelusuri Kampung Dobi: Menakar Cadangan Air Kota Bandung

Oleh: Willy Akhdes (@willygeologist)

Masalah kekurangan pasokan air bersih Kota Bandung telah lama mencuat dalam beberapa tahun ke belakang. Pada tahun 2015, beberapa kecamatan mengalami kelangkaan air bersih yang sangat parah. Masyarakat mendapati bak-bak penampungan air mereka kosong dan sumber mata air berhenti mengalirkan salah satu kebutuhan primer mereka.

Berubahnya fungsi ekologi pada beberapa kawasan berakibat pada berkurangnya kawasan imbuhan air tahan (groundwater recharge area). Pembangunan yang berjalan tidak mengikuti acuan rencana tata ruang kota telah merubah daerah-daerah resapan air menjadi tanah yang dilapisi beton-beton penyangga gedung-gedung bertingkat. Mengakibatkan berkurangnya jumlah air yang dapat dialirkan dari daerah resapan ke lapisan pembawa air (akuifer). Belum lagi pengambilan air tanah dalam melalui sumur pemboran yang melebihi kapasitas, mengakibatkan penurunan muka air tanah 2-4 meter/tahun, bahkan pada beberapa daerah industri mencapai 6 meter/tahun.(Irawan, 2009). Padahal Untuk memperbaruinya kembali diperkirakan memerlukan waktu belasan tahun, puluhan tahun, bahkan beratus tahun (Sunarwan, 1997). Hasil penelitian volume air yang meresap dan menjadi air tanah di Bandung sekitar 108 juta m3, padahal pengambilan melalui sumur pemboran, yang resmi adalah 1.438 sumur ditambah sumur yang belum terdaftar mencapai 140 juta m3.

Secara geologi, dengan penyusun batuan vulkanik yang memiliki permeabilitas dan porositas sangat baik, Cekungan Bandung adalah cekungan yang paling baik untuk menampung dan menyimpan air tanah. Didukung oleh Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum sebagai DAS terbesar di Jawa Barat yang mengaliri beberapa sub-DAS, termasuk Cikapundung, seharusnya dapat memenuhi kebutuhan air seluruh warga kota. Continue reading

Melacak Jejak Kampung Dobi Bersama Aleut dan Ingatan Tentang Mata Air di Cipaku

Oleh: Nurul Ulu (@bandungdiary)

Dobi yang saya tahu adalah peri di film Harry Potter. Kalau Dobi di Bandung apa artinya?
Karena Penasaran saya daftar jadi peserta Ngaleut pada hari minggu 2 Oktober 2016. Judul acara jalan-jalan Komunitas Aleut hari itu adalah melacak jejak Kampung Dobi di Bandung.
Kampung Dobi merupakan salah satu yang tertua. Dobinya sudah tidak ada. Jadi cuma bisa lihat bekas-bekasnya doang.
Stasiun kereta api Bandung jadi titik pertama kami berkumpul. Jam 8 pagi di bawah langit yang kelabu, kami beranjak menuju jalan-jalan kecil di depan stasiun. Ada Jalan H. Akbar dan Jalan Mesri. Nama jalan lainnya saya gak ingat (dan gak cari tahu di peta :D).

Kolam mata air Ciguriang

Jadi apa itu Dobi?
Dobi adalah laundry. Pencuci pakaian, maksudnya. Dobi itu artinya orang yang punya skill mencuci pakaian, sampai-sampai jadi profesi yang termashyur. Kampung Dobi gak cuma ada di Bandung, tapi terdapat di sepanjang Sumatera hingga Jawa. Dobi bisa jadi berasal dari Bahasa India, karena di India sana juga ada Dobi yang artinya sama.
Kalau orang zaman sekarang gak mau cuci pakaian sendiri, perginya ke Laundry. Nah orang zaman dulu perginya ke Kampung Dobi. Mereka yang minta pakaiannya dicucikan ini termasuk orang-orang Belanda.
Tiap hari Dobi-dobi mencuci, selalu pada malam hari. Nyuci bajunya di samping mata air Ciguriang. Pakaian dibanting-banting, digosok-gosok dengan sabun batangan. Sabun ini mereka gunakan untuk mandi dan mencuci peralatan juga. Satu sabun, untuk semua kegunaan 😀
Karena nyucinya malam hari, geng Dobi ini sambil nyuci sambil nyanyi. Bertalu-talu dengan pakaian yang mereka banting-banting ke batu (papan) penggilasan. Sebenarnya tujuannya supaya semangat aja sih, karena kalau gak nyanyi mungkin suasananya sepi dan bikin ngantuk kali ya 😀
Kampung Dobi di Bandung terletak di belakang Jalan Mesri. Tepat di belakang GOR Pajajaran.
Kata bapak-bapak tua yang merupakan warga setempat dan mendadak jadi narasumber kami, dahulu pohon di Kampung Dobi lebih banyak lagi. Ada pohon Aren (Kawung) makanya di situ disebut Kebon Kawung. Juga dua pohon Kiara yang menaungi kolam mata air Ciguriang.
Saya lihat ada satu Pohon Aren sih, kurus dan menjulang tinggi dengan dahan-dahannya yang kering. Apa itu satu-satunya sisa pohon dari masa lampau? Ternyata bukan. Baru ditanam sih, ya sekitar puluhan tahun namun bukan dari tahun 1900an.

Melihat ada satu Pohon Aren aja di situ saya kok rasanya agak sedih ya. Memperhatikan Pohon Aren dan memendarkan pandangan menyaksikan pemukiman, kolam mata air yang jernih dan di sisinya ada sampah, juga menatap sisa tempat para Dobi mencuci. Diselingi bau pesing yang menyeruak dan angin yang sejuk karena kami berdiri di bawah pepohonan rindang.

Dahulu seperti apa ya pemandangannya. Mencuci pakaian di tengah kebon kawung. Terus kan airnya dingin banget. Bagaimana cara mereka menghangatkan diri? Kayaknya bersiduru kali ya, di sekitar situ ada kompor kayu mungkin. Kan mereka harus minum atau mengemil sesuatu supaya tubuh tetap hangat. Berarti harus ada yang mengirim air minum dan makanan kan. Eh gimana sih hehehe rasa penasaran makin menjadi-jadi.

Sayang sekali orang yang berprofesi sebagai Dobi sudah meninggal. Gak ada jejak hidup yang dapat kami ulik sejarahnya. Padahal ingin sekali bertanya pada mereka.
Berapa pakaian yang mereka cuci dalam waktu semalam?
Berapa upahnya?
Nyucinya tiap hari?
Gimana rasanya mencuci pakaian pada malam hari hingga fajar menyingsing di bawah naungan pepohonan rindang? Serem gak? 😀 Ada pengalaman horor gak? (halah)
Siapa kliennya? Ada orang terkenal gak?
Setelah dicuci, pakaiannya disetrika gak?
Kampung Dobi ini asli orang Bandung semua atau ada pendatang?
Arya cerita sewaktu Komunitas Aleut ke Kampung Dobi di tahun 2011, masih ada yang mencuci di tempat pencuciannya ini. Mereka lihat sendiri. Sementara si bapak tua itu bilang terakhir kali Dobi-dobi mencuci adalah di tahun 80an. Mungkin yang Aleut lihat waktu itu warga yang sedang mencuci pakaiannya sendiri ya. Bukan Dobi. Ah entahlah.
Di sekitar Kampung Dobi ini banyak mata airnya. Bersama Aleut saya lihat satu mata air lain selain Ciguriang. Namanya Susi, Sumur Siuk. Mata air ini kondisinya jauh lebih bersih dan terjaga. Di sisi mata air ada bangunan yang terdiri dari kamar mandi. Warga setempat masih mencuci dan mandi di situ. Ambil airnya gampang banget, tinggal disiuk alias tinggal diambil dengan cibuk dan byur byurrr tumpahkan ke tubuh sendiri.
Sumur Siuk ini dangkal. Sekitar 3 meter kali ya. Bentuknya melebar seperti kolam. Tiap sisi dibangun dinding setinggi 3 meter dan atapnya terbuka. Saya gak tahu sih di belakang dinding itu ada apa. Semoga gak ada yang bawa tangga dan ngintip orang mandi karena kamar mandinya terhubung langsung ke Sumur Siuk ini. Kamar mandi mah beratap. Mata airnya yang enggak.
Air di Sumur Siuk ini jernih sekali. Saya bisa lihat dasarnya. Rasanya aneh lihat ada mata air yang sanggup bertahan di antara kepungan pemukiman. Alhamdulillah.
Dari Sumur Siuk, Aleut berjalan lagi. Kami balik arah karena ada urusan lain jadi gak ikut Ngaleut hingga acara selesai. Kalau lihat foto-foto acaranya, mereka mengunjungi mata air lainnya.
Bandung memang terdiri dari banyak mata air. Namanya juga pegunungan. Di tempat saya tinggal sekarang, Ledeng, juga pernah ada banyak mata air (banyak bangetngetgetnget). Sayang sekali mata airnya sudah pada kering. Satu mata air terdekat dari rumah ada di tebing, di Cipaku. Menuju ke sana kami harus turun tangga yang curam-curam ukuran tangganya.
Karena kakek saya yang memperbagus kondisi mata airnya dan beliau juga yang membangun akses berupa tangga, termasuk kakek saya juga yang membangun tempat pencucian, maka Pak Aki -panggilan saya untuk kakek- yang memberi nama untuk mata air tersebut.
Beliau menamakan mata airnya Ci Iim. Ci = air. Iim = nama anak kesayangannya (Siti Fatimah, nick namenya Iim).
Ci Iim dan mata air lainnya yang ada di dataran lebih tinggi mengairi pesawahan di Cipaku. Yes, Cipaku itu dulunya lembah yang bisa jadi tadinya hutan sih. Cuma saya ingatnya Cipaku itu sawah luaaaaas sekali. Hijau membentang dan di sisi sawahnya ada pemukiman penduduk dan hutan. Sawah-sawah itu milik kakek saya. Dulu keluarga besar saya sering botram (piknik makan-makan) di saung di sawah Cipaku. Sekarang sawahnya sudah tidak ada, sudah jadi perumahan.
Jejak mata airnya masih ada, tapi ya tinggal puing-puing. Mata airnya sudah tinggal kenangan. Sudah mati. Kakek saya pun sudah meninggal di tahun 2008.
Ya begitulah cerita Ngaleut hari minggu kemarin. Ngaleut yang menyenangkan sekaligus membuat saya agak sedih sih karena ingat Pak Aki, Ci Iim, dan kenangan indah akan pemandangan sawah-sawah di Cipaku.

Continue reading

#InfoAleut: Kelas Literasi Pekan Ke-63 dan Ngaleut Cikalintu

Selamat pagi, Aleutians! Di hari Sabtu ini mimin bakal share dua info kegiatan mingguan Aleut yang dijamin seru. Mari disimak 🙂

Kegiatan pertama minggu ini adalah Kelas Literasi Pekan ke-63 yang bertema “Esai”. Dalam kegiatan ini, kita akan bersama-sama membahas buku-buku esai dan mencoba mendefinisikan esai berdasarkan apa yang pegiat ketahui.

Bagi kawan-kawan yang tertarik bergabung, bisa menghubungi nomor CP 0896-8095-4394/LINE @FLF1345R dan langsung ke Perpustakaan KedaiPreanger pukul 13.00 WIB. Aleutians yang minggu ini ga sempet baca buku juga bisa buat hadir untuk sekadar ikut menyimak dan berdiskusi kok 😀

Sedangkan di hari Minggu, kita akan Ngaleut Cikalintu. Dalam Ngaleut kali ini, kita akan menelusuri dan mencoba menggali informasi tentang jejak perkampungan yang pernah didiami Wiranatakusumah II 🙂

Kalau kawan-kawan tertarik untuk bergabung, langsung aja konfirmasi kehadiran via SMS/WA ke nomor 0896-8095-4394 atau LINE @FLF1345R (jangan lupa pakai “@”), lalu kumpul di Masjid Cipaganti (Jalan Cipaganti No. 85) pukul 07.00 WIB. Gunakan pakaian dan alas kaki yang nyaman agar bisa lebih enjoy saat Ngaleut  🙂

Jangan lupa ajak teman, pacar, istri, keluarga, tetangga, atau gebetanmu agar kegiatan minggu ini bisa dinikmati beramai-ramai. Sampai jumpa 🙂

Finding Dobi: Menapaki Jejak Legenda Kampung Dobi di Bandung

Oleh: Irfan Noormansyah (@fan_fin)

“Sekarang sumber air sudekat,
beta sonde pernah terlambat lagi”

Begitu bunyi kalimat populer dari sebuah iklan air mineral beberapa tahun silam.  Kalimat itu sepertinya mencerminkan perjalanan saya dan kawan-kawan di hari minggu lalu (2/10). Sebuah poster bertuliskan “Ngaleut Kampung Dobi” yang diedarkan Komunitas Aleut di dunia maya jumat siang, cukup kuat menggerakkan kaki saya untuk hadir di Stasiun Bandung jam 7 pagi di hari Minggu.

Dobi yang saya tau, seorang peri yang bertugas sebagai asisten rumah tangga di cerita Harry Potter, yang ternyata tak terlalu jauh pula artinya yang merupakan tukang cuci. Kampung Dobi ini tertulis dalam buku berjudul “Semerbak Bunga di Bandung Raya” karangan Alm. Haryoto Kunto yang disebut-sebut sebagai kuncennya Bandung. Dalam bukunya ia bercerita mengenai salah satu kampung tertua di Kota Bandung yang para penduduknya berprofesi sebagai tukang cuci. Nama kampungnya sendiri tidak disebut demikian, orang hanya mengenalnya lewat nama Kebon Kawung yang memang sebelumnya ditumbuhi banyak pohon kawung (aren). Namun kini hanya tertinggal satu saja pohon kawung di daerah Kebon Kawung Bandung. Continue reading

Serupa tapi Tak Sama: Dhobi Ghat (Mumbai) & Kampung Dobi (Bandung)

Oleh: Gina Azriana (@GiNa_AzriaNa_Na)

Mencuci merupakan suatu kegiatan yang sederhana Mencuci dapat dilakukan di rumah atau di tempat terbuka seperti di kali atau di sungai. Siapa menyangka, dari kegiatan mencuci tersebut justru dimanfaatkan sebagian orang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Adalah Dhobi Ghat, salah satu tempat mencuci terbuka di Mumbai, India.

14494652_10202350190592752_1325656387439288677_n
Dhobi Ghat, Mumbai, India. Tempat pencucian terbuka yang menjadi daya tarik bagi wisatawan asing di India. (www.worldcrunch.com)

Pusat pencucian terbuka. Kalian jangan membayangkan cucian sedikit dengan satu atau dua orang saja yang melakukannya. Tidak.

Bayangkan saja, ada beberapa daerah yang sengaja dibuat untuk memudahkan setiap orang dalam mencuci. Setiap orang berada dalam sekat – sekat yang dipisahkan dengan sebuah tembok batu berbentuk persegi empat . Di dalamnya disediakan bak pencuci yang terbuat dari batu serta beberapa batang sabun untuk mencuci. Tidak ada mesin cuci disini. Semua dilakukan dengan tangan. “Mesin cuci manusia” mungkin kita bisa membayangkannya seperti itu. Kegiatan mencuci di sini, tidak sama dengan kegiatan mencuci modern yang saat ini dapat kita lihat di mana – mana. Cara mereka mencuci pun berbeda.

Di pagi hari, mereka sudah bersiap di tempat mereka masing – masing, cucian yang datang pun bukan merupakan cucian mereka sendiri, melainkan cucian yang memang merupakan pesanan dari seluruh pelosok india. Tak jarang, cucian berasal dari rumah – rumah atau penginapan serta hotel. Setiap orang yang mencuci melakukan pekerjannya sebagai buruh cuci, satu orang dapat mengerjakan berpuluh – puluh cucian. Continue reading

#InfoAleut: Ngaleut Kampung Dobi

Selamat pagi dan selamat berakhir pekan, Aleutians! Es yusuel, pagi ini mimin mau ngasih #InfoAleut yang (mungkin bakal) sayang banget untuk dilewatin. Yuk simak 🙂

whatsapp-image-2016-09-29-at-11-14-34-pm

Di hari Minggu besok, kita akan Ngaleut Kampung Dobi. Masih dalam suasana Hari Jadi Kota Bandung, kita bakal menelusuri jejak salah satu perkampungan tertua di Kota Bandung. Apa itu dobi? Mengapa ada sebuah kampung yang dinamakan dobi? Mari kita cari tahu bersama 🙂

Kalau kawan-kawan tertarik untuk bergabung, langsung aja konfirmasi kehadiran via SMS/WA ke nomor 0896-8095-4394 atau LINE @FLF1345R (jangan lupa pakai “@”), lalu kumpul di depan Stasiun Bandung (Jalan Kebon Kawung) pukul 07.00 WIB. Gunakan alas kaki dan pakaian yang nyaman agar tetap enjoy selama Ngaleut 😀

Jangan lupa ajak teman, pacar, istri, keluarga, tetangga, atau gebetanmu sekalian agar kegiatan minggu ini bisa dinikmati beramai-ramai. Sampai jumpa 🙂

Bandung

Oleh: Hendi “Akay” Abdurahman (@akayberkoar)

Saya menyadari betul kalau kemarin Bandung berulang tahun yang ke-206. Mungkin karena terlalu antusias, saya sampai melakukan “takbiran” dengan cara memutar lagu-lagu bertema Bandung pada malam sesaat sebelum pergantian hari menuju tanggal 25 September. Bagi sebagian orang hal demikian bisa dikatakan kegiatan yang lebay, terlalu, segitunya atau apapun itu. Namun ya mungkin itu bagian dari ekspresi spontan saya terhadap rasa memiliki pada kota ini.

Band-band seperti Mocca, Fiersa Besari, Kahitna dan beberapa band lain dengan lagu bertema Bandung saya putar melalui youtube di layar laptop. Saya ikut larut, sambil sesekali mata terpejam dengan gerak bibir yang tak karuan. Kadang saya memosisikan diri sebagai lakon di band yang lagunya sedang saya nyanyikan. Seperti teriakan di salah satu lirik sebuah lagu ~ Di kota ini… Aku temukan… Rangkuman persahabatan dan rasa cintaaaaaa… ~.

“Takbiran” saya malam itu juga karena terinspirasi dari kegiatan Kelas Literasi (Resensi Buku) yang rutin diselenggarakan Komunitas Aleut dan Pustaka Preanger. Buku-buku bertema Bandung kami kupas di acara yang kali ini bertempat di Kedai Preanger. Di mana kami meresensi secara lisan beberapa buku yang membuat saya sedikit berkhayal, juga berangan-angan ke masa lalu. Seperti buku Keur Kuring di Bandung karya Sjarif Amin, Insulinde Park dan Tjitaroemplein karya Sudarsono Katam, Braga Jantung Parijs Van Java karya Ridwan Hutagalung dan Taufanny Nugraha dan masih banyak lagi buku-buku yang kami bahas. Continue reading

Ulang Tahun Bandung yang Syahdu, di Gunung Sadu

Oleh: Pahepipa (@pahepipa)

Situs Gunung Sadu

25 September 2016.

Ulang tahun Bandung kali ini, saya rayakan bersama Komunitas Aleut. Bukan berupa perayaan seremonial yang membosankan, ataupun bersenang senang tanpa ada hari esok. Tetapi perayaan hari itu adalah sebuah perayaan yang jauh dari kata perayaan itu sendiri, Ngaleut.

Seperti biasa, kami melakukan perjalanan khas untuk mempelajari sejarah Bandung dan pelajaran lainnya yang selalu kami dapatkan tanpa sengaja saat Ngaleut. Tujuan kami kali ini adalah Gunung Sadu di daerah Soreang. Gunung Sadu, tepatnya Bukit Sadu berada di Soreang Kabupaten Bandung dan mempunyai tinggi 895 meter di atas permukaan laut atau 198 meter di atas permukaan danau Bandung Purba. Untuk menuju ke puncaknya, dari jalan raya Sorang Ciwidey, kita harus berbelok ke kiri, satu jalan dengan Taman Makam Pahlawan Kabupaten Bandung yang ada di sana. Bukit terletak di samping lapangan sepakbola Desa Sadu.

Di atas bukit, terdapat kumpulan batu-batu yang dikeramatkan dan dijadikan cagar budaya oleh pemerintah setempat. Dalam bukunya Wisata Bumi Cekungan Bandung, Budi Brahmantyo dan T. Bachtiar memperlihatkan bagaimana batuan tersebut memiliki kekuatan magnetis yang juga menganggu kerja sebuah kompas. Di buku yang juga kami bacakan di atas bukit saat itu, diceritakan legenda dan asal muasal nama bukit Sadu. Continue reading

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑