Month: August 2016 (Page 2 of 2)

Pernik KAA 2015

WhatsApp Image 2016-08-03 at 6.51.43 PM (1)

Pernik KAA 2015; Serba-serbi Peringatan 60 Tahun Konferensi Asia-Afrika 1955.
Catatan Liputan Komunitas Aleut!
Penyunting: Ridwan Hutagalung

Nugent dalam bukunya Creative History (1967) menjawab pertanyaan mengapa kita perlu mempelajari sejarah dari dua segi, yaitu bagaimana sejarah itu dapat menolong kita untuk hidup dan bagaimana sejarah itu dapat menolong kita menjadi pribadi yang lebih baik. Untuk menjawab pertanyaan tersebut Nugent mengatakan dengan tegas bahwa “Know other peoples, know yourself”.

Sejarah sebagai pengalaman manusia memberikan berbagai alternatif untuk memilih begitu banyak cara hidup (a multitude of ways). Setiap orang adalah produk masyarakat dan masyarakat adalah produk masa lampau, produk sejarah. Dengan mempelajari sejarah kita akan mampu menghindari berbagai kesalahan dan kekurangan masyarakat masa lampau untuk kemudian memperbaiki masa depan.

Sejarah juga selalu melahirkan panggung bagi orang-orang besar. Namun demikian, tak banyak yang mencatat peran orang-orang di balik layar panggung sejarah. Ada banyak peristiwa kecil di balik panggung sejarah. Peristiwa-peristiwa itu terangkai menuju pada peristiwa besar. Peristiwa kecil menentukan kesuksesan aktor di panggung sejarah.

Di balik hingar bingar Peringatan ke-60 Tahun KAA Tahun 2015 ada banyak peristiwa sejarah. Ribuan warga Kota Bandung, mulai dari usia dini, remaja, hingga lanjut usia bergemuruh mengumandangkan gema Dasasila Bandung. Setiap warga mempunyai caranya tersendiri untuk menghormati lahirnya Nilai-nilai Luhur Dasasia Bandung.

Buku ini telah merekam dengan baik semua peristiwa di balik layar itu. Tak hanya mengabadikan peristiwa sejarah, namun lebih dari itu Komunitas Aleut! telah melestarikan ruh gotong royong warga Kota Bandung yang masih terus menyala-nyala. Gotong royong adalah ruh kreatif Konferensi Asia Afrika.

Penerbit : Ultimus
Cetakan : 1, Mei 2016
Penulis: Ridwan Hutagalung (ed.)
Halaman : 222
Dimensi : 14.5 X 20.5 cm
ISBN : 978-602-8331-73-9

Harga Rp.65.000

Pemesanan: 0859-7490-5769

Atau datang langsung ke
Kedai Preanger
Jl. Solontongan No.20-D, Buahbatu
Bandung 40264

Kenapa Kami Membicarakan Pustaka Jaya?

Oleh: Pustaka Preanger (@PustakaPreanger)

Logo Pustaka Jaya

Ali Sadikin bertanya kepada Ajip Rosidi, “Mengapa anak-anak sekarang tidak membaca buku? Mereka lebih suka membaca komik.” Ajip kemudian menjelaskan kondisi perbukuan yang tengah redup. Menurutnya, banyak penerbit yang terutama mendahulukan mencari keuntungan dengan hanya menerbitkan buku-buku yang dicari oleh masyarakat. Barangkali maksudnya hanya melahirkan buku-buku praktis dan tidak menerbitkan buku bacaan (sastra) yang baik, seperti yang dulu dilakukan oleh Balai Pustaka. Ya, penerbit yang tulang rusuknya dirangkai oleh nafas kolonialisme itu, setidaknya pernah dianggap bermutu.

Percakapan tersebut kemudian menghasilkan kesepakatan untuk mendirikan sebuah penerbitan yang kiranya bisa mengisi kekosongan bahan bacaan yang dimaksud. Ajip membawa gagasan dan kesepakatan itu ke kawan-kawannya di Dewan Kesenian Jakarta, yang di antaranya adalah Asrul Sani dan Ramadhan KH. Ajip menganggap bahwa Aoh Karta Hadimadja—kakaknya Ramadhan KH, adalah orang yang tepat untuk memimpin penerbit yang hendak didirikan itu. Aoh bersedia, tapi ia mengajukan syarat, “Akang tidak mau pusing mengurus kertas dan semacamnya. Akang hanya mau mengurus pekerjaan redaksional saja, memilih karangan yang baik untuk diterbitkan menjadi buku.” Syarat itu diluluskan, dan Ajip kemudian yang menjadi nakhoda penerbit.

Buku-buku Pustaka Jaya mendapat sambutan baik dari masyarakat. Naskah-naskah penulis luar yang dikurasi dan diterjemahkan oleh para sastrawan dan penerjemah mumpuni memberikan bacaan alternatif di tengah kelesuan kondisi perbukuan. Untuk menyebut beberapa penerjemah, di antaranya: Sapardi Djoko Damono, Koesalah Soebagyo Toer, Djokolelono, Rusman Sutiasumarga, dll.

Dalam peta buku sastra yang dibaca oleh masyarakat Indonesia, Pustaka Jaya barangkali bisa dibilang sebagai tonggak baru pasca Balai Pustaka, Gunung Agung, Djambatan, dan penerbit-penerbit tua lainnya yang mulai kehabisan nafas. Penulis luar beserta karya-karyanya diperkenalkan dengan begitu masif, di antaranya: Nikolai Gogol, Jean-Paul Sartre, Arthur Koestler, Jaroslav Hasek, John Steinbeck, Emile Zola, Stefan Zweig, Ernest Hemingway, Kahlil Gibran, Yasunari Kawabata, Oscar Wilde, Paul Fournel, William Shakespeare, Voltaire, Antoine de Saint-Exupery, dll. Meski demikian, para pengarang Indonesia tetap punya tempat, sebab Pustaka Jaya banyak juga menerbitkan buku-bukunya, di antaranya: Wing Kardjo, Rendra, Ajip Rosidi, Iwan Simatupang, H.B. Jassin, Taufik Ismail, Nh. Dini, dll.

Ketika Ajip Rosidi di tahun 1980-an harus pergi ke Jepang, dan pucuk pimpinan Pustaka Jaya diserahkan kepada oranglain, perlahan pamor penerbit tersebut mulai redup. Keterpurukan itu sempat membuat Pustaka Jaya akan ditutup, namun Ajip Rosidi sigap dengan membeli sahamnya. Ajip hendak mengembalikan kejayaan Pustaka Jaya, dan hal tersebut tak jarang dengan mengorbankan aset-aset pribadinya. Hari ini Pustaka Jaya masih hadir mewarnai kancah perbukuan nasional, meski kondisinya tidak terlalu menggembirakan. Buku-buku yang diterbitkan kian beragam, tak melulu sastra, tapi ada juga tentang sejarah, bahasa, kebudayaan, dll. Belakangan, naskah-naskah sastra yang dulu pernah diterbitkan dan diminati para pembaca, diterbitkan ulang atas kerjasama Pustaka Jaya dan KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).

Dalam ruang pembacaan, buku-buku Pustaka Jaya memang banyak memberikan kesan yang mendalam bagi para peminat sastra. Sebagai contoh, di Ciputat, ada sekelompok anak muda yang membuat blog dengan nama Anggur Torelli—sebuah blog yang dibuat oleh para pendirinya setelah mereka membaca “Dataran Tortilla” karya John Steinbeck. Di laman “ikhwal” tertulis,“Blog ini diberi nama Anggur Torelli lantaran Dataran Tortilla merupakan karya yang demikian mengesan bagi kami, para pendiri.”

Bagi kami–Komunitas Aleut dan Pustaka Preanger, Pustaka Jaya juga punya tempat tersendiri di ruang pembacaan bersama maupun personal. Dalam kegiatan Kelas Literasi yang telah berjalan lebih dari satu tahun sejak digagas di titimangsa 13 Juni 2015, buku-buku Pustaka Jaya sudah sering dibahas dan didiskusikan. Sabtu yang akan datang (6 Agustus 2016) di Kelas Literasi pekan ke-54, kami hendak mengusung tema “Literasi Pustaka Jaya”. Hal ini kami usung, selain karena mulai mencoba menghadirkan tema-tema khusus (kesempatan lain mungkin temanya tentang Pramoedya Ananta Toer, Penerbit Kiblat Buku Utama, Seno Gumira Ajidarma, Buku Catatan Perjalanan, dll) juga untuk mengenalkan kembali penerbit ini kepada angkatan terkini, lengkap dengan beberapa mozaik karya, kisah, dan riwayatnya. [irf]

Menikmati Senja di Rancabayawak

Oleh: Hevi Fauzan (@hevifauzan)

IMG_20160802_120324
Ketika Tuhan berencana, manusialah yang menentukan.”

Ajakan Komuntas Aleut kali ini tidak mungkin penulis lewatkan begitu saja. Salah satu tempat yang kami kunjungi adalah sebuah tempat tersembunyi di kota Bandung, yang bernama Kampung Blekok. Ya, Kampung Blekok, sebuah nama yang cukup lucu saat didengar oleh telinga orang-orang Sunda.

Di era modern, daerah di kotamadya Bandung ini memang tidak tersembunyi amat. Dengan teknologi GPS dan Google Maps, keberadaan Kampung Blekok dengan sangat mudah ditemukan. Kampung tersebut terletak hanya beberapa ratus meter sebelah barat stadion baru Gelora Bandung Lautan Api. Namun, keberdaannya baru penulis ketahui melalui rekan di Aleut, kerana informasi tentangnya masih sangat kurang, atau sengaja ditutupi untuk dilupakan, entahlah. Hal inilah yang membuat penulis penasaran untuk ikut mengunjunginya, Sabtu, 30 Juli 2016.

Kampung tersebut berada di kawasan bernama Rancabayawak. Bayawak dalam bahasa Indonesia berarti biawak, sebangsa reptil yang masuk ke dalam golongan kadal besar, suku biawak-biawakan (Varanidae), binatang yang juga satu famili dengan komodo.

IMG_20160802_120614

Toponimi daerah Bandung memang kaya dengan nama-nama yg berkenaan dengan air. Tak heran jika di Bandung, kita akan menemukan banyak daerah yang diawali dengan kata “ci” (artinya air), “ranca” (rawa) “situ” (danau), dll. Uniknya, penamaan nama tersebut terkadang dikaitkan dengan nama binatang yang ditemui atau dominan di daerah bersangkutan. Nama-nama seperti Rancaekek, Rancabadak, Rancaoray, Rancamanyar, dll, adalah nama yang sudah tidak asing di pendengaran urang Bandung.

Dari perubahan daerah bernama Rancabayawak itulah, perkembangan sejarah ekosistem dan kehidupan alam kota Bandung bisa dilihat sampai sekarang.

Continue reading

Kampung Rancabayawak, Penjaga Terakhir Blekok di Bandung

Oleh: Anggi Aldila Besta

image
Kawanan burung Kuntul di Kampung Ranca Bayawak, Kampung ini juga terkenal dengan sebutan Kampung Blekok . foto doc Komunitas Aleut

Mendengar kata “blekok”, pasti ingatan kita sebagai urang Sunda tertuju pada sebuah umpatan kekesalan terhadap seseorang. Padahal, belum tentu mereka yang mengumpat itu tahu apa itu blekok. Jenis burung yang lebih tenar dengan nama Belibis ini memang habitatnya tidak hidup di perkotaan melainkan di daerah pinggiran kota yang masih banyak sawah.

Di pinggiran Kota Bandung, ada sebuah kampung yang bernama Rancabayawak, yang terkenal dengan sebutan Kampung Blekok. Kampung ini terletak di Kelurahan Cisaranten Kidul, Kecamatan Gede Bage. Saya rasa orang Bandung pun sedikit yang tahu soal kampung yang sekarang sudah mulai terkurung oleh derasnya pembangunan di sekitarnya. Daerah yang dulunya adalah lahan persawahan kini berubah menjadi calon perumahan elit.

Toh kondisi ini, tidak menyurutkan niat warga untuk tergiur menjual kawasan tersebut ke pengembang, sekalipun harga tanah warga sudah ditawar mahal. Keinginan untuk melestarikan kampung tersebut sebagai habitat Belekok-lah yang membuat masyarakat enggan menjual tanah mereka. Lagipula, jika mereka menjual tanahnya lalu harus pindah tempat tinggal yang baru, mereka merasa enggan untuk beradaptasi lagi dengan lingkungan yang baru.

Menurut Ujang Syafaat, Ketua RW 02 Kampung Rancabayawak, kawanan burung Belekok ini sudah ada dari tahun 1970-an. Kawasan ini menjadi semacam area istirahat untuk burung Blekok yang sedang bermigrasi di kawasan Asia. Tidak hanya beristirahat, burung – burung inipun mempunyai sarang  dan beranak pinak di kampung ini.

Ujang Syafaat saat menerima kunjungan dari @komunitasAleut . Foto doc Komunitas Aleut
Continue reading

Ratapan Burung Blekok

Oleh: Irfan Noormansyah (@fan_fin)

“Katanya cinta..
Nyatanya cuma kata..
Katanya iya..
Besoknya lupa..
Bilangnya sih indah..
Tapi malah bikin resah..
Kalau memang mau berdampingan..
Seharusnya jangan menghancurkan..”

Mungkin begitu yang diratapi oleh burung blekok yang tinggal di Kampung Blekok, Rancabayawak, Kota Bandung, bila mereka punya akal dan perasaan di saat pohon-pohon bambu tempat mereka tinggal saat ini ditebang satu per satu untuk dijadikan pohon beton.

Burung Blekok, mendengar namanya saja, banyak teman saya yang tertawa. Rupanya blekok ini masih kurang familiar di telinga orang Sunda, mereka lebih tau tentang bekok (kentut) dibanding blekok, mereka tertawa karena kedua kata tersebut senada. Baru ketika memakai istilah belibis, mereka dapat membayangkan lebih serius, walaupun tak bisa membayangkan secara sempurna bentuk burung belibis itu seperti apa.

Mungkin sudah ratusan tahun lamanya burung blekok tinggal di Rancabayawak yang sesuai dengan namanya yang berarti rawa biawak. Memang habitat asli burung blekok ini adalah di rawa-rawa, maka tak aneh kalau burung ini memilih untuk tinggal di kawasan Rancabayawak walaupun sekarang daerah ini sudah bukan sebuah rawa.

Banyak orang salah mengira antara blekok, bangau dan kuntul. Ketiganya punya kesamaan yaitu pemakan ikan, yang otomatis akan sangat terlihat kemiripannya pada bentuk paruh. Bila diurutkan menurut panjangnya leher , burung blekok memiliki leher yang paling pendek di antara ketiga burung tersebut. Kakinya pun paling pendek.

Burung blekok merupakan salah satu hewan yang terancam keberadaannya di Bumi karena habitatnya yang mulai tiada untuk kepentingan hidup manusia. Namun siapa sangka burung blekok yang langka ini bisa ditemukan dalam jumlah sangat banyak di Kota Bandung.

Continue reading

Catatan Perjalanan: Ngaleut Kampung Blekok

Oleh: M. Firza Richsan (@Firzarichsan)

Lahir dan tumbuh dari keluarga yang sangat menyayangi dan menggemari hewan – terutama unggas dan burung—membuat saya, mau tidak mau untuk mengikuti kebiasaan yang dilakukan oleh bapak dan paman-paman saya.

Sedari kecil, saya sudah banyak diperkenalkan oleh mereka dengan ratusan jenis burung, entah itu burung-burung yang berada di rumah, yang berterbangan liar, yang berada di kebun binatang, bahkan burung-burung yang dijual di pasar-pasar burung pun saya relatif hafal nama-nama, suara dan jenisnya.

Masih terekam jelas diingatan saya mengenai kondisi rumah kami yang ketika itu belum dibangun dan terkesan sempit, namun dipenuhi oleh kurung-kurung burung yang bergelantungan-berjejeran di atap rumah kami. Saya pun masih ingat nama burung yang menjadi jagoan di rumah kami, burung kesayangan bapak saya yang diberi nama Si Bejo, jenis burung perkutut (orang sunda menyebutnya: titiran) yang begitu nurut dan jinak, dan memiliki suara yang keras dan enak didengar.

Saat ini, di rumah saya pun terdapat kurang lebih 50 ekor burung Kenari yang dipelihara dan diternakan oleh bapak saya. Bukan untuk dijual, tapi ya itu tadi, mungkin karena kecintaan dan sudah menjadi hobi.

Dulu, tiap kali berkunjung ke kebun binatang pun –biasanya dengan paman—saya pasti selalu betah berlama-lama berada di sekitaran kandang-kandang yang menyimpan ribuan jenis burung. Melihat corak-corak warna yang indah dari jenis burung yang terancam punah seperti Cendrawasih dan Jalak Bali sungguh sangat menyegarkan pandangan. Begitu pula ketika diajak berkunjung ke pasar-pasar burung seperti pasar burung Sukahaji yang berada di Jalan Peta, saya selalu betah berlama-lama mengamati dan mendengarkan kicauan-kicauan dari burung-burung itu, walaupun kondisi pasar yang cukup kotor dan sangat bau kotoran-kotoran burung.

Lantas jika ada yang bertanya mengenai burung yang menjadi favorit bagi saya, saya sudah saklek akan menjawabnya Merpati.

Continue reading

Kelas Literasi Pekan Ke-53, Berani Bersuara!

Oleh: Hendi “Akay” Abdurrahman (@akayberkoar)

WhatsApp Image 2016-07-30 at 20.18.19

Kelas Literasi Pekan ke-53 di Halaman Gedung Indonesia Menggugat

Di penghujung bulan Juli, tepatnya tanggal 30, saya beserta teman-teman dari Komunitas Aleut dan Pustaka Preanger bertekad untuk tetap istiqomah. Istiqomah dalam kegiatan membedah buku, bercerita, mencoba mengemukakan pendapat, dan sharing pengalaman baca di akhir pekan. Waktu yang bagi sebagian orang adalah waktu yang pas dan memungkinkan untuk jalan-jalan, atau mungkin beristirahat setelah sebelumnya harus memeras energi dengan segala aktifitasnya masing-masing.

Bisa dikatakan kegiatan Sabtu siang itu adalah kegiatan yang kurang populer. Resensi buku secara lisan. Saya yakin, banyak dari teman-teman yang suka membaca. Tapi saya juga yakin, banyak dari teman-teman yang setelah menyelesaikan membaca buku, hanya selesai sampai mengerti isi buku yang dibaca tanpa membagikan pengalaman membacanya dengan orang lain secara lisan.

Masih beruntung, blog menjadi pelampiasan terakhir beberapa orang untuk menuangkan apa yang didapat dari membaca buku. Orang-orang tersebut mengikatnya dengan menulis resensi di blog pribadi. Tidak salah, justru hal-hal seperti itu adalah sesuatu yang mesti didukung, yang mesti dipertahankan. Walaupun baiknya selain ditulis di blog, diceritakan secara lisan seperti yang kami lakukan mungkin akan mempunyai nilai lebih. Selain menulis, juga belajar berbicara di depan orang banyak. Continue reading

Newer posts »

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑