Month: May 2016

#InfoAleut: Ngaleut Mengemas Pariwisata Kota Bandung (29/05/2016)

image

Selamat berakhir pekan, Aleutians! Hari Minggu besok kita akan belajar tentang pariwisata loh. Nama kegiatannya… “Ngaleut Mengemas Pariwisata Kota Bandung”.

Sesuai judulnya, di Ngaleut kali ini Aleutians akan belajar tentang cara mengemas wisata di Kota Bandung yang menarik. Pokonya dijamin seru deh 😀

Tertarik untuk bergabung? Langsung aja konfirmasi kehadiranmu via SMS/WA ke nomor 0896-8095-4394 atau LINE @flf1345r (jangan lupa pakai “@”) dan langsung kumpul di Kedai Preanger (Jl. Solontongan No. 20-D) pukul 13.30 WIB. Minggu ini Ngaleut-nya siang hari ya, bukan pagi seperti biasanya 😀

Jangan lupa juga ajak teman, pacar, istri, keluarga, tetangga, mantan, rekan kerja, boss, atau gebetanmu agar Ngaleut-nya semakin seru. Sampai jumpa hari Minggu! 🙂

Rumah itu bernama Komunitas Aleut

Oleh: Anggi Aldila Besta (@anggicau)

Rumah bagi setiap orang adalah salah satu hal yang sangat dirindukan, tempat kita bisa berkumpul, bercanda, bercerita bahkan bertengkar, hanya karena berbeda pendapat kecil atau salah paham. Di rumah tersebut kita senantiasa bisa menemukan seseorang yang enak untuk diajak bercerita dan bertanya.

Pembentukan karakter seseorang pun kadang tidak terjadi di sekolah, melainkan lebih banyak di rumah, dibentuk oleh kebiasaan yang diajarkan oleh orang tua kita. Bagaimana cara bertanya atau menjawab sebuah pertanyaan terkadang kita dapatkan ketika kita dididik di rumah. Saya mungkin sangat setuju sekali dengan ungkapan home sweet home , meski kadang saya tidak betah juga berada di rumah jika tidak ada yang dikerjakan.

Ketika bergabung dengan Komunitas Aleut, saya merasakan suasana di rumah itu terjadi juga di Aleut. Belajar, diskusi, saling mendengarkan cerita satu sama lain, semuanya mengalir begitu saja seperti tidak ada batasan, saking nyamannya dengan suasana rumah.

Komunitas yang sangat terbuka untuk semua golongan dan latar belakang ini, sangat bermanfaat karena banyak ilmu yang bisa diambil di sini. Tidak hanya selalu soal sejarah atau Kota Bandung, ilmu pemasaran maupun kiat-kiat menulis puisi cinta bisa didapatkan di sini dengan mudah.

Seperti halnya sebuah bangunan rumah, selalu ada yang keluar masuk tetapi bangunan tersebut tetap utuh, hanya ada perbaikan sedikit-sedikit agar rumah tersebut tetap nyaman untuk ditinggali.

Saya yang pertama kali mengenal Aleut dari medsos ini boleh dikatakan telat “berkenalan” karena sejak komunitas ini didirikan 10 tahun silam adalah saat saya sudah menggilai dunia permedsosan, anehnya saya malah tidak tahu ada komunitas ini. Baru pada sekitar 2011–2012 saya mulai intens berinteraksi dengan akun twitter @komunitasAleut dan baru bisa benar-benar ikut ngAleut pada tahun 2013, itu pun di Jakarta, seharian ngAleut berkeliling kawasan Gambir (baca : https://tulisansikasep.wordpress.com/2015/06/27/sebuah-cerita-di-sisi-timur-gambir/ ).

Barulah pada saat saya kembali bekerja di Bandung saya bisa ikut ngAleut secara reguler dan sudah mulai sering berhubungan dengan teman–teman di Komunitas Aleut ini. Seperti seorang tamu yang untuk pertama kalinya datang ke sebuah rumah yang asing, masih ada rasa canggung untuk bercengkrama, tetapi saat sudah memulai obrolan, suasana cepat sekali cair, berkomunikasi pun layaknya seorang tuan rumah menerima saudara jauhnya.

Tidak ada batasan formal namun saling respect ke sesama lainnya menjadi peraturan yang tidak tertulis yang dapat dipahami oleh semua teman-teman yang berkumpul dan berkegiatan dalam komunitas ini. Semua saling bekerja sama, saling membantu semampunya, meski itu sekadar menanyakan hal-hal yang dianggap sepele. Rasa persaudaraan tumbuh dengan cepat di rumah ini, banyak sekali aktivitas yang dilakukan dan dibagikan kepada sesama anggota, semua ikut sibuk dan membangun rumah ini bersama.

Sepuluh tahun sudah, kami akan tetap terus merawat rumah ini semampunya agar tidak rubuh, dan senantiasa dapat menerima anggota-anggota keluarga baru dari berbagai pelosok dan latar belakang, agar rumah ini bisa diwariskan kepada generasi setelah kami selanjutnya. Proud of you guys…

Dari Stalking, Ikut Nangkring, dan Akhirnya Turut Ngabring

Oleh: Hendi Abdurahman (@akayberkoar)

Stalking

Medio tahun 2013 – 2014 twitter menjadi media sosial yang sangat saya gandrungi. Hampir setiap ada waktu senggang saya selalu membuka media sosial berlogo burung berwarna biru itu. Banyak sekali informasi yang saya dapatkan secara cepat dengan aplikasi ini. Kalaupun saya terlambat mendapatkan informasi terkini, saya tinggal scroll atau melihat trending topics. Tak terkecuali saat itu, saat di mana saya secara tidak sengaja dikenalkan pada Komunitas Aleut, komunitas pencinta wisata dan sejarah. Berawal dari retweet-an seorang follower yang sampai sekarang saya tidak ketahui, karena percayalah, andai saya tahu orang yang nge-retweet info tersebut saya akan sun tangan sambil mengucapkan terima kasih.

Saat itu juga saya langsung follow akun twitter Komunitas Aleut. Stalking menjadi sesuatu yang harus saya lakukan, bertanya sama Mbah Google yang selalu menjadi pananyaan hampir setiap orang ketika penasaran akan suatu hal. Yang bikin saya tertarik dengan Komunitas ini adalah adanya kesamaan kesukaan, yakni menyukai sejarah, terutama sejarah kota Bandung. Kota yang mempunyai ikatan batin dengan saya, kota yang selalu berbisik kepada saya, “Jangan cintai aku apa adanya, Kay!”

Nangkring

Suatu malam, entah kapan saya lupa, setelah mengumpulkan keberanian yang saya kira cukup, saya datang ke sekretariat Komunitas Aleut di Jalan Solontongan 20-D. Saya sempat nyasar karena saat itu masih buta daerah ini, di perempatan Jalan Soekarno Hatta-Buah Batu, saya bertanya kepada seorang juru parkir yang mengarahkan untuk mengikuti jalur angkot berwarna hijau muda ke arah Jalan Kliningan. Sampai di pertigaan Jalan Kliningan – Karawitan saya salah belok, seharusnya belok kiri untuk menuju Jalan Solontongan, saya malah belok kanan ke arah Jalan Karawitan menuju Jalan Reog. Setelah bertanya kembali kepada para pemuda yang sedang ngopi, saya dirahkan untuk putar balik. Akhirnya saya menemukan sekretariat itu, sekretariat yang kemudian menjadi tempat saya bergaul, berkumpul, dan berkomunitas sampai sekarang.

Masih terbayang dalam ingatan saya ketika saya malu-malu untuk bertanya bagaimana cara bergabung dengan komunitas ini. Saya perhatikan ada beberapa orang yang sedang asyik berdiskusi di sekretariat yang juga sekaligus Kedai tempat berkumpulnya Komunitas Aleut ini. Setelah memesan minum saya ikut nangkring dan mencoba ngobrol tentang ketertarikan saya dengan komunitas ini. Saya mencoba meminjam buku untuk dibaca saat itu, bukan untuk membaca dan menamatkan isi buku tersebut, lebih kepada agar tidak terlalu kaku saja. Seorang pria bernama Irfan mengulurkan buku berjudul Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, karya Haryoto Kunto.

Berawal dari nangkring dan pertemuan itulah saya mendapatkan informasi dan semakin penasaran untuk ikut bergabung. Pertemuan yang membukakan pintu, pintu yang menunjukkan saya bisa kenal banyak orang dengan karakter yang berbeda-beda.

Ngabring

Lalu datanglah moment itu, moment saya pertama kali ngaleut. Saya ingat betul ngaleut pertama kali itu bertajuk “Ngaleut Fokker Huis”. Ada kejadian agak lucu (bagi saya) yang saya alami ketika pertama kali ngaleut ini, tadinya saya kira ngaleut itu berjalan dari rumah langsung ke titik kumpul, untuk kemudian dilanjutkan berjalan beriringan dan membahas objek-objek bersejarah sesuai tema. Saya yang berpikir seperti itu meminta kakak mengantar ke titik kumpul. Di jalan saya berbisik kepada kakak agar tidak menurunkan saya tepat di depan titik kumpul, malu karena naik motor, hehehe… Namun…, ternyata teman-teman yang lain berkumpul di titik temu dengan menggunakan kendaraan, ada juga yang pakai kendaraan umum. Duh aingmah…
Untitled

Kesan pertama di Ngaleut perdana saya lebih kepada “oh kieu gening ngaleut teh”, diawali dengan sesi perkenalan, mengenali dan menyimak objek-objek sejarah di suatu tempat atau daerah, dan diakhiri dengan sesi sharing atau berbagi pengalaman. Setelah Ngaleut perdana itu, komunikasi saya dengan komunitas ini semakin intensif. Saya sering berkumpul di sekretariat untuk ikut berdiskusi, ikut Kamisan, ikut Kelas Literasi, dan banyak sekali kegiatan lainnya.

***

Sampai pada akhirnya saya merasa Aleut ini lebih dari sekedar Komunitas. Bagi saya Aleut ini seperti keluarga, sudah menjadi rumah kedua. Ternyata Aleut ini bukan hanya sekadar kelompok yang berjalan beriringan setiap hari Minggu, saya pribadi merasa kami “berjalan beriringan” setiap hari. Jujur saya terharu ketika seorang teman penggiat Aleut yang berasal dari Yogyakarta, bernama Nurul, bercerita bahwa Aleut ini baginya adalah tempat belajar yang sekaligus juga sudah dia anggap sebagai keluarga kedua, persis seperti yang saya rasakan. Yang bikin saya tersentuh ketika dia bilang “Saya orang Yogya, kerja di Bandung, saya sendirian di sini, tapi saya seperti menemukan keluarga baru ketika saya bergabung dengan Aleut, ikut kegiatan-kegiatan di Aleut, kelak bila saya sudah berkeluarga, Aleut akan tetap ada di hati saya” ujarnya.

Di ulang tahun ke-10 Komunitas Aleut ini, saya akan selalu berada dalam perjalanan beriringan, bukan hanya hari Minggu, tetapi beriringan setiap hari. Di rumah “mungil” dengan cinta yang besar ini saya akan ikut berkembang bersama-sama sahabat lain. Selamat Ulang Tahun, Komunitas Aleut!

Kapel RS Borromeus

image

Kapel ini didirikan bersamaan dengan pembangunan RS Borromeus pada pertengahan tahun 1920-an. Jika bangunan utama rumah sakit menghadap ke Jl. Dago, kapel ini menghadap ke sisi lainnya yaitu ke Jl. Suryakencana.

Selama hampir 100 tahun berdiri, bangunan ini belum pernah diubah bentuknya alias masih asli!

Nyaah Kepada Gadis Cantik yang Lewat

Oleh: Moro Sudjatmiko

Tidak terasa sudah sepuluh tahun Aleut! berkarya. Entah kapan saya pertama kali ikut ngaleut.

Lupa…

Yang saya ingat hanya tidak lebih dari jumlah jari saya mengikutinya. Walaupun begitu dengan GR saya merasa sudah menjadi keluarganya. Seperti otomatis, sebagaimana kebiasaan saya yang suka tiba-tiba “nyaah” kepada gadis cantik yang lewat.

Saya yang merasa sebagai “Senior Citizen” di  Bandung merasa kagum, terpana, dan olohok melihat teman-teman Aleut! menjelaskan Bandung dengan lengkap dan rinci. Itu mungkin karena teman-teman mengenal Bandung secara intelektual  dengan membaca, berdiskusi, dan menuliskannya. Sedangkan saya mengenal kota ini secara emosional, mengalami sendiri. Saya mendengar sendiri tukang beca menyebut “oranyeplen” untuk Taman Pramuka dan Jalan Cisadane untuk Jl. Brigjen. Katamso. Saya bermain bola di lapangan Hebe, namun saya baru tahu cara menulis dan bahkan artinya dari teman-teman yang mungkin umurnya sepertiga dari umur saya.

Sekarang, saya menjadi tidak heran mendengar “mereka” (inginnya sih “kami”) akan menulis buku Ensiklopedi Bandung, sebuah pekerjaan yang kelihatannya sih impossible (walaupun saya yakin menjadi I’m possible). Saya yakin karena sebagai “lidi” kami (he he) sudah terikat kuat menjadi “sapu” yang bisa membersihkan sampah seluas lapangan Persib sekalipun..

Wilujeng milangkala, Komunitas Aleut!

 

10 Hal yang Diingat dari Aleut

Oleh: Candra Asmara (@candrasmarafaka)

Ada beberapa hal yang saya ingat tentang Aleut. Saya batasi sampai 10 saja, biar sama dengan angka ulang tahun Aleut. Berikut 10 hal yang diingat dari Aleut versi on the brot:

1. Aceng

Bukan nama pegiat ataupun nama pemain Persib. Aceng adalah nama asbak berbentuk kura-kura milik mantan kordinator Aleut, M. Ryzki Wiryawan. Meskipun sang pemilik bukan perokok, bukan berarti Aceng tak dipeliharanya. Entah kenapa bisa diberi nama Aceng, apa mungkin terinspirasi dari Aceng Djuanda pemain Persib? Terlepas dari itu, Aceng setia menanti dan siap menampung abu-abu rokok para pegiat Aleut agar calacahnya tidak berserakan di mana saja.

2. Ica

Begitu banyak nama Ica di dunia ini. Biasanya Ica adalah nama imut dari Anisa, Aisya, dan sebagainya. Untuk Ica yang satu ini, adalah nama kucing yang menghuni basecamp Aleut saat itu di Sumur Bandung No.4. Ica adalah betina yang mengeong-ngeong minta tolong pukul 11 malam, ditemukan oleh para pegiat yang kebetulan masih terjaga. Tampaknya, kami anggap, melarikan diri dari majikannya karena tak tahan dengan siksaan yang kerap mendera dirinya. Ica berhasil kabur, namun terjebak di dalam got tepat di depan basecamp Aleut. Beberapa pegiat Aleut yang memang memiliki rasa kasih sayang berlebih kemudian merawatnya dengan penuh suka cita. Memberinya makan, memandikannya, dan kadang berbicara dengannya. Kini, Ica masih mendiami basecamp Aleut yang dulu, beranak pinak tak tertahankan karena enggan ikut program KB.

3. Hari Tanpa Tembakau

Bagi para pegiat Aleut, hari tanpa tembakau tidaklah pernah sama. Tergantung dari pihak pemangku otoritas yang bisa kapan saja hadir. Pacar, istri, anak atau gebetan (mungkin) adalah sang penegak hukum boleh-tidaknya merokok. Larangan pun hanya berlaku bagi pihak yang bersangkutan saja, tidak untuk semua. Jadi, para pegiat yang sedang bebas merokok akan maklum ketika melihat ada seorang pegiat yang sedang diiringi sang penegak hukum saat Ngaleut. Maklum dalam bentuk rokok yang ia bawa kita habiskan saja, toh ia tidak akan berani merokok seharian. Yah namanya juga hukum merokok, kita begitu menikmatinya tapi kemudian lupa untuk apa gunanya.

4. Toponimi Kontak Handphone

Beberapa pegiat tertangkap basah memiliki nama kontak di handphone-nya dengan nama yang aneh-aneh. Ada yang namanya Yusup Jakarta, Kantor, Apotek Damai dan lain sebagainya. Yang mengherankan adalah ketika menerima telepon dari nama-nama tersebut, nada suara si penerima akan terdengar mesra, atau saat SMS-an air mukanya terlihat mesem-mesem bikin sirik. Entah siapa sebenarnya pemilik kontak tersebut, hanya Sumedang dan bulat yang tahu.

5. Patah Hati

Begitu banyak para pegiat Aleut yang curhat tentang kepatahan hatinya. Jarang yang menceritakan kebahagiaan, semua tentang broken heart. Mungkin sudah tertanam bahwa menyebarkan kabar gembira hanya tugas para nabi, atau mungkin kebahagiaan adalah kesunyian masing-masing? Entahlah. Yang jelas, setiap pegiat memiliki cara yang berbeda dalam mengekspresikan apa yang tengah dirasakannya. Ada yang mematikan lampu lalu membakar dupa kemudian berkisah-kisah, ada yang berjalan kaki dari Buah Batu ke Kircon dalam rangka mencari sesuatu yang memabukkan, ada yang mendadak rajin bersih-bersih dan cuci piring karena sedang mabuk dan lain sebagainya. Aroma galau menyeruak, ada yang gigih berstrategi ingin punya pacar, ada yang keukeuh ingin meninggalkan, ada yang patah karena ditinggalkan. Sedangkan, aroma kegembiraan pun jadi milik masing-masing. Ketika yang jomblo berhasil dapat pacar di Aleut, kemudian hilang dua-duanya. Lalu, ketika putus balik lagi ke Aleut. Bergalau-galau lagi, mencari-cari lagi. Begitu seterusnya, sedangkan Jalan Braga tak sekali pun diinjaknya.

6.
7.
8.
9.
10.

Demikian 10 hal yang diingat dari Aleut versi On The Brot. Lho, lima lagi mana? Namanya juga manusia, ingatannya terbatas. Silakan diingatkan kalau mau.

#InfoAleut: Milangkala di Bandung Utara (22/05/2016)

2016-05-22 Milangkala di Bandung Utara

Selamat hari Jumat, Aleutians! Kalau hari ini ada #KelasLiterasi Sepakbola di Bandung, maka di hari Minggu besok (22/05/2016) kita akan ada #Ngaleut spesial: “Milangkala di Bandung Utara”

Ngaleut Milangkala di Bandung Utara adalah #Ngaleut yang didesain dalam rangka merayakan hari jadi Komunitas Aleut yang ke-10 hari ini. Selain touring untuk melihat kondisi alam di daerah Bandung Utara, Aleutians juga akan mengunjungi beberapa situs bersejarah. Akan ada ngabotram juga di akhir kegiatan, jadi mohon bawa bekal masing-masing yes 🙂

Tertarik untuk bergabung? Langsung aja konfirmasi kehadiranmu via SMS/WA ke nomor 0896-8095-4394 atau LINE @flf1345r (jangan lupa pakai “@”) dan langsung kumpul di Kedai Preanger (Jl. Solontongan No. 20-D) pukul 06.30 WIB. Jangan lupa cantumkan juga keterangan pakai motor/tidak yes 🙂

Oh iya, karena Ngaleut-nya ke alam terbuka, jangan lupa bawa jas hujan supaya ga kuyup kalau sewaktu-waktu hujan tiba. Siapkan juga uang buat bayar tiket masuk dan bawa juga obat-obatan pribadi 😀

Jangan lupa juga ajak teman, pacar, istri, keluarga, tetangga, mantan, rekan kerja, boss, atau gebetanmu agar Ngaleut-nya semakin seru. Sampai jumpa hari Minggu! 🙂

Komunitas Aleut yang Biasa Saja

Oleh: Indra Pratama (@omindrapratama)

Connecting people. Banyak orang mengenal dua kata ini sebagai tagline komersial Nokia, produsen alat komunikasi terbesar dunia di dekade pertama abad XXI. Tapi terlihat bahwa connecting people juga sangat bisa dipakai untuk menjadi judul semangat jaman dunia pasca Perang Dunia II. Para akademisi, teknisi, dan tidak ketinggalan para industrialis dan pemasar, berlomba dengan sangat keras untuk menghubungkan manusia dengan manusia lain melewati perbedaan ruang. Sesuatu terobosan yang puluhan ribu tahun sebelumnya belum ada dari proses interaksi dan komunikasi antar manusia.

Kini sampailah kita semua pada era di mana semua manusia bisa terhubung, tanpa perbedaan ruang menjadi penghalang. Cita-cita yang sudah puluhan tahun dirintis, tercapai sudah. Koneksi sinyal ponsel, infra merah, bluetooth dan internet menjadi perwujudan cita-cita puluhan tahun. Tatap muka, bagi Generasi Y dan Millenial, menjadi opsi terakhir dalam daftar metode komunikasi. Selama pesan tersampaikan, katanya. Karakter yang terketik dianggap bisa menjadikan proses komunikasi lebih efektif dan objektif.

Dunia modern memang menuntut sifat objektif. Namun bagi sebagian manusia, ada banyak hal yang dirindukan dari subjektivitas tatap muka. Komunikasi modern meminimalisasi emosi, intonasi, gestur, dan keunikan individual demi efektivitas, yang dianggap lebih mudah dicapai dengan menerapkan aturan main universal. Bagi sebagian manusia ini, terasa menyenangkan juga berlumur cipratan ludah rekan debat, melihat perubahan ekspresi kesedihan menjadi kelegaan dari kawan yang bercerita tentang patah hatinya, atau bercucuran keringat saat berjalan kaki berkeliling kota.

Manusia-manusia ini menolak untuk diseragamkan dalam berhubungan. Manusia-manusia ini tidak menaruh respek terlalu dalam kepada emosi palsu dari emoticon dan tidak pula terlalu banyak menjual diri dan pikiran secara banal dalam perang konten digital mass media serta media sosial. Manusia-manusia ini tidak akan terlalu terpana pada rating dari TripAdvisor atau review di Kaskus mengenai suatu atraksi publik. Manusia-manusia ini menjalani hidup yang lebih sulit akibat memperjuangkan sifat kemanusiaan dari manusia.

Saya mengenal satu kelompok manusia yang seperti itu. Namanya Komunitas Aleut. Komunitas Aleut (dulu pernah bernama Klab Aleut). Komunitas Aleut adalah komunitas belajar Aleut secara konsisten menjadikan diri sebagai comnection hub bagi para pegiatnya dengan manusia, ruang, dan waktu yang lain dengan metode paling kuno: lihat, dengar, dan rasakan. Berkenalan, belajar, aktif, betah, dan memberi kontribusi.

Satu hal lagi, di Aleut, proses regenerasi berjalan nyaris tidak pernah putus. Selalu ada pegiat baru yang loyal dan militan menggantikan pegiat lain yang sudah tidak bisa atau tidak mau lagi aktif. Demografi usia pegiat yang beragam menjadikan semakin banyak sudut pandang.

Mereka melakukan  perjalanan yang memperkenalkan para pegiat akan banyak hal manusiawi, seperti sejarah, ritual, tradisi, dan bahkan kuliner dari sebuah tempat. Dengan sendirinya mengajak untuk melihat sebuah ruang dengan persepsi yang tidak generik. Setiap pegiat juga diperlakukan sebagai individu yang unik. Kelas-kelas diskusi selalu terbuka lebar untuk setiap pemikiran, selera, dan bahkan untuk setiap kesalahan cara pikir dan ketidaktahuan. Beberapa bahkan didesain khusus sesuai minat seorang pegiat. Tidak ada ideologi umum yang harus dianut untuk menjadi peserta, hanya kemauan untuk membuka panca indra dan pemahaman akan proses belajar bersama. Dengan sendirinya, transfer pengetahuan terjadi dengan kuantitas cukup banyak dan secara konsisten. Namun perlu diingat, masalah teknis dan materi bagi Aleut bukanlah hal yang utama dibandingkan dengan pengembangan pegiat.

Dari semua aktivitas berhubungan yang saya tuliskan dengan bahasa yang berat sebelumnya, sebetulnya dilaksanakan oleh Aleut dengan kasual dan “biasa aja”. Kegiatan jalan-jalan tetap kaya dengan humor, jajan spontan, serta selfie-selfie centil. Kegiatan diskusi pun banyak melibatkan bahasan percintaan, pertemanan, hal cabul, hingga percintaan dan pertemanan yang cabul serta alur yang ngalor ngidul.

Maka sedih rasanya ketika menemukan pendapat bahwa Aleut melakukan sesuatu yang istimewa. Mengingat apa yang dilakukan Aleut bukanlah sesuatu yang luar biasa, sehingga layak dijalankan secara serius dan baku. Apa yang dilakukan Aleut adalah apa-apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam berhubungan satu sama lain dalam kedudukannya sebagai manusia dan anggota kelompok manusia.

Apa yang Dapat Saya Bicarakan Soal Saya dan Ngaleut

Oleh: Arif Abdurahman (@yeaharip)

ngaleut the beatles

Hal terpenting yang kita pelajari di sekolah ialah fakta bahwa hal paling penting enggak dapat dipelajari di sekolah, tulis Haruki Murakami. Dalam What I Talk About When I Talk About Running-nya, ada beragam kalimat aduhai yang bisa dipinjam kalau-kalau ingin ditulis di caption Instagram, dan yang tadi adalah kalimat favorit saya. Karena memang, sesuai pengalaman hidup saya sejauh ini, Google justru lebih banyak mengajarkan saya ketimbang sekolah selama bertahun-tahun yang menguras kantong orangtua. Tentu saja, kita enggak bisa menampik, sekolah sangat penting, minimal untuk mendapat segenggam ijazah pun gelar.

Meniru Lao Tze, juga Kabayan, saya sebenarnya pemalas akut, juga skeptis dalam menjalani hidup, namun beruntungnya orang-orang selalu berpikir saya adalah seorang bijak bestari—memang dari nama mencerminkan itu. Tapi jika kau bertanya bagaimana cara belajar kebijaksanaan hidup, Google yang serba tahu pastinya bisa menjawab. Atau, menurut bacotan filsuf edan bernama Friedrich Nietzsche: Segala pikiran besar terkandung dengan berjalan kaki.

Sialnya, selain membaca, budaya paling enggak diminati orang Indonesia adalah berjalan kaki. Padahal tanpa perlu susah-susah menekuri, atau bahkan mengenali nama-nama seperti Socrates, Confucius, Ibnu Sina, Descartes, Kierkegaard, Schopenhauer, Tagore, Camus, Sartre, Foucalt, St. Sunardi, Yasraf atau Alain de Botton, cukup dengan hanya berjalan kaki mengamati sekitarmu, kau tetap bisa mengambil pelajaran yang enggak ternilai harganya. Agar lebih pandai membaca ayat kauniyah, beragam pertanda di sekitar kita, berjalanlah bersama para pecinta kearifan lainnya, lebih baik lagi kalau kau bisa berjalan berdampingan dengan orang bernama Arif, hehe—untuk catatan, saya jutek sama yang belum akrab, tapi aslinya baik hati, lho.

Lihat: Ngaleut Sebagai Piknik Sokratik

Di suatu Minggu pagi saat bulan sedang September 2014, Taman Balaikota Bandung sudah dikunjungi beragam manusia, meski para muda-mudi penari yang mereplikasi para grup idola Korea belum hinggap. Sebagai orang baru, tentu saya datang pagi-pagi betul, enggak mau telat. Ingatlah ini baik-baik, salah satu momen paling berhargamu di Komunitas Aleut! adalah apabila ketika ngaleut perdanamu disambut oleh Ajay, apalagi jika kamu perempuan cantik. Begitulah, ngaleut pertama saya bertajuk Bandung Kota Pendidikan. Saat itu saya tengah gandrung mempelajari fotografi dan videografi, berkat baru kesampaian memegang sebuah kamera DSLR, Nikon D3100 tercinta, hasil dari hadiah lomba esai tingkat nasional (meski sampai sekarang pun, saya masih menganggap diri saya ini esais yang payah). Utamanya street photography atawa fotografi jalanan, saya saat itu sedang getol-getolnya mengagumi Henri Cartier-Bresson, Robert Frank, Vivian Maier, Daido Moriyama, Kai Man Wong dan streettog lainnya. Bahkan, ada pikiran kalau saya bisa masuk agensi fotografi bergengsi macam Magnum Photos atau National Geographic. Boleh dibilang sindrom-pertama-punya-DSLR lah, tapi saya masih menyuntuki fotografi hingga sekarang, lebih ke arah filosofis ketimbang praktisnya, lebih-lebih setelah belakangan mengenal fotografer cum penulis semisal Susan Sontag dan Teju Cole. Untuk sekarang, saya lebih sering mempercayakan kamera saya pada Ajay—saya baru menyadari kalau saya lebih suka jadi model ketimbang fotografer.

Saya pikir bagi yang ingin mengasah kemampuan fotografinya bisa disalurkan lewat ngaleut ini. Kesalahan terbesar para fotografer pemula di era kekinian adalah menghabiskan waktunya mempelajari tektek-bengek perkameraan lewat forum internet, dan ini hanya akan membuatmu terinfeksi Gear Acquisition Syndrome (GAS). Begitu juga ketika gabung dengan komunitas fotografi, bukan sesuatu yang salah sih, tapi biasanya penyakit GAS tadi pun ikut muncul; harus beli lensa fix, harus punya filter ini, harus pasang aksesoris itu lah, ganti kamera jadi mirrorless, harus upgrade ke full frame. Fotografi memang hobi mahal, ya, saya setuju akan ini, tapi jangan salahkan kameramu untuk mengambinghitamkan kemampuan fotografimu yang payah. Lihat Moriyama, hanya dengan kamera saku, dan selama 50 tahun enggak pernah bosan obyek fotografinya cuma jalanan Tokyo, namun bisa bikin pameran di berbagai negeri. Seperti halnya master fotografi jalanan asal Jepang itu, jadikan diri kita layaknya seorang turis di kota sendiri. Dengan bergabung di Komunitas Aleut! pun, kau pun bisa bertemu dengan orang-orang yang punya kegemaran fotografi juga, belajar dengan mereka, dan hunting foto di setiap ngaleut.

Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, saya ini pemalas. Saya lebih seorang pemalas ketimbang penulis. Dan daripada penulis, lebih seorang penggaya. Saya menulis di blog sudah sejak 2009, dari saat masih berseragam putih abu bau kencur, dan menghasilkan beragam tulisan sampah, yang beruntungnya beberapa kali dipercaya jadi pekerja teks komersial. Nah, setidaknya, dengan ngaleut, bagi yang suka menulis bisa mendapat inspirasi untuk menuliskan catatan perjalanannya. Komunitas Aleut! juga beberapa kali melakukan proyek penulisan.

[youtube https://www.youtube.com/watch?v=hrp0fbqZ0sA?version=3&rel=1&fs=1&autohide=2&showsearch=0&showinfo=1&iv_load_policy=1&wmode=transparent]

Kau tak bisa jadi pengarang fiksi serius yang hebat, sebut Kurt Vonnegut, jika kau enggak depresi. Celakanya, saya mempercayai omongan tersebut, gagal mempertahankan sikap skeptis saya. Anehnya saya enggak merasa minder meski kuliah di Keperawatan, bahkan bisa berkelit, bukankah Walt Whitman sang bapak penyair Amerika yang menjadi pionir puisi gaya bebas dan Agatha Christie, novelis yang bukunya paling laris di dunia (hanya dikalahkan Shakespeare dan Injil-juga Al-Quran), bukankah pernah jadi perawat juga? Oh, adakah cara untuk menghentikan saya yang bebal pengen jadi penulis ini? Karena belum ada cara untuk membuat saya berhenti punya impian celaka menjadi pengarang, saya ingin menyaingi Utuy T. Sontani saja, yang dipuji Pram sebagai ‘pengarang pesimis terbesar di Indonesia’.

Salah satu pejalan kaki favorit saya adalah James Joyce, yang menjadikan jalan kaki sebagai tema dalam novel babon paling berpengaruh untuk sastra modern yang sekaligus sukses bikin kepala pening, Ulysses. Ada keinginan saya dalam upaya merekam kota sendiri seperti Joyce dengan Dubliners-nya. Mungkin judulnya Orang-Orang Bandung (eh, tapi kesannya kayak judul kumcer Budi Darma sih). Tentu saja, dengan gaya yang baru, ala-ala fiksimini Etgar Keret yang surealisme sosialis misalnya, belum ada di Indonesia, dan semoga enggak diberangus aja sih. Yang pasti, lewat ngaleut kau bisa mendapat beragam inspirasi menulis, bisa dibilang ini sebuah proses kreatif sastrawi. Sudah ada beberapa yang saya tulis dan bagikan, salahsatunya, yang terbaik sejauh ini: Wendy’s. Bacalah selagi masih ada, soalnya ada yang tertarik menerbitkan, kalau-kalau perlu dihapus.

Ah, sebenarnya apa yang saya bicarakan soal saya dan ngaleut ini? Maaf, bagi yang sudah meluangkan waktu untuk membaca tulisan enggak jelas ini. Maaf juga telah menjejal beragam nama-nama, kau bisa menghiraukannya, atau kalau berminat mengenal lebih lanjut mereka silahkan buka Google saja. Tapi nampaknya, saya harus mencatut nama-nama lagi, maafkanlah saya yang mungkin terkesan ingin dipuji intelektualitasnya ini. Berikut dari filsuf favorit saya, Albert Camus, yang hobi bengong berjam-jam di kedai kopi dan doyan berjalan kaki ke sana-kemari

Jangan berjalan di belakangku; aku tidak akan memimpinmu. Jangan berjalan di depanku; aku tidak akan mengikutimu. Berjalanlah di sisiku sebagai sahabatku.

Ada beratus-ratus kata, bahkan beribu halaman lagi yang bisa saya bicarakan soal saya dan ngaleut ini, yang mungkin bakal mengalahkan War and Peace-nya Leo Tolstoy. Tapi dari kalimat Camus tadi sudah sangat mewakili apa ngaleut, dan lebih tepatnya soal apa Komunitas Aleut!

+

Post-scriptum:

Jangan terlalu menseriusi saya, seperti yang sudah saya bilang, seperti Lao Tze, saya pemalas akut. Dan seperti ujaran Nietzsche dalam The Twilight of the Idols-nya: aku hanya mau mengimani Tuhan yang bisa menari. Ya, ya, saya hanyalah seorang yang kebanyakan nonton idol menari di Youtube, hehe.

Kebon Binatang Bandung Tahun 1950

Oleh: M. Ryzki Wiryawan (@sadnessystem)

13177626_10207592320540648_2891763492435920125_n

Kebon Binatang (Bonbin) Kota Bandung didirikan pada tahun 1933 oleh tuan W.H. Hoogland, seorang tokoh pecinta Bandung sekaligus pimpinan organisasi Bandoeng Vooruit. Beliau adalah seorang kaya raya, direktur Bank D.E.N.I.S. yang berkantor di jalan Naripan (sekarang Bank BJB).

Setelah mengalami masa kemunduran pada zaman Jepang, Kebun Binatang Bandung kembali direvitalisasi seiring dengan membaiknya keadaan Republik. Informasi menarik mengenai progress revitalisasi Kebun Binatang disajikan oleh L.J. Toxopeus, sekretaris Kebun Binatang Bandung dalam sebuah tulisan di O.S.R. News tahun 1951. Darinya bisa diambil sedikit pelajaran yang mungkin bisa dimanfaatkan untuk perbaikan Bonbin ke depannya.

Walaupun pada dasarnya dimiliki swasta, pengelola Bombin melibatkan tokoh-tokoh publik. Pada tahun 1950, Dewan Pengelola Bonbin masih dipimpin oleh W.H. Hoogland, dengan anggota R.A.A.A. Suria Nata Atmadja, R.A.A. Suria Danuningrat, Thio Tjoan Tek, Ema Bratakusumah, J.H. Houbolt, A. Poldevart, R. Tg. Dendakusumah, Mrs. M. Van Daalen, F.A. Bitterberg, Senosastro, P. Th Van Vliet, dan sebagai manajer R.M. Kaboel. Selain itu, selalu dibuka keanggotaan dewan dari unsur dokter hewan di Bandung. Pejabat publik seperti Gubernur Jabar, Sewaka menempati posisi pelindung. Sedangkan Walikota Bandung, M.Enoch bertindak sebagai Presiden Kehormatan.

Keterlibatan tokoh publik tentu saja berhubungan dengan keberadaan Bonbin Bandung sebagai salah satu pusat pengembangan sains sekaligus atraksi wisata di Bandung. Sedangkan keberadaan anggota dewan dari berbagai latar belakang, di antaranya insinyur (Poldevart) dan pengusaha pemborong (Thio Tjoan Tek) sangat membantu dalam memenuhi kebutuhan hal sarana dan prasarana. Sebagai contoh, Poldevart membangun jaringan pipa dari mata air di jalan Siliwangi ke kolam di Bonbin. Sedangkan Thio Tjoan Tek menyumbangkan tenaganya untuk membangun beberapa kandang, di antaranya kandang gajah yang unik (lihat gambar).

Pada tahun 1950, Bonbin Bandung hanya memiliki 101 spesies hewan. Keseluruhannya dalam keadaan baik. Beberapa kasus kematian hewan, ternyata diakibatkan ketidakdisiplinan pengunjung yang menawarkan rokok untuk dihisap beberapa hewan sebagai bahan bercandaan, atau sengaja meludahi hewan yang secara tidak langsung menularkan virus TBC.

Untuk menunjang fungsi Bonbin sebagai pusat sains. Saat itu, pengelola menggratiskan tiket bagi mahasiswa biologi maupun mahasiswa seni rupa ITB. Sehingga tidak jarang setiap paginya, bisa ditemukan anak-anak muda membuat sketsa di seantero kebun binatang dengan hewan-hewan sebagai modelnya…

#InfoAleut: Ngaleut Huru-Hara Munada (15/05/2016)

30 Desember 1842, malam itu api berkobar di Pasar Ciguriang. Bupati dan Asisten Residen segera menuju ke lokasi kebakaran. Seseorang berkelebat dengan pedang terhunus di tangan. Tak lama berselang ada yang tumbang, keris menghunjam di dada. Dalam kalut, ia yang telah rubuh itu masih mencoba berteriak, namun suaranya tak terdengar…

***

2016-05-15 Munada

Apa kabar Aleutians! Minggu ini (15 Mei 2016) kita akan mengenal lebih dekat satu peristiwa huru-hara yang pernah terjadi di Kota Bandung. Dalam beberapa babak sejarah, Bandung ternyata tak selamanya mooi, tak melulu dilumuri hal yang indah-indah. Beberapa bahkan menyeruap aroma darah.

Peristiwa apa sebenarnya yang akan kita telusuri ini? Siapa pelaku utamanya? Dan di mana saja tempat berlangsungnya peristiwa itu?

Kawan-kawan yang berminat, bisa langsung bergabung pada hari Minggu (15/05/2016) ini.

Konfirmasikan kehadiranmu melalui WA/SMS (WAJIB) ke 0896-8095-4394 atau LINE @flf1345r (jangan lupa pakai “@”) dan langsung kumpul di Pelataran Perpustakaan Alun-alun Bandung pukul 07.00 WIB.

Gunakan alas kaki dan pakaian yang nyaman, juga siapkan payung atau jas hujanmu mengingat cuaca Kota Bandung sedang sulit ditebak.

Jangan lupa juga ajak teman, pacar, istri, keluarga, tetangga, mantan, rekan kerja, boss, atau gebetanmu agar Ngaleut-nya semakin seru. Sampai jumpa hari Minggu! 🙂

Hana Nguni Hana Mangke

image

Salah satu karya Pak Sunaryo yang sangat menarik dan sangat saya sukai hari ini: sebongkah batu besar setinggi dada orang dewasa yang bagian atasnya dipotong miring ke bawah, lalu dilubangi mengikuti bentuk rangkaian mesin yang diletakkan di dalamnya. Mesin ini terus bergerak dengan daya yang didapat dari energi sinar matahari.
.
Pada permukaan batu yang miring itu dipasang kaca tebal yang dipotong mengikuti bentuk garis luar bongkah batu sebagai penutup mesin.
Bongkah batu ini diletakkan dalam posisi vertikal di dekat tembok kompleks Wot Batu, bagian atasnya diberi atap beton yang ditopang oleh tembok di satu sisi dan oleh kaca tebal vertikal di sisi lainnya.
.
Yang membuat lebih menarik adalah pahatan kalimat Sunda Kuno yang legendaris pada bagian atas tembok di bawah atap, sebuah kutipan dari naskah Kropak 632 yang sering disebut dengan judul “Amanat Galunggung”:
hana nguni hana mangke
tan hana nguni tan hana mangke.
.
Lalu tiba-tiba saya merasa mengenali sesuatu: prasasti. Ya, saya lihat batu ini sebagai prasasti dunia modern. Manusia dulu meninggalkan jejak lewat kalimat² dalam huruf kuno yang ditoreh pada daun lontar, atau pahatan tulisan di atas batu, atau mungkin lewat kisah tenaga gaib yang mampu meninggalkan jejak kaki pada batu cadas.
.
Selanjutnya imajinasi saya melayang ke sana-sini tentang kegiatan sejarah, tentang jejak² yang ditinggalkan oleh generasi terdahulu, dan tentang apa yang akan kita tinggalkan pada generasi yang akan datang. Hehe, ceritanya bisa sangat panjang ya.. Silakan lanjutkan saja dengan interpretasi masing².

#InfoAleut: Ngaleut Tjilakiplein (08/05/2016)

image

Selamat hari Sabtu, Aleutians! Belum punya rencana di hari Minggu pagi besok? Mending ikutan aja Ngaleut Tjilakiplein 🙂

Dalam Ngaleut Tjilakiplein, kita akan sama-sama mengenal lebih dekat kawasan ruang terbuka hijau yang sudah didesain sejak awal 1920-an. Selain itu, kita juga akan melihat kondisi perumahan pegawai Gouvernements Bedrijven yang berada di sekeliling Tjilakiplein. Bagaimana kondisi RTH-nya saat ini? Di mana sebetulnya lokasi Tjilakiplein?

image

Sekiranya kawan-kawan penasaran, langsung saja bergabung hari Minggu (08/05/2016) besok. Konfirmasikan kehadiranmu melalui WA/SMS (WAJIB) ke 0896-8095-4394 atau LINE @flf1345r (jangan lupa pakai “@”) dan langsung kumpul di Gandaria Mie (Jl. Taman Pramuka No. 181) pukul 07.00 WIB. Gunakan alas kaki dan pakaian yang nyaman, juga siapkan payung atau jas hujanmu mengingat cuaca Kota Bandung sedang sulit ditebak 😀

Jangan lupa juga ajak teman, pacar, istri, keluarga, tetangga, mantan, rekan kerja, boss, atau gebetanmu agar Ngaleut-nya semakin seru. Sampai jumpa hari Minggu. Tabik 🙂

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑