Month: April 2016 (Page 1 of 2)

#InfoAleut: Ngaleut Kawasan “Pegunungan” (01/05/2016)

2016-05-01 Pegunungan

Selamat berakhir pekan, Aleutians! Masih bingung karena belum punya rencana di hari Minggu pagi besok? Mending ikutan aja Ngaleut “Pegunungan”! 🙂
 
Dalam Ngaleut “Pegunungan”, kita akan sama-sama mengenal lebih dekat kawasan pegunungan yang ada di Kota Bandung. Selain itu, kita juga akan menyusuri sisa kamp interniran dan halte kereta api Karees. Di mana lokasinya? Kenapa judul Ngaleut minggu ini ada di dalam tanda petik?
 
Untuk mengetahui jawabannya, langsung aja ikutan hari Minggu (01/05/2016) besok. Konfirmasikan kehadiranmu melalui WA/SMS (WAJIB) ke 0896-8095-4394 atau LINE @flf1345r (jangan lupa pakai “@”) dan langsung kumpul di Indomaret Jl. Burangrang (Seberang Sekolah BPI) pukul 07.00 WIB. Gunakan alas kaki dan pakaian yang nyaman, juga siapkan payung atau jas hujanmu mengingat cuaca Kota Bandung sedang sulit ditebak 😀
 
Jangan lupa juga ajak teman, pacar, istri, keluarga, tetangga, mantan, rekan kerja, boss, atau gebetanmu agar Ngaleut-nya semakin seru. Sampai jumpa hari Minggu. Tabik 🙂

Cara Komunitas Aleut Merespon Kegiatan Kota dan Membibit Gerakan Literasi

Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)

 

13094404_10209748331330994_328495009543671917_n

Sesekali atau bahkan berkali-kali, di smartphone muncul broadcast yang isinya informasi dan himbauan untuk menghindari beberapa ruas jalan. Hal itu disebar katanya demi menghindarkan warga kota dari macet jahanam yang menjengkelkan. Selintas hal tersebut—karena kerap muncul, seperti sebuah kebenaran yang tak terbantah. Warga kota yang tergesa dengan agendanya masing-masing tak sudi acaranya dirintangi oleh jalanan yang tersumbat. Keramaian dan keriuhan, apa pun acaranya dan siapa pun penyelenggaranya, semacam telah menjadi musuh alami yang mengejawantah di broadcast yang bertebaran menyusup di semesta smartphone.

Dalam konteks kota sebagai ruang hidup bersama—pada kasus ini adalah Kota Bandung, acara-acara yang melibatkan warga kota sebetulnya adalah sesuatu yang patut untuk dirayakan. Bagaimana tidak? Bukankah tebaran taman yang menghiasi hampir sekujur kota adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan warga atas ruang hidup dan interaksi bersama. Ya, interaksi. Bertemu dengan warga kota lain; bisa tetangga sebelah rumah, warga beda kelurahan dan kecamatan, dll. Atau jika dijelentrehkan dalam strata dan status sosial, di ruang publik itu kita bisa bertemu beragam manusia; pengangguran, pencopet, pasangan yang baru reda dari pertengkaran hebat, anak dan orangtua yang jarang ngobrol, tukang cuanki, PNS yang bosan dengan pekerjaannya, dll.

Pemberitahuan dan himbauan untuk menghindari beberapa ruas jalan yang diprediksi akan macet karena adanya acara yang melibatkan warga kota, sesungguhnya adalah sebuah laku ironi. Kita mengharapkan ruang publik untuk berinteraksi, sementara di lain waktu kita malah menghindari acara yang melibatkan banyak warga.
Dari perspektif inilah kemudian kami (Klab Aleut) merumuskan dan mengambil sikap, bagaimana caranya merespon setiap kegiatan kota yang melibatkan banyak warga. Sebagai komunitas yang pada mula dan seterusnya concern terhadap—tidak hanya sejarah, namun juga laku interaksi warga kota, kami kemudian memutuskan untuk ambil bagian dan bahkan lebur dengan setiap kegiatan kota.

Meski sikap dan kesadaran ini telah jauh-jauh hari kami rumuskan, namun moment pertama yang paling kentara adalah ketika Peringatan Konferensi Asia Afrika ke-60 tahun kemarin. Dengan semangat kolektif khas komunitas, kami menyambut Peringatan KAA ke-60 dengan jalan meleburkan diri. Kami berusaha larut dengan kerja-kerja liputan—yang meskipun amatiran, tapi kami melakukannya setiap hari hampir tanpa jeda. Kami bertemu dan mewawancarai pedagang kaki lima, warga yang hidup di gang-gang di sekitar Gedung Merdeka, aparat keamanan yang bertugas dan berjaga, tukang yang mengerjakan perbaikan trotoar, tukang membuat plat nomor, dll. Hasil liputan tersebut tidak selalu terlahir menjadi satu tulisan panjang dan utuh, namun bisa juga hanya menjadi informasi-informasi pendek yang kami hadirkan di beberapa saluran media sosial.

13062506_10209756405092833_6961240791952493199_n

Selain menghasilkan beberapa tulisan, liputan ini pun berhasil menjerat beberapa peristiwa dengan bantuan kamera. Foto-foto dengan kualitas sederhana kami simpan dan beberapa dipublikasikan. Bagi kami ini perayaan. Bukan karena gempita dan besarnya biaya yang keluar, namun bagaimana kami sebagai warga kota mencoba larut dalam kegiatan.

Setahun pasca peringatan, seiring dengan semangat literasi yang kembali tumbuh, kami menyunting ulang semua tulisan tersebut. Maka hari ini, di acara soft launching buku “Pernik KAA 2015”, semua tulisan yang terbuhul tersebut adalah hasil kerja kami setahun yang lalu. Begitu pula foto-foto yang kami pajang, semuanya hasil kurasi dari ratusan foto yang kami hasilkan sepanjang liputan.

Acara ini pun sekaligus sebagai penanda atau semacam batu tapal, tentang kami yang hendak berkabar, bahwa ada hari-hari di luar kegiatan NgAleut yang rutin kami lakukan setiap hari Minggu, yang kami isi dengan kerja-kerja literasi yang bahan bakarnya adalah semangat kolektif berkomunitas.

13083297_10209748331290993_431501054088103612_n

Komunitas Aleut yang sejak lahir dan tumbuh tidak bisa dipisahkan dengan buku, hari-hari ini mencoba tampil tidak hanya sebatas “mengkonsumsi” buku, namun juga mencoba untuk “berproduksi”. Teks-teks lama yang sudah langka, yang kiranya masih relevan dengan sejarah Bandung; kami himpun, ketik ulang, disunting dan diberi pengantar, sebelum akhirnya diterbitkan ulang agar bisa diakses oleh masyarakat luas. Beberapa teks lama yang telah, tengah, dan akan kami garap di antaranya:

Pertama, “Rasia Bandoeng: atawa Satoe Tjerita jang Benar Terdjadi di Kota Bandoeng dan Berachir pada Tahun 1917” karangan Chabanneau. Roman ini terbit sekira satu abad yang lalu. Peredarannya amat terbatas, dan ini disinyalir karena isinya terkait dengan aib keluarga dalam satu she atau marga di kalangan masyarakat Tionghoa di Bandung. Penerbitan ulang roman ini dimaksudkan bukan untuk mengorek kembali “luka lama”, namun semangatnya lebih ingin menghadirkan satu gambaran utuh tentang kehidupan warga Kota Bandung di masanya, lengkap dengan lanskap kota yang didadarkan sebagai latar cerita.

Dalam satu acara bedah buku dan bincang-bincang terkait dengan roman ini, kami telah bertemu dengan beberapa anggota keluarga para tokoh yang ada dalam roman. Pada dasarnya mereka menyambut baik penerbitan ulang kisah para leluhurnya, karena bagi mereka hal ini dianggap sebagai satu sisi sejarah kota yang pernah hidup.

Selain itu, kami pun pernah mengangkat roman ini sebagai tema dalam satu kesempatan NgAleut. Rutenya kami ambil dari tempat-tempat yang diceritakan dalam roman, dan kegiatannya dilakukan malam hari bertepatan dengan malam Imlek 2567. Sekarang roman ini sedang dalam proses di tangan penerbit Pustaka Jaya.

Kedua, “Bandung Baheula” karangan R. Moech. Affandi
Naskah ini mula-mula terbit di tahun 1969, dan seperti yang disebutkan di pengantar oleh penulisnya, kehadiran buku ini ditujukan untuk memenuhi kebutuhan bahan bacaan orang Sunda yang masih sedikit. “Didasarkeun kana kabutuh masarakat tatar Sunda nu numutkeun kanjataan masih kirang kĂ©nĂ©h ku buku2 dina basa Sunda anu mangrupi aosan
”

“Bandung Baheula” terdiri dari tiga jilid yang isinya bercerita tentang kondisi dan suasana Bandung tempo dulu, namun berbeda dengan buku-buku “sejarah” Bandung lainnya–meski benar-benar pernah terjadi, tapi cara penyajian cerita di buku ini mayoritas cenderung lebih mirip dengan kisah fiksi; nama tempat dan tokoh diganti dan disamarkan. Hal ini ditempuh oleh penulis dengan pertimbangan agar sesuai dengan etika dan estetika kepribadian orang Sunda.

“Nanging, sanadjan sugri nu ditjarioskeun dina ieu buku kapungkurna leres2 ogĂ© kadjadian, kanggo marganing kautamian, boh tina perkawis wasta tempat, boh tina perkawis wasta djalma miwah kalungguhanana nu kaungel dina masing2 tjarios; di antawisna aja ogĂ© anu ngahadja digentos dibentenkeun tina aslina.
Nja kitu deui djalanna tjarios ogĂ© diolah sinareng dirĂ©ka deui, disusurup malar pajus, dikekewes malar pantes, dilujukeun kana djiwa kapribadian sĂ©lĂ©r Sunda nu resep kana gumbira (humor).”

Hal ini tidak lepas dari profesi penulis yang seorang dalang, sehingga memudahkannya untuk—tidak hanya merubah nama tempat dan tokoh, namun juga mereka ulang sebagian kisah yang dianggap kurang pantas menjadi susunan yang lebih sesuai dengan norma kepribadian orang Sunda. Naskah ini telah selesai kami ketik ulang, dan sekarang tengah masuk ditahap penyuntingan.

Ketiga, “Keur Kuring di Bandung” dan “Saumur Jagong” karya Sjarif Amin. Dua karya mantan jurnalis senior ini juga bercerita tentang Bandung zaman baheula. Sjarif Amin atau nama aslinya adalah Moehammad Koerdi adalah salah seorang perintis pers di Indonesia. Beliau pernah menjabat sebagai wartawan surat kabar berbahasa Sunda “Sipatahoenan”, redaktur mingguan “Bidjaksana”, dan di zaman Jepang ikut dalam jajaran redaktur koran “Tjahaya”. Pasca kemerdekaan ia menerbitkan surat kabar “Soeara Merdeka” dan “Indonesia”. Sebagai seorang wartawan, Sjarif Amin tentu sudah sangat terbiasa dengan data dan fakta di lapangan, sehingga buku-bukunya yang terkait dnegan “sejarah” Bandung dirasa lebih otentik.
Saat ini kedua buku tersebut sudah sangat langka, sehingga kami berinisitif untuk menerbitkan ulang. Sampai hari ini pengerjaan kedua buku tersebut masih pada tahap pengetikan ulang.

Di luar kegiatan menerbitkan ulang teks-teks lama, kami pun mencoba menerjemahkan beberapa buku berbahasa Inggris dan Belanda yang tentu saja ada kaitannya dengan sejarah Bandung. Buku pertama berjudul “History of Our Family”. Buku ini berkisah tentang perjalanan keluarga Kerkhoven, salah satu keluarga Preangerplanters yang kiprahnya cukup sukses di lingkungan perkebunan wilayah Priangan. Buku kedua berjudul “Bandung and Beyond” yang isinya bercerita tentang perjalanan sebuah keluarga dalam berkeliling di dalam dan sekitar Kota bandung. Sedangkan buku berbahasa Belanda yang juga tengah kami terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yaitu “Bandung 1918”. Buku ini mendadarkan pembangunan awal Kota Bandung dalam rangka menyambut rencana pemindahan ibukota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung.

Jika dua kerja literasi di atas (pengetikan ulang dan penerjemahan) terkait erat dengan naskah-naskah milik “orang lain” atau para penulis di luar Komunitas Aleut, maka selain buku “Pernik KAA 2015” kami pun sesungguhnya masih punya beberapa buku yang kami produksi sendiri, yaitu “Memento; Sehimpunan Kisah Masa Kecil” dan “Ensiklopedi Sejarah Bandung”.

“Memento” sesuai dengan subjudul yang mengikutinya adalah kumpulan kisah masa kecil dari para pegiat Komunitas Aleut, dalam rangka menyambut ulang tahun sewindu dan satu dasawarsa Komunitas Aleut. Ya, buku ini memang terbit dua kali; tahun 2014 dan 2016. Apa yang tersaji sekarang merupakan gabungan dari buku yang pertama yang ditulis oleh para pegiat lama, dan tulisan baru karya para pegiat yang hadir belakangan.

Zen Rs dalam sebuah esainya tentang persahabatan, menulis sebuah kontemplasi Milan Kundera dari novel yang berjudul “Identity”. Terkait penulisan kisah masa kecil ini, kiranya apa yang diutarakan Milan Kundera melalui tulisan kepala penyunting panditfootball.com ini layak menjadi salah satu bahan perenungan:

“Teman masa kecil, kata Kundera, adalah cermin bagi kita, cermin yang memantulkan masa silam kita. Teman masa kecil dibutuhkan untuk menjaga keutuhan masa silam, untuk memastikan bahwa kita tidak menyusut, tidak mengerut, bahwa diri tetap bertahan pada bentuknya. Untuk itu, ingatan mesti disiram seperti bunga dalam pot. Karenanya kita memerlukan kontak dengan teman dan sabahat masa kecil, sebab merekalah saksi mata dari masa silam.”

Sementara Mircea Eliade—seorang antropolog, dalam buku “Ordeal by Labirinth” menulis, “Setiap tanah air terdiri dari bentangan geografis yang sakral. Bagi siapa pun yang meninggalkannya, kota masa kecil dan remaja akan selalu menjadi negeri dongeng.”

Dalam beberapa pertimbangan, kiranya buku “Memento” ini sengaja ditulis dan dihadirkan terkait dengan dua hal tersebut di atas, selain juga faktor penting lainnya—terutama dalam semangat dan koridor berkomunitas, yaitu cara untuk para pegiat Komunitas Aleut belajar bercerita secara tertulis.

Dan terakhir kerja literasi terberat yang tengah kami jalani adalah menyusun “Ensiklopedi Sejarah Bandung”. Sepenuh sadar kami akui bahwa ini adalah proyek nekad. Kami hanya berbekal buku sebagai sumber tertulis dan semangat berkarya yang terus menyala di kalangan para pegiat Komunitas Aleut. Kami yang semuanya tidak memiliki latar pendidikan sejarah, waktu yang terbatas, bekerja dengan sistem relawan, “tergoda” untuk membuat sebuah karya yang cukup besar. Karya yang sesungguhnya amat erat kaitannya dengan apa yang kami kerjakan secara rutin selama kurang lebih sepuluh tahun terakhir ini.

Proyek besar ini telah berjalan kira-kira satu bulan, dan meskipun kami susun timeline kerja, namun entah kapan kiranya karya ini akan lahir secara atau mendekati utuh. Namun satu kepastian bahwa kami tetap mengerjakannya.

Di penghujung jejalin paragraf, kami hendak menekankan sekali lagi bahwa apa yang sidang pembaca hadapi dan hadiri hari ini–baik hamparan teks maupun rangkaian acara, adalah dua batu tapal kami untuk mempublikasikan secara serentak apa-apa yang telah, tengah, dan akan kami kerjakan. Bagaimana cara kami merespon kegiatan kota dan membibit kembali gerakan literasi di Kota Bandung, kiranya menjadi salah satu penanda bahwa kami ada dan tetap mengada bagi kota tercinta ini. Salam. [ ]

 

*Ditulis sebagai pengantar di acara soft launching buku “Pernik KAA 2015” di Braga Punya Cerita (Minggu, 24 April 2016)

#InfoAleut: Soft Launching Pernik KAA 2015 (24/04/2016)

Kabar gembira untuk kita semua! 🙂

2016-04-24 Pernik KAA

Hari Minggu (24/04/2016) besok, Komunitas Aleut akan mengadakan soft launching buku “Pernik KAA 2015”. Tentu Aleutians masih ingat kan kalau tahun lalu Komunitas Aleut mengadakan liputan seputar Peringatan 60 Tahun Konferensi Asia-Afrika? Setahun berselang, seluruh tulisan hasil liputan telah dibukukan. 🙂

Kegiatan ini merupakan bagian dari #KelasResensi dan #Ngaleut mingguan. Selain dabrulan seputar buku “Pernik KAA 2015”, Konferensi Asia-Afrika, dan Bandung, dalam kegiatan ini akan ada juga cerita tentang proyek-proyek yang sedang dan akan Komunitas Aleut kerjakan. Apa aja sih proyeknya? Apakah Aleutians bisa melibatkan diri di dalamnya?

Yuk datang langsung ke Braga Punya Cerita (Jl. Braga No. 64) pukul 13.00 WIB. Konfrimasikan kehadiranmu (WAJIB) via WhatsApp/SMS ke nomor 0896-8095-4394 atau LINE @flf1345r (jangan lupa pakai “@”). Jangan lupa siapkan uang untuk order makanan di sana ya 😀

Ayo datang dan ramaikan, sekalian juga ajak teman, pacar, istri, keluarga, tetangga, mantan, rekan kerja, boss, atau gebetanmu agar acaranya semakin seru. Sampai jumpa hari Minggu. Tabik 🙂

Stadion Persib

Oleh: Irfan Noormansyah (@fan_fin)

image

Stadion Persib, lebih populer dengan nama Stadion Sidolig, merupakan cikal bakal lahirnya SSB Sidolig.

Sidolig sendiri merupakan sebuah singkatan dari “Sport in de Openlucht is Gezond” yang artinya “berolahraga di tempat terbuka itu sehat”.
Saat ini Stadion Persib dikenal juga sebagai lokasi mess para pemain serta salah satu stadion yang sering digunakan untuk menggelar latihan reguler.

Satu cerita yang tak banyak orang tahu, bahwa di stadion ini pernah terjadi insiden berdarah yang menewaskan 3 orang tentara belanda dan 1 orang pemain Jong Ambon. Tragedi terjadi saat APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) memaksa masuk ke dalam stadion saat turnamen sepakbola yang digelar Divisi Olahraga S.A.D Belanda. Turnamen ini dilaksanakan sebagai bentuk rasa syukur atas dipulangkannya sisa tentara Belanda menjelang Natal.

Insiden Sidolig ini tak terlepas dengan sentimen masyarakat terhadap tragedi pembantaian warga oleh Tentara Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin Raymond Westerling.

#InfoAleut: Ngaleut Sepakbola (17/04/2016)

2016-04-17 Sepakbola
Selamat berakhir pekan! Bingung karena belum punya rencana di hari Minggu pagi besok? Mending ikutan aja “Ngaleut Sepakbola” 🙂
 
Dalam Ngaleut Sepakbola, kita akan sama-sama membahas seluk beluk tentang sepakbola di daerah Bandung. Mulai dari sepakbola di masa kolonial, kemerdekaan, hingga kondisi persepakbolaan di Bandung sekarang ini.
 
Sebelum menyesal di kemudian hari, langsung aja konfirmasikan kehadiranmu melalui WA/SMS (WAJIB) ke 0896-8095-4394 atau LINE @flf1345r (jangan lupa pakai “@”) dan langsung kumpul di Stadion Persib (Jl. Jend. A. Yani No. 262) pukul 07.00 WIB. Gunakan alas kaki dan pakaian yang nyaman, juga siapkan payung atau jas hujanmu mengingat cuaca Kota Bandung sedang sulit ditebak 😀
Cara Gabung Aleut-1C
 
Jangan lupa juga ajak teman, pacar, istri, keluarga, tetangga, mantan, rekan kerja, boss, atau gebetanmu agar Ngaleut-nya semakin seru. Sampai jumpa hari Minggu. Tabik 🙂

Pabrik Teh Sedep

Oleh: Mooibandoeng (@mooibandoeng)

image

Pabrik Teh Sedep di lingkungan pergunungan yang bener-bener sedep. Selain pabrik, bangunan-bangunan sekitarnya yang selalu menggoda itu, akhirnya dapat terkunjungi juga.

Di dalam rumah Hoofdadministrateur ada plakat yang menyebutkan angka tahun 1930 untuk pabriknya, tetapi cap pada barang-barang rumah tangga menyebutkan angka tahun 1929. Sedangkan palakat khusus untuk hoofdaministrateur menyebut angka tahun 1907 (-1932). Jadi kapan sebenarnya perkebunan ini lahir? :-))

#InfoAleut: Ngaleut Archipelwijk (10/04/2016)

2016-04-10 Archipelwijk 2

Nah, sedangkan di esok hari (10/04/2016) kita punya kegiatan “Ngaleut Archipelwijk”. Dalam Ngaleut kali ini, kita akan menyusuri beberapa jejak rencana perpindahan Ibukota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung.

Mengapa sampai tidak terlaksana? Di mana saja jejak-jejaknya? Kedua pertanyaan ini akan dijawab saat Ngaleut nanti 🙂

Sebelum menyesal di kemudian hari, langsung aja konfirmasikan kehadiranmu melalui WA/SMS (WAJIB) ke 0896-8095-4394 atau LINE @flf1345r (jangan lupa pakai “@”) dan langsung kumpul di Taman Musik (Jl. Belitung) pukul 07.00 WIB. Gunakan alas kaki dan pakaian yang nyaman, juga siapkan payung atau jas hujanmu mengingat cuaca Kota Bandung sedang sulit ditebak 😀

Jangan lupa juga ajak teman, pacar, istri, keluarga, tetangga, mantan, rekan kerja, boss, atau gebetanmu agar Ngaleut-nya semakin seru. Sampai jumpa besok pagi. Tabik 🙂

#InfoAleut: Kelas Resensi “Oto yang (Selalu) Gelisah (09/04/2016)

2016-04-09 Oto yang Selalu Gelisah

Selamat berakhir pekan! Belum punya rencana siang hari ini? Mending ikutan Kelas Resensi “Oto yang (Selalu) Gelisah”. Di Kelas Resensi minggu ini, kita akan membahas artikel Pak Iip Yahya yang dimuat di Galamedia tanggal 31 Maret kemarin sekaligus dabrul seputar sosok Oto Iskandar Di Nata.

Sekiranya kawan-kawan tertarik, langsung saja konfirmasi kehadiran melalui WA/SMS (WAJIB) ke 0896-8095-4394 atau LINE @flf1345r (jangan lupa pakai “@”) dan kemudian datang ke Kedai Preanger (Jl. Solontongan No. 20-D) pukul 13.00 WIB.

Sampai jumpa siang nanti. Tabik 🙂

Catatan Perjalanan: Basa Bandung Halimunan

Oleh: Chika Aldila (@chikaldila)

Mengenang masa lalu, terutama masa kecil, memang selalu menyenangkan. Banyak hal-hal yang dapat kita tertawakan di saat kita beranjak dewasa; kebanyakan mempertanyakan kebodohan-kebodohan yang telah diperbuat saat kita kecil dahulu. Membandingkan keadaan dahulu dan sekarang, dari mulai sifat perilaku sampai dengan lingkungan tempat tinggal. Pahit manisnya kenangan itu tentunya menjadi satu rasa tersendiri, yang akan semakin lengkap apabila dituangkan ke dalam satu tulisan.

Adalah H. Us Tiarsa, yang menuliskan pengalaman masa kecilnya di Kota Bandung pada tahun 50-60an dalam sebuah buku yang berjudul “Basa Bandung Halimunan”, atau dalam Bahasa Indonesia “Kala Bandung Berkabut”. Buku tersebut ditulis dalam Bahasa Sunda keseharian dan disajikan dengan gaya bahasa yang membawa pembacanya mengalir ke dalam penuturannya mengenai Bandung di masa lalu.

Bersama dengan Komunitas Aleut, saya dan teman-teman menelusuri beberapa titik di Kota Bandung yang ada di dalam buku Basa Bandung Halimunan hari Minggu (3/4/2016) kemarin. Hari itu kami fokus di kawasan Kebon Kawung, menyusuri wilayah Jl. H. Mesri, Cicendo, dan Kebon Sirih. Rasanya lucu, ngaleut di kawasan yang notabene hanya berjarak beberapa ratus kilometer dari rumah, dan tentunya setiap hari saya lewati. Tapi di sinilah letak keseruan ngaleut, dari rute yang saya biasa sambangi sehari-hari selalu ada hal baru yang saya ketahui. Contohnya adalah rumah Alm. Haryoto Kunto yang berada di Jl. H. Mesri. Ternyata rumah dari “Bapak-nya Bandung” ini berjarak sangat dekat dari rumah saya. For all this time, I just realized it. What a shame.

Kumpul di depan rumah Alm. Haryoto Kunto

Kami berjalan sedikit menuju belakang GOR Pajajaran, dan melihat sebuah pohon yang menjadi saksi sejarah penamaan daerah Kebon Kawung. Ya, pohon kawung. Mungkin ini pertama kalinya saya melihat pohon kawung dari dekat, tepat di lokasi yang dulunya memang merupakan kebun kawung. Tidak lupa sebuah kolam di sebelah pohon tersebut yang jaman baheula biasa digunakan untuk merendam anak-anak laki-laki yang mau disunat sampai bagian bawah tubuh mereka baal (mati rasa). Tidak terbayangkan oleh saya, para anak lelaki yang sedari subuh sudah disuruh berendam selama berjam-jam sampai mereka mati rasa sebelum akhirnya disunat dengan cara yang masih sangat tradisional. Euh, menuliskannya saja sudah membuat saya ngilu, padahal saya perempuan.

Pohon Kawung

Hal menarik lainnya yang saya rasakan adalah pengalaman menelusuri gang-gang yang sangat amat sempit di daerah Cicendo. Bukannya saya tidak pernah menelusuri gang, hanya saja ini kali pertama saya ngaleut melintasi perumahan padat warga di gang yang amat sangat sempit seperti itu. Sempat muncul rasa khawatir akan terganggunya para warga ketika rombongan Aleut melintas, tapi untungnya warga tidak terlihat terganggu ataupun sebagainya.

Saya terkagum-kagum melihat kehidupan warga yang tinggal di gang seperti itu; kegiatannya, interaksinya, perilakunya. Sebagai seseorang yang semenjak lahir tinggal di daerah individualis dengan rumah yang berlokasi di pinggir jalan besar, jarang sekali saya berinteraksi dengan tetangga seperti halnya masyarakat di gang seperti itu. Rasa iri sempat terbesit di dalam hati saya kian makin membesar ketika mendengar pengalaman masa kecil teman-teman saya yang sangat menyenangkan.

Di sesi sharing banyak teman yang bercerita mengenai pengalaman masa kecilnya yang beragam, dan juga menyenangkan. Apalagi mereka yang menghabiskan masa kecilnya di luar kota Bandung, atau mereka yang berusia lebih tua dari saya, yang sempat menikmati indahnya Bandung ketika masih berkabut di pagi hari. Sedangkan saya? Sedari kecil sudah dihadapkan pada sumpeknya kota Bandung—tentunya belum sesumpek saat ini—dan interaksi sosial antara tetangga yang individualis. Masa kecil saya habiskan dengan membaca buku di dalam rumah, jarang bermain dengan teman sebaya. Karena itu, hari Lebaran, dimana saya dan keluarga pergi ke rumah kerabat di Sumedang, merupakan saat yang paling saya tunggu, semata-mata hanya untuk memandang indahnya pegunungan dan hamparan ladang sawah sepanjang jalan.

Meskipun tidak memiliki banyak pengalaman masa kecil yang bersinggungan dengan keadaan kota Bandung masa lalu yang indah, saya cukup senang mendengar penuturan mengenai kisah-kisah masa kecil dari teman-teman Aleut yang lain. Nah, inilah hal menyenangkan lainnya dari ngaleut, bercerita dan mendengarkan cerita, terlebih lagi apabila kisah-kisah perjalanan dan kenangan itu dapat dituliskan dan dibagikan.

 

Tautan asli: http://coretankoenangkoenang.blogspot.co.id/2016/04/catatan-perjalanan-basa-bandung.html

Laundry Tempo Dulu di Ciguriang

Oleh: Vecco Suryahadi Saputro (@veccosuryahadi)

Tukang Dobi di Kebon Kawung
Tukang Dobi di Kebon Kawung

Malam ini, saya baru selesai membaca tulisan Chika Aldila tentang pengalamannya saat NgAleut Basa Bandung Halimunan. Tulisan ini menarik dan menggoda saya untuk menambah cerita tentang salah satu titik perjalanannya. Titik itu adalah mata air Ciguriang di Kebon Kawung.

Dalam tulisan Chika, pengguna mata air Ciguriang adalah warga Kebon Kawung yang akan disunat. Tapi sebetulnya ada satu pengguna Ciguriang lainnya yang bernama tukang dobi atau tukang binatu atau nama kerennya adalah tukang laundry.

Ada beberapa hal menarik tentang tukang dobi di mata air Ciguriang. Pertama, mereka baru bisa menggunakan mata air Ciguriang setelah membayar satu sen. Kedua, mereka bekerja pada malam hari hingga pagi hari. Jadi mereka obor dan satu sen sebelum bekerja di mata air Ciguriang.

Lalu, seperti apa cara mereka mencuci baju? Apa menggunakan mesin cuci atau mencuci dengan papan gilas?

Nah, cara kerja mereka tentunya berbeda dengan binatu sekarang. Saat itu, mereka mencuci dengan membantingkan baju ke batu. Sambil mencuci dan membanting baju, mereka kerap menyanyikan lagu-lagu berbahasa Sunda yang kadang-kadang terdengar oleh warga Kebon Kawung yang akan tidur.

Oh iya, tukang dobi di mata air Ciguriang berasal dari berbagai pelosok di kota Bandung. Mereka datang berombongan ke mata air Ciguriang. Walaupun demikian, ada warga asli Kebon Kawung yang telah turun-temurun menjadi tukang dobi di mata air Ciguriang.

Sayangnya, tempo kini tukang dobi di Ciguriang tinggal cerita saja. Sudah jarang orang Kebon Kawung melihat tukang dobi mencuci baju dan mendengar nyanyian tukang dobi di mata air Ciguriang pada malam hari.

 

Tautan asli: https://catatanvecco.wordpress.com/2016/04/06/laundry-tempo-dulu-di-ciguriang/

Rusa Berbulu Merah dan Masyarakat Kurang Baca

Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)

Sehari pasca pembubaran paksa oleh berbagai ormas seperti FPI, PUI, dan Laskar Fisabililah, akhirnya kemarin (24/3/2016) pentas monolog Tan Malaka berhasil digelar dengan aman. Acara yang diselenggarakan di IFI Bandung itu berlangsung di bawah penjagaan ketat aparat keamanan dan beberapa LSM yang mendukung acara seperti AMS, Jangkar, dan Pekat.

Gelaran yang sejatinya akan dipentaskan dalam dua hari berturut-turut, yaitu tanggal 23-24 Maret 2016, pukul 20.00 WIB, akhirnya hanya digelar satu hari, namun tetap mementaskan dua kesempatan, yaitu pukul 16.00 dan 20.00 WIB.

Sedari siang, sekira pukul 14.00 suasana di sekitar IFI cukup tegang. Ratusan aparat keamanan yang berjaga dikagetkan oleh kira-kira 20 rombongan kendaraan bermotor yang melintas di Jl. Purnawarman (depan IFI) sambil menyalakan knalpot bising. Mereka kemudian masuk ke pelataran parkir BEC (Bandung Electronic Centre), dan sesaat berselang keluar lagi menuju jalan Jl. Purnawarman sambil terus menggeber gas yang menimbulkan suara knalpot bising. Polisi yang berjaga akhirnya menangkap dan membawa mereka ke kantor dengan truk. Motor yang mereka pakai dibawa serta oleh para petugas.

Monolog Tan Malaka yang sempat tertunda, semula akan dihadiri oleh Walikota Bandung Ridwan Kamil sebagai penjamin tidak akan dibubarkan lagi oleh ormas, namun sampai acara dimulai beliau tidak kunjung datang. Selama pementasan situasi di dalam dan di luar panggung relatif kondusif. Menurut Ahda Imran, penulis naskah, Ridwan Kamil memang rencananya mau hadir, namun karena terbentur banyak kesibukan, akhirnya pementasan berjalan tanpa menunggunya.

“Saya Rusa Berbulu Merah” yang menjadi tajuk monolog, sepanjang pementasan tidak menyisakan fragmen yang riskan dan rawan dengan isu bahaya laten komunis yang ditakutkan para penentang acara. Malah dalam satu kesempatan, Tan Malaka yang diperankan oleh aktor Joind Bayuwinanda menyebutkan bahwa dia menentang pendapat para kamerad komunis terkait Pan-Islamisme ketika berpidato pada Kongres Komunis Internasional ke-4 pada tanggal 22 November 1922.

Pan-Islamisme yang oleh para kamerad perlu untuk dilawan, menurut Tan Malaka malah sebaliknya. Tan beranggapan bahwa sebagai sebuah gerakan, Pan-Islamisme juga menentang imprealisme dan kolonialisme, malah dia juga mendadarkan hubungan kerjasama antara Sarekat Islam dan dan partainya di Nusantara.

Di luar itu, alur kisah dalam Monolog Tan Malaka menjelentrehkan riwayat dan nasib anak bangsa yang menjadi korban revolusi yang ia perjuangkan. Sosok Tan yang menghendaki kemerdekaan 100% dan enggan berunding dengan pihak Belanda yang ia anggap sebagai maling, membuatnya tersisih dari konstelasi politik di awal kemerdekaan.

Ketika proklamasi kemerdekan telah dibacakan, Tan sempat bertemu dengan para pemimpin republik yang lain, yang dalam pementasan Tan menyebutnya sebagai “para pesohor”, dan ia menentang rencana para pesohor yang langkah-langkah politiknya membuat republik yang masih bayi itu tidak memiliki kedaulatan ekonomi.

Tan kalah. Suaranya tak didengar. Ia akhirnya memilih bergabung dengan para pemuda dan rakyat untuk menempuh perang gerilya. Tipu muslihat Belanda yang membonceng pasukan sekutu untuk kembali mengusai Indonesia, ia cium gelagatnya. Bergabungnya Tan dengan laskar dan para gerilyawan kemudian dianggap menggembosi kepemimpinan republik, akhirnya ia dimusuhi oleh kawan seperjuangannya.

Meski pementasan molonog hanya berhenti di titik ketika Tan Malaka semakin menjauhi lingkaran para pemimpin republik, namun sejatinya Tan Malaka sendiri tewas ditembak oleh tentara dari sebuah republik yang ia citakan dan perjuangkan.

Dilihat dari sana, Monolog Tan Malala “Saya Rusa Berbulu Merah” sesungguhnya tak menyisakan sedikit pun ruang untuk dijadikan bahan kekhawatiran dan penolakan para ormas beratribut Islam. Alih-alih melahirkan kecemasan, pementasan ini malah kontekstual untuk dijadikan bahan perenungan dan evaluasi, tentang sejarah yang tidak bertabiat hitam-putih, juga tentang kedaulatan ekonomi yang hari-hari ini cukup rawan.

Dan di atas segalanya, Monolog Tan Malaka lengkap dengan insiden penolakan, menggambarkan satu kondisi tentang sebagian masyarakat yang kurang membaca dan melek sejarah, juga tentang Bandung sebagai sebuah kota dan Indonesia pada umumnya, yang masih ringkih menghadapi perbedaan dan belum sepenuhnya siap dengan watak demokrasi. [ ]

 

Tautan asli: http://wangihujan.blogspot.co.id/2016/03/rusa-berbulu-merah-dan-masyarakat.html

Roti Gratis Untuk Bobotoh

imagePanpel Persib membagikan roti dan air mineral gratis bagi Bobotoh yang datang menonton laga final Piala Bhayangkara di Gelora Bung Karno. Roti dan air mineral ini tak hanya dikhusukan bagi mereka yang memegang tiket, namun bagi seluruh Bobotoh yang sedang melintas di daerah ini.

Momen ini diabadikan oleh @kedaipreanger saat bertandang ke GBK untuk menyaksikan laga final Piala Bhayangkara hari Minggu (03/04/2016) kemarin.

Selamat pagi, Aleutians. Selamat beraktivitas di hari Kamis 😊

Pintu Air di Cicendo

image

Warga sekitar menyebut tempat ini dengan nama Bong. Padahal, arti dari bong sendiri adalah pemakaman Tionghoa.

Kok bisa? Hehe, soalnya wilayah pemukiman padat di dekat pintu air ini dulunya memang pemakaman Tionghoa. Entah bagaimana di kemudian hari warga sekitar mengenal bong sebagai pintu air.

Ngomong-ngomong, apakah Aleutians tau nama sungai yang ada di foto ini? 😊

« Older posts

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑