Month: February 2016 (Page 2 of 2)

Becak

Oleh: Irfan Arfin (@fan_fin)

“Tuang jang?”
“Mangga.., mangga, Pak”

Begitu serunya dengan mulut yang masih dipenuhi makanan, lantang tapi belepotan menawarkan kepada saya nasi kuning yang tengah ia makan sebagai pengganjal perut di pukul sepuluh pagi.

Sedangkan saya sendiri menjawab tawarannya sambil asyik di belakang jendela bidik menangkap setiap gerakan dari figur unik yang saya temukan hari itu di sekitar Jalan Arjuna Bandung.

Figur yang saya temui itu adalah Pak Aang, seorang penggenjot becak yang sudah 20 tahun lebih mencari nafkah di Bandung, khususnya di sekitaran jalan Arjuna, Ciroyom dan Pajajaran, hampir seluruh warga sekitar sudah sangat mengenalnya, ibu-ibu yang melintas pulang dari pasar pun sudah begitu akrab menyapanya. Dandanannya yang nyentrik cukup mudah dikenali, dan menjadi daya tarik orang yang lalu lalang.

Pak Aang hanyalah satu dari sekian banyak orang yang mencari penghidupan dari menarik becak, satu moda transportasi yang sampai sekarang masih digunakan di Bandung, namun sudah mengalami pergeseran fungsi. Memang sejatinya becak dapat ditemukan pula di berbagai kota lainnya di Indonesia, bahkan di luar negeri pun becak masih digunakan sebagai saran transportasi dengan berbagai sebutan dan bentuk. Namun, semenjak saya kecil bentuk becak yang di Bandung inilah yang saya kenali sampai saya beranjak dewasa dan mengunjungi beberapa kota lain di Indonesia yang juga masih menggunakan becak.

Saya rasa ada peran pemerintah terhadap majunya becak sebagai moda transportasi wisata di Yogyakarta, dapat saya lihat di Jalan Malioboro, aparat hukum berdampingan dengan tukang becak dan delman di samping jalan.

Cirebon dan Yogyakarta adalah dua kota pertama yang saya sadari memiliki bentuk yang berbeda dari becak di Bandung, selain warnanya yang lebih sederhana dengan menggunakan 1-3 warna dan tempat duduk pada becak tersebut agak sedikit miring sehingga pandangan sang penumpang mendongak ke langit, berbeda dengan becak di Bandung yang badan becaknya penuh warna dan gambar dari cat lukis, serta kursi penumpang yang dibuat datar.

Selain di Indonesia, beberapa kali saya melihat di layar kaca berbagai bentuk becak dari penjuru dunia dengan bentuk yang unik, termasuk dari Jepang dan Tiongkok yang cara menggerakkannya tidak dengan dikayuh, tapi ditarik menggunakan tangan sambil dibawa berlari.

Dari berbagai macam tayangan yang saya amati, sebenarnya becak selalu dijadikan moda transportasi wisata suatu kota di berbagai negara, termasuk di Bandung, tapi sudah sangat jauh berkurang peran wisatanya dibandingkan tahun 90-an, saat masa kecil saya yang bertempat tinggal di Jalan Pagarsih sangat menikmati berkendara dengan becak untuk berkunjung di pusat perbelanjaan Kings Kepatihan, Bandung. Warna becak yang sangat ramai begitu menarik mata saya saat itu, serta perjalanan yang menyenangkan bersama orang tua saya kala itu, yang saya ingat ketika ayah dan ibu saya mengajak untuk naik becak, artinya mereka akan mengajak saya belanja di Matahari Kings dan bermain berbagai wahana permainan di lantai atas gedung tersebut.

Kembali kita melihat becak di Bandung masa kini, trend penggunaan becak bergeser dari transportasi wisata menjadi transportasi multiguna yang condong ke penggunaan komersial layaknya sebuah mobil pick-up. Warna-warnanya yang sudah pudar serta lokasi pangkalan yang lebih banyak di pasar, kini saya lebih banyak melihat sebuah becak ditumpangi karung beras dan kangkung dibandingkan ditumpangi manusia, bahkan sering saya melihat sebuah becak mengangkut bahan bangunan seperti kerangka baja yang saya rasa ukuran dan muatannya akan melebihi berat yang bisa ditanggung oleh sang penarik becak serta akan sangat membahayakan pengguna jalan yang lain.

Tak cukup sampai di situ pergeseran fungsi yang dialami oleh becak di Bandung. Perkembangan lebih signifikan adalah dengan banyaknya muncul becak motor. Beberapa tukang becak mulai memodifikasi becak mereka dengan menggabungkan motor yang mereka miliki untuk memudahkan pekerjaan mereka mengangkut barang-barang besar, seperti seorang tukang becak di daerah saya, di Pagarsih, yang sekarang menggunakan becak motor karena memiliki orderan tetap untuk mengantar kasur dan bed cover dari produsen yang juga salah satu tetangga saya.

Pergeseran trend ini tidak terjadi begitu saja, hal ini terjadi karena tuntutan keadaan penduduk kota Bandung yang saat ini sudah memiliki kendaraan pribadi masing-masing sehingga memilih berkendara sendiri dibanding harus menggunakan jasa becak yang cenderung mahal serta lebih lambat, hal ini dapat terlihat jelas bila kita melihat tingkat kemacetan di kota Bandung saat ini. Salah satu sebabnya adalah jumlah kendaraan yang terlalu banyak beredar.

Saya rasa ada peran pemerintah terhadap majunya becak sebagai moda transportasi wisata di Yogyakarta, dapat saya lihat di Jalan Malioboro, aparat hukum berdampingan dengan tukang becak dan delman di samping jalan.

Tahun lalu saya sempat mengunjungi kembali kota Yogyakarta dan cukup terkesan dengan apa yang saya lihat di Jalan Malioboro, salah satu area pariwisata paling populer bagi wisatawan yang datang ke Yogyakarta. Sepanjang Jalan Malioboro berjejer rapi delman dan becak yang menunggu para wisatawan keluar dari toko untuk mengantarkan mereka kembali ke hotel masing-masing. Warna-warni yang menarik dan cat yang masih mengilap di badan becak membuat para wisatawan tanpa segan memakai jasa mereka.

Saya rasa ada peran pemerintah terhadap majunya becak sebagai moda transportasi wisata di Yogyakarta, dapat saya lihat di Jalan Malioboro, aparat hukum berdampingan dengan tukang becak dan delman di samping jalan. Lain Yogya, lain juga di Bandung. Aparat dan tukang beca main kucing-kucingan, selain membawa muatan berlebih yang membahayakan pengguna jalan yang lain, sering pula saya hampir bertabrakan dengan tukang becak yang berjalan melawan arah.

Dengan mulai bermunculannya tempat wisata baru di Bandung dan mulainya pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung, maka Bandung akan menjadi salah satu destinasi wisata favorit di Indonesia, namun akankah becak di kota Bandung dapat memulihkan citra serta fungsi sebagai transportasi wisata dan mempertahankan eksistensinya? Tentunya bukan hanya peran dari pemerintah kota saja yang ditunggu namun peran aktif masyarakat dalam bentuk solusi kreatif layaknya peran ojek yang dapat terangkat belakangan ini.

 

Tautan asli: http://mooibandoeng.com/2016/02/01/becak/

Idjon Djanbi

idjon-djambiOleh @vonkrueger

School voor Opleiding van Parachutisten (Sekolah Penerjun Payung) dipindahkan dari Hollandia (Jayapura) ke Bandung pada tahun 1947. Tentu saja kepindahan ini diikuti oleh sang komandan, Letnan Rokus Bernardus Visser, yang pangkatnya dinaikkan menjadi Kapten tidak lama setelah pindah.

Kapten Visser memimpin sekolah tersebut sampai tahun 1949. Setelah pengakuan kedaulatan, Kapten Visser yang sudah merasa nyaman hidup di Indonesia memutuskan untuk tidak kembali ke Belanda dan menetap di Pacet, Lembang. Ia mengambil kewarganegaraan Indonesia, menikahi seorang wanita Sunda, masuk Islam dan mengubah namanya menjadi Mochamad Idjon Djanbi. Pekerjaannya sehari-hari adalah bertanam bunga sampai akhirnya pada tahun 1952, ia diminta oleh Kolonel A.E. Kawilarang, Panglima Tentara dan Teritorium III Siliwangi, untuk membentuk pasukan komando. Djanbi setuju, dengan syarat ia diberikan pangkat Mayor.

Djanbi memilih baret merah sebagai baret resmi kesatuan tersebut, mengikuti baret pasukan linud Inggris tempat Djanbi pernah berdinas. Pada tanggal 16 April 1952 pasukan komando tersebut diresmikan dengan nama Kesatuan Komando Teritorium Tentara III/Siliwangi (Kesko TT. III/Siliwangi) dengan Mayor Idjon Djanbi sebagai komandannya.

Kesatuan ini berkedudukan di Batujajar, di tempat yang sebelumnya merupakan markas pasukan komando KNIL,  Korps Speciale Troepen (KST). Satu tahun kemudian, kesatuan tersebut dialihkan kepada Markas Besar Angkatan Darat dan berganti nama menjadi Korps Komando Angkatan Darat (KKAD) dan pada tahun 1955 berubah kembali menjadi Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD). Djanbi bertugas sebagai Komandan RPKAD sampai pada tahun 1956, ia ditugaskan untuk mengepalai perkebunan-perkebunan milik asing yang baru saja dinasionalisasi.

Karena status Idjon Djanbi di RPKAD adalah “dikaryakan”, maka ia tidak mendapat pensiun. Pada saat ulang tahun RPKAD tahun 1969, Idjon diberi kenaikan pangkat menjadi Letnan Kolonel. Idjon Djanbi wafat di Yogyakarta pada 1 April 1977 dan dimakamkan di TPU Kuncen.

 

Kendan, Limbangan, Kareumbi, Bagian 1

image

(Reblogged dari keluyuran.net)

Sabtu kemarin saya melanjutkan perjalanan mapay2 jalanan baru di sekitar Kendan. Satu2nya bayangan tujuan adalah Kampung Cimulu. Minggu lalu beberapa warga Kendan bilang jalan di dalam hutan jati di belakang sudah dibeton sampai Cimulu dan dapat keluar sampai Cicalengka di jalur Cinulang. Nah ini saja patokannya.

Saya sudah tau nama Kampung Cimulu di dalam kawasan hutan Kareumbi dan pernah berkunjung untuk melihat beberapa lokasi yang dikeramatkan oleh warga. Tentu bukan kekeramatannya yang membuat saya mendatangi tempat itu, melainkan cerita2 di balik kekeramatan yang biasanya menyimpan sejarah lokal.

Saya pernah ke Cigumentong saat perjalanan menembus hutan Kareumbi menuju Sumedang. Dari sana saya mendapatkan informasi tentang perkebunan jeruk di kawasan Kareumbi tempo dulu. Makam orang Belanda  pengelola kebun jeruk  itu ternyata sudah hampir lenyap tertimbun tanah di dekat sebuah bak penampungan di dalan hutan Kareumbi. Dengan bantuan seorang warga asli Cigumentong, saya dapat menemukan makam itu. Entah bagaimana kondisi makam itu sekarang.

Nah kisah jalan tembus dari Kenda ke Cimulu ini yang menggoda saya untuk kembali satu minggu kemudian. Dengan beberapa teman bermotor, saya memulai perjalanan dengan mampir dulu ke kawasan vila Citaman Hill. Nama Citaman sering dihubungan dengan lokasi istana Kerajaan Kendan yang tidak ada bekasnya itu. Di Citaman juga pernah ditemukan sebuah arca Durga (sering disebut juga sebagai arca manik) pada tahun 1909 dan sekarang disimpan di Museum Nasional.

Setelah berkhayal sejenak memiliki salah satu vila Citaman Hill yang memiliki pemandangan sangat indah ke Lingkar Nagreg dan gunung2 di belakangnya, saya segera menembus hutan jati, mengitari Bukit Kendan. Benar, semua badan jalan sudah berlapis beton. Saya tak melihat satu kampung pun di jalur ini sampai tiba di sebuah lokasi yang baru saja dibuka, konon untuk mendirikan sebuah pesantren. Pada plang kecil terbaca nama Desa Simpen, Kecamatan Limbangan.

Seharian ini kami kalau tidak berada di dalam hutan ya di alam terbuka tetapi dengan awan yang cukup tebal, sama sekali tidak dapat menebak2 posisi Kareumbi.

Jpeg

Citaman Hill

Continue reading

#InfoAleut: Ngaleut Rasia Bandoeng (07/02/2016)

2016-02-07 Rasia Bandoeng
#InfoAleut Di malam Tahun Baru Imlek, hari Minggu (07/02/2016), kita akan Ngaleut Rasia Bandoeng. Dalam kegiatan ini, Aleutians akan menyusuri beberapa titik yang diceritakan Chabanneau dalam novel Tionghoa klasik yang berjudul Rasia Bandoeng (1918).
 
Bagi Aleutians yang tertarik untuk bergabung, konfirmasikan kehadiranmu ke nomor 0896-8095-4394 (SMS/WA) dan langsung saja kumpul di depan BRI Tower (Jl. Asia-Afrika) pukul 19.00 WIB. Jangan lupa bawa payung atau jas hujan untuk mengantisipasi ketidaktentuan cuaca Bandung belakangan ini 🙂
 
Cara Gabung Aleut-1C
Untuk yang mau daftar keanggotaan, langsung aja di tempat kumpul kegiatan. Konfirmasikan kehadiranmu, hadir di tempat kumpul, lalu daftarkan keanggotaanmu dengan biaya iuran Rp 10.000,00. Voila! Kamu sudah terdaftar sebagai anggota Komunitas Aleut 😀
 
Sekian saja Info Aleut pagi hari ini. Ayo datang dan ramaikan, karena tiada kesan tanpa kehadiranmu 😀

Stasiun Cikajang +1.530

image

Stasiun Cikajang, stasiun kereta api paling tinggi di Indonesia (+1.530 m). Dibangun pada tahun 1926 dan kemudian dinonaktifkan pada tahun 1983 karena mulai rusaknya jalur kereta dan penurunan jumlah penumpang.

Kondisi stasiun ini sudah rusak karena lama tidak dipakai dan semakin lama semakin mengkhawatirkan, tembok-tembok sudah mulai terkelupas dan rusak, bagian atap juga sudah banyak bolong-bolong. Pada bagian tembok belakang sudah menempel tembok sebuah bangunan baru. Di bagian atas satu sisi bangunan masih dapat terbaca tulisan “Cikajang”.

Jalur-jalur rel di depan stasiun sudah banyak yang terkubur tanah, sebagian masih dapat dilihat tersingkap di atas tanah. Sekitar 15-20 meter di depan rel ada sebuah jalur rel yang walaupun samar masih dapat ditelusuri arahnya, menuju ke kampung. Di ujung rel yang terdapat di tengah kampung ada sebuah sisa bak besar yang sudah dipenuhi oleh sampah. Menurut warga lokasi itu memang sudah menjadi TPS.

Di ruang depan kasur tanpa seprai menggeletak begitu saja, kain-kain serta pakaian bertebaran, sebuah lemari sederhana berdiri miring seperti menunggu runtuh.

Continue reading

Payen dan Sang Pangeran Jawa

photo 1
Foto koleksi KITLV

Oleh @alexxxari @A13Xtriple

Pada tahun 1822 seorang arsitek dan pelukis berkebangsaan Belgia mendapatkan tugas dari Kerajaan Belanda untuk membuat lukisan pemandangan di seluruh Hindia Belanda. Pelukis ini memilih Bandung sebagai tempat tinggalnya. Antoine Auguste Joseph Payen (beberapa menuliskan namanya Paijen) mendirikan sebuah rumah bergaya Indische Empire Stijl di sebuah bukit dekat Sungai Ci Kapundung. Rumah berlantai dua ini merupakan salah satu dari 8 bangunan tembok yang tercatat dalam “Plan der Negorij Bandong” pada tahun 1825. Rumah cantik ini bertahan hingga berusia 150 tahun lebih. Nasibnya berakhir saat Jalan Stasiun Timur diperlebar.

Payen datang ke Hindia Belanda pada tahun 1817, saat berusia 25 tahun. Sejak awal kedatangannya, Payen langsung berkenalan dengan daerah Priangan. Dia diundang oleh Gubernur Jenderal Baron van der Capellen untuk tinggal di Buitenzorg dan membantu restorasi Istana Bogor. Di tempat itulah Payen bertemu dengan atasannya Prof. C.G.C. Reinwardt, pendiri Kebun Raya Bogor, yang saat itu menjabat sebagai Direktur Pertanian, Seni, dan Ilmu Pengetahuan. Reinwardt mengenalkan Payen kepada sesama pelukis litho lainnya di antaranya adalah kakak beradik van Beek, Jan, dan Theo.

Eksplorasi Payen di daerah Priangan dimulai pada tahun 1818 saat Gunung Guntur di Garut meletus. Setahun kemudian dia kembali melakukan perjalanan penelitian  bersama Reinwardt di daerah Priangan, yang berlangsung hingga awal tahun 1820. Perjalanan ini merupakan penelitian yang terakhir dilakukan Payen bersama Reinwardt. Diperkirakan penjelajahan Payen ke daerah seputar Bandung terjadi pada tahun 1819 ini.  Ada dua lukisan pemandangan karya Payen yang dapat dijadikan sebagai bukti kehadirannya di “Tatar Ukur”. Pertama adalah lukisan air terjun/ curug Jompong  serta gambar keadaan Sungai Ci Tarum.

Di puncak kemahsyurannya, Raden Saleh memperoleh berbagai julukan di antaranya adalah “Le Prince Javanais” atau “Pangeran Jawa”.

Continue reading

Abdul Muis

Ngaleut Tokoh-1B2

Salah satu poster kegiatan @KomunitasAleut dengan foto Abdul Muis.

Oleh @akayberkoar

Apa yang ada di benak kalian ketika mendengar nama Abdul Muis? Saya pernah tanyakan pada kawan-kawan, jawabnya ada yang menyebut tokoh pergerakan, pahlawan nasional, juga wartawan atau satrawan. Yah, semuanya benar. Tapi bagi saya sendiri selama ini nama Abdul Muis hanya berkait dengan satu hal, trayek angkot atau nama terminal angkot di Bandung.

Ya, sejak umur 10 tahunan, nama Abdul Muis sudah tidak asing bagi saya. Saat itu saya sering menemani ibu naik angkot dan sering saya baca nama Abdul Muis tertempel di kacanya sebagai salah satu trayek, ada Abdul Muis-Elang, Abdul Muis-Dago, Abdul Muis-Cicaheum, sampai Abdul Muis-Cimahi. Yang terakhir ini sepertinya perubahan dari trayek Abdul Muis-Leuwipanjang. Saya agak lupa-lupa ingat juga.

Sudah sejak masa itu bagi saya nama Abdul Muis identik dengan teminal angkot Kebon Kalapa. Setiap sore ibu membawa saya menyambangi terminal untuk menunggu ayah pulang kerja. Saat itu ayah saya bekerja di daerah Kebon Kalapa, di suatu perusahaan yang masih saya ingat namanya, Hilton. Tapi tentu bukan hotel Hilton yang megah itu. Sambil menunggu ayah pulang, kami biasa jajan cendol langganan di pinggiran Jl. Pungkur. Rasanya jalanan saat itu masih sepi, tidak ramai oleh tukang batu-batu akik seperti belakangan ini.

Setelah dewasa, saya dihadapkan pada pertanyaan, siapakah Abdul Muis yang namanya dijadikan nama terminal itu? Zaman sekarang mudah saja googling. Ternyata, Abdul Muis adalah Pahlawan Nasional Pertama yang ditetapkan oleh Presiden Sukarno pada tanggal 30 Agustus 1959. Beliau dilahirkan di Sungai Puar, Bukittinggi, Sumatera Barat, pada tanggal 3 Juni 1883. Abdul Muis mengikuti pendidikan sekolah dasar warga Eropa, Eur Lagere School. Pendidikan lanjutan ditempuhnya di Sekolah Dokter Jawa (STOVIA), tapi tidak sampai selesai karena sakit.

Mungkin ada alasan kenapa namanya digunakan sebagai nama terminal angkot di Bandung? Apakah karena nama jalan di depan terminal itu Jl. Abdul Muis? Kenapa nama jalan itu diberi nama Abdul Muis?

Continue reading

HOS Tjokroaminoto

Oleh @bagusreza

Haji Oemar Said Tjokroaminoto, sang Raja Tanpa Mahkota. Ia dilahirkan di Madiun pada 16 Agustus 1882. Menanggalkan gelar kebangsawanan Raden Mas dan menggantinya dengan Haji Oemar Said. Mengundurkan diri sebagai pegawai juru tulis di Madiun yang sangat pro-kolonial dan kemudian melarikan diri ke Semarang menjadi buruh angkut pelabuhan, tempat Ia dapat merasakan penderitaan kaum bawah. Sepak terjang dan nama besarnya kemudian tidak bisa dilepaskan dari organisasi Sarekat Islam.

Sarekat Islam didirikan di Solo oleh H. Samanhoedi pada 11 November 1911 dengan tujuan menjadi benteng pelindung para saudagar batik dari tekanan Pedagang Cina dan Kalangan Ningrat. Di bawah kepemimpinan H. Samanhoedi, Sarekat Islam berjalan lepas. Meski memiliki tujuan tinggi, kepemimpinannya tidak dapat menjangkau anggota, Sarekat Islam tidak dapat memperluas kegiatannya yang terbatas pada persaingan bisnis dengan Pedagang Cina dan Ningrat Solo saja.

Merasa organisasinya tidak berkembang, H. Samanhoedi sebagai Ketua dan R.M. Tirto Adhi Soerjo sebagai penyusun anggaran dasar pertama, mengajak Tjokro bergabung pada Mei 1912. Pada masa itu Tjokro telah dikenal dengan sikapnya yang radikal dalam menentang perilaku feodal. Tugas pertamanya di Sarekat Islam yaitu menyusun struktur organisasi yang jelas dan membuat ulang Anggaran Dasar Organisasi. Dengan masuknya Tjokro, Sarekat Islam melaju menjadi organisasi politik ideologis berdasarkan Islam. Sarekat Islam menjadi kendaraan politik gaya baru pada masa itu dalam mengekspresikan kesadaran berbangsa melalui penerbitan surat kabar, unjuk rasa, pemogokan buruh dan partai politik. Ia memimpikan anak Bumiputera bisa berdiri sejajar dengan Belanda.

Tidak lama setelah bergabung, Tjokro berinisiatif mengadakan Kongres Sarekat Islam Pertama di Surabaya pada tahun 1912 dengan hasil Kongres membagi Sarekat Islam ke dalam 3 yaitu Wilayah Barat meliputi Jawa Barat dan Sumatera, Wilayah Tengah meliputi Jawa Tengah dan Kalimantan, Wilayah Timur meliputi Jawa Timur dan daerah Indonesia Timur dengan Kantor Pusat yang berkedudukan di Surakarta. Tjokro tidak butuh waktu lama untuk menjadi orang yang berpengaruh di Sarekat Islam, melalui Kongres Sarekat Islam di Jogjakarta tahun 1914 Ia berhasil menggulingkan Samanhoedi dari jabatan Ketua.

Sebagai ketua, Tjokro langsung bergerilya ke semua cabang Sarekat Islam, berpidato atau hanya sekadar memberikan pemahaman mengenai visi kebangsaannya. Salah satu hasil manuvernya sebagai ketua, yaitu diakuinya Sarekat Islam secara hukum sebagai organisasi Organisasi Nasional oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1916. Setelah itu, pada tahun yang sama Sarekat Islam mengadakan Kongres Nasional pertamanya di Bandung. Program Kerja Sarekat Islam meluas, pro kepentingan rakyat dan umat Islam pada khususnya. Dukungan semakin banyak, anggota di daerah semakin bertambah. Rakyat jelata memiliki identitas baru, mereka sangat antusias mengikuti kongres-kongres. Sejak awal Anggaran Dasar Organisasi yang disusun Tjokro tidak hanya berupaya melindungi kepentingan perdagangan saja, ada kepentingan lain untuk memajukan kesejahteraan dan pendidikan kaum bumiputera.

Sarekat Islam semakin berkembang ketika pengaruhnya semakin kuat di cabang-cabang mulai terjadi beberapa pergerakan yang dinilai sebagai tindakan pembangkangan terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Khususnya di wilayah Jawa Barat pada tahun 1919, di Afdeling B Garut para petani menolak menjual berasnya kepada Pemerintah Hindia Belanda, terjadi kerusuhan kecil di kota tersebut. H. Gojali sebagai pemimpin pergerakan itu ditangkap. Pemerintah meggunakan kekuatan senjata untuk menghentikan kerusuhan tersebut. H. Gojali yang mempunyai hubungan dengan Sarekat Islam kemudian dijadikan dasar untuk menangkap Tjokro oleh Pemerintah Hindia Belanda. Ia ditahan pada bulan Agustus 1921 sampai April 1922 tanpa ditunjukkan Ia bersalah atau tidak.

Achdiat Karta Mihardja

image

Oleh @aryawasho

Nama Achdiat Karta Mihardja mungkin terdengar asing di telinga khalayak umum. Lain halnya dengan cucu dari Achdiat, Jamie Aditya, yang jauh lebih dikenal khalayak umum karena pernah menjadi VJ MTV di tahun 90-an. Saya sendiri pertama kali mengenal sosok Achdiat melalui novel “Atheis”, novelnya yang terbit pertama kali di tahun 1949.

Achdiat Karta Mihardja lahir di Cibatu, Garut, pada tanggal 6 Maret 1911. Achdiat besar di keluarga yang gemar membaca. Tak heran saat ia berkesempatan untuk melanjutkan sekolahnya setingkat SMA di Solo, ia memilih jurusan sastra dan kebudayaan timur.

Setelah lulus sekolah setingkat SMA di tahun 1932, ia sempat berkiprah di berbagai media massa sebagai redaktur di Bintang Timur dan majalah Gelombang Zaman (Garut), Spektra, Pujangga Baru, Konfrontasi, dan Indonesia. Kemudian di tahun 1948, ia bergabung ke Balai Pustaka dengan jabatan yang sama. Saat bergabung Balai Pustaka inilah minatnya terhadap kesusastraan tumbuh.

Meskipun “Atheis” bukanlah satu-satunya karya yang Achdiat tulis, namun dari novel inilah ia dikenal luas sebagai sastrawan hingga mendapatkan banyak penghargaan.

Continue reading

Becak

image

Oleh @fan_fin

“Tuang jang?”
“Mangga.., mangga, Pak”
Begitu serunya dengan mulut yang masih dipenuhi makanan, lantang tapi belepotan menawarkan kepada saya nasi kuning yang tengah ia makan sebagai pengganjal perut di pukul sepuluh pagi.

Sedangkan saya sendiri menjawab tawarannya sambil asyik di belakang jendela bidik menangkap setiap gerakan dari figur unik yang saya temukan hari itu di sekitar Jalan Arjuna Bandung.

Figur yang saya temui itu adalah Pak Aang, seorang penggenjot becak yang sudah 20 tahun lebih mencari nafkah di Bandung, khususnya di sekitaran jalan Arjuna, Ciroyom dan Pajajaran, hampir seluruh warga sekitar sudah sangat mengenalnya, ibu-ibu yang melintas pulang dari pasar pun sudah begitu akrab menyapanya. Dandanannya yang nyentrik cukup mudah dikenali, dan menjadi daya tarik orang yang lalu lalang.

Pak Aang hanyalah satu dari sekian banyak orang yang mencari penghidupan dari menarik becak, satu moda transportasi yang sampai sekarang masih digunakan di Bandung, namun sudah mengalami pergeseran fungsi. Memang sejatinya becak dapat ditemukan pula di berbagai kota lainnya di Indonesia, bahkan di luar negeri pun becak masih digunakan sebagai saran transportasi dengan berbagai sebutan dan bentuk. Namun, semenjak saya kecil bentuk becak yang di Bandung inilah yang saya kenali sampai saya beranjak dewasa dan mengunjungi beberapa kota lain di Indonesia yang juga masih menggunakan becak.

Saya rasa ada peran pemerintah terhadap majunya becak sebagai moda transportasi wisata di Yogyakarta, dapat saya lihat di Jalan Malioboro, aparat hukum berdampingan dengan tukang becak dan delman di samping jalan.

Continue reading

Sosrokartono

image

Foto @KomunitasAleut

Oleh @tiarahmii

Drs. R.M.P. Sosrokartono
Walaupun nama beliau sama besarnya dengan Sang Adik, R.A. Kartini, namun sosok beliau tidak sepopuler Sang Adik dalam ingatan masyarakat Indonesia.

Setelah 29 tahun hidup di Eropa, Sosrokartono memutuskan pulang dan menetap ke Hindia Belanda. Kota pilihannya adalah Bandung. Sosrokartono mendirikan sebuah rumah panggung terbuat dari kayu berdindingkan bambu yang terletak di Poengkoerweg No 19. Rumah itu diberi nama Darussalam yang berarti “Rumah Kedamaian”.

Darussalam sering juga digunakan sebagai tempat berkumpul tokoh-tokoh pergerakan seperti Soekarno, dan Abdoel Rachim, kelak akan jadi mertua Mohamad Hatta. Partai Nasional Indonesia dan Indonesisch Nationale Padvinders Organisastie juga sering menggunakan gedung ini sebagai tempat pertemuan.

Tidak hanya menjadi rumah tinggal, Darussalam juga berfungsi sebagai balai pengobatan. Media pengobatan yang diterapkan oleh Sosrokartono dengan air putih yang dicelupkan kertas bertuliskan huruf Alif. Tak heran, Sosrokartono di Bandung dikenal sebagai dokter Cai atau dokter Alif.

Continue reading

Tiga Serangkai di Kota Bandung

Oleh @omindrapratama

3-serangkai

Dari kiri ke kanan : Suwardi Suryaningrat, E.F.E Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo.

Tiga Serangkai. Julukan ini adalah julukan yang seharusnya tidak pernah terlupakan jika kita berbicara Sejarah Pergerakan Nasional. Triumvirat Ernest Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat adalah tonggak pertama pergerakan bercorak nasionalis di Indonesia lewat Indische Partij, yang berumur pendek, serta berbagai gerakan politik, kebudayaan, dan pendidikan lain. Tanpa pengaruh dari Tiga Serangkai, bisa-bisa tidak ada pergerakan bercorak nasionalis dari Perhimpunan Indonesia di Belanda, atau Partai Nasional Indonesia, tidak ada pula Dwi-Tunggal Soekarno dan Hatta.

Semua pergerakan penting Tiga Serangkai tidak bisa dilepaskan dari Kota (dulu kabupaten) Bandung. Di kota ini Tiga Serangkai melakukan banyak gerakan yang membuat panas telinga pemerintah kolonial, sekaligus membangkitkan semangat nasionalisme kaum pribumi.

Bandung pada dekade awal abad 20, adalah kota yang mulai menggeliat dengan kegiatan budaya dan pendidikan penduduk pribumi. Tahun 1904 Raden Dewi Sartika merintis lembaga pendidikan khusus perempuan di Pendopo Kabupaten Bandung. Tahun 1907 Tirto Adhi Suryo menjalankan Surat Kabar Medan Prijaji di Jalan Naripan. Keberadaan sekolah-sekolah menengah yang membuka diri untuk siswa pribumi seperti Kweekschool, HBS, dan AMS di Bandung juga menjadi keran masuk pribumi-pribumi muda berpendidikan barat.

Eksponen Tiga Serangkai yang pertama menetap di Bandung adalah Douwes Dekker. Douwes Dekker yang pada 1908 turut serta mendirikan Budi Utomo di Batavia, merasa kecewa dengan perkembangannya yang makin dikuasai para priyayi konservatif, yang menyingkirkan pemuda-pemuda cerdas binaannya seperti Sutomo, Rajiman Wediodiningrat, dan Gunawan Mangunkusumo. Ia lalu mengunjungi tanah leluhurnya di Belanda selama 1 tahun, lalu kembali ke Hindia dan menetap di Bandung tahun 1910. Setibanya di Bandung, ia langsung aktif di dua organisasi kaum Indo, Indische Bond dan Insulinde (di Insulinde Douwes Dekker pernah aktif sebelumnya). Lagi-lagi Douwes Dekker merasa kecewa karena sikap konservatif kedua organisasi tersebut yang tidak sepaham dengan ide Douwes Dekker, yaitu membolehkan kaum pribumi terpelajar bergabung untuk kemudian berjuang di ranah politik. Continue reading

Gugum Gumbira

image

Oleh @arnizimansari

Siapa yang tidak kenal dengan istilah Jaipong atau Jaipongan? Nama ini identik dengan Kota Bandung. Jaipong merupakan salah satu bentuk seni tari yang tumbuh dan berkembang di Kota Bandung, kemudian menyebar ke seluruh wilayah Priangan. Belakangan ini Jaipong digambarkan sebagai tarian yang lincah dan banyak gerakan pinggul. Namun banyak yang tidak mengetahui bahwa Jaipong pada awalnya merupakan tarian yang menggambarkan seorang wanita anggun dan cantik, namun memiliki kemampuan bela diri yang lihai. Pencipta genre tari ini tidak lain adalah Gugum Gumbira.

Gugum Gumbira adalah seorang seniman tari sekaligus karawitan yang merasa tertantang untuk mengembangkan kesenian tradisional atas dasar pelarangan musik rock and roll oleh Presiden Sukarno pada tahun 1961. Gugum yang sedari awal sudah memiliki minat tinggi terhadap kesenian tradisional, mempelajari kesenian-kesenian rakyat yang ada di Jawa Barat. Di antaranya adalah ketuk tilu, topeng banjet, dan pencak silat. Pada masa itu, sinden pada ketuk tilu berfungsi sebagai penari pula. Oleh Gugum, sinden difokuskan fungsinya hanya sebagai penyanyi dalam komposisi musik karawitannya saja.

Berbagai macam gerakan tari disadur kemudian dipadukan dengan gerakan pencak silat. Ini bertujuan untuk memberikan citra bahwa perempuan yang cantik, berbadan sintal, luwes, serta menarik hati, mampu mempertahankan dirinya melalui gerakan-gerakan bela diri, yaitu pencak silat.

Kecantikan dan kemolekan mojang Priangan betul-betul ditunjukkan melalui busana tarinya. Namun Gugum juga ingin menunjukan bahwa wanita Sunda tidak mudah ditaklukan begitu saja oleh kaum laki-laki, oleh karena itu banyak disisipkan gerakan-gerakan pencak silat.

Continue reading

Newer posts »

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑