Month: December 2015

Ngarumat Pusaka di Bumi Alit

Oleh: Anggi Aldila (@anggicau)

Rabu malam (23/12) setelah selesai shalat Maghrib, saya memberanikan diri untuk masuk ke lingkungan situs Bumi Alit di Lebakwangi – Batukarut, Banjaran. Menurut informasi yang saya terima, malam itu ada acara yang akan digelar semalam suntuk sebelum acara inti digelar keesokan harinya, Kamis (24/12). Akan tetapi, hanya ada anak – anak yang sedang latihan menabuh gamelan pada malam itu.

Saya cukup beruntung, karena di sana ada beberapa orang panitia acara. Salah satunya Bapak. H. Itang Wismaya yang terkadang menjadi penabuh gamelan “Goong Renteng”. Beliau cukup membantu memberikan informasi terkait rangkaian acara inti Kamis esok hari, yang meliputi acara memandikan pusaka yang disimpan di dalam Bumi Alit sepanjang tahun dan juga acara memandikan Gamelan yang menjadi acara utama.

Setelah melaksanakan aktivitas rutin di rumah di keesokan harinya, sekitar pukul 06.00 saya mulai berangkat ke Bumi Alit. Waktu yang diperlukan untuk sampai di sana cukup setengah jam saja. Setibanya di sana, terlihat masih belum banyak orang yang masuk area Bumi Alit. Namun, para pupuhu, panitia, dan juga kuncen sudah hadir.

Para Pupuhu Berkumpul Sebelum Memandikan Senjata Pusaka

Kami para peliput dipersilahkan masuk ke dalam Bumi Alit untuk mengikuti proses memandikan pusaka yang hanya dikeluarkan setiap tanggal 12 Rabiul Awal atau setiap memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sekitar pukul 07.15, acara di Bumi Alit dimulai. Suasana heningpun menyelimuti semua yang ada di dalam Bumi Alit. Kami sempat dikagetkan oleh seseorang yang menangis sebelum pusaka dikeluarkan.

Saat kami sedang menunggu acara memandikan pusaka, tiba–tiba melintas arak–arakan gamelan yang dibawa dari rumah kuncen. Gamelan tersebut akan dimandikan setelah acara memandikan pusaka selesai. Kami para peliput dengan sopan langsung keluar, sedikit berlari, untuk mendapatkan momen arak–arakan gamelan. Setelah mengambil sedikit gambar, kami masuk kembali ke dalam Bumi Alit, dan acara pun dimulai.

Satu persatu benda pusaka yang dibalut oleh kain kafan mulai dikeluarkan. Setelah seluruh barang dikeluarkan, kuncen menerangkan bahwa semua barang pusaka akan dimandikan secara berurutan. Dari pusaka yang yang dimandikan pertama, kedua, ketiga, begitu seterusnya sampai terakhir.

Gobang, Salah Satu Pusaka yang Dikeluarkan untuk Dimandikan

Jika proses memandikan pusaka di dalam Bumi Alit berlangsung dalam keadaan hening, lain halnya dengan proses memandikan gamelan yang sudah ditunggu oleh banyak orang.Maklum, proses memandikan gamelan ini dilakukan di lingkungan luar Bumi Alit dan bisa disaksikan oleh khalayak ramai. Beberapa orang mulai merapat ke tempat pemandian gamelan yang disediakan di samping bale. Sebelum gamelan mulai dimandikan, para petugas yang bertugas memandikan gamelan berdoa terlebih dahulu. Sesaji pun disiapkan, dan wangi harum kemenyan mulai merebak di sekitar pemandian.

Berdoa Sebelum Memandikan Goong Renteng

Banyak orang membawa botol air mineral sampai ember untuk menampung air bekas memandikan gamelan secara berebut. Anak–anak dan sejumlah ibu–ibu bahkan dengan sengaja berdiam di bawah gamelan yang sedang dimandikan.

Anak–anak Mandi di Bawah Goong Renteng

Gamelan “Goong Renteng” adalah seperangkat gamelan yang masih utuh dan lengkap peninggalan dari leluhur Lebakwangi. Ada yang mengatakan kalau usia Goong Renteng dan juga pusaka yang ada di Bumi Alit itu sudah mencapai ribuan tahun. Kalimat ini sering diutarakan oleh para keturunan Lebakwangi. Namun, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan usia sebenarnya dari gamelan tersebut.

Selesai dimandikan, pusaka di Bumi Alit kembali ditutup oleh kain kafan dan disimpan di dalam Bumi Alit. Lain halnya dengan perangkat gamelan. Setelah dibersihkan dan diberikan wewangian, gamelan kemudian akan ditabuh oleh para nayaga yang sudah bersiap di bale Situs Bumi Alit. Kebanyakan dari nayaga tersebut sudah berusia sepuh, hanya ada satu orang yang masih terlihat muda.

Pagi itu, banyak dari keturunan Lebakwangi yang biasa dipanggil Siwi Suwu berdatangan ke Situs Bumi Alit sambil membawa tikar dan makanan (banyak pula yang membawa nasi tumpeng). Nasi dan lauk pauk yang mereka bawa tersebut tidak dimakan langsung melainkan disantap setelah ada perintah dari pembawa acara.

Pukul 08.45 semua pusaka sudah selesai dimandikan. Pembawa acara kemudian naik ke podium untuk memberikan pengumuman. Beliau meminta kepada para nayaga untuk memainkan satu buah lagu sebagai hiburan bagi para Siwi Suwu dan masyarakat yang sudah hadir di acara yang rutin dilakukan setiap tahun ini.

Nayaga Memainkan Goong Renteng (Gamelan Embah Bandong)

Acara pun dibuka. Dimulai dengan memanjatkan doa terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan sambutan – sambutan yang selalu ada di setiap acara. Para nayaga kemudian memainkan lagu – lagu yang rutin dimainkan setiap helatan ngarumat pusaka. Lagu – lagu ini kebanyakan berisi cerita maupun petuah. Menurut informasi yang penulis dapatkan, dari total 14 lagu ini masih ada beberapa lagu yang nadanya belum diketahui.

Demikian serangkaian kegiatan acara “Ngarumat Pusaka” di Situs Bumi Alit Kabuyutan Lebakwangi-Batu Karut, Arjasari yang rutin digelar setiap tahun. Sebenarnya, setelah acara inti masih ada acara yang dilaksanakan tanggal 26 Desember 2015, yaitu Ngabungbang di mana para peserta Ngabungbang akan melepaskan apa yang ada didalam hati sambil diiringi gamelan. Sayang, penulis berhalangan hadir di acara ini karena berbenturan dengan acara keluarga yang tak bisa ditinggalkan.

Seuweu Siwi Berkumpul di Halaman Situs Bumi Alit

 

Tautan asli: https://tulisansikasep.wordpress.com/2015/12/28/ngarumat-barang-pusaka-kabuyutan-bumi-alit/

Tidak Selamanya Mantan Itu Buruk: Perencanaan Kota Kolonial vs Modern

Oleh: M. Ryzki Wiryawan (@sadnesssystem)

“Mantan adalah seseorang istimewa yang diciptakan Tuhan untuk mengambil uangmu, dan memberimu kenangan buruk sebagai gantinya.”

Oke, semoga sedikit joke tentang mantan barusan bisa menjadi pembuka yang menarik untuk tulisan agak serius berikut. Seperti diketahui, ada sebuah kutipan indah yang menyebutkan jika “Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum”.  Tidak salah memang. Bandung dikaruniai berbagai anugerah dari Tuhan: pemandangan yang indah, kesuburan tanah, iklim yang sejuk, air yang jernih, serta wanita-wanita yang luar biasa cantik. Tapi tentu saja berbarengan dari anugerah tersebut terdapat tanggung jawab yang besar dari masyarakat untuk menjaganya. Ketika pemandangan yang indah terhalangi oleh gedung-gedung tinggi, tanah yang subur hanya ditanami beton, air yang jernih hanya mengalir ke apartemen, tampaknya Tuhan akan menyesal memberikan segala anugerah itu ke Bandung. Untung saja masih ada wanita-wanita cantik, tapi itu pun banyak direbut oleh orang luar Bandung!

Bersiaplah untuk kehilangan seluruh pesona Bandung di masa depan apabila masyarakat dan pemimpin Bandung saat ini gagal merencanakan tata ruang ideal ke depannya. Mengapa perencanaan begitu penting? Karena inilah yang menjadi visi Bandung di masa depan. Apa yang direncanakan memang tidak selalu sesuai dengan kenyataan, namun apabila perencanaan sudah dilakukan dengan buruk, maka kenyataannya akan jauh lebih buruk. Sebelum membicarakan perencanaan Bandung terbaru yang mengecewakan, sebagai bahan perbandingan, berikut akan dibahas sekilas sejarah perencanaan kota Bandung dari zaman kolonial.

Perencanaan Kota Kolonial

Pada awal didirikannya Bandung pada tahun 1811 di lokasi alun-alun sekarang, belum dikenal konsep tata kota yang baik. Hingga awal abad 20, bisa dibilang bahkan tidak ada perencanaan yang dibuat untuk mengantisipasi perkembangan Bandung yang masih berbentuk “desa” itu. Contoh terbaik dalam hal ini bisa ditemukan di kawasan “Kota Lama” Bandung yang sekarang menjadi pusat kota, di mana kantor-kantor pemerintah, swasta, pemukiman, pertokoan, pasar, dan kampung hingga pemakaman bisa ditemukan pada satu kawasan itu.

Seiring dengan perkembangan Bandung menjadi “pusat perkebunan” di akhir abad-19, pengaturan zonasi kota masih mengadaptasi konsep pembagian ras kolonial. Kelompok ras Pribumi, Tionghoa, Arab, dan Belanda mendiami kawasan tertentu, walau tidak diterapkan seketat kota kolonial lainnya.

Perencanaan Awal Kota Bandung – Hanya Mengatur Batas-Batas dan Jalur Jalan.

Perencanaan Awal Kota Bandung – Hanya Mengatur Batas-Batas dan Jalur Jalan.

Tidak ada kata terlambat! Setelah menjadi gemeente (kotapraja) tahun 1906, baru sekitar sepuluh tahun kemudian pemerintah kota menyadari pentingnya keberadaan suatu perencanaan. Utamanya setelah Thomas Karsten memperkenalkan konsep perencanaan kota ke Nusantara pada awal abad-20. Karena kawasan alun-alun dan sekitarnya sudah terlanjur pabaliut sulit ditata kembali, perencanaan kota lebih ditujukan pada kawasan pengembangan kota ke bagian utara – yang dibatasi oleh rel kereta api.

Seiring wacana pengangkatan Bandung sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda, pada tahun 1917  dimulailah pengkajian rencana perluasan Bandung. Beberapa kajian awal dibuat oleh “Commissie voor de Beoordeeling van de Uitbreidingsplannen der Gemeente Bandoeng” (Komisi Untuk Penilaian Terhadap Rancangan Pemekaran Gemeente Bandung) yang dikepalai oleh Tuan E.H. Karsten (bukan Ir. Thomas Karsten). Dilanjutkan dengan penggunaan jasa arsitek swasta “AIA” yang dipimpin Ghijsels untuk membuat rancangan tata kota Bandung.

Entah kenapa kerja sama antara pemkot Bandung dan AIA tidak berlanjut. Namun yang pasti peta perencanaan buatan AIA tetap digunakan sebagai panduan tata Kota Bandung oleh Pemkot Bandung. Lewat tangan besi Walikota Bandung, perencanaan itu mendasari pembangunan fisik Kota Bandung khususnya di bagian utara. Sebagai buktinya, sekarang kita masih  bisa menyusuri jalanan di Bandung utara dan mengamati sisa-sisa pembangunan era kolonial yang serius: villa-villa kolonial yang indah, trotoar yang besar, taman-taman yang magnificat,  saluran air yang baik, jalur hijau, jalan-jalan yang lebar, dan banyak lagi. Semua itu demi menciptakan lingkungan yang ideal bagi warga Bandung (khususnya orang Eropa).

Perlu diketahui bahwa istilah-istilah “Parijs van Java”, “Tuinstad” (Kota Taman), “Garden of Allah”, tidak ditujukan untuk Bandung secara keseluruhan, melainkan hanya merujuk pada kawasan Bandung Utara saja. Bagaimana mungkin misalnya kawasan Tegalega yang sejak dulu kurang mendapatkan perhatian bisa disebut sebagai “Garden of Allah”? Sekarang ini jangan juga mengumbar Bandung sebagai “Parijs van Java” sebelum melihat kondisi lingkungan Pasar Baru atau Ciroyom. Bisa malu kita. Julukan “Tuinstad” bahkan seringkali diartikan sebagai kota dengan banyak taman, seperti yang sedang giat dijalankan pemkot sekarang. Padahal, dalam bahasa Belanda, taman-taman yang menjadi landmark kota disebut dengan “Park” bukan “Tuin”. “Tuin” sendiri adalah halaman/taman rumah. Julukan “Tuinstad” diperoleh Bandung karena rumah-rumah villa di bagian utara Bandung memiliki taman-taman/halaman rumah yang indah, semarak dengan bunga.

Sebuah Villa dengan Halamannya yang Indah di Bandung

Sebuah Villa dengan Halamannya yang Indah di Bandung

Supaya bisa mudah menata kota (dan tidak terganggu oleh pengusaha hitam dan spekulan), Pemkot Bandung membentuk Dinas Pembangunan Kota (Dienst Van Het Grondbedrijf) yang tugasnya mengatur pembangunan kota. Beda dengan Distarcip sekarang, Dinas Pembangunan jaman kolonial  terlebih dahulu membeli seluruh tanah yang akan dibangun. Selanjutnya dinas yang awalnya dipimpin tuan Hetjas itu bertugas menyediakan persil-persil bangunan dan berbagai kelengkapannya seperti penyediaan lahan, pembuatan jalan, pengairan, dan sarana kota lainnya  berdasarkan perencanaan tata kota yang  telah disusun. Berbeda dengan pemerintah sekarang yang seringkali menyerahkan pada swasta untuk melakukan pembangunan fisik, lewat pengerjaan proyek yang dilakukan pemerintah sendiri lewat Dinas Pembangunan Kota, pemerintah bisa meminimalisir pengeluaran dan di sisi lain menciptakan hasil yang maksimal. Seperti diketahui, berbeda dengan swasta yang bekerja hanya untuk mendapatkan profit, pengerjaan proyek pembangunan kota oleh instansi pemerintah kota memiliki keuntungan di antaranya :

  1. Mengawal percepatan pembangunan Bandung serta menciptakan lapangan kerja;
  2. Menghindari spekulasi harga tanah;
  3. Menjaga harga tanah tetap rendah;
  4. Menyelesaikan pekerjaan jalan dan sarana kota lainnya yang membutuhkan keahlian teknik khusus serta menjaganya agar tetap higienis;
  5. Menjaga dan membuat kota Bandung yang hebat, indah, dan sehat;
  6. Tidak membebani pembayar pajak;

Seperti diketahui, pembangunan kota yang dilakukan Dinas Pembangunan Kota terbilang sangat sukses karena konsistensinya terhadap perencanaan tata ruang kota yang telah disusun. Dalam dokumen perencanaan tata kota saat itu, Bandung dibagi dalam 11 distrik (plan) yang memiliki karakteristik tertentu, contohnya:

Peta Kawasan Plan VIII di Sekitar ITB

Peta Kawasan Plan VIII di Sekitar ITB

Plan I atau disebut sebagai distrik Kebon – Djamboe, terletak di bagian timur kawasan Nusantara (Archipelwijk). Ditujukan untuk diisi bangunan besar yang kebanyakan digunakan instansi militer, serta kompleks bangunan kecil yang terletak di Cihapit.

Plan II berlokasi di utara Riouwstraat dan timur Dagoweg. Ditujukan untuk pusat pemerintahan. Di sana terdapat Gedung Gouvernementsbedrijven (Gedung Sate) dan bangunan departemen lain sebagai titik pusatnya.

Plan III dan VIII – Berlokasi di barat Dagoweg, sepanjang lembah Cikapundung.  Ditujukan untuk menjadi pemukiman elit, dengan lingkungan yang sunyi dan memiliki pemandangan yang sangat indah.

Plan VII – Berlokasi di utara Plan V (Jalan Padasuka – Cihampelas – Cipaganti), ditujukan untuk perumahan villa (landhuizen). Setiap persilnya memiliki luas antara 1000 – 3000 M2 . Diatur juga bahwa pemilik dilarang membangun rumah lain dalam satu persil untuk menjaga keindahan lingkungan.

Plan IX  – Berlokasi di bagian timur Dagoweg, sekitar Cikapayang, atau sebelah utara dari Plan II. Pada kawasan ini tersedia sedikit persil, bervariasi antara 600 – 1000 M2 yang ditujukan untuk didiami pejabat-pejabat pemerintahan di Bandung.

Plan XI –  Dikarenakan Pemerintah Kota Bandung terbilang sangat ketat dalam membatasi pembangunan industri atau perusahaan di kawasan pemukiman di Bandung. Untuk itu disediakan kawasan khusus untuk tujuan industri, yaitu pada kawasan Plan XI yang terletak di selatan Grootepostweg Timur atau sekarang daerah Cicadas, Kebonwaru, Kiaracondong dll.

Intinya, pembangunan Bandung pada zaman kolonial bisa berjalan baik berkat disiplin yang kuat Walikota serta Dinas Pembangunan Kota (Dienst Van Het Grondbedrijf). Pada zaman kolonial, jangan harap bisa menemukan pom bensin di tengah-tengah kawasan pemukiman (seperti di Jl. Dago dan Riau) atau menemukan gedung-gedung pencakar langit di tengah pemukiman. Peraturan pembangunan diterapkan sangat ketat. Sayangnya pemerintah Kota Bandung pasca kemerdekaan tampaknya tidak mampu meneruskan pembangunan yang terencana tersebut, sehingga banyak pelanggaran tata ruang dilakukan tanpa pertanggungjawaban.

Peraturan Panduan Pendirian Bangunan Bandung Zaman Kolonial

Peraturan Panduan Pendirian Bangunan Bandung Zaman Kolonial

Perencanaan Kota Terbaru.

Sekarang kita kembali ke zaman sekarang dan melihat perencanaan yang dibuat oleh Pemerintah Kota Bandung dalam dokumen RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) dan RDTR (Rencana Detail Tata Ruang). Pada dasarnya RDTR harus dibuat mengacu kepada RTRW yang lebih tinggi. Namun perhatikanlah perbandingan berikut:

RTRW Bandung Tahun 2011-2021 dan RDTR Tahun 2015 yang Sudah Resmi

RTRW Bandung Tahun 2011-2021 dan RDTR Tahun 2015 yang Sudah Resmi

Sekilas ada beberapa perbedaan. Tapi yang paling mencolok dalam RDTR (yang harusnya mengacu ke RTRW) adalah banyaknya area berwarna merah yang artinya kawasan tersebut diperuntukan untuk kepentingan komersial. Bahkan kawasan berwarna merah dalam RDTR itu tampak mewarnai seluruh jalan utama yang ada di Bandung. Suatu mimpi buruk bagi mereka yang menyadari dampaknya. Antara lain:

Bandung Kota Kembang akan menjadi Bandung Kota Kemang. Bagi mereka yang pernah mengunjungi kawasan Kemang di Jakarta pasti bisa membayangkan keadaan di sana. Jalanan yang kiri-kanannya diisi berbagai usaha kuliner dan lainnya. Kemacetan sudah menjadi hal biasa di sana. Dengan “merahnya” jalanan Bandung dalam perencanaan. Bukan hal aneh apabila di masa depan nanti tidak akan bisa ditemukan rumah tinggal yang asri dengan halamannya yang indah di pinggiran jalan utama Bandung. Semuanya toko, restoran, café, ruko, kantor, apartemen, dan usaha lainnya. Saat itulah Bandung tidak lagi menjadi “Parijs van Java” melainkan “Little Jakarta”.

Kawasan Berwarna Merah bahkan Merambah Bagian Utara Bandung

Kawasan Berwarna Merah bahkan Merambah Bagian Utara Bandung

Naiknya harga tanah secara gila-gilaan. Bagaikan petir di siang bolong, mereka yang tinggal di kawasan berwarna merah tersebut akan dikagetkan dengan tagihan PBB yang melonjak tinggi. Walau nilai asetnya bertambah, Pada akhirnya para pensiunan dan pemilik rumah-rumah indah yang tidak mampu membayar PBB  terpaksa menjual tanahnya kepada investor yang ingin memanfaatkan sepetak tanah itu dengan maksimal – dibangunlah bangunan-bangunan vertikal pencakar langit yang menghalangi pemandangan gunung-gunung indah di seputaran Bandung. Nantinya, jangan harap juga bisa tinggal di sekitaran kawasan “merah” itu kecuali anda berdompet tebal. Bagi mereka yang kemampuan finansialnya pas-pasan, silakan tinggal di pinggiran Bandung, di apartemen atau rumah susun. Bandung itu mahal bung!

Ibaratnya jalan-jalan utama berwarna merah itu adalah urat nadi dalam tubuh. Keberadaan bangunan-bangunan komersial di pinggirannya adalah layaknya lemak-lemak yang menghalangi kelancaran peredaran darah. Tanpa pembangunan transportasi massal, bisa dipastikan kota Bandung akan mengalami “stroke” – kemacetan parah. Untungnya warga Bandung sudah mulai bisa menikmati kemacetan sehingga index of happiness tetap tinggi.

Bagi penikmat keindahan bangunan heritage, saat ini mungkin menjadi kesempatan terakhir untuk mengabadikan keberadaan heritage di jalur berwarna merah tersebut. Saat ini saja bisa dilihat banyak bangunan heritage sudah ditutupi pagar seng – tanda kematian bangunan tersebut. Bisa saja seseorang mengatakan bangunan heritage itu sebagai peninggalan “mantan” yang tidak perlu dilindungi. Untuk apa mempertahankan sebuah bangunan tua yang tidak bernilai ekonomi apabila sebuah hotel/cafe bisa didirikan di sana. Tapi perlu diingat bahwa bangunan heritage menjadi bagian dari identitas Bandung yang tidak bisa dipisahkan. Tanpa heritage tersebut Bandung hanyalah sebuah kota yang kering, tanpa ciri khas, tanpa jejak sejarah…

Bangunan-Bangunan Heritage yang Sudah “Divonis Mati”

Bangunan-Bangunan Heritage yang Sudah “Divonis Mati”

***

Pertanyaan-pertanyaan akan terlintas di pikiran kita. Mengapa perencanaan itu begitu buruk ? Siapa yang membuatnya ? Bukankah masyarakat harusnya dilibatkan ? Pada prinsipnya pembuat rencana itu adalah Pemerintah Kota, menggunakan jasa konsultan yang pastinya merupakan para ahli dengan kemampuannya tidak diragukan lagi. Jadi jangan sok tahu mengatakan perencanaan ini buruk, memangnya kompetensi anda apa ? (jawaban yang menohok). Masyarakat tentunya sudah dilibatkan, bukankah investor dan pemodal itu masyarakat juga ?

Pertanyaan terakhir. Walikota Bandung kan bagus banget, kenapa bisa mengesahkan perencanaan ini ? Well anak muda… Janganlah terlalu naif.. Walikota Bandung sekarang memang terbilang sangat piawai dalam mengelola kota. No doubt lah. Namun perlu diketahui bahwa sebaik-baiknya pemimpin kota Bandung, masih ada kekuatan lain yang melebihi kekuasaannya. Selain dipengaruhi kualitas legislatif yang meragukan. Ada invisible hand yang senantiasa menjaga beberapa permasalahan kota agar tetap tidak tersentuh perubahan. Kekuatan inilah yang mendorong pembuatan perencanaan tadi.

Lalu kita bisa apa ? Mari kita menyibukkan diri kita dengan masalah kejombloan dan mantan saja. Buat apa mikir yang berat-berat… Saya tutup tulisan ini dengan kesimpulan “Tidak selamanya mantan itu buruk…”.

 

Bio Farma #1

IMG_20151226_212031_941
Salah satu relief di Gedung Biofarma.
Relief ini menggambarkan saat Edward Jenner menginokulasi James Phipps, salah seorang anak tukang kebunnya, dengan nanah cacar sapi yang diperoleh dari Sarah Nelmes, salah seorang pengidap cacar sapi. Ternyata James Phipps tidak terkena infeksi cacar sapi seperti yang diperkirakan sebelumnya. Phipps hanya mengalami demam.

Percobaan Edward Jenner tersebut merupakan teknik awal vaksinasi yang selanjutnya dikembangkan lebih maju oleh Louis Pasteur.

Jika teman-teman tertarik untuk mengetahui sejarah vaksin dan perkembangan vaksin di Indonesia, dapat mengunjung Kawasan Heritage dan Museum Biofarma (@biofarmaid). Sebelum berkunjung, teman-teman harus mendaftar terlebih dahulu di www.biofarma.co.id/tour-de-museum

#InfoAleut: Ngaleut Gereja di Bandung (27/12/2015)

8ee2f8b8-05fb-4ad8-9ba8-c977142ea66c

#InfoAleut Hari Minggu (27/12/2015) kita akan… “Ngaleut Gereja di Bandung”. Mari bersama-sama mengenal beberapa gereja yang ada di Kota Bandung 😀

Tertarik untuk bergabung? Konfirmasikan kehadiranmu ke nomor 0896-8095-4394 (SMS/WA) dan langsung saja kumpul di Monumen Kubus Taman Ganesha (Jl. Ganesha) pukul 07.00 WIB. Ingat, konfirmasi kehadiran itu hukumnya WAJIB yah. Sekali lagi, WAJIB 🙂

Cara Gabung Aleut-1C

Untuk yang mau daftar keanggotaan, langsung aja di tempat kumpul kegiatan. Konfirmasikan kehadiranmu, hadir di tempat kumpul, lalu daftarkan keanggotaanmu dengan biaya iuran Rp 10.000,00. Voila! Kamu sudah terdaftar sebagai anggota Komunitas Aleut 😀

Sekian saja Info Aleut pagi hari ini. Ayo datang dan ramaikan, karena tiada kesan tanpa kehadiranmu 🙂

Budaya Cetak, Daring, dan Para Pengeluyur

Oleh: Pustaka Preanger (@PustakaPreanger)

Generasi yang tumbuh di tengah zaman yang memuliakan budaya cetak adalah mereka yang punya pengalaman tentang kesabaran. Seseorang mencetak satu esai lalu memasukkannya ke amplop, kemudian mengirimnya ke redaksi sebuah harian via kantor pos; hanya untuk menerima surat penolakan. Demikian berulang-ulang, lalu pada pengiriman yang ke-44 tulisannya baru dimuat.

Para penulis tamu surat kabar biasanya hanya punya tempat di rubrik opini, selebihnya jangan terlalu berharap. Dan rubrik ini bukanlah medan laga yang tak mudah, saingannya beratus profesor dan dari kalangan akademik lain dengan gelar berderet-deret, serta dengan kemampuan menulis analisa yang bukan main-main. Maka para penulis pemula mesti bersiap merangkak di titian kesabaran selama berbulan-bulan dengan surat penolakan yang datang tiada henti.

Dulu para penulis beradu tulisan demi merayu para editor sehingga bisa meloloskan tulisannya. Di buletin, koran, dan majalah, mereka berdaki-daki dengan segala jurus tulisan dan kantong-kantong kesabaran yang telah dipersiapkan. Namun proses merayu dan menunggu itu sesungguhnya relatif mudah, sebab di fase sebelumnya mereka telah melakukan kerja-kerja lain yang lebih berkeringat. Continue reading

Catatan Perjalanan: Museum Biofarma

Oleh: Vecco Suryahadi Saputro (@veccosuryahadi)

Berikan satu kata yang tepat dan jujur tentang museum? Tentu saja, kata tersebut adalah membosankan. Kata membosankan menjadi pas saat kita memasuki ruangan museum dengan penerangan yang kurang. Lalu, kita sebagai pengunjung hanya bisa melihat barang – barang jadul dan foto-foto hitam putih saja, tanpa papan informasi. Sungguh membosankan bukan?

Tapi saya rasa kata membosankan tidak pas saat mengunjungi Museum Biofarma yang berlokasi di Jl. Pasteur, Bandung. “Loh, kok penulis tidak konsisten dengan pernyataannya?” tanya pembaca. Tenang, saya memiliki beberapa alasan untuk memberi pernyataan itu.

Memang pada awalnya, bayangan pertama saya tentang Museum Biofarma adalah suasana kuno dengan bayangan satu ruangan berdebu dan berisi foto-foto hitam putih yang tidak terawat. Seluruh bayangan itu berada di pikiran hingga saya berada di depan gerbang museum. Lalu, saya masuk museum dengan perasaan yang datar karena bayangan itu. Continue reading

#InfoAleut: Ngaleut Tokoh Perlawanan Nusantara (20/12/2015)

2015-12-20 Tokoh Perlawanan Nusantara2

#InfoAleut Hari Minggu (20/12/2015) kita akan… “Ngaleut Tokoh Perlawanan Nusantara”. Mari bersama-sama mengenal beberapa tokoh-tokoh yang namanya diabadikan menjadi nama jalan di Kota Bandung 😀

Tertarik untuk bergabung? Konfirmasikan kehadiranmu ke nomor 0896-8095-4394 (SMS/WA) dan langsung saja kumpul di Patung PDAM Dago (Sudut Jl. Sultan Agung-Dago) pukul 07.00 WIB. Ingat, konfirmasi kehadiran itu hukumnya WAJIB yah. Sekali lagi, WAJIB 🙂

Cara Gabung Aleut-1C

Untuk yang mau daftar keanggotaan, langsung aja di tempat kumpul kegiatan. Konfirmasikan kehadiranmu, hadir di tempat kumpul, lalu daftarkan keanggotaanmu dengan biaya iuran Rp 10.000,00. Voila! Kamu sudah terdaftar sebagai anggota Komunitas Aleut 😀

Sekian saja Info Aleut pagi hari ini. Ayo datang dan ramaikan, karena tiada kesan tanpa kehadiranmu 🙂

Kartini atau Dewi Sartika?

Oleh: Arif Abdurahman (@yeaharip)

“Aku juga berjuang,” bela Kartini, “ikut melawan tirani budaya yang feodalistis, tiranik dan hegemonis. Sama sepertimu.”

“Ya, ya, aku tak hendak mencibirmu atau apa. Maksudku-”

“Oke, jujur saja, tak perlu berputar-putar. Kau iri kan?”

“Hey!” Muka Dewi Sartika mendadak merah padam. Seakan ada sejuta sumpah serapah tercekat di kerongkongannya, memaksa ingin keluar. “Di Sumatera sana, Cut Nyak Dien dan Cut Nyak Meutia dengan gagah berani mengangkat senjata langsung. Ada pula Nyai Siti Ahmad Dahlan juga Maria Walanda Maramis yang sama-sama sepertiku, berjuang lewat pendidikan. Dan, ya, mungkin aku memang iri. Kenapa cuma kau yang namanya diabadikan jadi lagu dan ada hari peringatannya segala? Kami, paling banter cuma jadi nama jalan.”

Bayangan kedua perempuan yang kemudian silih jambak layaknya cewek-cewek belia yang bentrok karena rebutan pacar sungguh menyiksa pikiran saya—membuat saya ingin mati ketawa. Apalagi jika sampai saya  mengisahkan kalau mereka selain adu jotos, juga adu mulut dengan beragam umpatan dan kata-kata jorok, sungguh kualat benar saya. Maka, saya tak hendak melanjutkan kisah ini. Namun, masih ada pertanyaan yang masih tertinggal: “Kartini atau Dewi Sartika?”

***

Dalam sesi berbagi Ngaleut Dewi Sartika yang dilakukan tepat di depan pekuburan “Makam Para Boepati Bandoeng” (13/12/15), hampir semua peserta ngaleut menyinggung Kartini, bahkan membandingkannya. Bahwa Dewi Sartika kalah pamor ketimbang Gadis Jepara itu, padahal pahlawan perempuan dari Bandung ini jasanya ‘begitu nyata’.

dewi sartika tinder

“Nike atau Adidas?”, “Pepsi atau Coca-Cola?”, “Honda atau Toyota?”, “Airbus atau Boeing?” dan seterusnya. Saya tak akan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu (kecuali mungkin jika salah satu di antara mereka membayar saya). Dan ini hampir sama kasusnya seperti ketika harus memilih antara Dewi Sartika atau Kartini. Ini juga berlaku ketika saya ditanya, “Devi Kinal Putri atau Viny?”, “Taeyeon atau Seohyun?”, “Camus atau Sartre?” Meski memang, untuk semacam tokoh ini, saya bisa saja memilih bahwa yang satu lebih saya sukai ketimbang yang lain. Saya akan memberanikan diri memilih, bahkan meskipun saya tak punya alasan yang memadai kenapa memilih.

Dan jujur, saya sebenarnya lebih suka Dewi Sartika. Salah satu alasannya, selain karena beliau begitu gigih memperjuangkan kaumnya lewat pendidikan, tentu saja karena tanpanya, tak akan lahir Raden Atot yang kemudian menginisiasi terbentuknya Persib. 😎

Pahlawan sendiri, berasal dari bahasa Sansakerta, yaitu “phala-wan” yang memiliki arti “orang yang dari dalam dirinya telah menghasilkan sesuatu (phala) yang berkualitas untuk bangsa, negara dan agama” atau bisa juga diartikan sebagai orang yang terkenal akan keberanian dan pengorbanannya dalam usaha untuk membela kebenaran. Meski kita tahu, soal-soal kepahlawanan masih diakuisisi institusi negara. Yang pasti, tanpa perlu membeda-bedakan, kedua perempuan pejuang tadi tentu saja pahlawan.

 

Tautan asli: http://yeaharip.com/2015/12/14/kartini-atau-dewi-sartika/

Anak Muda dan Media Sunda

Oleh: Pustaka Preanger (@PustakaPreanger)

DSCN0307Di tengah gairah kampanye Kesundaan yang divisualkan dengan baju pangsi, iket, kebaya, dan hal-hal yang tak esensial lainnya, media Sunda yang berusaha menjaga budaya literasi justru hampir sekarat tanpa perhatian yang signifikan. Sebagai contoh, Majalah Mangle yang kini berusia 58 tahun berjalan terseok dengan tren jumlah pembaca yang kian turun. Juga mingguan Galura yang jika dilihat dari sisi bisnis hampir pasti tidak menggembirakan. Dengan jumlah penutur kedua terbesar di Nusantara, Bahasa Sunda mestinya adalah pasar yang jelas bagi media Sunda itu sendiri, namun kenyataannya adalah paradok yang semakin buruk.

Kondisi ini tentu menjadi tanggungjawab Ki Sunda yang peduli dengan perkembangan medianya. Jika dipetakan secara sederhana berdasarkan usia, demografi pengembannya mencuatkan satu identitas yang khas, yaitu anak muda. Di luar kata dan kalimat yang kerap dilekatkan kepada anak muda seperti “pembaharu”, “pelopor”, “agent of change” dan lain sebagainya, dalam kontek Bahasa Sunda, anak muda ini adalah generasi pertengahan yang diapit oleh dua tubir jurang.

Jurang pertama adalah anak-anak yang kini terperangkap dalam sistem pengajaran bahasa yang terdegradasi. Di rumah, di lembaga yang mula-mula menadah pemahamannya terhadap bahasa, para orangtua (ibu dan ayah) yang keduanya pituin (asli) Sunda, yang dalam komunikasi antar keduanya menggunakan bahasa Sunda, justru berbahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan anaknya. Ihwal ini, Ajip Rosidi pernah menulis dalam buku “Kudu Dimimitian di Imah” (Harus Diawali dari Rumah).

Dalam pendadaran pengalamannya, Ajip menemukan dan menyimpulkan, bahwa lembaga utama dan pertama dalam pewarisan bahasa adalah mutlak harus dimulai dari rumah. Laku komunikasi sehari-hari akan menghasilkan pemahaman bahasa yang jauh lebih baik daripada hanya belajar di sekolah, atau pun dari lingkungan pergaulannya. Jika hal penting ini tidak disadari oleh para orangtua, lalu abai, maka Ajip menegaskan, “Lamun para indung-bapa Sunda henteu ngajak nyarita ku Basa Sunda ka barudakna, tanwandě hirupna Basa Sunda ngan baris nepi ka generasina.” (Kalau para ibu dan ayah Sunda tidak mengajak bicara memakai Bahasa Sunda kepada anak-anaknya, tentu keberlangsungan hidup Bahasa Sunda hanya sampai pada generasinya).

Anak-anak Sunda yang dilahirkan dan besar di tengah kedua orangtua yang merasa lebih bangga jika anaknya–dalam percakapan sehari-hari, berbahasa Indonesia, adalah generasi yang tercerabut dari bahasa sěkěsělěr-nya. Ikatan batin luntur, keterampilan lumpuh, lalu harapan seperti apa yang hendak disandarkan kepada anak-anak ini dalam melanjutkan estafet pengelolaan media Sunda? Pondasi yang lemah seperti ini adalah tubir yang punya kengeriannya sendiri dalam keberlangsungan hidup bahasa dan media Sunda.

Sementara di kalangan para senior (untuk tidak mengatakan tua), usia adalah sesuatu yang tak bisa dilawan. Meskipun ada beberapa yang masih produktif sampai di titik yang sudah senja sekalipun, namun satu-persatu barisan ini mulai pensiun dari medan laga kerja media, juga tak sedikit yang sudah kembali ke hadirat-Nya. Tentu jarak antara generasi ini dengan generasi yang seusia dengan para cucunya cukup jauh, dan perlu jembatan untuk menghubungkannya. Di sinilah letak angkatan muda itu.

Dari cerita dan pengalaman para senior, bahwa pada pengelolaannya, media Sunda kerap terabaikan sebagai anak tiri yang seolah tak pernah sudah. Pemerintah sebagai perwakilan negara selalu berada di posisi yang kurang jelas dalamngamumulě bahasa dan media Sunda. Seperti yang sudah ditulis di atas, pemerintah justru lebih mementingkan tampilan daripada menyentuh persoalan yang sesungguhnya.

Karena di satu sisi pewarisan bahasa menemui jalan yang keliru, dan di sisi lain dukungan dari pemerintah pun kerap membentur setapak buntu, maka tak heran jika media Sunda seolah hanya bertahan dari kematian.

Tapi perspektif di atas bagi anak muda adalah pandangan yang terlalu pesimis. Meskipun diapit oleh dua tubir jurang yang akhirnya memposisikan dirinya (seolah-olah) menjadi generasi—meminjam istilah Sjahrir, “yang apabila diam akan menjadi generasi yang hilang, dan apabila bergerak akan menjadi generasi yang kalah”, namun selalu ada celah untuk berkreasi dan terus produktif.

Anak muda Sunda hari ini, yang pernah dibesarkan di lingkungan keluarga yang masih memuliakan bahasa Sunda, namun dihadapkan pada kenyataan tentang payahnya keberlangsungan media Sunda, tentu harus bersiasat dengan mengisi dan mengolah ceruk-ceruk lain untuk membebaskan media Sunda itu sendiri dari keterbatasan. Media sosial yang kini begitu memanjakan alur dan arus informasi, adalah salah satu celah untuk mengibarkan ajěn-inajěn bahasa Sunda.

Di blog, twitter, facebook, dan kanal-kanal lainnya, anak muda Sunda harus mulai produktif menulis dalam bahasasěkěsělěr-nya. Di sini, di gorong-gorong media tak berbayar, anak muda tak perlu menengadah dan mengiba perhatian dari pemerintah, namun justru berdikari dengan keras kepala–bahwa dengan niat, minat, dan tekad yang bulat, media Sunda “independen” ini bisa terus hidup dan berkontribusi.

Kata “buntu” mesti segera dipensiunkan dari entry kamus anak muda. Masih banyak jalan yang bisa ditempuh, dan banyak cara yang bisa dilakukan. Di media Sunda formal, anak muda pun bisa berkontribusi dengan cara mengirim naskah-naskah segar dan trengginas. Bahwa media-media itu dinakhodai oleh para senior yang sudah legok tapak gentěng kaděk tak bisa dipungkiri, namun siapa yang bisa menjamin bahwa ketersediaan naskah begitu melimpah? Hal inilah yang perlu didukung oleh anak muda.

Dalam buku “Semangat Baru; Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19″ karya Mikihiro Moriyama, tersirat bahwa sesungguhnya bahasa Sunda ditemukan, dimurnikan, dan didayagunakan oleh Belanda untuk kemudian berkembang meniti gelombang modernitas. Jika media Sunda diibaratkan bahasa yang didayagunakan itu, maka di tengah keterpurukannya seperti sekarang,  anak muda sudah saatnya mengambil peran sebagai pelaku aktif, bukan malah menjadi pengekor tiada guna dan tanpa tendens. Dan pada muaranya, hirup-huripbahasa dan media Sunda kita pertaruhkan. [irf]

 

Tautan asli: https://pustakapreangerblog.wordpress.com/2015/12/15/anak-muda-dan-media-sunda/

#InfoAleut: Ngaleut Dewi Sartika (13/12/2015)

2015-12-13 Dewi Sartika 1

#InfoAleut Hari Minggu (13/12/2015) kita akan… “Ngaleut Dewi Sartika”. Mari bersama-sama menyusuri beberapa jejak Pahlawan Nasional ini di Kota Bandung 😀

Tertarik untuk bergabung? Konfirmasikan kehadiranmu ke nomor 0896-8095-4394 (SMS/WA) dan langsung saja kumpul di Pelataran Perpustakaan Alun-alun Kota Bandung pukul 07.00 WIB. Gunakan pakaian dan alas kaki yang nyaman agar enjoy saat Ngaleut. Ingat, konfirmasi kehadiran itu hukumnya WAJIB yah. Sekali lagi, WAJIB 🙂

Besok juga kami akan memabgikan buku bagi Aleutians yang ikut dalam Ngaleut Dewi Sartika loh. Rugi deh kalau sampai ga ikutan 😀

Cara Gabung Aleut-1C

Untuk yang mau daftar keanggotaan, langsung aja ikuti langkah berikut: konfirmasikan kehadiranmu, langsung hadir di tempat kumpul kegiatan, lalu daftarkan keanggotaanmu dengan biaya iuran Rp 10.000,00. Voila! Kamu sudah terdaftar sebagai anggota Komunitas Aleut 😀

Sekian saja Info Aleut pagi hari ini. Ayo datang dan ramaikan, karena tiada kesan tanpa kehadiranmu 🙂

Ke Bandung-lah Sukarno Akan Kembali…

Oleh: Arya Vidya Utama (@aryawasho)

Kota Bandung memiliki keterikatan yang sangat erat di dalam diri seorang Sukarno. Ya, meskipun ia lahir dan besar di daerah Jawa Timur, namun di Bandung-lah dirinya ditempa hingga menjadi sosok yang kini kita kenal.

Di Kota Bandung ia memulai kiprah politiknya. Awalnya ia dikenal masyarkat sebagai orator yang ulung. Kemudian, Sukarno memperluas kiprahnya dengan membentuk Partai Nasional Indonesia di Kota Bandung. Partai ini kemudian meluas hingga ke hampir seluruh pelosok Pulau Jawa. Di Kota Bandung pula ia mendekam di balik jeruji besi karena dianggap Pemerintah Hindia Belanda melakukan makar melalui pergerakan politiknya. Di Bandung, Sukarno menjadi Sukarno yang kita kenal melalui banyak sumber literasi.

Tak hanya soal politik dan pergerakan nasional, di Bandung inilah ia menemukan sosok wanita yang menjadi cinta sejatinya. Wanita yang bisa menjadi ibu, kawan, sekaligus isteri yang memang betul-betul dibutuhkan seorang Sukarno. Wanita ini bernama Inggit Garnasih.

Inggit Garnasih lahir di Desa Kamasan, Banjaran, Kabupaten Bandung pada 17 Februari 1888. Ia terlahir dengan nama Garnasih saja. Kata Inggit yang kemudian menyertai di depan namanya berasal dari jumlah uang seringgit. Diceritakan bahwa Garnasih kecil menjadi sosok yang dikasihi teman-temannya. Begitu pula ketika ia menjadi seorang gadis, ia adalah gadis tercantik di antara teman-temannya. Di antara mereka beredar kata-kata, “Mendapatkan senyuman dari Garnasih ibarat mendapat uang seringgit.”

Sukarno pertama kali bertemu dengan Inggit saat ia indekos di Bandung. Sukarno yang pada saat itu masih menjadi menantu mentornya, Tjokroaminoto, dikirim ke Bandung untuk mengenyam pendidikan di THS (sekarang ITB). Tjokro menitipkan Sukarno kepada Haji Sanusi, seorang kawan yang merupakan anggota Sarekat Islam dan merupakan suami Inggit Garnasih.

Seiring berjalannya waktu, muncul benih-benih cinta di antara keduanya. Retaknya situasi rumah tangga masing-masing pasangan ini membuat benih cinta mereka kian bersemi. Hubungan Sukarno dengan isterinya, Utari, kian renggang karena sejak awal memang tidak pernah ada cinta di antara keduanya. Sukarno menikahi Utari semata karena ingin mengasuh anak mentornya setelah Utari kehilangan ibunya. Sedangkan hubungan Inggit dengan Haji Sanusi juga semakin renggang setelah Haji Sanusi lebih sering di luar rumah untuk berjudi bilyar.

Akhirnya Sukarno mengambil sikap. Ia mengembalikan kembali Utari kepada Tjokroaminoto, untuk kemudian menikahi Inggit. Sukarno sendiri pula yang langsung mengutarakan maksudnya kepada Haji Sanusi untuk melangsungkan pernikahan dengan isterinya. Tanpa adanya drama, akhirnya Sanusi setuju dan kemudian pasangan yang terpaut tiga belas tahun ini menikah pada tanggal 24 Maret 1923.

inggit-10

Inggit dan Sukarno (foto: Mooibandoeng)

Meskipun tidak berlatar belakang pendidikan yang tinggi seperti Sukarno, namun Inggit mampu merebut hatinya. Di dalam diri Inggit-lah Sukarno menemukan perempuan yang selama ini ia cari: sosok ibu, teman, dan isteri sekaligus. Inggit tahu persis kapan harus menjadi teman berbicara saat Sukarno membutuhkan teman untuk berdiskusi, kapan harus menjadi sosok pengayom Sukarno yang sedang rapuh, dan kapan menjadi sosok istri idaman Sukarno.

Untuk menyokong cita-cita politik Sukarno, Inggit bahkan rela berkorban. Di awal perjuangan, saat Sukarno belum memiliki uang untuk menjalankan kiprah politiknya, Inggit-lah yang menjadi tulang punggung keluarga sekaligus penyandang dana dengan berjualan jamu, bedak, hingga menjahit. Saat Sukarno ditahan, Inggit berkorban lebih keras lagi. Ia menurunkan berat badannya agar bisa menyusupkan surat kabar untuk Sukarno.

Pasangan yang terlihat ideal ini pada akhirnya menemui keretakan. Setelah hampir 20 tahun menikah, keduanya belum juga memiliki keturunan. Sukarno yang usianya lebih muda dari Inggit menginginkan keturunan, sesuatu yang Inggit tak bisa berikan. Maka, ia ingin menjadikan Inggit sebagai istri pertamanya, lalu menikahi Fatmawati, perempuan yang ia anggap sebagai anak angkatnya saat diasingkan di Bengkulu, untuk memperoleh keturunan.

Inggit menolak rencana ini. Sejak awal ia memang sudah punya pendirian: Inggit lebih memilih untuk berpisah dibandingkan harus dimadu. Dengan berat hati, Sukarno akhirnya menceraikan Inggit di Jakarta dengan disaksikan Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kiai Haji Mas Mansur. Setelah keputusan itu diambil oleh Sukarno, Inggit merasa ia harus kembali ke Bandung, ke tempat asalnya.

Meski bercerai di tahun 1943 dan menikah sebanyak 7 kali setelahnya, rupanya Inggit masih memiliki tempat di hati Sukarno. Ya, sepertinya sejak bercerai, ia belum lagi menemukan cinta sejatinya, karena cinta sejatinya tetaplah Inggit Garnasih yang tinggal di Bandung.

“Dan aku kembali ke Bandung, kepada cintaku yang sejati…” – Sukarno dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia

 

Tautan asli: https://aryawasho.wordpress.com/2015/12/11/ke-bandung-lah-sukarno-akan-kembali/

#InfoAleut: Ngaleut Jejak Sukarno di Bandung (06/12/2015)

2015-12-06 Jejak Soekarno 1

#InfoAleut Hari Minggu (06/12/2015) kita akan… “Ngaleut Jejak Sukarno di Bandung”. Mari bersama-sama menyusuri beberapa titik yang berkaitan dengan Presiden Pertama Republik Indonesia ini di Bandung 😀

Tertarik untuk bergabung? Konfirmasikan kehadiranmu ke nomor 0896-8095-4394 (SMS) dan langsung saja kumpul di Alun-alun Kota Bandung pukul 07.00 WIB. Gunakan pakaian dan alas kaki yang nyaman agar enjoy saat Ngaleut. Ingat, konfirmasi kehadiran itu hukumnya WAJIB yah 🙂

Cara Gabung Aleut-1C

Untuk yang mau daftar keanggotaan, langsung aja di tempat kumpul kegiatan. Konfirmasikan kehadiranmu, hadir di tempat kumpul, lalu daftarkan keanggotaanmu dengan biaya iuran Rp 10.000,00. Voila! Kamu sudah terdaftar sebagai anggota Komunitas Aleut 😀

Sekian saja Info Aleut pagi hari ini. Ayo datang dan ramaikan, karena tiada kesan tanpa kehadiranmu 🙂

Roti Sumber Hidangan, Roti Legendaris Warisan Bandung

Oleh: Irfan Arfin (@Fan_Fin)

CQXFIcrU8AEOb1f

Sumber Hidangan, atau yang dulu dikenal dengan nama Het Snoephuis, adalah sebuah toko roti legendaris yang sudah berdiri sejak tahun 1929 di Jl. Braga, Kota Bandung. Het Snoephuis sendiri jika diterjemahkan secara bebas memiliki arti ‘rumah manis’, maka tak heran mayoritas makanan yang dijual di sini serba manis. Meskipun terletak di salah satu jalan yang kesohor di Kota Bandung, namun dibutuhkan usaha lebih untuk menemukan toko roti ini karena tidak terdapat plang nama toko yang terpasang di luar. Belum lagi lokasi toko yang terhalang oleh lapak para pelukis jalanan.

DSC_6437Namun tak disangka juga setelah saya masuk ke dalam, toko ini memiliki lahan yang luas dan memiliki display jadul yang cukup besar. Kondisi ini berbeda dengan sebuah toko roti legendaris lainnya, Toko Roti Sidodadi di Jl. Otto Iskandardinata, yang tergolong kecil dan sempit. Sumber Hidangan memiliki koridor jalan yang lebar dan setengah area lainnya yang dapat dipakai menyantap hidangan khas dari toko ini. Meja dan kursi yang tersedia cukup banyak sehingga para wisatawan cukup leluasa berkunjung di sini.

DSC_6436Walaupun toko roti ini terhalang oleh display bertumpuk dari pelukis jalanan Braga, namun ternyata banyak juga turis lokal ataupun mancanegara yang datang kemari karena nama Sumber Hidangan cukup populer di dunia maya. Banyak sekali blog yang membahas mengenai tempat ini, entah postingan saya ini sudah masuk urutan ke berapa di Google. Bahkan sebenarnya saya sendiri yang notabenenya merupakan warga Bandung asli baru mendengar nama toko ini 3 bulan yang lalu dari salah seorang teman saya yang berkunjung dari malang untuk mencari lokasi toko ini.

Daya tarik lain dari toko ini adalah arsitektur dan interior toko yang berkesan vintage karena masih mempertahankan desain dan gaya lama yang sangat jadul. Dekorasi foto hitam putih dan meja kursi yang khas pun tampak menghiasi toko ini.Jarak dari lantai dan langit-langit toko juga terbentang cukup jauh, sehingga kesan luas dari bangunan makin terasa.  Untuk ukuran tempat makan di jaman sekarang yang segala sesuatunya harus selfieable. Artinya, tempat makan tersebut asyik buat selfie dan di-update di media sosial, dan saya rasa Sumber Hidangan sudah masuk kriteria tersebut.

CQXFXQLUYAA-Mq7Sebuah meja kasir besar dan lengkap beserta mesin kasir raksasanya menjadi sesuatu yang cukup ikonik di Sumber Hidangan ini. Pernah nonton film Warkop DKI yang adegannya di sebuah hotel (saya lupa judulnya)? Ya, perabot dan interiornya mengingatkan saya pada film tersebut.

Toko Sumber Hidangan ini memang berniat untuk mempertahankan khas klasiknya. Namun sedikit catatan juga, sebaiknya langit-langit yang terkelupas perlu banyak perbaikan. Jarak dari lantai dan langit-langit toko juga terbentang cukup jauh, sehingga kesan luas dari bangunan makin terasa.

Dan tentunya, hal yang terkenal dari toko roti ini adalah rasa dan bentuk roti tersebut yang tak hanya enak tapi juga unik. Beberapa jenis roti memang cukup familiar seperti croissant, dan roti corong dengan fla, namun saya sendiri baru pertama kali melihat dan mencicipinya kebanyakan roti dan cake di sini. Rasa roti di Sumber Hidangan tak kalah dengan roti-roti yang sekarang banyak dijual di mall. Roti dan kue Sumber Hidangan memiliki rasa manis yang unik yang saya rasa bahkan tidak bisa diciptakan oleh merek-merek roti mall tersebut. Kemasan roti yang menggunakan kertas pun menjadi poin yang memperkuat citra klasik pada roti dan kue Sumber Hidangan.

Di sini juga kita dapat membeli beberapa makanan pendamping yang juga nikmat, salah satunya sorbet, yaitu es yang dibuat dari buah asli. Konon memang bentuk dan rasa yang dibuat di Sumber Hidangan ini masih sangat orisinil mengambil dari resep para bangsa asing yang pernah singgah di Indonesia.

Kabar lain yang beredar, bahwa toko ini akan tutup dalam beberapa tahun ke depan karena tidak dapat mempertahankan omzet dan kalah bersaing dari produk roti modern. Tentunya saya berharap Sumber Hidangan ini akan terus beroperasi, karena resep yang dimiliki toko ini benar-benar the one and only.

CQXFCdUUkAAkFA8

 

Tautan asli: http://ceritamatakata.blogspot.co.id/2015/10/roti-sumber-hidangan-het-snoephuis-roti.html

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑