Month: September 2015 (Page 1 of 2)

Lampu Merah Pertama di Bandung

Oleh: M. Ryzki Wiryawan (@sadnesssystem)

12038371_10206095631244351_6895882053401452044_n

Tanggal 30 Januari 1934 selayaknya diperingati sebagai hari lahir lampu merah di Bandung. Mengapa ? Karena tepat pada tanggal tersebut Bandung akhirnya memiliki tanda Stop-Vrij Otomatis yang kini dikenal sebagai lampu merah, untuk pertama kalinya. Sebelum menggunakan lampu merah otomatis, lalu lintas di beberapa persimpangan yang ramai di Bandung diatur oleh petugas khusus yang tentunya tidak efisien dan bisa “lelah”.

Lampu merah pertama itu dipasang di persimpangan Lembangweg — Tjitjendo — Merdikalio — Nieuwe Kerkhofweg (sekarang persimpangan Pajajaran-Cicendo-Wastukencana dekat pabrik Kina). Seperti sekarang, tanda lampu merah berarti berbahaya, hijau aman, dan kuning menunjukan akan bergantinya warna. Adapun lampu kuning tidak pernah menyala sendirian, selalu beririsan dengan merah/hijau.

Agar dimengerti oleh orang-orang yang buta warna, bentuk lampu dibuat seperti salib. Lampu merah menyala secara horizontal, sedangkan hijau secara vertikal.

Berdasarkan pengalaman selama beberapa minggu pertama, menurut kepala polisi Bandung saat itu, sebelum dipasang lampu merah hampir setiap hari terjadi tabrakan. Namun setelah dipasang, tidak ada kejadian kecelakaan lagi…Amazing!

Tautan asli: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10206095631244351&set=a.1311775149011.2041323.1069614412&type=3

Kampung Mahmud dan Sisa Kearifan Lokalnya

Oleh: Z. Puteri Syahadah (@PuteriZS)

Put01

Mendengar kata kampung adat, terutama kampung adat Sunda, yang ada di benak saya adalah rumah panggung dan suasana lingkungan asri yang jauh dari jangkauan teknologi. Adapun definisi dari kampung adat menurut saya sendiri adalah suatu lingkungan yang memiliki dan juga masih mempertahankan adat istiadat, hukum, dan aturan yang telah ditetapkan oleh leluhur dari tempat tersebut. Walaupun begitu, sekarang ini ada beberapa kampung adat yang sudah mulai menerima masuknya teknologi, seperti kampung adat yang baru saja saya kunjungi bersama teman-teman dari Komunitas Aleut yaitu Kampung Mahmud yang berada di Desa Mekar Rahayu, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung.

Dengan menaiki angkot, saya dan teman-teman bergegas menuju Kampung Mahmud. Alangkah kagetnya saya ketika sampai di Kampung Mahmud. Saya melewati sebuah jembatan yang menebarkan aroma tidak sedap. Aroma tidak sedap itu berasal dari Sungai Ci Tarum yang kini sudah dipenuhi sampah dengan air yang berwarna hitam disebabkan oleh limbah pabrik industri yang dibuang ke Sungai Ci Tarum.

Put02

Tak jauh dari jembatan Ci Tarum Baru, terdapat gerbang Kampung Adat Mahmud. Saya dan teman-teman segera masuk ke Kampung Mahmud sambil sesekali memperhatikan dan memotret lingkungan sekitar. Menurut cerita Haji Syafei, salah satu sesepuh Kampung Mahmud, Eyang Abdul Manaf yang merupakan penyebar agama Islam pertama di Bandung, ketika itu beliau sedang bertafakur kepada Allah di Kampung Mahmud di Mekkah. Kemudian beliau mendapatkan “wangsit” yang menyuruhnya untuk mengambil segenggam tanah dari Kampung Mahmud untuk dibawa ke tanah air dan ditebar di sekitar rawa-rawa Sungai Ci Tarum. Karena itu nama kampung ini pun Kampung Mahmud. Eyang Abdul Manaf menjadikan kampung ini sebagai pusat penyebaran ajaran Islam pertama di wilayah Bandung. Eyang Abdul Manaf adalah keturunan ke-7 dari Syarif Hidayatullah. Dalam menyebarkan ajaran islam sehingga dapat meluas di luar wilayah Bandung, beliau tidak sendirian, melainkan beliau berjuang bersama kedua muridnya yaitu Eyang Agung Zainal Arif dan Eyang Abdullah Gedug.
Put03
Tak hanya itu, Kampung Mahmud dijadikan sebagi kawasan “haram”, artinya Kampung Mahmud tidak boleh dikunjungi atau diinjak oleh seseorang yang tidak beragama Islam. Sekitar 150 m dari makam Eyang Abdul Manaf ke arah timur terdapat sebuah tugu. Tugu ini dibangun oleh Eyang Abdul Manaf untuk menandai bahwa kawasan Kampung Mahmud merupakan daerah “suci” seperti halnya Mekkah dan Madinah.

Pada saat awal pendirian Kampung Mahmud, banyak aturan yang tidak boleh dilakukan oleh masyarakat Kampung Mahmud seperti tidak boleh membuat sumur, tidak boleh membuat rumah permanen dan menggunakan kaca pada jendela, tidak boleh memelihara kambing dan angsa, serta menggunakan alat-alat musik termasuk bedug. Masyarakat dilarang membuat sumur karena untuk memenuhi kebutuhan air yang dipakai masyarakat Kampung Mahmud berasal dari Sungai Ci Tarum yang bersih dan jernih, sedangkan larangan membangun rumah permanen dikarenakan rumah panggung merupakan simbol dari kesederhanaan dan pemasangan kaca di jendela rumah ditakutkan akan membuat masyarakatnya menjadi sombong. Selain itu, larangan memelihara kambing dan angsa ditakutkan akan membuat kebisingan di Kampung Mahmud yang tentram dan damai itu.

Meskipun tidak ada aturan tertulis, masyarakat begitu mempercayai aturan dari para leluhur tersebut. Karena apabila aturan itu dilanggar, maka orang yang melanggar tersebut akan mengalami musibah berupa kehidupan rumah tangga yang hancur, kesulitan ekonomi, atau berupa sakit yang tak kunjung sembuh.

Tidak dapat dipungkiri bahwa peran Eyang Abdul Manaf sebagai tokoh penyebar ajaran islam pada saat itu sangat dihormati. Ini dibuktikan dengan banyaknya orang yang mengunjungi Kampung Mahmud untuk berziarah ke makam beliau. Hampir setiap harinya ada saja masyarakat Kampung Mahmud atau masyarakat luar Kampung Mahmud dari berbagai golongan mendatangi makam Eyang Abdul Manaf. Mereka datang untuk mendoakan leluhur yang dikeramatkan, namun tidak sedikit pula dari mereka yang datang dengan tujuan tertentu. Banyaknya orang yang mengunjungi Kampung Mahmud, kampung ini dimanfaatkan sebagai tempat wisata dan kegiatan ekonomi lainnya. Ini terlihat dari banyaknya pedagang di sepanjang jalan Kampung Mahmud yang menjajakan berbagai kebutuhan ibadah dan kebutuhan perut.

Seiring dengan perkembangan jaman dan terjadinya pergeseran nilai di tengah masyarakat Kampung Mahmud, larangan itu kini sudah mulai ditinggalkan. Arus modernisasi yang terjadi sekarang membawa dampak bagi Kampung Mahmud. Berbagai adat dan aturan yang dulu sangat dipegang oleh masyarakat Kampung Mahmud dengan teguh perlahan mulai melonggar. Adapun perubahan lingkungan yang tidak bisa dihindari seperti berubahnya Sungai Ci Tarum yang menjadi tidak bersih dan jernih, mendorong warganya untuk membuat sumur masing-masing.

Selain itu, masuknya teknologi modern merusak suasana Kampung Mahmud yang sarat akan adat dan tradisi. Kini hampir setiap rumah memiliki televisi. Masyarakat Kampung Mahmud sekarang terbiasa dengan tontonan yang menayangkan kehidupan para selebritis yang mewah sehingga mengakibatkan berubahnya pola pikir dan gaya hidup kampung Mahmud. Nilai-nilai kesederajatan dan kesederhanaan kini mulai sedikit berkurang seiring banyaknya aturan yang dilanggar seperti mulai berdirinya rumah-rumah yang bertembok lengkap dengan kaca.

Meskipun Kampung Mahmud sudah mengalami banyak perubahan dan menerima pengaruh dari luar setidaknya ada kebiasaan yang tidak berubah seperti kebiasaan berziarah. Tidak hanya itu, masyarakat Kampung Mahmud berusaha keras untuk tetap mempertahankan keaslian dan keasrian Kampung Mahmud. Hal itu terlihat dari masih adanya bangunan-bangunan seperti rumah, mesjid, atau komplek makam yang dibuat dengan menggunakan bahan kayu serta berdinding bilik. Itulah Kampung Mahmud, kampung adat yang tetap berusaha memelihara adat-istiadatnya dan penghormatan kepada leluhur.

#KelasResensi: Pekan Ke-3

Oleh: Pustaka Preanger (@PustakaPreanger)

  1. Burung-burung Manyar (YB Mangunwijaya)

Ini adalah kisah tentang sejarah yang tidak tampil dengan narasi hitam putih. Sejarah orang-orang kecil, yang kerap hadir hanya “di pinggiran” catatan resmi, justru membuat sudut pandang kita semakin kaya. Manusia yang hadir di tengah pusaran sejarah, ternyata tak sesederhana tampaknya. Mereka terlibat dalam kegagapan keberpihakan yang kompleks. Dengan demikian, kisah ini memerikan satu hal, bahwa dalam lingkup yang lebih luas, sejarah tak lagi relevan untuk dikutubkan menjadi dua bagian; antara lawan dan kawan, namun lebih layak untuk dihamparkan sebagai riwayat manusia yang bergelut di pusarannya, lengkap dengan keyakinan dan pilihan-pilihan hidup.

  1. Animal Farm (George Orwell)

Sebuah olok-olok terhadap pemerintahan Komunis Uni Soviet. Novel alegori ini—lengkap dengan penokohan para binatang, menghujam tepat di jantung. Sistem pemerintahan yang dianut selama lebih dari 70 tahun, akhirnya runtuh. Komunisme yang didadarkan Orwell di buku ini, tak lebih dari sebuah sistem yang hanya berhasil melahirkan para pemimpin yang diktator. Revolusi kaum Bolshevik yang mulanya menjanjikan perbaikan hidup, pada akhirnya hanya melahirkan kesengsaraan baru bagi rakyat. Novel ini berhasil melambungkan nama Orwell di kancah sastra dunia.

  1. Titik Nol (Agustinus Wibowo)

Setelah berkelana di buku “Selimut Debu” dan “Garis Batas”, di buku ini pun Agustinus Wibowo masih mengarungi kerasnya kehidupan di berbagai belahan dunia. Ia menembus kerasnya Kashmir, Himalaya yang anggun dan misterius, serta gejolak sosial yang mengerikan. Namun buku ini juga menjadi semacam titik balik dari petualangannya yang telah ditempuh selama bertahun-tahun. Ia yang sudah menghabiskan waktunya dalam perjalanan sejauh ribuan kilometer, ternyata justru menemukan makna perjalanan dari seseorang yang tak pernah ke mana-mana sepanjang hayatnya. Si musafir bersujud di samping ibunya yang tengah terbaring sakit.

  1. Siau Ling (Yapi Tambayong)

Yapi Tambayong alias Dova Zila alias Alif Dahya Munsyi alias Juliana C. Panda alias Jubal Anak Perang Imanuel alias Remy Sylado, di buku ini seperti hendak memotret akulturasi antar bangsa, terutama antara Jawa dengan Tionghoa. Lewat kisah yang mengangkat tema cinta, Yapi juga menjelentrehkan bagaimana kekuasaan yang disalahgunakan kerap semena-mena menggasak kehidupan rakyat, termasuk kehidupan cinta. Sesuai sub-judulnya yang berbunyi “Drama Musik Kemempelaian Budaya”, buku ini pun bercerita bagaimana alat musik bisa lahir dari akulturasi budaya.

  1. Oeroeg (Hella S. Hasse)

Ditulis oleh sastrawan Belanda, buku ini berkisah tentang persahabatan dua anak manusia beda ras dan beda bangsa, yang kemudian terpisahkan oleh gejolak politik. Oeroeg, anak pribumi, bersahabat dengan tokoh “aku” yang keturunan Belanda. Mereka—di masa kolonial, sejak kecil sampai remaja bersahabat dengan baik. Sampai kemudian arah politik mulai berubah, dan hubungan keduanya perlahan merenggang. Ditulis oleh seorang yang lahir dan tumbuh di Indonesia, kisah ini begitu hidup menggambarkan lanskap alam dan kehidupan sehari-hari. Karya Hella ini pada akhirnya mencuatkan beberapa pertanyaan, tentang apa sesungguhnya sahabat sejati? Apakah ia layak untuk diceraikan oleh perbedaan-perbedaan yang telah melekat dalam diri manusia?

  1. Jurnalisme Sastrawi (Linda Chrystanty dkk)

Buku ini oleh beberapa pembaca diberi bintang lima dari skala lima, sebagai nilai tertinggi dari kepuasan pembaca. Isinya menuliskan hal yang—di Indonesia relatif baru, yaitu jurnalisme sastrawi. Perpaduan antara jurnalisme yang ketat dan sastra yang melambungkan keindahan, berhasil membuat tulisan-tulisan di buku ini begitu memikat. Dengan mewawancarai puluhan bahkan bisa sampai ratusan narasumber–yang mayoritas adalah rakyat kecil, laporan-laporan yang dihasilkannya sangat kaya dan menarik. Linda Chrystanty, Andreas Harsono, dan yang lainnya, berhasil menghadirkan satu gaya penulisan berita tanpa dihantui oleh resiko yang cepat basi, malah sebaliknya—gaya ini, karena memakai pendekatan sastra, selalu menarik untuk dibaca ulang.

  1. Guerrilla Warfare (Che Guevara)

Pria kelahiran Argentina yang meninggal di Bolivia ini menghabiskan sebagian hidupnya di ladang-ladang pertempuran Amerika Latin. Bersama Fidel Castro ia berhasil menggulingkan pemerintahan diktator Batista. Buku ini disebut-sebut sebagai rujukan perang gerilya di seluruh dunia dengan berbagai macam penerapannya. Perjalanan hidup Che Guevara berpindah-pindah dari satu negara ke negara berikutnya. Ia membantu mereka yang ditindas oleh para pemimpin yang diktator. Prinsip gerilya yang ia terapkan, oleh beberapa kalangan diprediksi karena ia banyak membaca buku Mao, meskipun ia sendiri membantahnya. Inilah salah satu warisan berharga tentang prinsip perang gerilya, dari seorang pejuang yang sosoknya sangat ikonik. [ ]

Surat Kereta Untuk Alina

Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)

Alina sayang, apa kabar?

Ini entah surat yang keberapa. Aku tak menghitungnya. Keberadaanmu yang entah di mana, membuat semua risalah tak menemukan alamatnya. Namun aku tak pernah bosan menulisnya untukmu, Alina. Dan sekali ini, aku ingin berbagi cerita tentang perjalananku ke Semarang dan Ambarawa menggunakan moda transportasi kesayangan kita. Ya, bukankah pada waktu-waktu yang telah lewat kita kerap melakukan perjalanan dengan kereta api? “Dari balik jendela kereta, pemandangannya bagus,” katamu waktu itu.

Tanggal 16 September 2015, aku bersama beberapa kawan dariKomunitas Aleut, ikut bergabung bersama komunitas lain untuk melakukan perjalanan malam menggunakan Kereta Api Wisata Priority. Sore menjelang malam, Bandung diselimuti lembayung tipis. Sembari menunggu kereta berangkat, kami berkumpul di ruang tunggu VIP, sisi Timur Statiun Bandung. Ketika waktunya tiba, di muka gerbong kami disambut oleh para petugas kereta wisata dengan ramah.

Alina, sewaktu aku melihat fasilitas yang ada di kereta wisata priority, seketika wajahmu memenuhi benak. Aku membayangkan, alangkah nyamannya jika kita—aku dan kamu, membelah Pulau Jawa dengan menggunakan kereta ini. Di dalamnya ada mini bar, bagasi yang luas, toilet bersih, dan kita bisa karaoke! Ya, kamu yang suka bernyanyi-nyanyi kecil, bisa memanjakan hobimu di dalam kereta ini. Selain itu, setiap kursi dilengkapi juga dengan audio/video on demand (AVOD) seperti layaknya di pesawat terbang. Bukankah kita bisa menikmati lagu dan film berdua saja, Alina? Continue reading

Nikmatnya Bermalam di Kereta Api Wisata Priority

Oleh: Arif Abdurahman (@yeaharip)

“OY OY OY! GO KINAL GO!”

Salah banget nih Akbari Madjid (@madjidakbari) sama Gigi Cherrybelle (@gigigicht) malah karaokean pakai lagu Fortune Cookies-nya JKT48, ya otomatis saya yang meski berjaket Efek Rumah Kaca ini teriak chant lah kayak para wota yang kesurupan. Nggak peduli meski lagi di atas kereta api, dan banyak penumpang lain yang sudah bobo manis.

Hah karaokean di atas kereta api? Yes, bisa banget! Ini nih enaknya naek gerbong wisata.

“Woy berisik!” gertak tante Trinity (@trinitytraveler) yang posisi kursinya paling depan.

Dan Devi Kinal Putri kembali nongol di layar, saya pun sontak kegirangan setengah mampus, “I LOVE U KINAL!”

*****

Dalam rangka ultah ke-70 PT. KAI, banyak kejutan menarik yang dibagi-bagi. Salah satunya kegiatan Traveling by Train edisi ke-VI, yang kali ini mengundang teman-teman dari beragam komunitas blog, khususnya travel blogger. Saya sendiri sih datang sebagai perwakilan Komunitas Aleut! Continue reading

Bandung (BD) ke Semarang Tawang (SMT) dengan Kereta Wisata Priority

Oleh: Ghera Nugraha (@vonGNR)

BD – CMI – PWK – CKP – CN – TG – PK – SMT

Bandung – Cimahi – Purwakarta – Cikampek – Cianjur – Tegal – Pekalongan – Semarang Tawang

Bagi masyarakat Indonesia di Pulau Jawa, moda transportasi masal Kereta Api sudah tidak asing lagi. Bahkan di beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya, mereka memiliki rute perjalanan khusus di dalam kota atau yang suka disebut KRL atau Commuterline. Sebenarnya di Pulau Sumatra juga sudah terdapat rel kereta api berikut rutenya, walaupun belum menyambungkan Sumatra Selatan hingga D.I. Aceh.

Perjalanan menuju Semarang ini dimulai dari Stasiun Bandung.

Senja di Stasiun Bandung

Senja itu di Stasiun Bandung

Atap Bangunan Utama Stasiun Bandung

Atap Bangunan Utama Stasiun Bandung

Stasiun Bandung atau Stasiun Hall (BD) yang menjadi tempat pertemuan kami berada di ketinggian 709 mdpl. Berdasarkan buku Wajah Bandoeng Tempo Dulu (1984) karangan Haryoto Kunto, stasiun ini dibangun berdasarkan kebutuhan moda transportasi penunjang para pemilik perkebunan disekitar kota Bandung sekitar tahun 1870. Pada 17 Mei 1884 stasiun ini diresmikan, seiringan dengan dibuka jalur kereta Batavia– Bandung melalui Bogor dan Cianjur. Bupati Bandung pada saat itu adalah Koesoemadilaga. Para Preangerplanters (tuan tanah Priangan) mulai membangun gudang – gudang penyimpanan yang mendekati jalur kereta api ini, mulailah dibangun gudang-gudang penimbunan barang di beberapa lokasi dekat Stasiun Bandung, yaitu Jalan Cibangkong, Jalan Cikuda-Pateuh, daerah Kosambi, Kiaracondong,Braga, Pasirkaliki, Ciroyom, dan Andir. Continue reading

Perpisahaan, Topi, dan Kereta Api

Oleh: Kedai Preanger (@KedaiPreanger)

“Akhirnya peluit pun dibunyikan
Buat penghabisan kali kugenggam jarimu
Lewat celah kaca jendela
Lalu perlahan-lahan jarak antara kita
Mengembang jua
Dan tinggallah rel-rel, peron dan lampu
Yang menggigil di angin senja.”
—Elha

Entah, bagi saya kereta api selalu identik dengan perpisahan. Tak hanya kereta sebetulnya, namun alat transportasi lain pun kerap menyuguhkan satu episode itu; memisahkan seseorang dengan orang-orang terkasihnya. Kereta api dan moda transportasi lainnya, menjadi perantara kepergiaan dan perpisahan.

Lebih dari  setahun yang lalu, saya pernah mengalami perpisahan. Walau tak sedramatik perpisahan seperti pada puisi yang saya kutip di pembuka catatan ini. Jika puisi digunakan untuk menerangkan majas personifikasi, perpisahan yang saya alami mungkin bisa ditasbihkan sebagai contoh majas hiperbola.

Anggaplah saya terlalu membesar-besarkan kejadian itu, karena perpisahaan yang terjadi bukanlah dengan kekasih pujaan hati atau orang-orang tersayang, namun “hanya” dengan sebuah topi. Ya, sebuah topi yang dibeli dari upah sebagai joki semester pendek saat kuliah dulu. Topi dari sebuah band kegemaran,  juga koleksi topi mula-mula–sebagai minat yang saya rawat dengan sepenuh hati.

Perpisahaan itu terjadi saat ngaleut bersama kawan-kawan Komunitas Aleut ke Cimahi. Untuk mencapai salah satu kota yang bertetangga dengan Kota Bandung tersebut, kami menggunakan Kereta Rel Diesel (KRD). Di atas  kereta jurusan Cicalengka-Padalarang itulah “bencana” terjadi. Continue reading

#InfoAleut: Ngaleut Dagoweg Bareng @EHbdg

2015-09-27 Dagoweg

#InfoAleut Hari Minggu (27/09/2015) kita akan… “Ngaleut Dagoweg” bersama Earth Hour Bandung. Mari bersama-sama mengenal dan mencari tahu tentang daerah di seputaran Dagoweg 😀

1443142189932

Dalam kegiatan ini, kita akan berkolaborasi dengan Earth Hour Bandung di Hari Nol Emisi Sedunia. Jadi selain jalan-jalan, kita juga bakal belajar dan berdiskusi di akhir kegiatan 🙂

Tertarik untuk bergabung? Langsung saja kumpul di Rumah Panda WWF Indonesia (Jl. Geusan Ulun No. 3) pukul 07.15 WIB. Gunakan pakaian dan alas kaki yang nyaman supaya enjoy saat ngaleut 😀

Nah, jangan lupa untuk konfirmasikan kehadiranmu ke nomor 0896-8095-4394. Cukup kirim SMS dengan format nama dan kesedian untuk ikut serta. Ingat, konfirmasi ini hukumnya WAJIB yah 🙂

Untuk yang mau daftar keanggotaan, langsung aja di tempat kumpul kegiatan. Konfirmasikan kehadiranmu, hadir di tempat kumpul, lalu daftarkan keanggotaanmu dengan biaya iuran Rp 10.000,00. Voila! Kamu sudah terdaftar sebagai anggota Komunitas Aleut 😀

Sekian saja Info Aleut pagi hari ini. Ayo datang dan ramaikan, karena tiada kesan tanpa kehadiranmu 🙂

Mengungkap dan Mengenal Kembali Alat Transportasi di Bandung Baheula

Oleh: Novan Herfiyana (@novanherfiyana)

Siang itu, Waktu Indonesia bagian Taman Lalu Lintas Ade Irma Suryani Nasution Bandung sudah menunjukkan pukul satu. Hitungan menitnya lebih sedikitlah tanpa tawar-menawar ala penjual dan pembeli di pasar tradisional. Dalam suasana siang itu, kami, pegiat Aleut di Komunitas Aleut, sudah menuntaskan acara #NgaleutTransportasi.

Di luar kawasan Taman Lalu Lintas Ade Irma Suryani Nasution Bandung yang berada di Jalan Belitung No. 1 Kota Bandung, ada pegiat Aleut yang hendak pulang menuju kawasan Alun-alun Bandung yang berada di Jalan Asia Afrika. Mereka mempertimbangkan antara naik angkot atau berjalan kaki sebagaimana sejak awal acara yang ngaleut. Soalnya, motornya diparkirkan di kawasan Alun-alun Bandung.

Ada juga pegiat Aleut yang tinggal naik motor karena motornya sudah diparkirkan di tempat parkir di kawasan Taman Lalu Lintas. Pegiat Aleut yang “semacam” ini sudah mencermati lokasi akhir tempat acara. (Bandingkan dengan kesempatan lain ketika lokasi akhir tempat acara yang direncanakan di kawasan Gasibu, ternyata “terpaksa” berakhir di salah satu halaman minimarket di Jalan Banda karena hujan deras). Jangan lupakan pula pegiat Aleut yang tinggal memboseh sepeda karena sepeda yang dimilikinya diajak ngaleut.

Bagaimana dengan penulis sendiri? Saya sendiri tinggal memilih angkot yang berada di kawasan Taman Lalu Lintas. Malah ada beberapa alternatif trayek angkot yang menuju tempat tinggal saya. Dalam ngaleut kali ini, saya memang lebih memilih naik angkot daripada naik kendaraan (motor) sendiri yang mesti diparkirkan di lokasi awal acara (Monumen Km Bandung 0 + 00). Alasannya, kalau membawa motor, saya mesti balik lagi menuju lokasi awal acara sebagaimana sebagian pegiat Aleut tadi. (Sebetulnya mah “pilih-pilih” untuk parkir). Continue reading

#InfoAleut: Ngaleut Transportasi

2015-09-20 Transportasi alt 1

#InfoAleut Hari Minggu (20/09/2015) kita akan… “Ngaleut Transportasi”. Mari bersama-sama mengenal dan mencari tahu tentang moda transportasi yang pernah dan masih bertahan di Bandung.

Tertarik untuk bergabung? Langsung saja kumpul di Titik Nol Kilometer Bandung pukul 07.00 WIB. Bawa bekal dan uang Rp 10.000,00, karena di akhir kegiatan kita akan piknik 😀

Nah, jangan lupa untuk konfirmasikan kehadiranmu ke nomor 0896-8095-4394. Cukup kirim SMS dengan format nama dan kesedian untuk ikut serta. Ingat, konfirmasi ini hukumnya WAJIB yah 🙂

BywSSCTCUAAIE_G

Untuk yang mau daftar keanggotaan, langsung aja di tempat kumpul kegiatan. Konfirmasikan kehadiranmu, hadir di tempat kumpul, lalu daftarkan keanggotaanmu dengan biaya iuran Rp 10.000,00. Voila! Kamu sudah terdaftar sebagai anggota Komunitas Aleut 😀

Sekian saja Info Aleut pagi hari ini. Ayo datang dan ramaikan, karena tiada kesan tanpa kehadiranmu 🙂

Garut dan Pangkas Rambut

Oleh: Arya Vidya Utama (@aryawasho)

Selain terkenal dengan domba, dodol dan belakakangan juga terkenal dengan batu akik, Garut juga kesohor dengan satu hal lagi: pangkas rambut. Bagi para pria yang sering mengunjung barbershop, cobalah bertanya dari mana si pemangkas rambut berasal. 90% akan menjawab “Asgar”, alias Asli Garut.

Siapa sangka jika kiprah pemangkas rambut Asgar ini sebetulnya berawal dari kondisi perang. Pada sekitar tahun 1950, saat Kartosuwiryo dengan Negara Islam Indonesia-nya berusaha melakukan makar di Garut. Warga Garut yang saat itu merasa ketakutan akan aksi Kartosuwiryo ini akhirnya memilih untuk mengungsi ke luar Garut.

Untuk menyambung hidup, beberapa pengungsi ini memilih untuk menyambung hidup dengan menjadi pemangkas rambut. Pekerjaan ini dipilih karena modal yang dikeluarkan tak terlalu besar. Cukup dengan sedikit keterampilan, gunting, dan pisau cukur, jasa pangkas rambut bisa dijajakan di bawah pohon rindang.

Pekerjaan sebagai pemangkas rambut ternyata mampu mengantarkan mereka ke gerbang kesuksesan. Tak ayal kabar gembira ini langsung menyebar luas di kampung halaman, membuat beberapa warga Garut yang tergiur kesuksesan kawan mereka di perantauan ikut merantau. Sejak saat itulah para pemangkas rambut asal Garut tersebar luas di beberapa kota di Indonesia.

Pangkas rambut Asgar melayani segala kalangan masyarakat. Mulai dari kaum proletar hingga borjuis, dari yang tua dan yang muda, dan dari rakyat biasa hingga sekelas presiden. Harga yang ditawarkan pun bervariasi, mulai dari harga Rp 10.000,00 untuk sekali cukur hingga yang mencapai enam digit.

***

Salah satu yang menawarkan harga Rp 10.000,00 untuk sekali cukur adalah Pak Ujang, tukang pangkas rambut yang menjajakan jasanya di pinggir jalan Jl. Teri, dekat Pasar Andir. Peralatan yang ia punya cukup lengkap, namun semuanya dioperasikan dengan tenaga tangan.

DSC_1791 Continue reading

“Harta Karun” di Bandung

Oleh: M. Ryzki Wiryawan (@sadnesssystem)

11845230_10205995710866404_5683106335191072412_o

Berdasarkan pendataan pada tahun 1950, kurang lebih setelah kondisi politik nasional mulai stabil, di Bandung setidaknya terdapat 5 perpustakaan yang menyimpan puluhan hingga ratusan ribu buku. Koleksi terbesar dimiliki Perpustakaan Militer dengan 600.000 buku, disusul perpus. Museum Geologi dengan 50.000 buku, dan ITB dengan sekitar 30.000 buku. Sebagian besar koleksi perpustakaan tersebut bisa jadi merupakan limpahan dari perpustakaan pusat di Gouvernements Bedrijven (Gedung Sate).

Harta Karun berupa koleksi buku sebanyak itu (tentunya sebagian besar merupakan buku antik), kemungkinan besar masih tersimpan baik di tempat-tempat tersebut. Walaupun pastinya sebagian sudah berpindah tangan menempati ruangan-ruangan para kolektor.

Nah apabila Bandung mau menjadi “Kota Buku” yang sesungguhnya, tinggal buka saja akses kepada harta karun tersebut. Tentunya dengan pengawasan dan perawatan yang memadai. Buku-buku tua itu pun termasuk Heritage. Namun entah bagaimana nasibnya apabila dibiarkan terongok di tempat-tempat yang tak terjangkau tangan manusia.

12 Nisan di Taman Makam Pahlawan Cikutra

Oleh: Vecco Suryahadi Saputro (@veccosuryahadi)

Siang itu, saya bersama Komunitas Aleut sedang berada di TMP Cikutra. Saat itu, kami melakukan kegiatan berjudul “Ngaleut Cikutra”. Selama kegiatan berlangsung, kami berkeliling di sekitaran TMP Cikutra untuk melihat beberapa nisan pahlawan terkenal seperti E.F.E. Douwes Dekker dan Abdoel Moeis,

Di tengah perjalanan berkeliling di dalam TMP Cikutra, saya tersandung oleh batu nisan kecil di bawah. Nisan itu terlepas dari kayu yang menjadi tempatnya. Mungkin nisan itu jatuh karena kurang terawat atau kurang direkat pada kayu.

Nisan tidak dikenal di atas tanah (sumber foto : Irfan TP)

Nisan tidak dikenal di atas tanah (sumber foto: Irfan TP)

Karena merasa tidak enak telah tersandung nisan, saya pungut nisan itu. Tapi ada yang aneh pada nisan itu, yakni tidak adanya nama almarhum di nisan. Berbeda dengan nisan lainnya yang bernama, nisan yang saya pegang hanya tertulis tidak dikenal sebagai nama almarhum.

Setelah memperhatikan keadaan sekitar, ternyata ada selusin nisan tertulis tidak dikenal. 12 nisan itu berlokasi di satu blok yang sama. Wajah nisan – nisan terlihat sama, yakni mulai menggelap dan meretak ke berbagai arah. Continue reading

#InfoAleut: Ngaleut Fokkerhuis

2015-09-13 Fokkerhuis

#InfoAleut Hari Minggu (13/09/2015) kita akan… “Ngaleut Fokkerhuis”. Mari bersama-sama melanjutkan penjelajahan kita di daerah Andir minggu lalu .

Tertarik untuk bergabung? Langsung saja kumpul di Alfamart Jl. Pajajaran (Setelah Sekolah BPPK) pukul 07.00 WIB. Gunakan alas kaki dan pakaian yang nyaman agar bisa lebih enjoy saat ngaleut 😀

Nah, jangan lupa untuk konfirmasikan kehadiranmu ke nomor 0896-8095-4394. Cukup kirim SMS dengan format nama dan kesedian untuk ikut serta. Ingat, konfirmasi ini hukumnya WAJIB yah 🙂

BywSSCTCUAAIE_G

Untuk yang mau daftar keanggotaan, langsung aja di tempat kumpul kegiatan. Konfirmasikan kehadiranmu, hadir di tempat kumpul, lalu daftarkan keanggotaanmu dengan biaya iuran Rp 10.000,00. Voila! Kamu sudah terdaftar sebagai anggota Komunitas Aleut 😀

Sekian saja Info Aleut pagi hari ini. Ayo datang dan ramaikan, karena tiada kesan tanpa kehadiranmu 🙂

Sisi Lain di Sekitar Pasar Andir

Oleh: M. Taufik Nugraha (@abuacho)

 

Ruko yang Sepi

“Diorder sis cardigan-nya”
“Cek IG kita kakak buat liat koleksi baju terbaru”

Udah sering banget kan lihat kalimat tersebut atau kalimat-kalimat jualan lainnya yang berseliweran di timeline FB, BBM, ataupun Twitter kita. Di zaman yang serba online ini, para pedagang pun berekspansi ke dunia maya, tidak terkecuali juga para pedagang pakaian. Nah, biasanya para penjual online yang berdomisili di Bandung dengan dagangannya berupa pakaian dengan harga murah meriah, kebanyakan toko fisiknya berada di kawasan Pasar Andir dan sekitarnya.

Andir, Pasar Andir, Siti Marijam, Gang Siti Marijam, Kuburan Siti Marijam, Ngaleut Andir

Pasar Andir

Kawasan di sekitaran Pasar Andir memang sekarang ini tidak hanya dikenal sebagai pasar sayuran, namun juga sebagai sentra pakaian murah yang pemasarannya kebanyakan dilakukan secara online. Dengan harganya yang murah, jangan terlalu banyak berharap ataupun protes mengenai kualitas barangnya, karena seperti banyak orang bilang: “harga tidak pernah bohong” atau “ada rupa ada harga”.

Di balik menggeliatnya perekonomian di Pasar Andir, ada sisi lain yang menarik, yang baru saya ketahui setelah ngaleut hari minggu kemarin (06 Sep’ 2015).  Jika toko-toko pakaian yang berada di sekitaran Pasar Andir saat ini sedang menikmati perputaran uang yang cukup besar, hal yang bertolak belakang terjadi di bagian belakang (selatan) Pasar Andir. Jejeran ruko dengan gaya arsitektur Tiongkok lama yang berada di bagian belakang Pasar Andir justru tidak menampakkan aktivitas perdagangan sama sekali. Kabarnya ruko-ruko tersebut sudah mulai tidak dipergunakan lagi untuk aktivitas jual-beli karena sudah tidak menguntungkan, dan telah banyak beralih fungsi menjadi gudang penyimpanan barang.  Ruko-ruko tersebut dulunya dibuat dan dipunyai oleh Yap Lun – seorang etnis Tionghoa yang merupakan importir kain dan pengusaha properti sukses, sehingga tidak mengherankan jika ruko-ruko tersebut dibangun dengan gaya arsitektur Tiongkok.

Andir, Pasar Andir, Siti Marijam, Gang Siti Marijam, Kuburan Siti Marijam, Ngaleut Andir

Ruko dengan Gaya Arsitektur Tiongkok Lama yang Sudah Tidak Beroperasi

Hal menarik lainnya yang saya temui yaitu keberadaan sebagian ruko-ruko tersebut berada di jalan yang namanya berdasarkan nama ikan asin seperti Jalan Teri, Jalan Jambal, ataupun Jalan Peda, karena ternyata kawasan tersebut merupakan sentra penjualan ikan asin.

Andir, Pasar Andir, Siti Marijam, Gang Siti Marijam, Kuburan Siti Marijam, Ngaleut Andir

Jalan Teri

Gang Siti Marijam

Menyebrang dari kawasan Pasar Andir, terdapat Gg. Siti Marijam. Nama gang ini sering banget saya dengar dan cukup membuat penasaran – siapa sebenarnya Siti Marijam itu. Pas ngaleut kemarin pun tidak ada informasi pasti mengenai siapa Siti Marijam, namun disinyalir bahwa Siti Marijam ini adalah salah satu pedagang sukses di Pasar Andir dan ada hubungannya dengan pedagang yang ada di Pasar Baru.

Andir, Pasar Andir, Siti Marijam, Gang Siti Marijam, Kuburan Siti Marijam, Ngaleut Andir

Gang Siti Marijam

Kuburan Siti Marijam sendiri berada di dalam gang tersebut. Kondisi kuburannya masih cukup baik walaupun yang menyedihkannya, kuburan tersebut sudah bercampur baur dengan kandang ayam dan juga digunakan sebagai tempat jemur pakaian oleh warga sekitar.

***
Ternyata tidak hanya ada pasar di Andir, namun juga banyak hal menarik yang dapat kita temui dan eksplorasi di kawasan yang dulunya merupakan kawasan tempat tinggal para buruh yang bekerja untuk pembangunan Jalan Raya Pos tersebut.

Sumber Foto :

Foto Pribadi

Sumber Tulisan :

 

Tautan asli: https://mtnugraha.wordpress.com/2015/09/10/sisi-lain-di-sekitar-pasar-andir/

« Older posts

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑