Month: July 2015 (Page 1 of 2)

Tidak ada Tiang Listrik di Braga

Oleh: M. Ryzki Wiryawan (@sadnesssystem)

11188281_10205603868030578_1727256618126754231_n

Apa yang membuat Braga begitu istimewa? Kalau kita perhatikan ternyata tidak ada tiang listrik dan kabel yang bersliweran di sana. Pejalan kaki bisa menikmati trotoar dengan nyaman sambil menikmati keindahan sisa-sisa pertokoan mewah jaman kolonial.

Namun siapa sangka kalau dulu pernah dipasang tiang-tiang listrik di sana. Adalah GEBEO, perusahaan listrik Bandung yang memasang jalinan tiang listrik di Braga pada tahun 30’an. Tak ayal tindakan itu langsung mendapat protes dari warga yang tidak ingin keindahan Braga tercoreng oleh untaian kabel-kabel dan tiang listrik. Akhirnya tiang-tiang itupun dicabut.

Mari kita bermimpi suatu saat jalanan Bandung bisa terbebas dari kabel-kabel dan tiang listrik yang semrawut. Tanah-tanah di dalam kota memang dimiliki oleh pribadi, swasta, dan pemerintah. Namun keindahan kota adalah milik seluruh warga Bandung.

#PernikRamadhan: Kemacetan dan Bulan Ramadhan

Oleh: Arya Vidya Utama (@aryawasho)

DSC_1178

Kemacetan merupakan problematika yang umum terjadi di banyak negara, tak terkecuali di Indonesia. Meningkatnya jumlah penduduk dan jumlah pengguna kendaraan pribadi hanyalah dua dari banyak factor penyebabnya. Berbagai cara dan saran untuk menanggulanginya sudah dilakukan, namun layaknya sinetron Tukang Bubur Naik Haji, permasalahan ini tak kunjung usai.

Di dalam kemacetan ini, emosi menyulut mereka yang ada di dalamnya layaknya api yang menyambar bensin. Umpatan berterbangan tak terkendali, terkadang menimbulkan argumenn antar pengendara. Salah sedikt, senggolan antar kendaraan terjadi. Argumen melayang, tak sedikit yang juga berakhir dengan adu jotos.

Loh, sekarang kan bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah. Bukankah umat Muslim seyogianya menjaga hati dan perkataan di bulan Ramadhan? Namanya juga manusia yang seringkali berbuat salah, umpatan dan argumen di tengah kemacetan tetap saja terjadi. Keinginan untuk berbuka puasa di rumah bersama keluarga membuat para pengendara tergesa-gesa dalam berkendara.

Mengapa tak mencoba berpikiran positif? Kemacetan bisa menjadi ajang ngabuburit bersama dengan ribuan pengendara lainnya. Cukup dengan bekal sebotol air minum di tas, nikmati saja kemacetan yang tampak di depan mata. Akan lebih baik lagi jika menyiapkan ta’jil ringan seperti kurma untuk dibagikan dengan pengendara lain. Emosi bisa dihindari, sekaligus mendapat ganjaran pahala dari ta’jil yang dibagikan.

Masih merasa sulit untuk menikmati kemacetan di bulan Ramadhan? Anggap saja kemacetan ini adalah latihan dalam menghadapi kemacetan saat mudik. Toh saat mudik nanti kemacetan adalah perkara yang akan selalu kita hadapi di sepanjang perjalanan. Tak akan bisa untuk dihindari sekeras apapun kita berusaha.

 

Tautan asli: https://aryawasho.wordpress.com/2015/07/12/kemacetan-dan-bulan-ramadhan/

Kelas Resensi Buku Komunitas Aleut

Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)

01

“Kalau tak ada yang kau baca, lalu apa yang mau kau tulis?”

–Asma Nadia

Meskipun pada mulanya lahir dari rahim sejarah kota, namun pada perjalanannya Aleut berkembang menjadi wadah yang bukan hanya belajar tentang sejarah dan masa lalu. Sebagaimana kelahirannya, komunitas ini turut dibidani oleh buku. Beberapa buku Haryoto Kunto–Sang Kuncen Bandung, seolah menjadi batu tapal. Berangkat dari sana, buku atau lebih luasnya lagi teks, mau tidak mau menjadi teman, pengiring, dan pembimbing yang setia. Laku membaca dan menulis kemudian bergulir dengan sendirinya, meskipun memang alirannya tidak selalu deras, kadang kemarau datang dan kanal menjadi kerontang.

Di ruang privat, para pegiat Aleut tentu tidak hanya membaca buku-buku yang terkait dengan sejarah, terutama sejarah lokal Bandung dan Jawa Barat. Tapi barangkali porsinya masih kurang proporsional antara buku sejarah dan non sejarah. Sementara dalam pergaulan hidup sehari-hari, sudut pandang tidak melulu dibentuk oleh sejarah, namun lebih luas dan beragam. Juga karena pada perjalanannya, komunitas ini kian besar dan makin luas jejaringnya, maka tentu perspektif pun menjadi lebih rumit.    Continue reading

#InfoAleut: Kelas Karinding Bersama @kimun666

aleut karinding

#InfoAleut Hari Sabtu (11/07/2015) kita akan… “Kelas Karinding Bersama Kimung”. Mari bersama-sama mengenal karinding dan sosok Kimung lebih jauh 🙂

Tertarik untuk bergabung? Langsung saja kumpul di Kedai Preanger (Jl. Solontongan No. 20-D) pukul 15.00 WIB. Bawa uang Rp 15.000,00 untuk udunan berbuka. Bagi yang punya karinding, harap dibawa yah 😀

Jangan lupa untuk konfirmasikan kehadiranmu ke nomor 0896-8095-4394. Cukup kirim SMS dengan format nama dan kesedian untuk ikut serta. Kuota peserta terbatas, jadi pastikan Aleutians untuk konfirmasi terlebih dahulu yah 🙂

Untuk yang mau daftar keanggotaan, langsung aja di tempat kumpul kegiatan. Konfirmasikan kehadiranmu, hadir di tempat kumpul, lalu daftarkan keanggotaanmu dengan biaya iuran Rp 10.000,00. Voila! Kamu sudah terdaftar sebagai anggota Komunitas Aleut 😀

Sekian saja Info Aleut pagi hari ini. Ayo datang dan ramaikan, karena tiada kesan tanpa kehadiranmu 🙂

#PernikRamadhan: Munding dan Alun-alun Tempo Dulu

Oleh: Vecco Suryahadi Saputro (@veccosuryahadi)

Pedati kerbau dari Padalarang ke Bandung

Pedati kerbau dari Padalarang ke Bandung (sumber : KITLV)

Coba kita berkeliling sekitar Alun-alun Bandung. Dengan kondisi sekarang, mungkin Alun-alun sangat nyaman untuk digunakan ngabuburit. Tapi, pernah membayangkan kalau sekitar satu setengah abad yang lalu, banyak munding atau kerbau berada di Alun-alun ? Tentu saja tidak! Karena kita hidup di tempo kini dan tidak pernah mengalami masa itu.

Lalu, kenapa ada kerbau di Alun-alun? Apa mereka ikut mudik bersama kerbau-kerbau lainnya? Continue reading

#PernikRamadhan: Carvil dan Qaari Pencuri Sandal

Oleh: Hevi Abu Fauzan (@hevifauzan)

Cerita ini ingin saya tulis sebagai salah satu kisah lucu sekaligus miris yang pernah penulis alami saat Ramadhan di rumah. Kisah yang heboh ini terjadi di bulan Ramadhan tahun 1996 yang penulis cukup ingat sampai saat ini. Bersama teman-teman lain, Ramadhan di tahun-tahun sekitar itu diisi dengan kegiatan-kegiatan yang cukup positif.

Subuh selepas sahur ada acara kuliah subuh diikuti pengajian kitab kuning setelah matahari menampakkan dirinya. Pengajian kitab kuning pun kembali dilakukan bada Ashar sampai menjelang Maghrib. Selepas Isya, kami melaksanakan Tarawih, dan kembali mengaji sampai waktu Sahur tiba.

Di pertengahan 90-an saat itu, sandal merk Carvil mulai digilai oleh masyarakat, khususnya oleh anak-anak muda di daerah sentra tahu Cibuntu, tepatnya Jalan Aki Padma yang kini berada di sebelah selatan Jalan overtol Pasirkoja. Pada saat bulan Ramadhan tahun itu tiba, iklan merk sendal itu cukup gencar ditayangkan di TV-TV swasta, dengan bintang iklan kalau tidak salah Ari Wibowo. Alhasil, banyak anak-anak muda di kampung kami menggunakan sendal merk Carvil. Continue reading

#PernikRamadhan: Berawal Demi Seribu Rupiah

Oleh: Arya Vidya Utama (@aryawasho)

Sebelum memulai tulisan ini, saya akan mengutip salah satu pernyataan legenda New York Yankees, Yogi Berra, mengenai turunnya nilai uang logam.

“A nickel ain’t worth a dime anymore”

Nikel yang dimaksud dalam kutipan di atas adalah uang koin lima sen di Amerika Serikat. Layaknya di Indonesia, uang receh ini nilainya setiap tahun semakin menurun. Saat ini, uang nikel maupun dime (sepuluh sen) sudah hampir tah berharga lagi. Berdasarkan penelusuran saya, satu dime sekarang hanya digunakan untuk masuk ke WC umum. Anekdot yang berkembang berkata bahwa untuk membuat satu keeping nikel diperlukan biaya satu dime. Semakin lama, nikel semakin tak ada lagi harganya. Continue reading

Wajah Bandung Tempo Dulu di Mata Haryoto Kunto

Oleh: Ridwan Hutagalung (@pamanridwan)

An4pjIUkv9l0l1AKl3NycbaJa3PP-Nox-YCE_IH376oB

Setiap kota pasti menorehkan kesan tersendiri bagi penghuninya, lepas dari apakah dia penghuni tetap ataupun sekadar singgah karena tuntutan sekolah atau pekerjaan. Kalau dibalik, setiap orang pasti menyimpan kesan tersendiri tentang kota yang ditinggalinya baik itu hanya untuk sementara ataupun dalam jangka waktu yang sangat lama.

Haryoto Kunto (1940-1999) menuangkan kesan-kesannya tentang Kota Bandung dalam banyak buku, dua di antaranya sudah  menjadi legenda dalam dunia perbukuan seputar sejarah Bandung, yakni Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (Granesia, 1984) dan “Semerbak Bunga di Bandung Raya (Granesia, 1986).

Haryoto Kunto memang bukan yang pertama menulis buku “sejarah” Kota Bandung, sebelumnya sudah ada 2 jilid buku berbahasa Sunda, “Bandung Baheula” karangan Moech. Affandi (Guna Utama, 1969), dan “Keur Kuring di Bandung” karangan Sjarif Amin (…). Dalam bahasa Belanda juga banyak buku yang khusus membahas Kota Bandung seperti “Bandoeng” karangan H. Buitenweg (Katwijk, Holland, 1976) atau “Gids van Bandoeng en Omstreken” karangan S.A. Reitsma dan W.H. Hoogland (Vorkink, Bandoeng, 1921). Di dalam bahasa Inggris ada “Bandung & Beyond” karangan Richard & Sheila Bennet (Aneka Karya, Bandung, 1980).

Daftar di atas hanya secuil saja dari banyak buku lain yang sudah membicarakan Kota Bandung sebelum Haryoto Kunto menerbitkan buku-bukunya. Yang cukup menarik perhatian dan menjadi pembeda buku-buku karangan Haryoto Kunto adalah keluasan bahasan dan penggunaan bahasa yang sangat longgar, nyaris seperti bahasa lisan yang digunakan sehari-hari. Mungkin faktor bahasa ini pula yang membuat buku-buku Haryoto Kunto menjadi begitu populer dan dikenang oleh banyak orang.

Dalam salah satu bagian tulisannya, Haryoto Kunto menulis: “Wah, bila Cuma berbenah diri kalau ada penggede pusat yang datang meninjau, benar-benar brengsek dong.” Kalimat ini dilanjutkan dengan kutipan “”Emang, Kota Bandung sih Brenk-sex!” kata si Dolly yang sering mangkal di Kebon Raja, nimbrung bicara.” Ya, begitulah gaya Haryoto Kunto menulis atau berbicara, nyaris ceplas-ceplos. Dalam menyimak ceritanya pembaca bahkan tak pernah dipusingkan dengan apakah tokoh Dolly yang disebutkannya itu benar-benar ada atau hanya rekaannya saja dalam mengemas cerita. Di banyak bagian tulisan, Haryoto Kunto cukup banyak menggunakan dialog (entah karangan atau bukan) dalam menyampaikan ceritanya. Sepertinya saat menulis itu Haryoto Kunto mengandaikan dirinya sedang bercerita secara lisan kepada para pendengarnya.

Faktor lain yang membedakan buku-buku Haryoto Kunto dengan buku lainnya yang membahas Kota Bandung, disampaikannya lewat judul buku yang digunakan, “Wajah Bandoeng Tempo Doeloe”. Dengan sumber referensi begitu banyak buku antik yang berhasil dikumpulkan di rumah tinggalnya di Jl. H. Mesrie No. 5, Haryoto Kunto mereka-reka seperti apa rupa Kota Bandung di masa lalu. Dari buku-buku lama digalinya informasi sebanyak mungkin, lalu disusun sedemikian rupa sehingga mendapatkan gambaran umum rupa Kota Bandung dari waktu ke waktu.

Yang berikut ini khusus tentang buku Wajah Bandung Tempo Doeloe. Saya tak ingat berapa kali buku ini keluar masuk koleksi bukuku, aktivitas jual-beli buku bekas membuat banyak koleksi bukuku bisa keluar masuk dengan agak leluasa. Sejak diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Granesia tahun 1984, buku yang legendaris ini ternyata tidak mengalami banyak cetak ulang. Sampai tahun 2014, baru 5 kali cetak ulang, semua oleh penerbit yang sama. Dapat dibandingkan dengan banyak buku best-seller masa kini yang dalam satu tahun saja bisa cetak ulang sampai belasan kali.

Kebetulan buku yang sedang saya pegang ini merupakan cetakan yang kelima. Seingat saya, dua cetakan terakhir (2008 & 2014) buku ini dicetak dengan ukuran yang lebih besar (24 x 18 cm) dibanding sebelumnya (22 x 15 cm), selain itu sampulnya dibuat hard-cover. Perbedaan lainnya, dua buku edisi terakhir memiliki gambar sampul yang berbeda dan menggunakan bahan kertas berwarna kuning pucat yang belakangan ini memang banyak dipakai untuk penerbitan buku.

Pada bagian isi, ada penambahan pengantar dari Walikota Bandung, Ridwan Kamil, dan Gubernur Jabar, Ahmad Heryawan. Di penerbitan awal, pengantar hanya diberikan oleh Walikota Bandung, Ateng Wahyudi. Pada bab terakhir yang merupakan kumpulan foto perbandingan antara foto zaman baheula dengan foto terkini juga mengalami perubahan, tidak lagi memuat foto-foto tahun 1984 seperti dalam terbitan pertamanya, melainkan foto-foto yang diambil tahun 2007. Saya tidak menemukan keterangan kenapa buku terbitan 2014 ini menggunakan foto-foto pembandingnya dari tahun 2007 dan bukan 2013 atau 2014. Saya juga tidak berhasil menemukan siapa nama fotografer untuk foto-foto “baru” ini.

Isi buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe dibagi ke dalam 18 Bab, dimulai dengan Bab I ”Pendahuluan” lalu Bab II “Negorij Bandong”, yang sebagian ceritanya sudah saya kutipkan di atas, yaitu latar belakang kelahiran Kota Bandung. Selanjutnya adalah bab-bab yang tidak terlalu ketat dengan urutan waktu namun secara umum ada gambaran kronologis. Bab-bab awal diisi oleh nostalgia Kota Bandung, cerita-cerita tempo dulu atau di sini sering disebut “zaman normal”, uraian pernik sejarah yang dianggap ikut membangun kejayaan Kota Bandung. Bab XIV memasuki “Wajah Pudar Bandoeng Tempo Doeloe” yang dilanjutkan dengan Bab XV “Pemugaran Bangunan Bersejarah”, kemudian kembali ke nostalgia dengan pilihan tema yang agak spesifik pada Bab XVII “Seabad Jalan Braga”. Rangkaian ini ditutup oleh Bab XVIII dengan judul “Bandung Antara Harapan dan Kenyataan”.

Haryoto Kunto membuka cerita dari mention pertama nama Bandong oleh Juliaen de Silva pada tahun 1641: “Aan een negrije genaemt Bandong, bestaende uijt 25 a 30 huijsen. (Ada sebuah negeri bernama Bandong yang terdiri dari 25-30 rumah)”. Lalu pencarian sulfur untuk campuran bubuk mesiu oleh Abraham van Riebeek yang sampai mendaki Gunung Papandayan dan Tangkubanparahu, berlanjut ke cerita tentang orang kulit putih pertama yang menjadi warga Tatar Bandung, yaitu Kopral Arie Top, yang mendapatkan tugas dari Kompeni (1741) sebagai Plaatselijk Militair Commandant (Komandan Militer Menetap di Satu Daerah). Sebagian besar Tatar Bandung saat itu masih berupa hutan dan rawa-rawa dengan beberapa kampung kecil di beberapa tempat.

Setelah itu cerita bersambung ke kedatangan Gubernur Jenderal Hindia Belanda H.W. Daendels yang membangun Jalan Raya Pos (Grote Postweg) membentang dari Anyer di Jawa Barat sampai Panarukan di Jawa Timur. Pembangunan jalan raya ini mengakibatkan ibukota Kabupaten Bandung harus dipindahkan dari Krapyak, Citeureup (Dayeuhkolot sekarang) ke lokasi Alun-alun Bandung sekarang. Tanggal dikeluarkannya surat keputusan resmi perpindahan ibukota ini dijadikan sebagai patokan kelahiran Kota Bandung, yaitu 25 September 1810. Dapat dibayangkan saat itu pembangunan fasilitas pemerintahan yang baru dipusatkan di sekitar Alun-alun: Pendopo, masjid, paseban, kompleks kapatihan, pasar, banceuy, dan pesanggrahan. Disebutkan saat itu sudah ada  sejumlah kampung tua di Tatar Bandung, seperti Cikalintu, Balubur, dan Cikapundung Kolot.

Perpindahan ibukota kabupaten diikuti dengan perpindahan pusat pemerintahan Karesidenan Priangan dari Cianjur ke Bandung pada tahun 1864. Artinya ada perkembangan situasi kota Bandung mengikuti perpindahan ini, jalur-jalur jalan baru dibuat, dan orang-orang baru berdatangan. Groneman mencatat pada tahun 1870-an banyak orang sibuk membuka lahan di kota untuk dijadikan kebun dan bermukim di situ. Haryoto Kunto mencatat paling sedikit lahir sekitar 20 nama kampung dengan kata kebon di depannya, seperti Kebon Kawung, Kebon Jati, Kebon Kalapa, Kebon Jeruk, dst.

Masuknya jalur kereta api ke Bandung tahun 1884 menambah semarak kota kecil ini, disusul pembangunan berskala besar oleh Bupati RAA Martanagara yang bertindak sebagai Mandor Besar memimpin para kuli pribumi. Beberapa karya Martanagara adalah:

  • Lahan kota Bandung bagian selatan yang kebanyakan masih berupa rawa dijadikan persawahan, kolam ikan, atau disaeur (ditimbun tanah) seperti bisa dilihat dari nama tempat Situ Saeur.
  • Menggali dan memperbaiki saluran air (kanal) seperi Cikapayang dan Cikakak.
  • Penggantian atap dan tembok rumah menggunakan bata dan genteng yang dibuat di Merdika Lio.
  • Pembangunan jembatan-jembatan, termasuk penggantian bahan jembatan yang tadinya barbahan kayu dan bambu menjadi batu, tembok, dan besi.
  • Menata kawasan Grote Postweg sekitar Alun-alun menjadi kawasan perkantoran (Eropa) dan Braga menjadi kawasan pertokoan.

Pada Bab XII dengan judul “Bandung Penuh Sanjung”, Haryoto Kunto menceritakan bagaimana sejumlah orang Indo atau Belanda yang sudah kembali ke negerinya memendam kerinduan yang mendalam kepada kota ini. Cerita ini dilanjutkan dengan membahas berbagai julukan yang pernah disematkan kepada Kota Bandung, seperti Paradijs op Aarde, Paradise in Exile, sampai Bandung Kota Intelektual. Cerita berlanjut ke sekolah-sekolah tempo dulu, kehidupan kesenian, kelahiran Bandoengsche Radio Vereeniging (BRV), lalu beranjak sampai cerita soal kamp interniran di Bandung.

Bab XIII dengan judul Bandung adalah Bandung diisi oleh perbandingan perkembangan kota di Jakarta. Haryoto Kunto menyoroti pembangunan kota yang mengarah Jakarta-sentris. Tulis Haryoto Kunto: “Adalah usaha yang sia-sia, melawan dan membendung arus modernisasi dan kemajuan yang melanda masyarakat, maupun kota-kota besar di Indonesia. Namun kita harus cukup selektif dalam memilih bentuk teknologi yang akan diterapkan dalam planning dan pembangunan kota. Sebagai contoh: apakah tepat pengoperasian bis kota dengan ukuran long chassis dan mempunyai berat melebihi kekuatan jalan di Bandung yang sempit dan penuh tanjakan?”

Hampir di setiap bab yang ditulisnya Haryoto Kunto menyelipkan catatan dan pertanyaan tentang arah pembangunan dan perubahan kota yang dinilainya tidak memiliki kesadaran sejarah, sehingga Kota Bandung mengalami kerugian sejarah-budaya kota yang besar. Banyak harta karun sejarah-budaya yang musnah begitu saja. Pada bagian akhir Bab XIV Haryoto Kunto juga mempertanyakan soal penggantian nama-nama jalan dengan nama baru yang ternyata tidak menunjukkan identitas atau kaitan erat dengan sejarah yang terjadi di Kota Bandung.

Haryoto Kunto seperti hendak terus menegaskan betapa cantiknya Kota Bandung tempo dulu, betapa rinci perancangannya, dan betapa nyaman suasananya. Sayang semua itu hanya cerita tempo dulu. Perkembangan yang terjadi, terutama setelah masa kemerdekaan, justru berlawanan dengan keadaannya dulu. Kecantikan dan kenyamanan itu pelan-pelan memudar akibat pembangunan yang tidak terkendali dan kesadaran sejarah para penghuni kota yang dirasa sangat kurang.

Satu hal yang khas dari buku-buku karya Haryoto Kunto adalah kehadiran kutipan-kutipan di setiap pembukaan bab. Begitu juga dengan buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, penggalan puisi, lirik lagu, atau pepatah, menghiasi di sana-sini. Bila karya masterpiece-nya, “Semerbak Bunga di Bandung Raya” (Granesia, 1986), dibuka dengan cuplikan dari naskah Kropak 632 Kabuyutan Ciburuy: hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke…, maka buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe dibuka dengan cuplikan dari “Wawacan Purnama Alam” karya R. Soeriadiredja: Beunang nungtik ti leuleutik, nyutat-nyatet ti bubudak, tataros ti kolot kahot, juru dongeng alam kuna, ayeuna ditukilna, disurup kana lagu, ditulad dijieun babad. (Diteliti sejak kecil mula, dicatat sejak kanak-kanak, bertanya kepada orang tua, tukang cerita dulu kala, sekarang diungkapkan, digubah jadi lagu, direka jadi cerita).

Kiranya kutipan terakhir ini cukup menjelaskan proses berkarya Sang Kuncen Bandung, Haryoto Kunto, bahwa bukan hanya catatan dan tulisan yang dikumpulkannya, melainkan juga cerita-cerita, obrolan, lagu, dan semua sudah dilakukannya (secara konsisten) sejak kecil.

 

***

Tulisan ini dibuat untuk keperluan Kelas Resensi di Komunitas Aleut, sebuah kegiatan mingguan baru yang diadakan di Perpustakaan Kedai Preanger

#PernikRamadhan: Bung, Mari Buka Bersama!

Komunitas Aleut dan makan bersama di piring masing - masing

Komunitas Aleut dan makan bersama di piring masing–masing

Bukber yuk! Reunian yuk!

Akan ada kegiatan musiman yang hanya terjadi di bulan Ramadhan. Kegiatan yang menular baik di kalangan tua atau muda. Kegiatan musiman yang membutuhkan tempat spesial untuk bertemu. Kegiatan yang hanya menjadi kedok inti acara. Kegiatan yang dinanti oleh beberapa orang. Kegiatan itu adalah buka bersama atau bukber.

Kegiatan buka bersama tidak mengenal umur. Setiap orang baik tua atau muda pasti akan mengadakan kegiatan buka bersama saat bulan Ramadhan. Walau akhir-akhir ini, saya lebih sering menemukan anak muda yang mengadakan bukber.

Anggap buka bersama merupakan peristiwa langka, barang tentu dibutuhkan tempat bertemu yang spesial. Bagi kaum yang memiliki dompet tebal, mereka akan memilih restoran harga bintang lima. Lalu, bagi kaum yang memiliki dompet agak kering (seperti saya), mereka akan memilih restoran dengan harga pedagang kaki lima. Tapi, yang utama bukan tempatnya kan? Melainkan acara buka bersamanya.

Tapi, acara buka bersama hanya kedok saja. Menurut saya, acara utama dari buka bersama ini adalah reuni. Dengan mengambil keistimewaan bulan Ramadhan, mereka mengambil unsur buka puasa yang asalnya masing-masing menjadi bersama-sama. Lalu, di tengah buka puasa bersama, dimasukkan unsur rindu bertemu dan diakhiri dengan reuni.

Ada beberapa orang yang menanti kegiatan buka bersama saat bulan Ramadhan. Ada beberapa penanti yang ingin bertemu dengan kawan-kawannya. Ada juga beberapa penanti yang menempatkan buka bersama sebagai ajang pamer, misalnya pamer handphone baru atau pacar baru.

Tapi lepas dari semua yang saya tulis secara acak dan tidak terstruktur di atas, berbahagialah orang yang bisa buka bersama. Dengan buka bersama, kita bisa bersilaturahmi dengan kawan-kawan atau lawan-lawan. Hanya dengan acara buka bersama, tembok pemisah antara kawan dan lawan menjadi longgar atau bisa menghilang sementara.

 

Tautan asli: https://catatanvecco.wordpress.com/2015/07/03/bung-mari-buka-bersama/

#PernikRamadhan: Pendidikan Menjadi Miskin Ala Ramadhan dan Lebaran

Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)

Kemarin saat melintas di Jl. Braga, persis di depan Bank Indonesia, beberapa orang berjajar di pinggir jalan. Mereka melambai-lambaikan tangannya kepada para pengendara sambil memegang uang baru. Ya, uang baru, masih segar bugar, baru keluar dari cetakan.  Mereka tengah “berjualan” uang. Kira-kira begini prakteknya; uang dengan pecahan yang variatif–bisa lima ribu, sepuluh ribu, duapuluh ribu, dan bahkan limapuluh ribu—yang mereka tukar dari bank, kemudian masing-masing pecahan itu dijajakan kepada masayarakat yang berminat. Tentu karena ini laku berdagang, maka jumlah uang baru yang mereka tukarkan dengan masyarakat jumlahnya lebih sedikit. Artinya ada selisih yang menjadi keuntungan mereka sebagai upah atas segar-bugarnya kondisi uang.

Masyarakat yang “membeli” uang baru dari mereka biasanya demi memenuhi kebutuhan seremonial lebaran, yaitu bagi-bagi rupiah kepada para “peminta-minta”. Pada hari raya yang berlumur bumbu opor tersebut, ketika mayoritas kaum Muslim di Indonesia kembali ke puaknya masing-masing, uang dengan kondisi fisik aduhai adalah salah satu penanda, bahwa dari lembaran-lembaran yang dibagikan tersebut tergambar tentang anak-anak yang minta jatah preman sebab puasanya tamat. Continue reading

#PernikRamadhan: Masjid Sepi, Ke Mana Anak-anak?

Oleh: Anggi Aldilla (@anggicau)

Siang tadi entah kenapa pengen banget Jum’atan di mesjid Al -Manar yang berada di sekitaran Jalan Puter. Jaman SD dulu, saya sering sholat Jum’at di sini bersama teman-teman sehabis atau saat akan ke sekolah. Bangunannya tidak banyak berubah dibandingkan saat saya TK dan SD (kebetulan TK saya berada satu komplek dengan masjid, kemudian di lanjut ke SD Tikukur yang tidak jauh dari sana). Di sinilah kesenangan pergi ke masjid dimulai.

Kesenangan ini bukan untuk ibadah, tapi untuk heureuy. Bukan berarti saya tidak beribadah, tapi ada kesenangan tersendiri ketika Jum’atan. Ketika khotib sedang khotbah, kita malah rame dan sibuk sendiri main “Gagarudaan” atau main “stum, tombak, cakar, banteng” (agak susah juga sih jelasin gimana permainan nya). Pada saat sholat pun tak lepas dari heureuy, minimal ngobrol lah.

Berhubung sekarang lagi bulan Ramadhan, saya jadi teringat tulisan Zen RS tentang “ibadah adalah piknik”. Ya bagaimana tidak, tiap malam kita bisa bertemu teman seumuran yang kadang sulit untuk ketemu di siang hari. Continue reading

#InfoAleut: Kelas Resensi Buku

2015-07-05 Kelas Resensi 2

#InfoAleut Hari Minggu (05/07/2015) kita akan… “Kelas Resensi Buku”. Mari bersama-sama membahas buku yang sudah Aleutians baca seminggu terakhir ini.

Tertarik untuk bergabung? Langsung saja kumpul di Kedai Preanger (Jl. Solontongan No. 20-D) pukul 13.30 WIB. Buku yang akan diresensinya yah 😀

Jangan lupa untuk konfirmasikan kehadiranmu ke nomor 0896-8095-4394. Cukup kirim SMS dengan format nama dan kesedian untuk ikut serta. Konfirmasi ini hukumnya WAJIB yah 🙂

BywSSCTCUAAIE_G

Untuk yang mau daftar keanggotaan, langsung aja di tempat kumpul kegiatan. Konfirmasikan kehadiranmu, hadir di tempat kumpul, lalu daftarkan keanggotaanmu dengan biaya iuran Rp 10.000,00. Voila! Kamu sudah terdaftar sebagai anggota Komunitas Aleut 😀

Sekian saja Info Aleut pagi hari ini. Ayo datang dan ramaikan, karena tiada kesan tanpa kehadiranmu 🙂

#PernikRamadhan: Sebelas atau Dua Tiga?

Oleh: Wisnu Setialengkana (@naminawisnu)

Salah satu yang sering terjadi bila kita memasuki bulan Suci Ramadhan adalah sebuah pertanyaan:

“Shalat Tarawihnya berapa rakaat? Sebelas atau Dua Tiga?”

Iya kan? Bahkan kita sendiri yang terkadang bertanya hal tersebut.

“Mesjid kita berapa rakaat shalat Tarawihnya tahun ini? Masih sama kaya tahun lalu? Masih dua tiga rakaat?”

Dan setiap tahun pertanyaan ini selalu berulang. Gagal move on? Ah, tidak juga. Saya sih berpendapat itu soal pilihan yang didasarkan oleh keyakinan masing-masing. Termasuk juga dengan mereka yang yakin untuk ikut pilihan keluarga atau sahabat-sahabatnya pada saat shalat Tarawih bareng. Continue reading

#InfoAleut: Talkshow “Terbuai Mesra Membaca Kota”

14358398758331435871662345

#InfoAleut Hari Sabtu (04/07/2015) kita akan bersama-sama menghadiri acara talkshow “Terbuai Mesra Membaca Kota” di acara Bandung Lautan Gimmick. Mari bersama-sama melihat pandangan berbagai komunitas dan warga Bandung tentang kondisi Kota Bandung saat ini.

Tertarik untuk bergabung? Langsung saja kumpul di Gedung Indonesia Menggugat (Jl. Perintis Kemerdekaan) pukul 11.00 WIB. Ga usah khawatir dengan HTM, karena acaranya gratis 😀

Jangan lupa untuk konfirmasikan kehadiranmu ke nomor 0896-8095-4394. Cukup kirim SMS dengan format nama dan kesedian untuk ikut serta. Oh iya, konfirmasi ini hukumnya WAJIB yah 🙂

Untuk yang mau daftar keanggotaan, langsung aja di tempat kumpul kegiatan. Konfirmasikan kehadiranmu, hadir di tempat kumpul, lalu daftarkan keanggotaanmu dengan biaya iuran Rp 10.000,00. Voila! Kamu sudah terdaftar sebagai anggota Komunitas Aleut 😀

Sekian saja Info Aleut pagi hari ini. Ayo datang dan ramaikan, karena tiada kesan tanpa kehadiranmu 🙂

#PernikRamadhan: Jika Aku Menjadi Anak Kecil

Oleh: Vecco Suryahadi Saputro (@veccosuryahadi)

Ilustrasi kenakalan anak kecil

Ilustrasi kenakalan anak kecil

 Setelah dewasa, fase anak kecil begitu menyenangkan

Adalah sebuah kebahagiaan menjadi anak kecil saat bulan Ramadhan tiba. Loh, tapi kalau dipikir – pikir kembali, kebahagiaan dari mana? Saya tidak puasa satu hari penuh karena tidak kuat. Uang jajan saya akan dibatasi oleh orang tua. Lalu, kebahagiaan apa yang akan saya rasakan saat menjadi anak kecil?

Tapi, setelah bermeditasi di Makam Buniwangi, saya akhirnya menemukan kebahagiaan yang dimaksud. Adalah kebahagiaan menjadi setan kecil yang iseng dan nakal. Dengan menjadi anak kecil, saya bisa iseng dan nakal tanpa harus takut dimarahi oleh orang tua atau orang lain. Continue reading

« Older posts

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑