Month: June 2015 (Page 1 of 2)

#PernikRamadhan: Ngabuburit ala Kapitalis

Oleh: Arif Abdurahman (@yeaharip)

“Duh stasiun London berapa nih?”

“Oh itu properti milik Arip Podomoro Group, hmm… bayar 2000 weh”

“Jis geuleuh ke cewek mah pake diskon”

ngabuburit main monopoly

Meski cashflow sedang hancur, saya tetap istiqomah jadi pebisnis yang murah hati. Apalagi sedang dalam bulan baik bernama Ramadan. Tapi nampaknya permainan Monopoly nggak mengenal yang namanya matematika sedekah. Meski berhasil memonopoli jaringan bisnis transportasi internasional, krisis finansial pun melanda saya. Ini diperparah dengan munculnya faktor godaan wanita. Ah klise banget.

Enrichissez-vous! Francois Guizot, cendikiawan dan ahli sejarah yang jadi menteri utama Prancis di abad ke-19 menyeru agar setiap orang harus menjadi kaya, dan ini adalah inti dari permainan monopoly. Ya, jadilah kaya! Jadilah kapitalis yang bisa mengeruk kekayaan sampai pebisnis lain jatuh pailit. Nggak ada kamusnya untuk jadi filantropi dalam permainan ini. Continue reading

#PernikRamadhan: Ngabuburit Tempo Dulu

Oleh: Vecco Suryahadi Saputro (@veccosuryahadi)

ngabuburit : ngadagoan burit dina bulan puasa bari jalan – jalan

Ngabuburit berasal dari kata burit yang berarti waktu sebelum bedug magrib. Ngabuburit itu sendiri berarti menunggu burit saat bulan puasa dengan jalan – jalan. Jika bertanya pada pelaku sejarah Bandung mengenai ngabuburit di Bandung tempo dulu, ingatan mereka akan melayang menuju beberapa lokasi yang telah berubah fungsi di tempo kini. Misal sungai Ci Kapundung yang tidak sejernih tempo dulu.

Dulu, ketika Bandung belum memiliki saluran air ledeng, sebagian warga masih melakukan kegiatan sehari–hari di sungai Ci Kapundung. Hal itu wajar dikarenakan Ci Kapundung tempo dulu memiliki air yang jernih, sejuk dan langsung berasal dari kaki Gunung Tangkubanparahu.

Pemandian Cihampelas tempo dulu

Ngabuburit tempo dulu yang cukup menyenangkan adalah dengan bermain air di pinggiran sungai. Warga kota bisa memilih banyak tempat bermain air seperti Empang Cipaganti milik Haji Sobandi, Pemandian Cihampelas, atau Situ Aksan yang memiliki fasilitas berperahu. Selain bermain air di beberapa lokasi tersebut, warga Bandung bisa ngabuburit dengan menikmati taman. Warga Bandung tempo dulu akan merasa kebingungan dalam memilih taman untuk ngabuburit. Bisa dibayangkan bahwa Bandung memiliki banyak taman indah seperti Jubileum Park (Taman Sari), Insulinde Park (Taman Lalu Lintas), Molukken Park (Taman Maluku) dan taman lainnya.

Continue reading

#PernikRamadhan: Ramadan sebagai “Waktu Publik”

Oleh: Zen RS (@zenrs)

…. when holy days and holidays were one and indivisible

/1

Seorang Amrikiya berdarah Yahudi, saya berdiskusi santai dengannya saat Ramadan bertahun-tahun lalu, berkali-kali mengucapkan ketidakpercayaannya bahwa muslim di Indonesia sungguh-sungguh menikmati dan bahkan menunggu-nunggu Ramadan. Ia sukar mengerti mengapa “penindasan dan pengekangan” terhadap perut, mata, telinga, kelamin dan hasrat-hasrat duniawi lainnya, yang berlangsung rutin setiap tahun, bisa disambut dengan gegap gempita oleh muslim di Indonesia.

Ia tidak mungkin paham karena ia tidak mengerti betapa Ramadan sesungguhnya bukan sekadar “penindasan dan pengekangan” terhadap makan, minum dan seks sepanjang pagi hingga sore, melainkan juga pembebasan yang menyenangkan dari rutinitas yang membosankan dalam 11 bulan lainnya.

Amrikiya itu bisa diberi sedikit pemahaman sewaktu saya mencoba menjelaskan semaraknya Ramadan melalui konsep yang agak dikenalnya: semangat karnaval ala Mikhail Bakhtin.

Karnaval, menurut Bakhtin dalam buku Rebelais and His World yang berisi telaahnya tentang zaman renaissance yang termaktub dalam lima jilid novel Gargantua and Pentagruel karya Francois Rebelais, merupakan sebuah pusat perayaan yang para pesertanya begitu menghidupi dan menghayatinya, tapi penghayatan itu bukan perpanjangan (atau bagian dari) dunia sehari-hati atau kehidupan yang riil. Continue reading

Ramadhan Kecil Dari Halteu Utara

Oleh: Vecco Suryahadi Saputro (@veccosuryahadi)

Suasana Jalan Halteu Utara

Suasana Jalan Halteu Utara

Pikiran saya agak kacau sore itu. Dengan mengemban banyak beban, saya mengambil satu obat bernama jalan di sore hari. Rute yang diambil berada di sepanjang Jalan Halteu Utara.

Pas sekali, sore itu adalah waktu pemuda dan pemudi, tuan dan nyonya keluar menikmati angin dan suasana sore hari. Sore itu semakin pas karena hari itu adalah hari ke empat di bulan Ramadhan. Dikarenakan di minggu pertama di bulan Ramadhan, suasana khas bulan Ramadhan terasa kental di Jalan Halteu Utara.

Ramadhan tidak pas kalau tidak membeli bekal untuk berbuka puasa. Nah, karena alasan itu, saya membeli satu bungkus tahu bulat ke pedagang yang berjualan di dekat rel kereta api. Sambil menunggu tahu bulat matang, saya mengobrol basa – basi dengan pedagang tersebut.

“Cep, tinggal di mana?”

“Saya mah tinggal di Logam tapi sering main ke sini. Akang sendiri dari mana?”

“Dayeuh Kolot. Ke sini hanya jualan tahu bulat doang”

“Tidak cape kang?”

“Mau apa lagi, cep. Tiket kereta api dan bis mahal. Anak – anak mau ketemu nenek dan kakeknya, cep”

“O,”

Setelah membeli satu bungkus tahu bulat untuk berbuka puasa, saya mengelilingi dan mengamati keadaan sekitar Halteu Utara. Mulai dari pedagang kain hingga pedagang sosis bakar menghias pemandangan Halteu Utara sore itu. Tidak sedikit, ada anak kecil menangis karena tidak dibelikan keinginannya di sela – sela pedagang. Sungguh suasana Ramadhan yang khas!

Selesai mengobrol, saya jalan ke arah Pasar Ciroyom. Setelah jalan sekitar 150 meter, bau tak sedap tercium kuat oleh saya. Bau tersebut berasal dari tumpukan sampah dan tempat pemotongan ayam. Tapi dibalik bau tersebut, saya bertemu dengan kumpulan anak kecil yang sedang asik bermain di daerah tersebut. Dengan ragu – ragu, saya bertanya mereka sedang apa.

“Lagi apa, cep?”

“Lagi ngabuburit, kang.”

“Loh, kok ngabuburit di sini? Engga risih sama bau?”

“Geus biasa, kang. Di dieu mah lumayan lega keur main bola”

“O,”

Setelah bercakap dengan mereka, saya kembali ke rumah. Ada satu pikiran baru yang tercantol di antara pikiran lain. Di antara ingar bingar Ramadhan, masih banyak cerita kecil yang jarang diketahui orang atau mungkin hanya dilihat sekilas oleh orang. Mulai dari pengorbanan yang dilakukan kepala keluarga untuk pulang kampung hingga cerita ngabuburit anak kecil di sekitar tumpukan sampah. Sungguh Ramadhan yang baru untuk saya!

 

Tautan asli: https://catatanvecco.wordpress.com/2015/06/26/ramadhan-kecil-dari-halteu-utara/

#InfoAleut: Diskusi Buku Zaman Perang Bersama Hendi Jo

2015-06-28 Hendi Jo

#InfoAleut Hari Minggu (28/06/2015) kita akan… “Diskusi Buku Zaman Perang Bersama Hendi Jo”. Mari bersama-sama mengupas segala hal yang berkaitan dengan buku Zaman Perang dan Kang Hendi Jo sendiri 🙂

Tertarik untuk bergabung? Langsung saja kumpul di Kedai Preanger (Jl. Solontongan No. 20-D) pukul 14.00 WIB. Bawa uang Rp 15.000,00 untuk udunan berbuka. Bagi yang punya bukunya, harap dibawa yah 😀

Jangan lupa untuk konfirmasikan kehadiranmu ke nomor 0896-8095-4394. Cukup kirim SMS dengan format nama dan kesedian untuk ikut serta. Kuota peserta terbatas, jadi pastikan Aleutians untuk konfirmasi terlebih dahulu. Oh iya, konfirmasi ini hukumnya WAJIB yah 🙂

Untuk yang mau daftar keanggotaan, langsung aja di tempat kumpul kegiatan. Konfirmasikan kehadiranmu, hadir di tempat kumpul, lalu daftarkan keanggotaanmu dengan biaya iuran Rp 10.000,00. Voila! Kamu sudah terdaftar sebagai anggota Komunitas Aleut 😀

Sekian saja Info Aleut pagi hari ini. Ayo datang dan ramaikan, karena tiada kesan tanpa kehadiranmu 🙂

#PernikRamadhan: Berburu Tanda Tangan di Bulan Ramadhan

Oleh: Arya Vidya Utama (@aryawasho)

Para jamaah bangkit dari sujudnya, memasuki rakaat terakhir dari shalat witir. Hanya satu rakaat lagi dari berakhirnya rangkaian shalat Tarawih malam hari itu. Beberapa anak kecil yang mengikuti jalannya shalat Tarawih sudah terihat tak tenang, seolah ingin segera mengakhiri saja shalat ini. Di rakaat terakhir, imam yang merangkap sebagai penceramah malam ini membaca surat pendek yang panjangnya lebih dari 10 ayat. Terdengar oxymoron, memang.

Setelah penantian yang dirasa panjang, imam akhirnya menoleh ke kanan sambil mengucap salam. Berakhir juga shalat Tarawih malam ini. Namun sebelum imam selesai membaca doa, sudah terlihat antrian anak kecil yang mengular di belakang sang imam. Mereka semua memegang sebuah buku tipis yang berbahan kertas koran. Salah satu anak mengangkat bukunya ke atas kepalanya, entah apa maksudnya. Dari kejauhan terlihat tulisan “Buku Kegiatan Ramadhan” di sampul buku anak itu.

Imam selesai membaca doa, lalu beranjak dari duduknya untuk membalikan badan. Sejenak terlihat gestur kaget dari tubuhnya setelah melihat panjangnya antrian yang di luar dugaannya. “Sok biar cepet, langsung buka halaman nu rek diparaf ku Bapak”, ujar sang imam dengan logat Sunda kentalnya sambil mengeluarkan bolpoin dari saku baju kokonya. Bak jendral yang mengkomandoi anak buahnya, semua anak langsung membuka halaman yang dimaksud sang imam. Satu per satu anak-anak yang mengantri mendapat tanda tangan dan terpancar senyum di wajah mereka Continue reading

#PernikRamadhan: Berpuasa di Negeri Singa (Bagian 2)

Oleh: Wisnu Setialengkana (@naminawisnu)

Suasana di Sekitar Masjid Sultan Saat Berbuka

Suasana di Sekitar Masjid Sultan Saat Berbuka

Kali ini saya ingin bercerita mengenai suasana berbuka puasa di sebuah Mesjid di Singapura. Mesjid ini dikenal dengan nama Mesjid Sultan. Mesjid Sultan salah satu mesjid besar di Singapore diantara sekitar 71 mesjid yang menyebar di seluruh kawasan Singapura. Perkembangan mesjid di Singapore semakin hari semakin meningkat, bahkan ada sebuah mesjid di kawasan Woodlands yang yang baru berdiri dengan nama Presiden pertama Singapura yaitu Tun Yusof Ishak.

Di bulan Ramadhan, Mesjid Sultan yang berada di kawasan Kampong Glam merupakan mesjid yang menjadi salah satu pusat kegiatan umat Muslim. Seperti pada umumnya mesjid-mesjid di Indonesia, di Mesjid Sultan ini banyak diselenggarakan kegiatan ibadah dalam rangka bulan Ramadhan. Di sekitaran Mesjid Sultan yang merupakan mesjid pertama di Singapura ini, setiap bulan Ramadhan selalu diadakan bazaar Ramadhan. Dalam tulisan terdahulu, saya sempat bercerita bahwa ada dua bazaar besar di Singapore yaitu di Geylang Serai dan Mesjid Sultan.

Suasana Bazaar Ramadhan @ Mesjid Sultan

Suasana Bazaar Ramadhan @ Mesjid Sultan

Baca juga: Berpuasa di Negeri Singa (Bagian 1)

Perbedaannya antara bazaar di Geylang Serai dan Mesjid Sultan adalah jumlah stand bazaar dan aneka rupa yang diperdagangkan. Bila di Geylang Serai bisa dikatakan hampir seluruh macam ragam pernik Ramadhan yang berkaitan dengan umat Muslim ada, nah kalo di Mesjid Sultan lebih kepada makanan dan minuman untuk berbuka puasa. Dari berbagai macam kueh-kueh ringan, kurma, kebab sampai makanan berat seperti nasi briyani ataupun nasi padang diperdagangkan di bazaar ini. Stand-nya pun tidak sebanyak bazaar di Geylang Serai. Continue reading

Membobol Perpustakaan Haryoto Kunto

Oleh: Arif Abdurahman (@yeaharip)

Siapa sih dia? Setahun lalu, saat masih awal-awal mengikuti Komunitas Aleut!, Minggu terakhir di September 2014 ketika ngaleut bertema “Basa Bandung Halimunan”, seekor koordinator yang bernama Vecco menunjukan sebuah rumah di bilangan Jalan Mesri. Katanya itu adalah rumah dari penulis kenamaan yang berjuluk Kuncen Bandung. Kemudian dia mencoba membujuk setengah merajuk agar bisa masuk, namun nahasnya gagal. Saya tentunya nggak peduli, siapa pula Haryoto Kunto itu.

Ya, boleh dibilang saya baru jadi warga Bandung setahun ini. Lahir dan hidup memang di Bandung, tapi Kabupaten-nya. Tinggal selama 18 tahun di Bandung coret, 3 tahun di Jatinangor, dan sebulan di Pusparaja, Tasikmalaya. Tentunya saya tetap bangga jadi orang Kabupaten Bandung, dan pastinya sudah sah jadi orang Bandung juga.

haryoto kunto book

Oke, jadi siapa sih Haryoto Kunto itu? Nah, beliau adalah dia yang dijuluki “Kuncen Bandung”, penulis yang telah menelurkan buku-buku seputar Bandung, khususnya dalam aspek sejarah; ‘Wajah Bandoeng Tempo Doeloe’, ‘Semerbak Bunga di Bandung Raya’, ‘Ramadhan di Priangan’, dan lain sebagainya. Sebagai seorang penulis, sudah suatu keniscayaan Om Hary ini adalah seorang pembaca yang tergolong rakus juga. Dan memang, sepeninggalnya pada 4 Oktober 1999, almarhum mewarisi sekitar 50.000 buku dan beragam literatur lain. Continue reading

Bu Etty, Haryoto Kunto, dan Buku

Oleh: Vecco Suryahadi Saputro (@veccosuryahadi)

Perpustakaan pribadi Haryoto Kunto

Perpustakaan pribadi Haryoto Kunto

 Buku itu ibaratnya seperti candu.

Saya kira buku adalah candu tersendiri untuk beberapa orang. Awalnya, hanya beli satu atau dua buku karena rasa penasaran. Setelah menamatkan buku tersebut, muncul keinginan untuk memiliki buku serupa atau sejenis. Rasa keinginan tersebut seperti rasa haus saat berpuasa. Mungkin itulah yang dirasakan Haryoto Kunto saat terjun di dunia buku. Tapi, itu hanya dugaan saya saja.

Setelah menduga – duga kebiasaan Haryoto Kunto mengoleksi buku cukup lama, akhirnya ada satu lorong cahaya yang bisa menjawab dugaan saya. Lorong tersebut muncul saat Komunitas Aleut berhasil mengunjungi perpustakaan pribadi Haryoto Kunto dan mengobrol ringan dengan Bu Etty, istri Haryoto Kunto.

Berdasarkan cerita dari Bu Etty, saya mengetahui bahwa Haryoto Kunto sudah mengenal dan mengoleksi buku sejak bersekolah tingkat dasar. Saat itu, beliau sering membawa buku kemanapun ia berada. Bahkan pernah suatu ketika, Haryoto Kunto kecil bermain kelereng sambil membaca buku yang diapit di ketiak. Continue reading

Terinspirasi Tulisan Pak Hari

Oleh: Hevi Abu Fauzan (@hevifauzan)

Sabtu, 20 Juni 2015, siang tadi saya mengunjungi rumah almarhum Haryoto Kunto bersama Komunitas Aleut. Rumah beliau yang terletak di Jalan H. Mesri cukup dekat dengan halaman dan parkiran Stasiun Bandung sebelah utara. Sekitar jam 10, kami tiba di rumah beliau. Sebuah rumah jaman dahulu yang mengalami perbaikan sebagai bagian dari pemeliharaan koleksi buku-buku almarhum yang akrab dipanggil Pak Hari itu.

Bagi saya pribadi, penulis yang tersohor dengan sebutan Kuncen Bandung tersebut adalah seorang inspirator. Belasan tahun yang lalu, Saya membaca beberapa tulisan beliau di Harian Pikiran Rakyat yang selalu bapak saya bawa setiap sore dari kantor. Dua buku terkenal beliau, yang menjadi acuan bagi mereka yang akan mempelajari Kota Bandung, pernah saya lalap masing-masing dalam satu malam. Saya ingat, di pertengahan 90-an, saya melalap satu buku Wajah Bandung Tempo Dulu di suatu malam minggu, setelah saya meminjamnya dari perpustakaan sekolah.

Di masa itu, saya lebih senang meminjam buku bergenre sejarah dan sastra lama. Selain dua buku tersebut, buku novel lama seperti Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Sengsara Membawa Nikmat, dll, adalah buku yang sering saya pinjam dari perpustakaan. Buku yang saya pinjam tersebut sebenarnya memperlihatkan ketertarikan saya kepada dunia humaniora, yang dipandang sebelah mata oleh orang tua saya, dibanding dunia eksakta yang di level selanjutnya tidak saya fahami. Continue reading

#PernikRamadhan: Kenakalan Remaja Di Bulan Puasa

Oleh: Arya Vidya Utama (@aryawasho)

Judulnya memang mirip dengan lagu dari Efek Rumah Kaca, namun jangan bayangkan tulisan saya ini isinya sama dengan apa yang Cholil nyanyikan. Saya memilih judul ini karena kebetulan saja berima. Suatu penelitian yang saya lihat di acara ‘How To Win’ di History Channel menyebutkan bahwa sebuah kalimat yang berima jauh lebih menarik dibanding kalimat tak berima. Unik memang, tapi untuk diri saya sendiri penelitian itu ada benarnya juga.

Mari tinggalkan masalah pemilihan judul dan rima. Bulan Puasa Ramadhan seperti ini bagi saya identik dengan kenakalan remaja (dan juga anak-anak). Menurut Haryoto Kunto dalam Ramadhan di Priangan, bulan puasa di masa itu biasanya diisi beberapa remaja dengan gapleh (judi), membuat keributan (dengan petasan), dan kebut-kebutan. Belakangan ini sudah jarang sekali saya temukan ketiganya di Kota Bandung.

Seiring dengan dilarangnya peredaran petasan di Indonesia, jarang sekali saya dengar ledakan ‘mesiu kecil’ ini di daerah dekat komplek. Selain iklan sirup Marjan, dulu petasan juga jadi pertanda bahwa bulan Ramadhan sudah dekat. Saya tak tahu pasti mengapa petasan ini bisa sampai diidentikan dengan bulan puasa. Meskipun sebetulnya dijual juga di luar bulan puasa, tapi puncak penjualan petasan justru terjadi di bulan penuh berkah ini. Continue reading

#PernikRamadhan: Kulkas jeung Listrik

Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)

Sok sanajan teu pati jauh, nepika anyeuna kuring geus ngumbara leuwih ti genep belas taun. Nya ti harita, ti mimiti kuring ninggalkeun lembur, mun kabeneran bulan puasa, aya hiji kabiasaan nu matak nyieun hěmeng pikeun kuring sakuringeun.

Kuring ngumbara těh pikeun nuluykeun sakola, ari ngudagna nyaěta ka daěrah pakotaan, da puguh gě kuring mah urang lembur. Naha bet kitu? Enya apanan sarěrěa ge geus pada nyaho yěn di lembur mah sakola těh teu rěa kawas di kota, tuluy kualitasna bisa disebut ělěh ku sakola-sakola nu aya dipakotaan mah. Tah sual ěta nu ngajadikan kolot nitah kuring pikeun ngumbara těh.

Balik deui kana hiji kabiasan nu nyieun kuring hěmeng, nyaěta di kota mah mun bulan puasa těh, tukang sop buah, tukang ěs cincau, jeung sakur-sakur nu jualanna makě ěs sok geus dagang ti beurang kěněh mula, jeung nu mareuli gětara burit-burit teuing barang beulina těh. Sok kapikiran ku kuring, naha ěta nu mareuli těh teu sieun mun kadaharan nu makě ěs těh kaburu teu tiis jeung ěs na kaburu lenyur? Continue reading

#PernikRamadhan: Asal-usul Kata “Puasa” dan “Lebaran”

Oleh : M. Ryzki Wiryawan (@sadnesssystem)

1950

Selama ini mungkin kita bertanya-tanya, dari manakah asal-usul kata “Puasa” dan “Lebaran” karena kedua kata ini ternyata tidak dikenal di bahasa Arab. Nah, menurut M.A. Salmun dalam artikelnya yang dimuat dalam majalah “Sunda” tahun 1954, kedua istilah tersebut ternyata berasal dari tradisi Hindu.

Menurut M.A. Salmun, “Puasa” berasal dari kata “Upawasa” yang berarti “menutup”, dengan kata lain menutup/menahan hawa nafsu. Oleh sebab itulah, padanan dari kata “Puasa” adalah “Buka”.

Begitu pula kata “Lebaran” berasal dari tradisi Hindu yang berarti “Selesai, Usai, atau Habis”. Menandakan habisnya masa “Puasa”.

Istilah-istilah ini mungkin diperkenalkan para Wali agar umat Hindu yang baru masuk Islam saat itu tidak merasa asing dengan agama yang baru dianutnya. Selain itu, tradisi munggahan dan nyekar yang berasal dari Hindu juga masih dipraktikan hingga sekarang.

So, kalo saya sih mulai sekarang lebih suka pakai kata “Shaum” dan “Idul Fitri” saja supaya makna ibadahnya lebih kena…

#PernikRamadhan: Munggahan dan Puasa Hari Pertama yang Tak Lagi Sama

Oleh: Arya Vidya Utama (@aryawasho)

Waktu menunjukan pukul 14.00 WIB. Matahari siang itu cukup terik, lebih terik dari sehari sebelumnya. Saya baru saja kembali dari warnet langganan di depan komplek untuk mengunduh materi kuliah yang dikirim oleh dosen. Maklum, saat itu saya belum berlangganan internet karena koneksi melalui HP saja sudah dirasa cukup.

Segera saya ambil gelas di dapur dan mengisinya dengan air dingin yang ada di kulkas setibanya di rumah. “Besok mah ga akan bisa lagi minum kayak gini di siang hari”, gumam saya dalam hati sambil meneguk air di dalam gelas. Ya, esok hari adalah hari pertama puasa di tahun 1431 Hijriah. Pemerintah melalui sidang isbat menetapkan bahwa 1 Ramadhan jatuh di tanggal 11 Juli 2010.

Air di gelas pun habis. Saya berjalan menaiki tangga menuju kamar. Telepon berdering tak lama setelah tombol power layar dan komputer ditekan. Terdengar suara tante dari balik speaker gagang telefon.

“Mas Arya, Ibu ada? Dari tadi ditelepon kok ga diangkat yah?”

“Ga ada, tadi sih lagi ngantor di Rancaekek. Ada apa gitu?”

“(terdiam beberapa detik) Eyang udah ga ada…”

Saya membatu setelah mendengarnya, seperti ketika manusia melihat rambut Medusa. Dari luar rumah terdengar tangisan adik setelah pembantu meneruskan kabar itu. Continue reading

#InfoAleut: Mengaji Buku Ramadhan di Priangan Bersama Zen RS

2015-06-21 Ramadhan di Priangan

#InfoAleut Hari Minggu (21/06/2015) kita akan… “Mengaji Buku Ramadhan di Priangan bersama Zen RS”. Mari bersama-sama membahas salah satu buku masterpiece “Kuncen Bandung”, Haryoto Kunto.

Tertarik untuk bergabung? Langsung saja kumpul di Kedai Preanger (Jl. Solontongan No. 20-D) pukul 15.00 WIB. Bawa uang Rp 15.000,00 untuk udunan berbuka. Bagi yang punya bukunya, harap dibawa yah 😀

Jangan lupa untuk konfirmasikan kehadiranmu ke nomor 0896-8095-4394. Cukup kirim SMS dengan format nama dan kesedian untuk ikut serta. Ingat, konfirmasi ini hukumnya WAJIB yah 🙂

BywSSCTCUAAIE_G

Untuk yang mau daftar keanggotaan, langsung aja di tempat kumpul kegiatan. Konfirmasikan kehadiranmu, hadir di tempat kumpul, lalu daftarkan keanggotaanmu dengan biaya iuran Rp 10.000,00. Voila! Kamu sudah terdaftar sebagai anggota Komunitas Aleut 😀

Sekian saja Info Aleut pagi hari ini. Ayo datang dan ramaikan, karena tiada kesan tanpa kehadiranmu 🙂

« Older posts

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑