Month: March 2015 (Page 1 of 2)

#InfoAleut: Ngaleut Kiaracondong

2015-03-29 Kiaracondong alt 1

#InfoAleut Hari Minggu (29/03/2015) kita akan… “Ngaleut Kiaracondong”. Mari bersama-sama mencari tahu tentang kawasan sekitar Stasiun Kiaracondong.

Seperti apa keadaan Stasiun Kiaracondong? Apakah betul ada simpang rel menuju salah satu perusahaan BUMN? Seperti apa kondisi lingkungan di daerah ini? Mari kita cari tahu bersama! 🙂

Tertarik untuk bergabung? Langsung saja kumpul di Stasiun Selatan Bandung (Jl. Stasiun Timur) pukul 07.00 WIB. Jangan lupa bawa uang Rp 2.000,00 untuk tiket kereta KRD Ekonomi dan juga alat tulis, siapa tahu ada hal menarik yang perlu dicatat 😀

Nah, jangan lupa untuk konfirmasikan kehadiranmu ke nomor 0896-8095-4394. Cukup kirim SMS dengan format nama dan kesedian untuk ikut serta. Ingat, konfirmasi ini hukumnya WAJIB yah 🙂

Cara Gabung Komunitas Aleut

Untuk yang mau daftar keanggotaan, langsung aja di tempat kumpul kegiatan. Konfirmasikan kehadiranmu, hadir di tempat kumpul, lalu daftarkan keanggotaanmu dengan biaya iuran Rp 10.000,00. Voila! Kamu sudah terdaftar sebagai anggota Komunitas Aleut 😀

Sekian saja Info Aleut pagi ini. Ayo datang dan ramaikan, karena tiada kesan tanpa kehadiranmu 🙂

Singgahnya Kian Santang di Tumpukan Sampah

Oleh: Arif Abdurahman (@yeaharip)

Dari Sumedang Larang, Kian Santang memacu mobilnya melintas Jatinangor dan masuk Tol Cileunyi. Rupanya tim intel berhasil melacak keberadaan Prabu Siliwangi di sebuah bukit di daerah Baleendah. Kemacetan, jalanan terjal berbatu dan becek pun harus dilalui Kian Santang dalam perburuannya menaklukan Sri Baduga Maharaja yang keukeuh nggak mau masuk Islam.

Prabu Kian Santang tertunduk lemas. Nampaknya ada kesalahan informasi, karena yang dia dapatkan hanya sebuah gundukan sampah.

gunung munjul baleendah

Entahlah. Yang pasti jika Descartes mah bersabda, “Aku berpikir maka aku ada”, maka saya berkata, “Aku berpikir maka aku mengada-ada”. Continue reading

Di Bukit Tegak Lurus dengan Langit *)

Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)

DSCN8335

Di kampung saya–di Selatan Sukabumi, tak jauh dari rumah; berjajar beberapa bukit (Sunda : pasir) yang memanjang dari Timur ke Barat. Persis di belakang rumah ada Pasir Pogor, kemudian Pasir Gundul, Pasir Hiris, dan Pasir Hanjuang, lalu di akhiri dengan sebuah bukit yang melintang dari Selatan ke Utara, yang dinamai dengan Pasir Malang. Waktu Ahad kemarin (22/03/2015) mengunjungi bukit Munjul dan Culanagara di wilayah Bandung Selatan, tentu saja ingatan melayang ke bukit-bukit yang saya sebutkan tadi. Ada kesamaan yang sangat jelas, yaitu tentang tempat-tempat keramat yang berada di puncak bukit.

Di Pasir Hiris ada beberapa makam yang dikeramatkan, dan konon sering diziarahi oleh orang-orang dari luar kota (terutama Jakarta). Ditemani oleh sang juru kunci, mereka kerap melaksanakan ritual yang diisi dengan do’a-do’a. Saya sendiri baru menyadari kemudian ihwal makam keramat itu, sebab waktu kecil saya hanya menganggapnya tak lebih dari makam biasa saja. Hanya letaknya yang memang terasa ganjil. Di pasir yang lain sebenarnya ada juga beberapa makam, namun makam yang tadi adalah yang paling terkenal.

Kecenderungan tempat-tempat keramat di ketinggian bukan hanya ada di Tatar Priangan, sebab di Pulau Jawa bagian Tengah dan Timur banyak juga terdapat hal demikian. Di Cirebon pun, sebagai suatu wilayah yang kerap “enggan” disebut Sunda—bahasa dan catatan sejarah banyak menulis hal ini, terdapat juga tempat keramat yang letaknya di ketinggian. Dalam buku Ziarah & Wali di Dunia Islam yang naskahnya dikumpulkan oleh Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot, terdapat keterangan sebagai berikut :

“Kompleks keramat Sunan Gunung Jati mencakupi dua bukit , yaitu Bukit Sembung dan Bukit Gunung Jati, yang hanya berjarak beberapa ratus meter. Bukit Gunung Jati bisa dipastikan sudah keramat pada jaman pra-Islam. Orang setempat masih mengenang bahwa api besar-besaran kadang-kadang di nyalakan di puncaknya, yang dianggap dan dikeramatkan sebagai puseur alam. Kepercayaan-kepercayaan kuno sedikit demi sedikit telah diintegrasikan dalam kerangka Islam, namun bukit ini tetap mempunyai ciri sakral.”

DSCN8300

Ada tiga kata yang bisa ditangkap dari kutipan tersebut. Pertama “bukit”, kedua “pra-Islam”, dan yang ketiga adalah “diintegrasikan”. Di beberapa petilasan yang diyakini sebagai rute pelarian Prabu Siliwangi sewaktu dikejar oleh Kian Santang—anaknya yang hendak meng-Islamkan sang bapak (salahsatunya di bukit Munjul), kepercayaan masyarakat terbelah dua; yang pro Siliwangi melakukan ritual dengan nuansa Hindu, sedangkan yang berpihak kepada Kian Santang dengan ritual bernuansa Islam. Entah bagaimana perbedaan ritualnya, mungkin terletak pada do’a.

Kutipan di atas pun menyatakan sebuah alur, bahwa kata “pra-Islam” menunjukan adanya kekuatan politik dan kepercayaan yang mendahului Islam sebagai pemenang selanjutnya. Sebagai pemenang tentu saja leluasa membuat narasi sejarah, dan atau menempel lalu menggantikan simbol-simbol si kalah. Kata “diintegrasikan”—bukan “terintegrasikan”, jelas adalah kata aktif, artinya sebagai bentuk penyengajaan. Hal ini mungkin juga berlaku pada perlakuan dan penamaan situs-situs, makam keramat, dan petilasan yang lain.

Selain itu, kalau kita amati, banyak juga komplek pemakaman Cina yang berada di dataran tinggi. Beberapa contoh antara lain; Sentiong di Sukabumi, Pasir Hayam di Cianjur, Lereng Tidar di Magelang, dan Cikadut di Bandung. Artinya pemilihan bukit sebagai tempat tinggi bukan kepercayaan yang dimonopoli oleh etnis dan kepercayaan tertentu saja. Bukit sebagai sebuah dataran tinggi, bahkan telah juga dituliskan pada teks-teks jaman kenabian. Bukankah bukit Tursina disebutkan dalam riwayat Nabi Musa?, dan Jabal (gunung) Nur ada dalam lintasan sejarah Nabi Muhammad?

Membahas kaitan antara tempat-tempat tinggi dengan kepercayaan manusia mungkin bisa ditulis dari ragam perspektif, namun saya hendak mencatatnya dari sudut pandang tempat tinggal dan budaya produksi pangan etnis Sunda jaman baheula.

Tapi sebelum masuk ke sana, mungkin ada baiknya kita sadari dulu sebuah kenyataan, bahwa fakta-fakta sejarah di negara kita—terutama era pra kolonial, seringkali dipadukan dan lebur bersama mitos dan legenda.  Dalam sebuah pengantar yang beraroma pujian di buku Bo’ Sangaji Kai-Catatan Kerajaan Bima–penyunting buku tersebut menulis hal berikut :

“Sumber-sumber Eropa terutama sumber Belanda umumnya dianggap lebih berguna daripada sumber-sumber lokal, oleh karena orang Eropa sudah lama mengembangkan satu usaha pendokumentasian yang tepat dan lengkap. Berbagai bentuk arsip yang dikembangkan oleh orang Eropa selama berabad-abad sarat dengan fakta, angka, nama, dan tanggal. Arsip jenis itulah yang menjawab pertanyaan para sejarawan modern, sedangkan sumber-sumber berbahasa Melayu, seperti juga sumber dalam bahasa-bahasa lain di Indonesia, seringkali mamadukan mitos, legenda, dan sejarah, sehingga sukar dimanfaatkan. Karya-karya sejarah yang ditulis dalam bahasa Melayu di Bima (Pulau Sumbawa) merupakan satu kekecualian yang gemilang.”

Anggaplah saya imperior dengan mengiyakan kutipan tersebut, tapi kenyataannya memang demikian.

***

DSCN8364

Menurut Drs. Saleh Danasasmita dalam buku berbahasa Sunda yang berjudul Nyukcruk Sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi, beliau menjelaskan bahwa type masyarakat di Indonesia terbagi menjadi tiga, yaitu; masyarakat sawah, masyarakat ladang (huma), dan masyarakat pesisir. Pajajaran (Sunda) termasuk ke dalam type masyarakat ladang (huma).

Bukti-bukti sejarah mengenai hal ini bisa ditemukan pada beberapa catatan. Pertama,  dalam buku Priangan, de Haan menginformasikan bahwa system pertanian sawah di Jawa Barat dimulai oleh van Imhoff. Di Bogor, daerah pertama yang membuka lahan sawah adalah Cisarua, yang petaninya didatangkan dari Tegal dan Banyumas. Untuk selanjutnya daerah Bogor dijadikan “daerah bebas huma” oleh Yakob Mossel yang menggantikan van Imhoff pada tahun 1750. Selain itu, beberapa istilah yang digunakan oleh petani Sunda dalam ngawuluku dan ngagaru, umumnya bukan kosa kata Sunda, melainkan kosakata Jawa, seperti : kalen, mider, luput, sawed, arang, damping, dll.

Kedua, dalam Carita Parahiyangan—yang merupakan hasil sastra jaman Pajajaran, tidak terdapat istilah husus “patani”, tapi “pahuma”. Dalam naskah yang lain disebutkan bahwa perkakas yang disebut hanyalah kujang, baliung, patik, korěd, dan sadap; yang semuanya adalah perkakas untuk berladang.

Ketiga adalah dokumen tradisi seperti yang terdapat di suku Baduy kiwari. Orang Baduy yang masih memegang teguh adat kebiasaan leluhurnya cadu untuk bertani di sawah.

Dan yang terakhir adalah berdasarkan kepada dokumen lisan dalam bahasa Sunda yang terkait dengan bahasa Indonesia. Huma dalam bahasa Indonesia artinya rumah, sedangkan ladang dalam bahasa Sunda artinya hasil. Hal ini bisa menjadi petunjuk bahwa huma adalah ya rumah itu sendiri. Ini bisa juga diperkuat dengan kebiasaan orang tua dulu ketika melarang anaknya yang sedang bertengkar atau berselisih, mereka kerap berucap; “Ulah sok pasěa jeung dulur, bisi pajauh huma!” (Jangan bertengkar dengan saudara, nanti huma/rumah-nya berjauhan).

Dari keempat hal tersebut di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa masyarakat Sunda pada mulanya adalah masyarakat ladang/huma, yang secara geografis mayoritas berada di dataran tinggi (minimal lebih tinggi dari sawah)—umumnya disebut dengan bukit. Karakter tanah huma pada umumnya tidak bisa ditanami tumbuhan pangan secara berulang-ulang, oleh sebab itu para pehuma biasanya berpindah-pindah tempat ketika hendak menanam padi. Hal tentu berpengaruh juga dengan tempat tinggal, artinya perkampungan pun mesti pindah berkali-kali.

DSCN8387

Lalu apa kaitannya antara masyarakat huma dengan beberapa situs, makam keramat, dan petilasan yang berada di Priangan? Jika dilihat dari posisi, keberadaan tempat-tempat yang keramatkan sesuai dengan kebiasaan tempat tinggal orang Sunda baheula, yaitu di dataran tinggi. Selain itu, letaknya yang berjauhan danancal-ancalan, menandakan bahwa memang karakter masyarakat huma adalah nomaden.

Kita kerap mendengar beberapa ungkapan yang menunjukkan Tuhan (sesuatu/dzat yang tidak terjangkau kecuali dengan kepasrahan) dengan kata “di atas”, misalnya; “Kita serahkan kepada yang di atas”, atau “terserah yang di atas”. Dalam konteks ini, barangkali posisi beberapa situs, makam keramat, dan petilasan yang berada di ketinggian adalah simbol tentang dzat yang tidak terjangkau. Sesuatu yang tidak tergapai oleh logika, dan sumerah menjadi jalan pilihan.

Namun dalam masyarakat Sunda yang sudah Islam, agak sulit jika menganggap semua yang keramat-keramat itu sebagai Tuhan, bagi mereka mungkin lebih tepat sebagai batu pijakan menuju yang di atas yang lebih mutlak. Beberapa kelompok dalam masyarakat Sunda Islam (biasanya kaum nahdliyin/NU)–ketika berdo’a, kerap menyebut beberapa syekh dan atau wali yang disebut tawasul. Penyebutan ini bukan berarti menganggap orang-orang saleh itu Tuhan, namun sebagai jembatan menuju Tuhan.

Maka dengan meredakan sangka buruk (suudzon) tentang praktek kemusyrikan; keberadaan situs, makam keramat, dan petilasan di bukit adalah sebuah simbol agar bisa tegak lurus dengan langit. Ya, lurus ke atas—ke hadirat Tuhan. [ ]

 

*) Tegak Lurus dengan Langit adalah salahsatu judul cerpen Iwan Simatupang

 

Foto : Arsip Irfan TP

 

Tautan asli: http://wangihujan.blogspot.com/2015/03/di-bukit-tegak-lurus-dengan-langit.html

 

Situ Sipatahunan

Oleh: Vecco Suryahadi Saputro (@veccosuryahadi)

Tergolek janji berahi. 

Tumpur dalam keangkuhan jaman. (Juniarso Ridwan – Asap di Atas Bandung)

Sebetulnya saya agak malu dengan pengetahuan saya tentang tempat wisata di Bandung Selatan. Tempat wisata di Bandung Selatan yang pernah saya kunjungi hanya di Ciwidey dan Cibuni. Saat itu, saya merasa gagal sebagai warga Bandung yang harusnya kenal Bandung.

Setelah mengetahui pengetahuan saya yang kurang tentang Bandung Selatan, saya coba ikuti kegiatan ngaleut Ciparay bersama Komunitas Aleut. Objek – objek ngaleut Ciparay yakni Situ Sipatahunan, Bukit Munjul, dan Bukit Cula.

Kali ini, tulisan pertama saya tentang Situ Sipatahunan. Kenapa harus Situ Sipatahunan dulu? Tentu saja karena Situ Sipatahunan adalah salah satu tempat wisata yang memprihatinkan.

Situ Sipatahunan dulu dan kini

Sawah dekat Situ Sipatahunan

Menurut warga, Situ Sipatahunan yang sekarang adalah  bekas sawah  milik warga. Sawah – sawah tersebut berada di cekungan. Oleh karena itu, cekungan tersebut sering menjadi danau tadah hujan saat hujan.

Pada akhir tahun 1970-an, pemerintah membeli sawah –  sawah tersebut untuk diubah menjadi danau buatan. Fungsi awal danau buatan tersebut adalah sebagai pengairan sawah sekitarnya.

Sekarang ini, fungsi danau bertambah menjadi tempat wisata dengan nama Situ Sipatahunan. Selain tempat wisata, Situ Sipatahunan sering dipakai oleh warga sebagai tempat pemancingan. Kalau musim kemarau, warga sekitar sering memakai air di Situ Sipatahunan untuk kebutuhan sehari – hari.

Situ Sipatahunan, tempat wisata yang setengah matang

Walaupun memiliki status sebagai tempat wisata, jalan  yang menuju Situ Sipatahunan tergolong tidak layak. Jalan sepanjang 1,5 km tergolong sempit dan tidak rata. Sehingga, saya tidak bisa membayangkan bus wisata berukuran besar bisa melalui jalan tersebut.

Setelah jalan selama 15 menit, pemandangan Situ Sipatahunan akan terlihat. Pemandangan Situ Sipatahunan lebih diisi dengan warna hijau dan coklat muda. Warna hijau berasal dari pohon – pohon di gunung yang berada di belakang Situ Sipatahunan. Sedangkan warna coklat muda berasal dari air Situ Sipatahunan.

Situ Sipatahunan dan TPS

 

Rasanya ada yang mengganggu pemandangan Situ Sipatahunan. Gangguan tersebut berasal dari dua Tempat Pembuangan Sampah (TPS) . TPS tersebut berlokasi dekat dengan Situ Sipatahunan.

Selain TPS, terdapat satu hal lagi yang mengganggu pemandangan Situ Sipatahunan. Gangguan tersebut datang saat saya ingin buang sampah. Situ Sipatahunan yang berstatus tempat wisata tidak memiliki tempat sampah. Mungkin karena itulah, saya menemukan banyak sampah yang tercecer di sekeliling Situ Sipatahunan.

Melihat banyak kekurangan Situ Sipatahunan yang disebabkan oleh manusia. Rasanya Situ Sipatahunan kurang mendapat penghargaan dan perawatan dari warga dan pemerintah. Mungkin dengan sedikit perawatan, Situ Sipatahunan akan indah seperti seharusnya.

Keindahan Situ Sipatahunan tanpa TPS

 

 

Tautan asli: https://catatanvecco.wordpress.com/2015/03/24/catatan-perjalanan-situ-sipatahunan/

Cheng Beng ala Komunitas Aleut

Oleh: Hani Septia Rahmi (@tiarahmi)

Cheng Beng merupakan suatu tradisi ziarah kubur etnis Tionghoa yang diselenggarakan setiap tanggal 4,5,dan 6 April. Dalam kepercayan Tionghoa pada tanggal-tanggal tersebut arwah nenek moyang mereka turun ke bumi. Para keturunan wajib berziarah mendatangi kuburan leluruhnya. Dalam tradisi tersebut, para keturunan Tionghoa datang membersihkan makam leluhur, sembahyang, sambil membawa makanan yang diletakkan di altar. Menurut penuturan Abah Asep Suryana yang menjadi interpreter Aleut kali ini, setelah melaksanakan ritual, makanan tersebut dibawa pulang untuk dimakan bersama-sama di rumah.

Abah Asep Suryana juga menceritakan pengalaman masa kecilnya. Dalam rentang tahun 1972-1977, Abah Asep bersekolah di SD Negeri IV Cikadut di Kampung Jarambas yang tidak jauh dari TPU Hindu-Buddha Cikadut. Bagi beliau, TPU Hindu-Buddha ini merupakan tempat bermain ketika istirahat ataupun selepas pulang sekolah.

Sekitar tahun 1970-an, setiap kali ada perayaan Cheng Beng, parkiran Cikadut tidak mampu menampung banyaknya kendaraan peziarah yang berkunjung karena meluap hingga ke sepanjang Jalan Raya Timur (Jl. A.H. Nasution sekarang). Apabila perayaan Cheng Beng jatuh pada hari sekolah, ada segelintir teman SD Abah membolos untuk  mencari uang jajan sebagai cleaning service kuburan dadakan.

Sekarang, perayaan Cheng Beng tidak seramai dahulu. Menurut Andry Harmony yang sempat berdiskusi dengan saya di Facebook, salah satu penyebab perayaan Cheng Beng tidak seramai dahulu disebabkan terjadinya pergeseran tradisi pemakaman etnis Tionghoa. Tradisi pemakaman yang awalnya dilakukan dengan cara penguburan di tanah beralih dengan cara dikremasi kemudian dilarung ke laut. Pergeseran tradisi ini disebabkan oleh keterbatasan lahan TPU Cikadut karena semenjak tahun 1990, luas area TPU  tidak diperluas lagi sehingga petugas dinas pemakaman menyarankan kremasi sebagai solusi alternatif untuk memakamkan. Selain itu, juga karena maraknya penjarahan makam yang dilakukan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Penjarahan tak hanya mengambil pagar besi di permukaan, banyak pula makam-makam yang dibongkar untuk diambil perhiasan ataupun barang berharga yang biasanya turut dikubur bersama jenazah.

***

hani1

Cheng Beng ala Komunitas Aleut berlangsung pada Minggu, 15 Maret 2015, tepat sehari setelah Kirab Cap Go Meh yang diadakan oleh Pemerintah Kota Bandung. Cheng Beng ala Komunitas Aleut bertujuan untuk belajar dan mengeksplorasi kawasan TPU Cikadut seluas lebih dari 100 ha yang terletak di timur Kota Bandung. Dengan luas tersebut, TPU Cikadut dinobatkan sebagai nekropolis terbesar se-Asia Tenggara (Nanang Saptono, 2015).

#InfoAleut: Ngaleut Ciparay

2015-03-22 Ciparay 2

Hari Minggu (22/03/2015) kita akan… “Ngaleut Ciparay”. Mari cari tahu mengenai beberapa situs yang ada di daerah ini.

Apa saja situs yang akan kita kunjungi? Bagaimana keadaan situs tersebut? Benarkah di akhir kegiatan akan ada makan bersama? Daripada bingung, mending ikutan aja 🙂

Tertarik untuk bergabung? Langsung saja kumpul di Circle-K Buah Batu (sebelah Domino’s Pizza) pukul 07.30 WIB. Untuk yang akan bawa sepeda motor, mohon membawa dua helm supaya Aleutians lain yang ga bawa motor bisa nebeng 😀

Nah, jangan lupa untuk konfirmasikan kehadiranmu ke nomor 0896-8095-4394. Kirim SMS dengan format nama, kesedian untuk ikut serta, dan keterangan apakah bawa motor atau tidak. Ingat, konfirmasi ini hukumnya WAJIB yah 🙂

Cara Gabung Aleut

Untuk yang mau daftar keanggotaan, langsung aja di tempat kumpul kegiatan. Konfirmasikan kehadiranmu, hadir di tempat kumpul, lalu daftarkan keanggotaanmu dengan biaya iuran Rp 10.000,00. Voila! Kamu sudah terdaftar sebagai anggota Komunitas Aleut 😀

Sekian saja Info Aleut pagi hari ini. Ayo datang dan ramaikan, karena tiada kesan tanpa kehadiranmu 🙂

Catatan Perjalanan: Makam Buniwangi yang Keramat

Oleh: Vecco Suryahadi Saputro (@veccosuryahadi)

buni, teu babari katembongna, katenjona, lantaran katutupan (pengertian Buni di Kamus Basa Sunda)

Sebetulnya, Bandung dan sekitarnya adalah kota yang memiliki banyak makam keramat. Makam keramat seperti makam di Caringin Tilu, Gunung Batu, dan Pageur Maneuh adalah sedikit makam keramat yang berada di Bandung. Salah satu makam keramat yang berada di Bandung adalah makam Buniwangi.

Buniwangi, salah satu makam keramat di Bandung

Salah satu makam keramat di Buniwangi
Salah satu makam keramat di Buniwangi

Makam yang berada di Desa Buniwangi adalah makam yang pernah diceritakan oleh Haryoto Kunto dalam buku Semerbak Bunga di Bandung Raya. Dalam tulisannya, Haryoto Kunto mendeskripsikan kondisi makam Buniwangi yang tua dan berlumut.

Menurut kuncen Buniwangi, makam Buniwangi memiliki hubungan dengan beberapa tokoh. Pada awalnya, makam Buniwangi adalah salah satu lokasi pelarian Prabu Siliwangi. Setelah menjadi tempat pelarian, lokasi makam Buniwangi menjadi tempat Dalem wangi. Setelah Dalem wangi pindah ke Subang, lokasi makam Buniwangi dimiliki oleh Buniwangi atau Kentringmanik.

Perlu kita ketahui bahwa Kentringmanik adalah “penguasa gaib” kota Bandung. Konon menurut W. H. Hoogland, Kentringmanik adalah dewi penguasa mata air Sungai Citarum. Selain itu, tokoh Kentringmanik adalah permaisuri Prabu Siliwangi.

Di dalam komplek Makam Buniwangi

Pendopo dan Paseban di Makam Buniwangi
Pendopo dan Paseban di Makam Buniwangi

Terdapat dua kawasan saat berada di komplek Makam Buniwangi. Kawasan tersebut antara lain Paseban dan Pendopo. Paseban adalah tempat ritual yang berada di Makam Buniwangi. Sedangkan Pendopo adalah lokasi makam keramat Buniwangi.

Sesajen di Makam Buniwangi
Sesajen di Makam Buniwangi

Saat berada di Paseban, kita akan menemukan banyak sesajen yang berada di makam. Menurut kuncen Buniwangi, sesajen yang berada di makam adalah upeti atau pajak peziarah untuk Buniwangi. Sesajen yang diberikan berupa telur dan kopi.

Terdapat larangan yang harus dipatuhi saat berada di komplek Makam Buniwangi. Larangan tersebut antara lain melepas alas kaki di pohon dan mengucapkan salam saat berziarah.

Menurut kuncen Buniwangi, pohon – pohon yang ditanam di komplek Makam Buniwangi bermacam – macam. Terdapat lima jenis pohon yang tumbuh di komplek makam. Pohon tersebut antara lain pohon Jajaway, Nunuk, Kawung, Lame, dan Pancawarna atau Limawarna. Salah satu pohon yang sudah lama tumbuh di makam adalah pohon Jajaway.

Pintu masuk makam Buniwangi
Pintu masuk makam Buniwangi

Sumber Bacaan :

Semerbak Bunga di Bandung Raya karya Haryoto Kunto

Kamus Basa Sunda karya R. A. Danadibrata

Tautan asli: https://catatanvecco.wordpress.com/2015/03/15/catatan-perjalanan-makam-buniwangi-yang-keramat/

Kenangan Ke Cikadut-Panyandaan

Oleh: Deris Reinaldi

Kenangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sesuatu yang membekas di ingatan. Mengapa kenangan itu membekas? Karena, kenangan indah bagi saya sulit dilupakan dan ketika teringat selalu tersenyum dan ingin mengulangnya kembali. Untuk masalah kenangan, saya memiliki kenangan yang menyenangkan. Kenangan ini tentunya indah dan sulit dilupakan, yaitu ketika mengikuti “Ngaleut Cikadut” pada hari Minggu, 15 Maret 2014. Bagi saya ini ngaleut terlama dan terjauh juga selama saya menjadi pegiat.

IMG-20150316-WA0003[1]

Perjalanan dimulai dari Jl. Cikadut ke pemakaman Cikadut bawah. Di Cikadut ini merupakan pemakaman orang Tionghoa tetapi ada juga umat Nasrani yang dimakamkan di sini. Di situ terlihat tempatnya yang lumayan kumuh dan ada semacam gapura yang kurang begitu terawat. Menurut seorang teman, katanya ketika zaman dulu ada yang meninggal lalu dimakamkan di Cikadut maka diantar oleh kereta kencana dan keretanya hanya mengantarkan sampai gapura ini. Dari situ baru digotong ke atas. Di sekitar gapura ini pun ada tempat pembuangan sampah yang menimbulkan bau tak sedap.

20150315_090711[1]

Perjalanan berlanjut ke bagian atas. Di bagian ini terdapat makam yang terlihat seperti rumah makam Tan Djoen Liong yaitu salah satu letnan Tionghoa di Bandung. Kemudian berlanjut ke makam orang Tionghoa muslim yaitu makam Ibu Djuhriah yang dulunya merupakan guru kepala SD Priangan. Makam-makam Tionghoa ini sangat besar, batu nisannya diletakkan dibagian kaki agar posisinya seperti didalam rahim ibu. Ketika dimakamkan biasanya di dalam peti itu selain terdapat jenazah juga terdapat emas dan apabila belum menikah maka di dalam peti terdapat boneka.

Selama perjalanan ini kami berjalan dengan menaiki tembok-tembok pemakaman.sebelum berjalan. Di jalan kami juga melewati rerumputan dan ilalang. Artinya, selama perjalanan kami dikerubungi banyak nyamuk. Untuk menyiasatinya, sebelum memulai perjalanan maka kami menggunakan lotion anti-nyamuk untuk mengantisipasinya. Sepanjang kegiatan, jalanan ditempuh secara spontan dengan cara mapay tembok-tembok.

20150315_122846

Setelah berjalan dengan jalann yang semakin nanjak dan cuaca yang semakin panas, kami menemukan makam yang cukup bagus karena makam ini begitu luas dan di atas temboknya ada bacaan “Atlantic Park”. Di balik makam ini ada sebuah bangunan dengan bacaan lain yaitu “Menara Peringatan Jasa Ibu”. Kami masuk, dan di dalam ada penjaganya yaitu Pak Jahri. Pak Jahri mengajak kami untuk melihat abu jenazah yang berada di dalam. Ternyata, Pak Jahri pun tinggal di dalam ruangan tempat menyimpan abu jenazah. Untuk melihat abu jenazah yang berada didalam guci, Pak Jahri meminta izin terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan agar roh yang ada di dalam guci tidak marah. Di sekitar makam ini pemandangan sangat indah, termasuk Bandung yang terlihat begitu padat oleh banyak sekali bangunan.

Di sekitar pemakaman Cikadut ini ada makam yang terbilang megah, yaitu makam Jo Soek Gie dan Na Kim Lian. Di dalamnya terdapat 2 makam yang tempatnya begitu bersih dan terawat. Kami menyempatkan untuk istirahat sejenak sambil berbincang-bincang karena mulai lelah dengan perjalanan. Suasananya yang begitu sejuk membuat sebagian pegiat merasa ngantuk. Waktu semakin siang sehingga kami pun melanjutkan perjalanan kembali menuju krematorium, yaitu tempat pembakaran jenazah. Tempatnya terdapat di atas yang nanjak dan semakin panas. Waktu menunjukkan jam 10 dan kami tiba juga di krematorium yang didirikan pada tahun 1967. Ketika kami datang, sedang ada proses pembakaran jenazah. Di dalam tempat pembakaran begitu panas sekali sehingga hanya sebentar saja masuk ke dalamnya.

20150315_132140

Setelah dari Krematorium Cikadut kami diberi bonus perjalanan, yaitu melanjutkan perjalanan ke Panyandaan. Perjalanannya begitu jauh. Seorang pegiat berinisiatif memberitahu bahwa ada jalan pintas menuju Panyandaan, ternyata jalan pintasnya begitu jauh. Di atas Cikadut, pemandangan Bandung tampak begitu lebih indah.

Namun ketika dalam perjalanan, tenyata jalan pintas ini menuju ke arah yang salah sehingga begitu jauh sekali. Akhirnya untuk menuju ke jalan yang “benar” kami menyusuri tembok makam-makam yang penuh rumput yang mana jalannya begitu sulit dilalui. Perjalanan membuahkan hasil. kami mendapat pencerahan juga yaitu menemukan rumah penduduk dan ketika berjalan menemukan warung, tapi kami tidak berhenti disitu karena ada seorang pegiat telah menunggu di warung yang berada di jalan besar.

Warung pun menjadi penuh sesak oleh pegiat Komunitas Aleut. Makanan seperti risoles, bala-bala dan tahu goreng tepung pun habis sekejap karena kami mulai kelaparan. Lalu tukang es cendol pun tiba, si emang pun disambut oleh pegiat Komunitas Aleut. Mengingat waktu sudah pukul 12.00 dan cuaca yang semakin panas, kami pun mendadak primitif ketika menemukan makanan. Maklum, sepanjang perjalanan kami dan tidak menemukan orang yang berjualan. Perjalanan pun berlanjut ke Panyandaan. Di Panyandaan terdapat situ batu zaman megalitikum.

Di situs batu zaman megalitikum

Jalan semakin menanjak bahkan ada yang mencapai 45 derajat. Ada yang bilang sebentar lagi sampai, cuma dua belokan lagi. Dalam hati berkata “Alhamdulilah”, tapi dua belokan yang dimaksud itu ialah belokan ke kiri dan atau ke kanan, yang sebenarnya masih jauh, jalannya banyak belokan. Kami sangat menikmati perjalanan ini walaupun cukup capek. Sudah sekian lama berjalan menemukan plang pesantren dengan jarak 1 KM. Dsitu langsung nge-down karena situs batu zaman megalitikum dekat dengan pesantren. Kaki pun pegal dan kami bersitirahat sejenak di pinggiran jalan yang sepi tetapi sejuk.

Setelah lama berjalan kami akhirnya tiba juga ditempat tujuan. Untuk memasuki situs batu zaman megalitikum ini kami harus masuk dari pesantren. Setelah tiba di situ batu itu ada beberapa pegiat mencoba mengukur panjang batu dan ada juga yang mengamati. Setelah selesai kami kembali lagi ke bawah untuk perjalanan pulang. Ternyata jalan ke bawah ini sungguh lebih berat ketimbang berjalan keatas, berjalan kebawah terasa kagok apabila tidak mengerem diri malah bisa menjadi cepat dan dikhawatirkan jatuh. Cuaca pun mulai gelap dan hujan mulai rintik.

IMG-20150316-WA0000[1]

Ketika di bawah kami pun berkumpul di warung. Di situ kami berbincang-bincang dan seperti biasa di akhir kegiatan Komunitas Aleut selalu melakukan sharing mengenai perjalanan selama ini. Sambil menunggu mobil bak terbuka untuk pulang kami ngobrol di warung. Cuaca pun mendung dan hujan saat mobil bak terbuka pun tiba. Kepulangan dibagi menjadi dua kloter karena mobil bak tidak cukup untuk mengangkut semua pegiat. Kloter pertama langsung naik sambil hujan-hujanan. Setelah tiba dibawah ada seorang pegiat membawa terpal sehingga bisa lesehan di salah satu klinik di Cikadut, serta sebagian ada yang membeli mie baso. Perjalanan kegiatan ngaleut Cikadut ini mengesankan sekali tentunya menjadi kenangan terindah.

20150315_154502

Sumber Foto:

1. Arya Vidya Utama

2. Deris Reinaldi

3. Gita Diani Astari

 

Tautan asli: https://derisreinaldi.wordpress.com/2015/03/17/kenangan-ke-cikadut-panyandaan/

Cikadut – Panyandaan; Terasing dalam Hidup dan Mati

Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)

Waktu Mang Asep (pegiat Aleut) menjelaskan sejarah pemakaman seorang Letnan Cina dengan menggunakan gambar lawas, saya tiba-tiba membayangkan betapa jauh dan lelahnya mengantarkan seseorang yang telah meninggal menuju tempat istirahatnya yang terakhir. Bagaimana tidak, gambar tersebut adalah iring-iringan pengantar jenazah yang sedang berada di depan gedung de Vries (totogan Jalan Asia-Afrika dan Jalan Braga), menuju ke Cikadut. Menyusuri panjangnya Jalan Raya Pos dengan kereta jenazah yang didorong tentu bukan hal yang mudah, apalagi perjalanannya dimulai dari Citepus!

Adalah Tan Joen Liong, seorang Letnan Cina yang pernah memimpin orang-orang Cina di Bandung selama 29 tahun, jenazah yang sedang diantarkan itu. Beliau meninggal pada usia 58 tahun (1859-1917), kini makamnya (bong) terletak di tanah yang membukit, seperti hendak mengawasi kehidupan orang-orang yang berada di bawah.

Deretan bong pay (nisan) yang meluas-panjang sampai ke Cimenyan, buat saya menyisakan beberapa pertanyaan; kenapa pemakaman dipisah-pisah berdasarkan agama, kepercayaan, dan bahkan etnis? Tidak cukupkah sewaktu hidup garis batas-garis batas itu menjadi pemicu konflik dan stereotip?

Dari semenjak pemakaman Banceuy dipindahkan, pengelompokkan itu sudah ada. Makam orang-orang Eropa pindah ke Kebon Jahe yang sekarang menjadi GOR Pajajaran, makam orang-orang Cina ke Babakan Ciamis (Us Tiarsa dalam buku Basa Bandung Halimunan menyebutnya Bong), dan orang-orang pribumi yang mayoritas muslim ke Astana Anyar. Entah apa yang dikehendaki Belanda dari pemisahan komplek pemakaman ini. Dan sampai sekarang pemisahan ini masih berlaku.

Jika alasannya menyangkut teknis pemakaman, karena misalnya orang muslim harus menghadap kiblat, dan orang Cina (yang non muslim tentu saja) harus menghadap tempat yang disenangi mendiang sewaktu hidupnya, saya pikir hal ini masih bisa disiasati dengan menata letak. Sejarah yang memanjang ke belakang telah mencatat tentang konflik dan kerusuhan antar etnis dan agama, maka pemisahan komplek pemakaman ini seperti hendak mengabadikan luka; bahwa ya, kita memang berbeda, dan tak dapat disatukan.

Pecinan sebagai simbol pembeda (keterasingan) antara keturunan Cina dengan etnis lain ternyata berlanjut sampai pasca kematian. Di bukit-bukit, jenazah-jenazah yang rabuk persemaian atau abu dingin dalam tempat-tempat yang kerap dido’akan, lagi-lagi terasing dari leburnya pergaulan agama dan etnis.

Tapi saya pun bisa bersangka baik; mungkin pemisahan ini untuk mempermudah kerja-kerja statistik, atau mungkin juga untuk kenyamanan ritual pemakaman tiap-tiap agama.

Sebagaimana sejarah yang tak melulu hitam-putih, tak semuanya bisa dikategorikan pada dua kutub antara kawan dan lawan, demikian juga dengan komplek pemakaman. Pukul rata tidak berlaku di Cikadut, sebab di antara makam-makam bernisan tulisan Cina dan dilengkapi dengan simbol Dewa Langit dan Dewa Bumi tersebut, ternyata ada juga makam orang-orang Kristen yang ditandai dengan salib, juga ada makam orang Cina keturunan yang beragama Islam.

Ibu Djuhriah salahsatunya. Di nisan mantan guru kepala di SD Priangan tersebut bertuliskan aksara Arab yang berbunyi; Inna lillahi wainnailaihi rojiun (Sesungguhnya kami berasal dari Alloh, dan kepada Allohlah kami kembali). Konon guru muslim itu masih keturunan Cina. Murid-murid sekolah dasar di sekolah bekas Ibu Djuhriah mengabdi semasa hidupnya, masih kerap berziarah ke makam ini ketika hendak menjalani ujian. Entah mendo’akan orang yang telah meninggal, atau malah sebaliknya. Sebab kedua hal ini kadang-kadang dipisahkan oleh selaput tipis.

Selain itu, ada juga satu makam yang dinisannya bernama Ibu Ipoh. Di nisan ini pun bertuliskan aksara Arab, dan bahkan di simbol Dewa Bumi pun tulisannya memakai huruf Arab yang bunyinya : Dewa Tanah. Dua nisan tersebut hanyalah contoh kecil, karena mungkin di dalam komplek pemakaman Cikadut yang luas masih terdapat nisan-nisan orang Islam yang lain.

***

“Islam datang dalam keadaan asing. Dan ia akan kembali asing sebagaimana kedatangannya. Maka beruntunglah orang-orang yang asing itu.” (HR. Muslim)

Selepas Cikadut, jika diteruskan ke atas, maka akan sampai ke Panyandaan. Di sana ada bukit yang cukup terjal, jalan untuk kendaraan yang kemiringannya membuat kesal para pejalan kaki adalah bukti. Di puncak bukit, selain ada dua situs pra Islam, juga terdapat sebuah pesantren yang bernama Baitul Hidayah.

Pesantren yang lokasinya jauh dari perkampungan ini dihuni oleh sekira (baru) 100 santri. Hal ini selain dipengaruhi oleh letaknya yang susah dijangkau, juga karena masih terbilang baru, berdirinya di tahun 2010. Dari dua orang santri yang kebetulan sedang duduk di dekat situs tersebut, diketahui bahwa setiap santri hanya diperbolehkan pulang ke rumah sebanyak dua kali dalam setahun, atau satu semester sekali. Kedua santri yang ajak bicara itu berasal dari Sukajadi dan Ciburial-Dago.

Selain pondok pesantren yang menekankan mempelajari kitab kuning (di antaranya Fathul Barri dan Riyadus Solihin–yang kini terjemah bahasa Indonesianya sudah beredar luas), di sana juga terdapat jenjang pendidikan setingkat SMA dan SMP. Namun sebagaimana umumnya pondok pesantren, setelah lulus SMA santri tidak boleh langsung keluar, harus mengabdi dulu di pondok selama setahun. Di lingkungan pesantren semua santri diwajibkan berkomunikasi memakai bahasa Arab dan bahasa Inggris, tapi rupanya kurang ketat—buktinya saya bisa berkomunikasi memakai basa Sunda dengan mereka. Sementara ini Ponpes Baitul Hidayah di Panyandaan belum menerima santri putri, mungkin karena keterbatasan tenaga pengajar.

Hal-hal demikian, yaitu; cara berkomunikasi, bahan bacaan, pengabdian setahun, dan jarang pulang tentu tidak terlalu aneh, sebab di pondok pesantren di seantero Pulau Jawa hal tersebut hampir sama. Yang menarik buat saya justru pemilihan tempat. Berlokasi di puncak bukit dan jauh dari keramaian, membuat pesantren ini seolah-olah ingin mengasingkan diri dari hiruk-pikuk kehidupan masyarakat luas.

Mungkinkah tujuannya ingin seperti bunyi hadits yang saya tulis di atas? Entah, sebab setahu saya kata “asing” di hadits tersebut bukan merujuk pada letak geografis, namun lebih kepada penerimaan umat terhadap ajaran Islam. Istilah “Islam KTP” dan semua turunannya mungkin lebih tepat untuk menggambarkan kata “asing” tersebut. Artinya, antara Islam sebagai ajaran dan pemeluknya ada jarak yang jauh, yang mungkin bisa dijembatani oleh sesuatu yang bernama taqwa.

Namun lagi-lagi, karena secara normatif mengedepankan prasangka itu kurang elok, mungkin lebih baik pertanyaan-pertanyaan tersebut diendapkan dulu.

***

Dari dua tempat yang dikunjungi itu, saya mendapuk kata “asing” menjadi man of the match di perjalanan kali ini. Pada pengelompokan kuburan dan pesantren yang menjauh dari khalayak ramai, menguar aroma keterasingan yang tajam—yang kemudian memicu sederetan pertanyaan.

Tak apa, sebab seperti kata Socrates; hidup yang tak pernah dipertanyakan, tidak layak untuk dilanjutkan. [ ]

 

Foto : Arsip Irfan TP

 

Tautan asli: http://wangihujan.blogspot.com/2015/03/cikadut-panyandaan-terasing-dalam-hidup.html

Catatan Perjalanan: Pemakaman Cikadut

Oleh: Vecco Suryahadi Saputro (@veccosuryahadi)

Kadut artina beuteung kuat saparti munding (terjemahan kadut di Kamus Basa Sunda R. A. Danadibrata)

Pagi itu, Komunitas Aleut melakukan tema ngaleut yang jarang dijelajahi. Tema ngaleut tersebut adalah ngaleut pemakaman Cikadut. Jadi, rute dan kawasan yang dijelajahi berada di Pemakaman Cikadut.

Cikadut, pemakaman tua di Bandung

Pintu masuk Pemakaman Cikadut

Pintu masuk Pemakaman Cikadut

Sebelum ada peraturan yang mengatur pemakaman, warga Bandung kadang – kadang memakamkan keluarganya di pekarangan rumah. Hal tersebut dilakukan karena ada yang tidak punya uang atau tidak adanya lahan pemakaman.

Setelah ada peraturan yang mengatur pemakaman, semua kuburan yang berada di Banceuy dipindahkan ke pinggiran kota Bandung. Pemakaman bagi orang Belanda dan Eropa berada di Kebon Jahe yang sekarang menjadi GOR Padjadjaran. Pemakaman bagi orang Tionghoa berada di Babakan Ciamis. Sedangkan orang pribumi berada di Astanaanyar, Sirnaraga, Gumuruh, dan Maleer.

Lalu setelah perluasan wilayah kota Bandung, beberapa makam dipindahkan. Perluasan wilayah kota Bandung juga menjadi penyebab dibangunnya Pemakaman Pandu. Salah satunya, beberapa makam Tionghoa yang dipindahkan ke Pemakaman Cikadut.

Jika bertanya mengenai tahun berdiri Pemakaman Cikadut, saya tidak bisa memberikan tahunnya secara pasti. Tapi berdasarkan ngaleut tadi, saya dan Komunitas Aleut menemukan salah satu makam yang telah ada sejak tahun 1909. Sehingga saya bisa menyimpulkan bahwa Pemakaman Cikadut sudah menjadi pemakaman orang Tionghoa sejak 1909.

Makam – makam yang menarik di Cikadut

Makam Tan Djoen Liong

Makam Tan Djoen Liong

Sebelumnya, saya menyebutkan keberadaan makam yang ada sejak tahun 1909. Makam tersebut berlokasi di sebelah kanan dari jalan utama Pemakaman Cikadut. Makam tersebut adalah makam Ong Kwi Nio yang bersebelahan dengan makam Tan Joen Liong, salah satu luitenant Tionghoa di Bandung.

Rumah yang menaungi makam Ong Kwi Nio dan Tan Joen Liong mengingatkan saya akan rumah kolonial di Bandung tahun 1900-an. Hal tersebut terlihat dari dua pilar di beranda dan atap yang khas. Bentuk atap rumah tersebut masih bisa ditemukan di sekitaran Cimahi dan Bandung tengah.

Makam Ibu Djuriah

Makam Ibu Djuriah

Selain makam Ong Kwi Nio dan Tan Joen Liong, terdapat makam yang memiliki nisan khas pemakaman muslim. Makam tersebut adalah milik Ibu Djuriah yang merupakan orang Tionghoa beragama Islam. Sebelah makam Ibu Djuriah, kami menemukan makam yang menurut kuncen adalah makam suami Ibu Djuriah.

Makam bersama di Pemakaman Cikadut

Makam bersama di Pemakaman Cikadut

Setelah berjalan ke arah barat dari makam Ibu Djuriah, kami melihat satu makam yang berbentuk tugu dengan bola di atapnya. Makam tersebut adalah makam bersama satu keluarga. Menurut kang Asep, keluarga yang dimakamkan di sini adalah korban kecelakaan. Terdapat tulisan Makam Bersama Kiauwpau Madja 1 – 12 – 1952 oleh Huachiaolienhui.

Makam Atlantic Park

Makam Atlantic Park

Jika melihat ke atas dari Cikadut bagian bawah, terdapat satu makam besar yang berkubah putih. Makam tersebut tertulis Atlantic Park. Pada bagian belakang makam, kami bertemu dengan kuncen yang menetap dan merawat makam tersebut.

Nisan Ipoh

Nisan Ipoh

Sedikit menerobos makam – makam yang kurang beraturan di Cikadut, kami menemukan satu makam yang memiliki nisan beraksara arab. Makam tersebut milik Ipoh yang meninggal tahun 1991. Walaupun beraksara arab, bentuk makam tersebut sama dengan makam Tionghoa lainnya.

Nisan Yo Soek Gie dan Na Kim Lian

Nisan Yo Soek Gie dan Na Kim Lian

Komunitas Aleut di makam Yo Siok Gie

Komunitas Aleut di makam Yo Siok Gie

Setelah berjalan cukup jauh dari gerbang Cikadut, kami melihat satu makam yang berukuran lebih besar dibanding makam – makam lainnya. Makam tersebut diberi pagar dan dua atap kembar. Makam tersebut adalah makam milik Na Kiem Liam dan Yo Giok Sie.

Yo Giok Sie adalah pemilik dari pabrik tekstil BTN atau Batena di Bandung Timur. Menurut kang Asep, pabrik tekstil BTN telah ada sejak era kolonial Belanda. Pada tahun 1941, Yo Giok Sie membeli pabrik tersebut dari pemerintah kolonial Belanda. Sekitaran pabrik tersebut, terdapat bangunan panjang yang menjadi rumah bagi pekerja pabrik.

Bentuk makam yang khas di Pemakaman Cikadut

Makam berbentuk rahim ibu

Makam berbentuk rahim ibu

Seperti makam yang berada di Pemakaman Pandu, terdapat bentuk khas makam yang berada di Pemakaman Cikadut. Bentuk khas tersebut terlihat dari bentuk makam yang menyerupai rahim ibu.

Terdapat bagian – bagian pada makam di Pemakaman Cikadut. Jika kita lihat dari depan, bagian muka nisan adalah pintu masuk rahim ibu. Sedangkan bagian kiri dan kanan makam terlihat memanjang seperti lengan atau kaki. Selain itu, terdapat dua monumen untuk dewa keberuntungan dan dewa tanah pada makam.

Kremasi bukan keramas!

Bagian muka Krematorium di Pemakaman Cikadut

Bagian muka Krematorium di Pemakaman Cikadut

Jika membaca beberapa buku tentang agama Hindu dan Budha, saya teringat salah satu upacara yang selalu membuat merinding. Upacara tersebut adalah kremasi. Proses kremasi adalah proses pembakaran jenazah atau tulang jenazah hingga menjadi abu. Walaupun sering dilakukan, jenazah masih memiliki pilihan dikremasi atau dikuburkan.

Pada Pemakaman Cikadut, terdapat dua tempat kremasi atau krematorium yang masih aktif. Salah satu krematorium berhasil kami kunjungi. Krematorium tersebut telah berdiri sejak tahun 1967. Terdapat tiga oven pada krematorium tersebut. Selain oven, dua pohon yang mengapit krematorium adalah pohon Bodhi.

Pada saat ngaleut, sedang ada proses kremasi di krematorium. Saya yang termasuk orang penasaran melihat proses kremasi. Saat melihat ke oven, saya masih melihat tulang yang dibakar dengan semprotan api. Perasaan ngeri, mual, dan kaget campur aduk saat melihat proses tersebut.

Pemakaman Cikadut kini dan nanti

Pemakaman Cikadut termasuk pemakaman terbesar di Indonesia atau bahkan Asia Tenggara. Menurut kang Asep, Pemakaman Cikadut memiliki luas hingga 125 Ha. Jika tanah warga terus dibeli untuk makam, masih ada kemungkinan Pemakaman Cikadut makin luas.

Selain makin luas, makam – makam yang berada di Pemakaman Cikadut tergolong berantakan. Makam yang berantakan tersebut mengingatkan saya akan pemakaman Pandu. Oleh karena itu, sepertinya harus ada peraturan yang mengatur letak dan posisi makam agar tidak berantakan.

Sumber Bacaan :

Semerbak Bunga di Bandung Raya karya Haryoto Kunto

Wadjah Bandoeng Tempo Doeloe karya Haryoto Kunto

Kamus Basa Sunda karya R. A. Danadibrata

 

Tautan asli: https://catatanvecco.wordpress.com/2015/03/16/catatan-perjalanan-pemakaman-cikadut/

Mewahnya “Tempat Ngaso” Terakhir Etnis Tionghoa

Oleh: M. Taufik Nugraha (@abuacho)

Memasuki Tempat Pemakaman Umum (TPU) Cikadut, kita akan disuguhi berupa pemandangan kuburan-kuburan yang mewah. Bangunan dengan desain yang menarik dan mewah dibangun di atas lahan kuburan yang boleh dibilang cukup luas, seperti salah satunya foto kuburan yang ada di bawah ini:

tpu cikadut, tpu hindu-budha cikadut, makam cina bandung, makam tionghoa bandung, makam etnis tionghoa, bongpai, makam ibu djuhriah, makam islam di tpu cikadut, makam muslim di tpu cikadut, menara abu umum, tempat kremasi di tpu cikadut, yayasan krematorium bandung, yayasan krematorium bandung di tpu cikadut, ngaleut, aleut, komunitas aleut, makam yo giok sie, makam pendiri pabrik tekstil terbesar di kota bandung, makam pendiri PT. Badan Tekstil Nasional, makam pendiri PT. Batena, makam Tan Joen Liong

Salah Satu Kuburan Yang Ada di TPU Cikadut

TPU Cikadut sendiri sejatinya merupakan tempat pemakaman bagi orang-orang dari etnis Tionghoa yang beragama Hindu, Budha, ataupun Kong Hu Cu (seperti yang tertera pada plang sebelum masuk TPU Cikadut), namun pas kegiatan ngaleut kemarin, banyak juga saya temui kuburan orang – orang dari suku – suku yang ada di Indonesia, terutamanya suku Batak yang beragama Kristen, dan yang lebih menariknya lagi, saya temui juga kuburan orang Islam di TPU tersebut.

tpu cikadut, tpu hindu-budha cikadut, makam cina bandung, makam tionghoa bandung, makam etnis tionghoa, bongpai, makam ibu djuhriah, makam islam di tpu cikadut, makam muslim di tpu cikadut, menara abu umum, tempat kremasi di tpu cikadut, yayasan krematorium bandung, yayasan krematorium bandung di tpu cikadut, ngaleut, aleut, komunitas aleut, makam yo giok sie, makam pendiri pabrik tekstil terbesar di kota bandung, makam pendiri PT. Badan Tekstil Nasional, makam pendiri PT. Batena, makam Tan Joen Liong

Salah Satu Kuburan Orang Batak Yang Beragama Kristen

Untuk kuburan orang Islam yang ada di TPU Cikadut, saya dan kawan-kawan dari Komunitas Aleut menemukan dua kuburan, dimana yang pertama yaitu kuburannya Ibu Djuhriah.

tpu cikadut, tpu hindu-budha cikadut, makam cina bandung, makam tionghoa bandung, makam etnis tionghoa, bongpai, makam ibu djuhriah, makam islam di tpu cikadut, makam muslim di tpu cikadut, menara abu umum, tempat kremasi di tpu cikadut, yayasan krematorium bandung, yayasan krematorium bandung di tpu cikadut, ngaleut, aleut, komunitas aleut, makam yo giok sie, makam pendiri pabrik tekstil terbesar di kota bandung, makam pendiri PT. Badan Tekstil Nasional, makam pendiri PT. Batena, makam Tan Joen Liong

Kuburan Ibu Djuhriah

 

Ibu Djuhriah sendiri semasa hidupnya merupakan kepala sekolah di SD Priangan, yang dapat kita ketahui dari tulisan yang terdapat pada nisan kuburan tersebut. Awalnya saya menyangka bahwa Ibu Djuhriah ini bukan dari etnis Tionghoa, karena tidak ada keterangan nama China-nya pada nisan kuburan, dan beranggapan beliau merupakan orang yang bertempat tinggal dekat dengan TPU tersebut, sehingga dimakamkan disana. Namun berdasarkan keterangan dari Kang Asep Suryana yang bertindak sebagai guide pada kegiatan ngaleut waktu itu, diketahui Ibu Djuhriah memang seorang muslim dari etnis Tionghoa, akan tetapi tidak diketahui pasti, apakah Ibu Djuhriah ini seorang mualaf atau memang dari lahir sudah memeluk Islam

Secara sekilas, kita dapat dengan mudah memperkirakan bahwa kuburan Ibu Djuhriah ini kuburannya orang Islam, yang bisa dilihat dari bentuk kuburan yang sudah umum kita lihat pada TPU khusus orang beragama Islam, namun untuk kuburan muslim yang satu ini, kita tidak dapat memperkirakannya secara cepat.

tpu cikadut, tpu hindu-budha cikadut, makam cina bandung, makam tionghoa bandung, makam etnis tionghoa, bongpai, makam ibu djuhriah, makam islam di tpu cikadut, makam muslim di tpu cikadut, menara abu umum, tempat kremasi di tpu cikadut, yayasan krematorium bandung, yayasan krematorium bandung di tpu cikadut, ngaleut, aleut, komunitas aleut, makam yo giok sie, makam pendiri pabrik tekstil terbesar di kota bandung, makam pendiri PT. Badan Tekstil Nasional, makam pendiri PT. Batena, makam Tan Joen Liong

Kuburan Muslim dengan Ornamen Khas Tionghoa

Jika kita melihat dari kejauhan, kita tidak akan menyangka bahwa kuburan tersebut merupakan kuburan yang “dihuni” oleh orang yang beragama Islam, karena bentuknya yang menyerupai kuburan-kuburan khas-nya orang Tionghoa yang beragama non-Islam, namun setelah didekati barulah dapat diketahui bahwa kuburan tersebut “diisi” oleh seseorang yang beragama Islam dengan nama Ipoh.

tpu cikadut, tpu hindu-budha cikadut, makam cina bandung, makam tionghoa bandung, makam etnis tionghoa, bongpai, makam ibu djuhriah, makam islam di tpu cikadut, makam muslim di tpu cikadut, menara abu umum, tempat kremasi di tpu cikadut, yayasan krematorium bandung, yayasan krematorium bandung di tpu cikadut, ngaleut, aleut, komunitas aleut, makam yo giok sie, makam pendiri pabrik tekstil terbesar di kota bandung, makam pendiri PT. Badan Tekstil Nasional, makam pendiri PT. Batena, makam Tan Joen Liong

Kuburan Ibu Ipoh

Dari nisan kuburan ibu Ipoh, terdapat tulisan “Inna Lillahi wa inna ilaihi raji’un”, yang menandakan betul bahwa beliau adalah seorang muslim. Selain itu posisi batu nisan terletak di bagian atas (kepala) dan bukannya berada di bagian bawah (kaki) – seperti umumnya bentuk kuburan orang-orang etnis Tionghoa yang beragama non-Islam.

Hal lain yang cukup menarik di kuburan ini adalah masih terdapatnya sebuah tempat untuk persembahan kepada Dewa Bumi dan juga Dewa Langit yang terletak pada bagian kanan dan kiri kuburan serta ditulis menggunakan Bahasa Arab, padahal agama Islam sendiri tidak mengenal konsep dewa.

tpu cikadut, tpu hindu-budha cikadut, makam cina bandung, makam tionghoa bandung, makam etnis tionghoa, bongpai, makam ibu djuhriah, makam islam di tpu cikadut, makam muslim di tpu cikadut, menara abu umum, tempat kremasi di tpu cikadut, yayasan krematorium bandung, yayasan krematorium bandung di tpu cikadut, ngaleut, aleut, komunitas aleut, makam yo giok sie, makam pendiri pabrik tekstil terbesar di kota bandung, makam pendiri PT. Badan Tekstil Nasional, makam pendiri PT. Batena, makam Tan Joen Liong

Tempat Sesembahan Untuk Dewa Bumi Yang Ditulis Dalam Bahasa Arab

 Berdekatan dengan kuburan ibu Ipoh, terdapat kuburan sang suami yaitu Souw Seng Kin, yang nampaknya mempunyai keyakinan yang berbeda dengan ibu Ipoh.

tpu cikadut, tpu hindu-budha cikadut, makam cina bandung, makam tionghoa bandung, makam etnis tionghoa, bongpai, makam ibu djuhriah, makam islam di tpu cikadut, makam muslim di tpu cikadut, menara abu umum, tempat kremasi di tpu cikadut, yayasan krematorium bandung, yayasan krematorium bandung di tpu cikadut, ngaleut, aleut, komunitas aleut, makam yo giok sie, makam pendiri pabrik tekstil terbesar di kota bandung, makam pendiri PT. Badan Tekstil Nasional, makam pendiri PT. Batena, makam Tan Joen Liong

Kuburan Souw Seng Kin – Suami dari Ipoh

Di TPU Cikadut sendiri, terdapat kuburan orang-orang penting yang ada di Bandung , seperti kuburannya Tan Joen Liong, yang meninggal pada tanggal 23 Agustus 1917, atau sudah hampir 100 tahun lamanya kuburan tersebut berada disana.

tpu cikadut, tpu hindu-budha cikadut, makam cina bandung, makam tionghoa bandung, makam etnis tionghoa, bongpai, makam ibu djuhriah, makam islam di tpu cikadut, makam muslim di tpu cikadut, menara abu umum, tempat kremasi di tpu cikadut, yayasan krematorium bandung, yayasan krematorium bandung di tpu cikadut, ngaleut, aleut, komunitas aleut, makam yo giok sie, makam pendiri pabrik tekstil terbesar di kota bandung, makam pendiri PT. Badan Tekstil Nasional, makam pendiri PT. Batena, makam Tan Joen Liong

Nisan Tan Joen Liong (Kapiten Titulair Der Chineezen)

Pada nisan (bongpai) Tan Joen Liong, terdapat tulisan Kapitein Titulair Der Chineeze, dimana berdasarkan hasil penelusuran di internet, Kapitein Titulair sendiri merupakan sebuah gelar kehormatan yang diberikan kepada Tan Joen Liong atas jasa dan pengabdiannya selama bekerja menjadi opsir dengan pangkat letnan yang bertugas di wilayah Bandung dengan masa bakti selama 25 tahun (1888 – 1917).

Dari informasi yang saya dapatkan juga di internet, TPU Cikadut sendiri resminya mulai beroperasi sejak tahun 1918, namun dari satu tahun sebelumnya yaitu tahun 1917 sudah banyak digunakan untuk lahan kuburan, salah satunya kuburan Tan Joen Liong tersebut. Tapi yang menariknya, disamping kuburan Tan Joeng Liong terdapat kuburan sang istri yaitu Ong Kwi Nio, yang pada nisan-nya tertulis bahwa beliau meninggal pada tanggal 13 Desember 1909 atau 8 tahun sebelum lahan tersebut digunakan sebagai lahan pemakaman.

tpu cikadut, tpu hindu-budha cikadut, makam cina bandung, makam tionghoa bandung, makam etnis tionghoa, bongpai, makam ibu djuhriah, makam islam di tpu cikadut, makam muslim di tpu cikadut, menara abu umum, tempat kremasi di tpu cikadut, yayasan krematorium bandung, yayasan krematorium bandung di tpu cikadut, ngaleut, aleut, komunitas aleut, makam yo giok sie, makam pendiri pabrik tekstil terbesar di kota bandung, makam pendiri PT. Badan Tekstil Nasional, makam pendiri PT. Batena, makam Tan Joen Liong

Nisan Ong Kwi Nio – Istri dari Tan Joen Liong

Kemungkinan besarnya kuburan dari istri Tan Joen Liong tersebut merupakan kuburan pindahan, karena berdasarkan penuturan salah seorang warga yang bekerja disana, kuburan yang paling awal memang kuburan-nya Tan Joen Liong tersebut.

Sayangnya kuburan Tan Joen Liong dan istri sudah tidak terawat, dimana banyak coretan-coretan yang menghiasi kuburan tersebut, selain itu atap, pilar, serta bagian-bagian lain dari kuburan tersebut sudah mengalami kerusakan.

Selain Tan Joen Liong, orang penting lainnya yang dikuburkan di TPU ini yaitu Yo Giok Sie pendiri dari PT. Badan Tekstil Nasional yang merupakan pabrik tekstil terbesar di Kota Bandung. Kuburan dari Yo Giok Sie dan istri ini, merupakan salah satu kuburan termewah yang saya lihat di TPU Cikadut.

Masuk ke kuburan ini bagai masuk ke dalam sebuah rumah. Kuburan ini dipagar serta dikunci, dan kita baru bisa masuk setelah mendapat izin dari penjaga kuburan tersebut.

tpu cikadut, tpu hindu-budha cikadut, makam cina bandung, makam tionghoa bandung, makam etnis tionghoa, bongpai, makam ibu djuhriah, makam islam di tpu cikadut, makam muslim di tpu cikadut, menara abu umum, tempat kremasi di tpu cikadut, yayasan krematorium bandung, yayasan krematorium bandung di tpu cikadut, ngaleut, aleut, komunitas aleut, makam yo giok sie, makam pendiri pabrik tekstil terbesar di kota bandung, makam pendiri PT. Badan Tekstil Nasional, makam pendiri PT. Batena, makam Tan Joen Liong

Pagar Kuburan Yo Giok Sie

Gaya bangunan di kuburan ini juga cukup unik, dimana atap-nya seperti sebuah payung bertingkat 2.

tpu cikadut, tpu hindu-budha cikadut, makam cina bandung, makam tionghoa bandung, makam etnis tionghoa, bongpai, makam ibu djuhriah, makam islam di tpu cikadut, makam muslim di tpu cikadut, menara abu umum, tempat kremasi di tpu cikadut, yayasan krematorium bandung, yayasan krematorium bandung di tpu cikadut, ngaleut, aleut, komunitas aleut, makam yo giok sie, makam pendiri pabrik tekstil terbesar di kota bandung, makam pendiri PT. Badan Tekstil Nasional, makam pendiri PT. Batena, makam Tan Joen Liong

Pegiat Aleut di Depan Kuburan Yo Giok Sie Dimana Bentuk Atap Yang Terdapat di Kuburan Tersebut Berbentuk Seperti Payung Bertingkat 2

Antara nisan Yo Giok Sie dengan istri-nya yang bernama M.M. Na Kim Lian, terdapat sebuah ukiran dari batu yang memperlihatkan kondisi bangunan pabrik tekstil yang dimilikinya tersebut.

tpu cikadut, tpu hindu-budha cikadut, makam cina bandung, makam tionghoa bandung, makam etnis tionghoa, bongpai, makam ibu djuhriah, makam islam di tpu cikadut, makam muslim di tpu cikadut, menara abu umum, tempat kremasi di tpu cikadut, yayasan krematorium bandung, yayasan krematorium bandung di tpu cikadut, ngaleut, aleut, komunitas aleut, makam yo giok sie, makam pendiri pabrik tekstil terbesar di kota bandung, makam pendiri PT. Badan Tekstil Nasional, makam pendiri PT. Batena, makam Tan Joen Liong

Gambar dari Ukiran Batu Yang Memperlihatkan Kondisi Bangunan Pabrik Tekstil (PT. BTN) Yang Dimiliki Oleh Yo Giok Sie

Yo Giok Sie sendiri meninggal pada tanggal 19 Desember 1971 pada usia 70 tahun, sedangkan istrinya meninggal pada tanggal 23 Agustus 1963, seperti yang tertera pada bongpai mereka.

Dari kuburan-kuburan mewah tersebut, dapat saya perkirakan bagaimana status sosial dan kondisi ekonomi orang – orang tersebut selama masa hidupnya. Lalu bagaimana dengan orang-orang dari etnis Tionghoa yang kondisi ekonominya tidak sekaya mereka?, salah satu opsi yang dapat ditempuh yaitu melakukan kremasi atau pembakaran mayat sampai menjadi abu, dimana di TPU Cikadut sendiri terdapat tempat kremasi yang bernama Yayasan Krematorium Bandung yang telah berdiri semenjak tahun 1967.

tpu cikadut, tpu hindu-budha cikadut, makam cina bandung, makam tionghoa bandung, makam etnis tionghoa, bongpai, makam ibu djuhriah, makam islam di tpu cikadut, makam muslim di tpu cikadut, menara abu umum, tempat kremasi di tpu cikadut, yayasan krematorium bandung, yayasan krematorium bandung di tpu cikadut, ngaleut, aleut, komunitas aleut, makam yo giok sie, makam pendiri pabrik tekstil terbesar di kota bandung, makam pendiri PT. Badan Tekstil Nasional, makam pendiri PT. Batena, makam Tan Joen Liong

Tempat Kremasi di TPU Cikadut

Beruntung sekali ketika berkunjung ke tempat kremasi tersebut, petugas disana memperlihatkan bagaimana proses pembakaran mayat di dalam sebuah “oven raksasa”, walaupun sebenarnya tidak ada mayat-nya.

tpu cikadut, tpu hindu-budha cikadut, makam cina bandung, makam tionghoa bandung, makam etnis tionghoa, bongpai, makam ibu djuhriah, makam islam di tpu cikadut, makam muslim di tpu cikadut, menara abu umum, tempat kremasi di tpu cikadut, yayasan krematorium bandung, yayasan krematorium bandung di tpu cikadut, ngaleut, aleut, komunitas aleut, makam yo giok sie, makam pendiri pabrik tekstil terbesar di kota bandung, makam pendiri PT. Badan Tekstil Nasional, makam pendiri PT. Batena, makam Tan Joen Liong

“Oven Raksasa” Tempat Membakar Jenazah

Terdapat dua pilihan dalam proses pembakaran tersebut, apakah hendak menggunakan gas atau menggunakan kayu bakar. Jika menggunakan gas, maka diperlukan waktu antara 3-4 jam, sedangkan jika menggunakan kayu bakar bisa mencapai 8 jam.

Abu hasil pembakaran sendiri dapat disimpan di Menara Abu Umum yang dijaga oleh Pak Zahri yang lebih senang disebut Abang Zahri.

tpu cikadut, tpu hindu-budha cikadut, makam cina bandung, makam tionghoa bandung, makam etnis tionghoa, bongpai, makam ibu djuhriah, makam islam di tpu cikadut, makam muslim di tpu cikadut, menara abu umum, tempat kremasi di tpu cikadut, yayasan krematorium bandung, yayasan krematorium bandung di tpu cikadut, ngaleut, aleut, komunitas aleut, makam yo giok sie, makam pendiri pabrik tekstil terbesar di kota bandung, makam pendiri PT. Badan Tekstil Nasional, makam pendiri PT. Batena, makam Tan Joen Liong

Menara Abu Umum – Tempat Penyimpanan Abu

Hanya terdapat tiga abu yang dijaga oleh Abang Zahri, satu yang disimpan pada sebuah guci, kemudian yang ditanam, dan yang terakhir disimpan pada sebuah lapisan kaca yang sudah dipaku, sehingga sudah tidak dapat dibuka. Mungkin kebanyakan abu hasil kremasi langsung dibawa pulang pihak keluarga, sehingga sedikit sekali abu yang terdapat pada Menara Abu Umum tersebut.

tpu cikadut, tpu hindu-budha cikadut, makam cina bandung, makam tionghoa bandung, makam etnis tionghoa, bongpai, makam ibu djuhriah, makam islam di tpu cikadut, makam muslim di tpu cikadut, menara abu umum, tempat kremasi di tpu cikadut, yayasan krematorium bandung, yayasan krematorium bandung di tpu cikadut, ngaleut, aleut, komunitas aleut, makam yo giok sie, makam pendiri pabrik tekstil terbesar di kota bandung, makam pendiri PT. Badan Tekstil Nasional, makam pendiri PT. Batena, makam Tan Joen Liong

Abang Zahri – Penunggu Menara Abu Umum

Abang Zahri sendiri tinggal di Menara Abu Umum, dimana dia membuat sekat dari sebuah triplek untuk memisahkan antara kamar dia dengan tempat penyimpanan abu. Kebayang ngerinya tidur ditempat penyimpanan abu yang berada di kompleks pemakaman yang cukup besar tersebut.

tpu cikadut, tpu hindu-budha cikadut, makam cina bandung, makam tionghoa bandung, makam etnis tionghoa, bongpai, makam ibu djuhriah, makam islam di tpu cikadut, makam muslim di tpu cikadut, menara abu umum, tempat kremasi di tpu cikadut, yayasan krematorium bandung, yayasan krematorium bandung di tpu cikadut, ngaleut, aleut, komunitas aleut, makam yo giok sie, makam pendiri pabrik tekstil terbesar di kota bandung, makam pendiri PT. Badan Tekstil Nasional, makam pendiri PT. Batena, makam Tan Joen Liong

Kamar Abang Zahri di Menara Abu Umum

Hal menarik lain yang saya temui selama ngaleut di TPU Cikadut, yaitu romantisme orang – orang Tionghoa yang menurut saya cukup mengerikan. Orang – orang dari etnis Tionghoa nampaknya memang sangat mempersiapkan “tempat ngaso – (tempat peristirahatan)” mereka yang terakhir, dengan mempersiapkan kuburan buat mereka dan orang-orang yang mereka sayangi.

Hal tersebut sebenarnya biasa saja, karena banyak orang Islam juga yang terutamanya mempunyai lahan kuburan sendiri, biasanya menginginkan mereka dikubur berdekatan dengan orang-orang yang mereka sayangi selama masa hidupnya, seperti istri, anak, cucu, ibu, ataupun ayah-nya, tapi yang membuat berbeda dan agak menurut saya agak sedikit mengerikan, pada kuburan orang-orang dari etnis Tionghoa, pada nisannya, nama pasangan mereka (suami atau istri mereka) sudah ikut ditulis, seperti yang terlihat pada kuburan yang dapat dilihat pada foto berikut ini :

tpu cikadut, tpu hindu-budha cikadut, makam cina bandung, makam tionghoa bandung, makam etnis tionghoa, bongpai, makam ibu djuhriah, makam islam di tpu cikadut, makam muslim di tpu cikadut, menara abu umum, tempat kremasi di tpu cikadut, yayasan krematorium bandung, yayasan krematorium bandung di tpu cikadut, ngaleut, aleut, komunitas aleut, makam yo giok sie, makam pendiri pabrik tekstil terbesar di kota bandung, makam pendiri PT. Badan Tekstil Nasional, makam pendiri PT. Batena, makam Tan Joen Liong

Romantisme Yang Mengerikan

Dari foto di atas terlihat bahwa pasangan Bapak Paulus Herman Permana (Oey Kheng Liang) yaitu Ibu Maria Ratnawati (Tan Jauw Gwat), namanya sudah tertera pada nisan walaupun beliau sebenarnya belum meninggal, sesuatu hal yang membuat saya merasa bergidik jika berada di posisi Ibu Maria Ratnawati.

Pengalaman “berwisata” di kuburannya etnis Tionghoa ini benar-benar menambah wawasan saya mengenai etnis Tionghoa di Bandung, terutamanya wawasan mengenai bentuk “tempat ngaso (tempat peristirahatan)” terakhir mereka yang bisa dikatakan mewah, serta menjadi pengingat saya akan kematian.

Catatan :
Jika ada kesalahan nama, tempat, dan sejarah, silahkan koreksi pada bagian kolom komentar. Jika datanya lebih valid, akan saya koreksi secepatnya.

Sumber Foto :
Foto Pribadi

Sumber Tulisan :
Catatan Ngaleut : Ngaleut Cikadut (Minggu, 15 Maret 2015)

TPU Cikadut Jejak Etnis Tionghoa Kota Bandung :
http://m.inilah.com/news/detail/2081876/tpu-cikadut-jejak-etnis-tionghoa-kota-bandung

 

Tautan asli: https://mtnugraha.wordpress.com/2015/03/18/tempat-ngaso-yang-mewah/

Haji Anda di Lengkong Besar

Oleh: Ariono Wahyu (@A13Xtriple)

Ke rumah Haji Anda, di Lengkong Besar,” ke sanalah Inggit Garnasih ingin dipulangkan oleh Sukarno. Garnasih teguh memegang prinsipnya “Oh…, dicandung? Ari kudu dicandung mah, cadu!” (“Oh…, dimadu? Jika harus dimadu, tak sudi!”).

Setelah mendampingi Sukarno selama kurang lebih dua puluh tahun, Inggit memutuskan untuk berpisah dengan pria kecintaannya itu. Saat itu Inggit praktis tidak memiliki apa-apa lagi. Seluruh daya upaya dia curahkan hanya untuk menyokong perjuangan Sukarno. Pikiran, tenaga, usaha, dan hartanya habis untuk menjagokan Sukarno menjadi orang penting. Tujuannya hanya satu, membantu Kusno hingga dia dapat menjadi pemimpin rakyat, seperti yang diinginkan oleh Haji Sanusi, suaminya yang kedua, saat merelakan Inggit untuk dinikahi Sukarno.

Dalam perjanjian perceraian yang dibuat oleh “Empat Serangkai”, yang kemudian disetujui oleh Sukarno, terdapat beberapa kewajiban yang harus dipenuhi oleh Sukarno kepada Inggit, seperti memberikan uang belanja bulanan seumur hidup dan membelikan rumah tinggal bagi Inggit di Bandung. Namun yang ada dalam pikiran Inggit saat itu hanyalah keinginannya untuk pulang kembali ke kampung halamannya di Bandung.

Karena rumah Inggit tempat dia tinggal dahulu di Bandung sudah dijual. Maka ketika Mas Mansur bertanya kepadanya, kemanakah dia ingin diantarkan ke Bandung? Inggit menginginkan dia diantar ke rumah kenalan baiknya, Haji Anda di Jl. Lengkong Besar.

Maka, ke rumah mewah di Jl. Lengkong Besar itulah kemudian Inggit dipulangkan Sukarno dengan diantar oleh Mas Mansur. Rumah Haji Anda, pemilik perusahan kayu “Kencana”  yang menjadi saksi timbang-terima Inggit, dari Sukarno kembali kepada Haji Sanusi. Salah satu syarat utama yang diberikan oleh Haji Sanusi kepada Sukarno untuk menikahi Inggit dahulu, adalah Sukarno tidak boleh menyakiti Inggit Garnasih, baik secara lahir maupun batin.

Di halaman rumah Haji Anda yang luas di Jl. Lengkong Besar itulah akhirnya perpisahan antara Inggit Garnasih dan Sukarno terjadi. Setelah sebelumnya Sukarno menyerahkan kembali Inggit kepada Haji Sanusi, di ruangan dalam rumah Haji Anda.

Lalu siapakah Haji Anda? Serta di manakah lokasi tepatnya rumah yang menjadi saksi perpisahan Inggit Garnasih dan Sukarno?

Menurut penuturan Inggit Garnasih dalam biografinya “Kuantar ke Gerbang” yang ditulis oleh Ramadhan K.H., Haji Anda adalah kenalan baik Inggit Garnasih sejak dulu di Bandung. Haji Anda adalah pemilik perusahaan kayu Kencana. Rumah Haji Anda di Jl. Lengkong Besar tergolong megah dan mewah, karena dia adalah orang kaya.

Pada hari Sukarno memulangkan kembali Inggit ke Bandung, di rumah Haji Anda telah menunggu Haji Sanusi beserta keluarga barunya, kakak perempuannnya, Muntarsih, dan beberapa kerabatnya. Sepertinya keluarga Garnasih di Bandung telah bersiap dan berkumpul di rumah Haji Anda untuk menyambut Inggit Garnasih, Kartika, Sukarno dan Mas Mansur.

Sebenarnya sudah sejak membaca buku “Kuantar ke Gerbang”, kepenasaran saya akan letak lokasi rumah tempat Sukarno memulangkan Inggit muncul. Karena alamat rumah Haji Anda dalam buku tulisan Ramadhan K.H. hanya disebutkan terletak di Jl. Lengkong Besar. Saya membeli buku “Kuantar ke Gerbang” ketika mengikuti kegiatan Komunitas Aleut saat mengadakan “Lacak Jejak Inggit Garnasih” di tahun 2013.

Dari obrolan dengan pengasuh “Komunitas Aleut”, Ridwan Hutagalung, menurutnya rumah Haji Anda adalah rumah tua di persimpangan antara Jl. Lengkong Besar, Jl. Rana dengan Jl. Paledang. Bang Ridwan memperoleh informasi mengenai letak rumah Haji Anda, dari obrolannya dengan Pak Tito, anak dari Ibu Ratna Djuami, yang merupakan anak angkat Ibu Inggit.

Sisa Rumah H. Anda di Jl. Lengkong Besar

Memang tepat di mulut Jl. Rana di pinggir Jl. Lengkong Besar terdapat sebuah rumah tua yang sekarang dipergunakan sebagai bengkel AC dan shock breaker mobil, hanya bagian depannya saja yang masih berdiri, itupun tampak tak terurus. Bagian belakang rumah itu sudah dibiarkan runtuh, sekarang bagian belakang dipergunakan sebagai bengkel mobil.

Sudah sejak lama saya berusaha mendapatkan informasi, apakah benar rumah tua itu milik Haji Anda? Dengan berbekal keberanian, kurang lebih setahun yang lalu, saya pernah mencoba bertanya kepada pegawai bengkel AC mobil yang menempati bagian depan rumah tua itu. Menurut mereka rumah tua itu memang dahulu milik Haji Anda, saat ini kepemilikannya berada pada salah satu anak H. Anda, yang tinggal di daerah Cibaduyut. Dari mereka saya diberi petunjuk untuk mencoba bertanya mengenai H. Anda, kepada salah satu anaknya yang lain yang ternyata tinggal di rumah yang terletak di belakang rumah tua itu atau tepatnya rumah yang beralamat di Jl. Rana No. 1.

Rumah keluarga H. Anda di Jl. Rana

Dan sudah setahun yang lalu pula bersama dengan seorang teman di Komunitas Aleut, saya mencoba mendatangi alamat yang dimaksud. Setelah ngaleut di sekitaran Jl. Rana, pulangnya kami menyempatkan mendatangi rumah tersebut. Sayang Bapak pemilik rumah sedang tak berada di tempat. Dari salah satu putrinya, kami memperoleh kepastian memang benar bahwa ayahnya adalah anak Haji Anda, pemilik rumah tempat Inggit dengan Sukarno berpisah. Dari cucu H. Anda itu kami memperoleh nomer telefon seluler Pak Bambang, ayahnya. Karena kesibukan dan kawan saya kehilangan nomer handphone Pak Bambang, baru setelah setahun kemudian akhirnya saya dapat bertemu dengan beliau dan bertanya mengenai Haji Anda.

Menurut penuturan bapak Bambang Suherman (60), yang merupakan salah satu anak dari Haji Anda, Inggit Garnasih merupakan teman dekat keluarganya. Bahkan jauh sebelum Inggit menikah dengan Sukarno. Mungkin Haji Anda berteman dengan Haji Sanusi (suami kedua Inggit Garnasih) karena mereka sesama pengusaha yang sukses di Bandung saat itu.

Rumah Keluarga H. Anda di Jl. Rana

Haji Anda lahir di Tasikmalaya sekitar tahun 1903 atau 1904. Saat berusia 23 tahun, Haji Anda merantau ke Bandung, dan memulai usahanya dengan berjualan kayu bekas di Jl. Lengkong Besar. Usaha Haji Anda berjualan kayu, mengalami kemajuan ketika dia memperoleh izin untuk membuka kawasan hutan di Ciwidey. Kayu yang diperoleh Haji Anda dari kawasan hutan di Ciwidey itulah yang kemudian dijual sebagai bahan bangunan di Bandung. Pada saat itu di tahun 1920-an, Bandung memang tengah mengalami kemajuan pembangunan dikarenakan adanya rencana untuk memindahkan ibukota Hindia Belanda ke Bandung. Berbagai infrastruktur dan kawasan-kawasan baru pun dibuka, termasuk penyediaan permukiman bagi warganya.

H. Anda

Pada saat itu bahan-bahan bangunan seperti kayu untuk membangun rumah sangat diperlukan. Haji Anda mampu menyediakan bahan bangunan kayu yang bermutu dari hutan di sekitar daerah Ciwidey, yang terkenal di antaranya menghasilkan jenis kayu bermutu tinggi seperti rasamala. Kayu dari perusahaan Haji Anda laris dipesan untuk pembangunan rumah di antaranya untuk kawasan daerah Dago, Ciumbuleuit dan Setiabudhi. Dari perusahaan kayu yang diberi nama “Kencana” itulah dia kemudian merambah usaha-usaha lain seperti tekstil dan pembuatan batu serta genting di daerah Sayati, Kopo. Haji Anda juga pernah ikut mendirikan Bank Sukapura yang berkantor di Jl. Braga.

Haji Anda mendirikan rumah di lokasi tempat ia berjualan kayu, yaitu di Jl. Lengkong Besar. Menurut penuturan Pak Bambang, rumah yang menjadi saksi penyerahan dan perpisahan Bung Karno dengan Ibu Inggit saat ini telah menjadi bangunan rumah bilyar dan karaoke. Sedangkan lokasi dimana dahulu perusahaan kayu Kencana berada lahannya kini telah menjadi tempat usaha cuci mobil dan rumah makan Sunda. Lahan perusahaan kayu Kencana, terletak di samping kiri rumah bilyar, jika kita melihatnya dari Jl. Paledang. Di sebelah kanan dari rumah bilyar itulah rumah tua yang saya ceritakan sebelumnya. Mungkin rumah tua itu dulu berfungsi sebagai paviliun dari rumah utama Haji Anda.

Pada masa jayanya menurut Pak Bambang, rumah utama H. Anda yang menjadi saksi perpisahan Inggit-Sukarno, memang sangat indah. Rumah itu bagian bawahnya adalah tembok sedangkan bagian atasnya berupa dinding berbahan kayu jati, dengan ornamen penyangga atap dari besi berukir. Halamannya yang luas dibatasi dengan pagar besi yang besar dan kuat. Rumah utama itu memiliki ruangan-ruangan berukuran besar di dalamnya. Salah satu ruangan di bagian dalam itulah yang menjadi saksi bisu perpisahan Inggit dengan Sukarno.

Setelah berpisah dari Sukarno, Inggit yang belum memiliki rumah, sempat tinggal cukup lama dengan keluarga H. Anda. Inggit kemudian pindah setelah memiliki rumah di Jl. Ciateul yang kemudian menjadi Jl. Inggit Garnasih. Walaupun telah pindah rumah, namun hubungan kekeluargaan antara keluarga H. Anda dengan Ibu Inggit tetap terjalin erat. Menurut Pak Bambang, Ibunya adalah pelanggan jamu dan bedak yang dibuat oleh Ibu Inggit, yang kerap berkunjung ke rumah Ibu Inggit.

Usaha Haji Anda terus berkembang, dia kemudian membuka usaha penginapan di belakang rumahnya pada tahun 1955 dan diberi nama “Hotel Tenggara”. Kini bangunan bekas hotel tersebut menjadi rumah tempat tinggal Pak Bambang dengan adik-adiknya. Menurut Pak Bambang, ayahnya yang aktivis Partai Masyumi, kerap mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh partai, seperti Buya Hamka, M. Natshir, Syarifudin Prawiranegara di hotel tersebut.

Kediaman Keluarga H. Anda di Jl. Rana

Pada tahun 1976 setelah menutup peruahaan kayu Kencana, Haji Anda mengalihkan usahanya menjadi Perusahaan Oto Bus (PO) Garuda Kencana, yang berlokasi di bekas pabrik kayunya di Jl. Lengkong Besar.

Pada masa jayanya, Haji Anda sempat memiliki beberapa rumah di Bandung Utara, seperti di daerah Ranca Bentang, Jl. Adipati Kertabumi, dan Jl. Sulanjana. Pak Bambang yang merupakan anak ke-10 dari 19 bersaudara, lahir ketika keluarga H. Anda tinggal di Jl. Sulanjana. Di rumah yang berlokasi di samping rektorat ITB itu Pak Bambang tinggal hingga kelas 3 SD. Bila diperhatikan rumah di Jl. Sulanjana terletak di pinggir kanal Cikapayang yang mengalir juga di depan rumah dan perusahaan kayu Kencana di Jl. Lengkong Besar, suatu kebetulan?

Untuk melihat bahwa rumah-rumah di lahan Jl. Rana tersebut dahulu merupakan sebuah hotel, saya diajak untuk melihat-lihat ruangan yang dulu difungsikan sebagai kamar hotel. Ternyata memang di rumah yang terletak di sayap kiri masih terdapat kamar-kamar yang memiliki nomor-nomor di atas pintunya. Pak Bambang juga menunjukan ruangan-ruangan yang dulu difungsikan sebagai ruang binatu/cuci pakaian, dapur dan kamar mandi hotel. Di bagian belakang deretan kamar-kamar yang saat ini difungsikan sebagai kamar kost, terdapat pintu dengan tangga tembok yang ternyata dulu difungsikan sebagai jalan tembus ke rumah utama dan perusahaan kayu di Jl. Lengkong Besar.

Sepeninggal Haji Anda pada tahun 1980, usaha keluarga ini mengalami kemunduran. Hanya lahan rumah tua di mulut Jl. Rana dan lahan bekas Hotel Tenggara yang masih dimiliki keturunan Haji Anda.  Lahan bekas perusahaan kayu Kencana dan rumah utama yang menjadi saksi berpisahnya Bung Karno dengan Ibu Inggit telah dijual ke pihak lain.

Di halaman rumah utama keluarga Haji Anda di Jl. Lengkong Besar, setelah acara timbang terima Inggit Garnasih, dia mengantarkan pria yang dulu dipujanya seraya mengucap sepatah do’a :

“Selamat jalan. Semoga selamat dalam perjalanan.”

“Selamat jalan.”

Ya, aku mendoakan dia selamat, ujar Inggit. Bukankah kita berdiri di muka gerbang zaman baru setelah menempuh perjalanan panjang, yang bukan bertabur bunga?!.

Hal yang Tersembunyi Menjadi Tampak

Oleh: Deris Reinaldi

20150308_082755

Ngaleut kali ini bertema “Mapay Jalan Satapak” yang berarti menyusuri jalan setapak. Menurut kabar akan menyusuri sungai Ci Kapundung ke arah selatan dari Jl. Asia Afrika, melihat perumahan di sekitar serta mengunjungi pengrajin tradisional. Terbayang dalam benak saya sih ya menyusuri pinggiran sungai dengan memasuki gang-gang seperti yang dulu pernah dilakukan ketika nyusur Ci Kapundung pada 3 bulan yang lalu.

Namun ini tidak seperti itu. Acara dimulai di Titik 0 Kilometer di Jl. Asia Afrika, tepatnya di depan Dinas Bina Marga Provinsi Jawa Barat. Acara dimulai dengan memperkenalkan diri terhadap seluruh pegiat, lalu dimulailah perjalanan “mapay jalan satapak” ini.

20150308_090609
Ketika memasuki Jl. Pangarang, banyak sekali hotel-hotel kecil. Perjalanan kemudian berlanjut ke dalam gang. Tak jauh dari mulut gang saya melihat sebuah papan nama pengrajin. Saya pikir perjalanan hanya numpang lewat saja ke tempat pengrajin itu dan juga saya tidak tahu tempat kerajinan apakah itu. Pokoknya tidak terbayang.

Kemudian tibalah di tempat pengrajin yang bernama “A. Ruchiyat Wooden Puppet & Mask”. Dari luar rumah ini terlihat sepi. Saya kira sih cuma lewat saja, tapi ternyata kami juga masuk ke dalam. Ketika memasuki rumahnya, ternyata banyak wayang golek di sana dengan berbagai macam bentuk dan rupa. Ada juga galeri tempat menjual wayang dan cinderamata yang sangat bagus.

Pemilik rumah wayang ini, Bapak Tatang, mempersilahkan kami duduk. Lalu Pak Tatang menjelaskan awal memulai usaha pembuatan wayang ini hingga sejarah pewayangan dan sejarah-sejarah lain yang berhubungan dengan Bandung. Usaha pembuatan wayang ini mulai dirintis pada tahun 1935 oleh Aki Soma. Lalu pada tahun 1955, usaha ini dilanjutkan oleh anaknya yaitu Bapak Ruchiyat. Sekarang ini usaha pembuatan wayang dilanjutkan oleh Bapak Tatang, cucu dari Aki Soma.

20150308_105330
Kayu untuk membuat wayang berasal dari pohon albasiah dari kebun milik sendiri di Soreang. Apabila akan dibuat wayang, maka pohon albasiah itu lalu didiamkan dengan posisi disandarkan setelah ditebang selama 4 hari agar getah dan airnya turun. Sebagai tahap awal pembuatan, kayu dibentuk oval agar mudah memprosesnya. Cara pembuatannya ada yang dipahat dan ada yang diukir. Terdapat beberapa pisa khusus untuk mengukir wayang.

20150308_103944
Usia wayang dapat terlihat dari warna kayunya. Wayang yang sudah menghitam artinya merupakan wayang buatan tahun 1950-an, sedangkan wayang yang warnanya masih putih masih baru. Warna wajah wayang pun bermacam-macam, karena setiap warna menandakan karakter dari masing-masing wayang. Kalau merah wataknya temperamen dan jahat, kalau warna merah jambu wataknya setengah jahat, apabila putih wataknya baik.

20150308_103905
Setelah Pak Tatang menjelaskan mengenai seputar wayang, saya menyempatkan untuk melihat galerinya. Di dalam galeri dipajang hasil karya pak Tatang yang bagus dengan harga jual yang bermacam-macam. Selain wayang, ada juga cinderamata yang dijual di sini. Waw, ngiler juga liat hasil karya Pak Tatang, tapi apa daya isi dompet ini tidak bersahabat. Tapi saya tertarik dengan pulpen berornamen wayang dan saya hanya membeli pulpen berwarna ungu. Wayang buatan pak Tatang ini biasanya dipesan ketika ada pergantian duta besar.

20150308_101857
Saya baru tahu dengan keberadaan pengrajin wayang ini dan baru tahu juga namanya meskipun saya sering ke Jl. Pangarang. Wayang “A. Ruchiyat Wooden Puppet & Mask” ini adalah salah satu dari beberapa industri kecil dan menengah di Bandung. Industri seperti ini perlu dikembangkan lagi dan juga dengan dukungan masyarakat dan pemerintah, hasil kebudayaan Sunda ini dapat tetap terjaga dan juga dapat meningkatkan perekonomian urang Bandung.

20150308_103931
Perjalanan berlanjut lagi ke rumah Pak Haji Anda di Jl. Rana. Haji Anda merupakan kerabat dari Inggit Garnasih, mantan istri presiden pertama RI, Soekarno. Setiba di sana, ternyata itu rumah itu kini dihuni oleh anak dari Haji Anda, yaitu Pak Bambang. Keluarganya terlihat cukup sederhana, yang tercermin dari kondisi rumahnya. Kemudian Pak Bambang bercerita tentang ayahnya. Haji Anda yang mengurusi surat cerai Soekarno dengan Inggit Garnasih. Haji Anda juga yang menampung Inggit Garnasih di rumahnya pasca bercerai dengan Soekarno. Haji Anda merupakan teman Haji Sanusi, bekas suami Inggit. Melalui Haji Sanusi pula Haji Anda mengenal Inggit Garnasih. Istri dari Haji Anda merupakan pelanggan tetap produk yang dijual Inggit seperti bedak dan makanan. Saking dekatnya, Inggigt sudah dianggap seperti keluarga sendiri oleh Keluarga H. Anda.

20150308_110655
Pak Bambang menceritakan sikap keteladanan dari Haji Anda. Semasa hidupnya, Haji Anda hidup dalam kesederhanaan. Beliau bisa dikatakan baik hati, tidak sombong dan tidak pilih-pilih dalam bergaul. Siapapun beliau sapa tanpa mengenal status sosialnya. Pak Bambang bercerita bahwa ayahnya sering menyuruh tukang becak yang lewat untuk makan dirumahnya, ada yang sedang berjalan melewati rumahnya lalu hujan, beliau pasti menyuruh untuk berteduh dulu dirumahnya, maka tak heran apabila Inggit ditampung dirumahnya meskipun tidak ada hubungan darah.

20150308_113919
Kini rumah haji Anda dalam keadaan yang memperihatinkan. Rumahnya yang terletak di Jl. Lengkong Besar sekarang sudah rusak, bisa dibilang seperti puing-puing. Padahal itu rumah peninggalan zaman Belanda. Cukup disayangkan.

 

Sumber foto: Deris Reinaldi

 

Tautan asli: https://derisreinaldi.wordpress.com/2015/03/10/hal-yang-tersembunyi-menjadi-tampak/

#InfoAleut: Ngaleut Cikadut

IMG-20150312-WA0021

#‎InfoAleut‬ Hari Minggu (15/03/2015) kita akan… “Ngaleut Cikadut”. Mari bersama-sama mencari tahu tentang pemakaman Tionghoa di daerah timur Bandung ini.

Seperti apa pemakaman Tionghoa? Bagaimana keadaan pemakaman di Cikadut? Siapa saja yang dimakamkan di sini? Mari cari tahu bersama! 😀

Tertarik untuk bergabung? Langsung saja kumpul di Indomaret Cikadut (Dekat Polsek Antapani, Jl. A.H.Nasution) pukul 07.30 WIB. Bawa alat tulis, siapa tahu ada hal menarik yang perlu dicatat 😀

Nah, jangan lupa untuk konfirmasikan kehadiranmu ke nomor 0896-8095-4394. Cukup kirim SMS dengan format nama dan kesedian untuk ikut serta. Ingat, konfirmasi ini hukumnya WAJIB yah 🙂

Cara Gabung Aleut

Untuk yang mau daftar keanggotaan, langsung aja di tempat kumpul kegiatan. Konfirmasikan kehadiranmu, hadir di tempat kumpul, lalu daftarkan keanggotaanmu dengan biaya iuran Rp 10.000,00. Voila! Kamu sudah terdaftar sebagai anggota Komunitas Aleut 😀

Sekian saja Info Aleut pagi hari ini. Ayo datang dan ramaikan, karena tiada kesan tanpa kehadiranmu 🙂

Ada “Sesuatu” di Jalan Kecil Itu

Oleh: M. Taufik Nugraha (@abuacho)

Saya tidak menyangka dan baru mengetahui juga (dan juga kemungkinan kebanyakan orang Bandung juga begitu), bahwa terdapat tempat pembuatan wayang golek yang sudah dikenal sampai mancanegara, yang lokasinya terletak di jalan kecil pada sebuah jalan kecil (bingung kan, hehehe :)). Ya, tempat pembuatan wayang golek yang bernama Ruhiyat Wooden Puppet & Mask ini berlokasi di Jalan Pangarang Bawah III yang menurut saya lebih pantas disebut gang dibandingkan sebuah jalan, dimana yang menariknya jalan tersebut merupakan sub dari jalan utama yaitu Jalan Pangarang yang ukuran jalannya juga kecil dan juga lebih pas dinamai gang alih-alih dinamai sebuah jalan.

Entah bagaimana dengan sejarah dari jalan tersebut, apakah dulunya memang ukuran jalannya memang besar namun karena bertambahnya bangunan yang ada di wilayah tersebut, membuat jalannya makin “menciut”?, ataukah memang dari dulu sudah sekecil itu?, entahlah, namun nama Jalan Pangarang sendiri memang berasal dari kata pangarang (atau pengarang dalam Bahasa Indonesia), berdasarkan penuturan dari Pak Tatang (pemilik Ruhiyat Wooden Puppet & Mask).

Jalan Pangarang Bawah III (jalan loh bukan gang)

Sebelum masuk ke Jalan Pangarang Bawah III yang dipadati perumahan penduduk tersebut, saya disuguhi berbagai bangunan hotel yang berjejal di Jalan Pangarang.

Hotel yang Berjejal di Jalan Pangarang

Agak heran juga awalnya kenapa bisa banyak berderet hotel di jalan berukuran kecil tersebut, mengingat lokasinya yang menurut saya kurang begitu strategis, sebelum akhirnya dapat sedikit penjelasan dari Hani, Arya, dan Veco (pengurus Komunitas Aleut), bahwa hotel-hotelyang kebanyakan berukuran kecil tersebut lebih diperuntukkan bagi para wisatawan yang mau berhemat soal biaya penginapan, mengingat biayanya yang lebih murah dibandingkan hotel-hotel lain yang berada di tengah kota, dan juga keberadaaan hotel-hotel tersebut kayaknya sudah menjadi rekomendasi masyarakat sekitar bagi para wisatawan yang bertanya mengenai penginapan yang murah di tengah pusat kota.

Beralih kembali ke tempat pembuatan wayang milik-nya Pak Tatang yang berada di Jalan Pangarang Bawah III No. 78 / 17 B, di sana saya dan kawan-kawan dari Komunitas Aleut mendapat jamuan yang ramah dari Pak Tatang beserta istri-nya. Beliau bercerita mengenai wayang golek dan memberi unjuk sedikit mengenai pembuatan wayang golek yang semuanya dikerjakan secara manual.

Pak Tatang – Pemilik Ruhiyat Wooden Puppet & Mask

Nama Ruhiyat yang tersemat pada nama usaha Pak Tatang tersebut merupakan nama bapak beliau yang telah mengerjakan usaha pembuatan wayang golek sebelumnya, dan yang menariknya lagi kakek-nya Pak Tatang juga merupakan usahawan di bidang yang sama, sehingga usaha pembuatan wayang golek ini merupakan usaha turun temurun dari keluarga Pak Tatang. Namun usaha keluarga tersebut berpotensi tidak akan ditemui dalam kurun waktu tidak lama lagi karena kemungkinan akan terhenti di generasi Pak Tatang, berhubung kata Pak Tatang tidak ada generasi penerus dibawahnya yang akan melanjutkan usaha tersebut. Faktor ekonomilah yang membuat hampir tidak ada yang tertarik untuk melanjutkan usaha Pak Tatang tersebut, dimana dengan penghasilan yang minim dan tidak menentu (tergantung dengan jumlah kunjungan wisatawan – terutamanya wisatawan mancanegara), banyak anggota keluarga Pak Tatang yang memilih untuk menekuni bidang usaha lain.

Cukup menyedihkan mendengar hal tersebut, di mana usaha yang menampilkan kesenian dari tanah Sunda tersebut akan terhenti karena sepi peminat terutama dari orang lokal-nya sendiri. Kita sendiri dapat bersama-sama berusaha mencegah agar “kepunahan” tersebut tidak terjadi, dengan cara tetap membuat usaha Pak Tatang menguntungkan, dengan langkah konkret-nya yaitu berupa membeli produk-produk yang beliau ciptakan dan merekomendasikan kepada wisatawan lokal maupun mancanegara yang datang ke Bandung untuk datang ke tempat tersebut, sehingga para penerus-nya akan melihat usaha pembuatan wayang golek tersebut bisa dijadikan sandaran hidup.

Produk-produk yang dijual sendiri selain utamanya wayang golek, Pak Tatang dan keluarga juga membuat berbagai kerajinan tangan lainnya seperti pulpen yang berbentuk wayang, replika kapal, dan banyak lainnya, dengan harga produk-produk yang dijual dimana yang termurah yang saya temui waktu itu yaitu Rp. 2500 (gantungan kunci yang berbentuk sandal) sampai dengan yang termahal yaitu wayang golek dengan ukuran besar yang harganya bisa mencapai jutaan rupiah.

« Older posts

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑