Month: January 2015

#InfoAleut: Ngaleut Balaikota Bandung

Ngaleut Balaikota Bandung

#InfoAleut Hari Minggu (01/02/2015) kita akan… “Ngaleut Balaikota Bandung”. Mari bersama-sama mengenal dan mencari tahu mengenai lingkungan kantor Walikota Bandung.

Apakah betul dulu ada jalan umum di tengah Komplek Balaikota saat ini? Bagaimana kondisi trotoar di samping utara komplek ini? Mengapa dulu taman ini disebut Kebon Raja? Mari kita cari tahu bersama 😀

Tertarik untuk bergabung? Langsung saja kumpul di dekat patung badak putih Balaikota pukul 07.30 WIB. Bawa alat tulis karena kita akan mencatat beberapa hal. Jangan lupa, konfirmasikan kehadiranmu ke nomor 0896-8095-4394. Cukup dengan SMS dengan format nama dan kesedian untuk ikut serta. Ingat, konfirmasi ini hukumnya WAJIB yah 🙂

Untuk yang mau daftar keanggotaan, langsung aja di tempat kumpul kegiatan. Konfirmasikan kehadiranmu, hadir di tempat kumpul, lalu daftarkan keanggotaanmu dengan biaya iuran Rp 10.000,00. Voila! Kamu sudah terdaftar sebagai anggota Komunitas Aleut.

Sekian saja Info Aleut pagi hari ini. Ayo datang dan ramaikan, karena tiada kesan tanpa kehadiranmu 😀

Prasasti Raja Thailand di Curug Dago, Bandung

Prasasti Raja Thailand di Curug Dago-1   Prasasti Raja Thailand di Curug Dago-2 Prasasti Raja Thailand di Curug Dago-3   Prasasti Raja Thailand di Curug Dago-4

Tahun 1989 seseorang menemukan dua buah batu bertulis di tebing dekat Curug Dago. Lalu ia mengumumkan penemuannya di media cetak. Mungkin sempat membuat heboh warga Bandung. Lalu muncullah berbagai dugaan tentang apa sebenarnya batu bertulis itu, siapa yang membuatnya?

Informasi awal mulai bermunculan. Itu huruf Siam, digurat oleh dua orang Raja Siam (Thailand), masing-masing Rama V dan Rama VII, yang memang pernah datang berkunjung ke kota Bandung dalam kesempatan berbeda, masing-masing tahun 1896 dan 1901. Tetapi apa makna tulisan itu? Kenapa mereka membuatnya di situ?

Dugaan-dugaan berkembang. Lokasi Curug Dago memiliki suasana magis, ada sesuatu yang saral di sana. Sepertinya Raja Siam bersemedi di bawah air terjun itu. Air Ci Kapundung pada saat itu tentulah begitu jernihnya, di tengah lingkungan hutan yang lebat dan asri, tenang, sejuk, dan memberikan ketenteraman. Gemuruh air terjun pada saat itu tentu cukup menggetarkan, mengingat polusi suara belumlah separah zaman modern ini.

Pada tahun 2001 terbitlah sebuah buku dengan judul “Journeys to Java by a Siamese King” yang ditulis oleh Imtip Pattajoti Suharto. Isi buku ini sesuai judulnya, mengisahkan perjalanan Raja Siam ke Pulau Jawa.

Continue reading

Dua Dunia Trans7: Gua Belanda dan Gua Jepang di Tahura Ir. Djuanda

10933844_386696264833557_214986958903502471_n

Hari ini berkunjung ke Gua Jepang yang terletak di dalam kompleks Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, di sebelah utara Kota Bandung. Sebagai taman hutan, inilah yang pertama kali didirikan di Hindia Belanda, peresmiannya dilakukan pada tahun 1922.

Sebelum keberadaan taman hutan, di kawasan ini sebelumnya sudah pernah dibuat suatu jalur pemanfaatan air sungai Ci Kapundung untuk keperluan air bersih warga kota. Mulanya dengan membuat sebuah bendungan. Belum diketahui persis kapan waktu pembuatannya tetapi kemungkinan berlangsung di antara 1890 – 1906. Bendungan ini mengalami kerusakan beberapa tahun kemudian. Sisa-sisa bangunannya masih dapat ditemukan di dalam kawasan Tahura di dekat lokasi Curug Koleang. Continue reading

Kabar Dari Menara Kembar

Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)

Menara Kembar Masjid Agung


Eta jalan Dalem Kaum

Tah ieu alun-alun

Palih ditu Cikapundung

Mana ari Masjid Agung?

—Deni A. Fajar

 

Adalah hari Ahad bertarikh 25 Januari 2015 yang sedang dirahmati sinar matahari, yang menandai bahwa Ngaleut tidak lagi berjalan dari rute ke rute, melainkan fokus di satu objek dan sekitarnya, demi menggali informasi yang lebih dalam, melebihi dari sekadar pemaparan beberapa orang.

Mula-mula tim saya duduk di dekat pintu masjid. Koordinasi sebentar sebelum akhirnya menyebar. Kemudian dua orang menuju ke ruang sekretariat, dan tiga orang berkeliling menyusuri sudut-sudut masjid sambil sesekali melakukan wawancara dengan beberapa pengunjung.

Kang Atang Wahyudin selaku bagian tata usaha, yang kami temui di ruang sektretariat memberikan sembilan lembar kertas, berisi tentang sejarah dan perkembangan Masjid Agung dari masa ke masa. Lengkapnya saya sajikan di bagian akhir dari catatan ini.

 DSCN3214
Pelataran Masjid Agung

Sebetulnya yang pertama menerima kami adalah seorang laki-laki paruh baya. “Bapak mah bagian kebersihan, sama Kang Atang aja ya, dia lebih tahu tentang sejarahnya,” tutur Pak Haji Nabhan, yang namanya kami ketahui belakangan.

Kang Atang kemudian menerima kami dengan ramah. Pengurus masjid yang “baru” bertugas selama 10 tahun itu dengan antusias menjawab beberapa pertanyaan yang kami ajukan. “Saya mah termasuk baru, tuh Pak Haji yang lama mah, udah 20 tahun lebih di sini, “ tuturnya. Meskipun ada beberapa poin pertanyaan yang terkait dengan dibukanya alun-alun baru—yang sengaja dibekali oleh Koordinator Aleut, namun karena komunikasi yang terbangun begitu cair, maka hal itu dimanfaatkan untuk menggali soal-soal lain yang lebih luas.

Dampak dari dibukanya Alun-alun yang baru, yang berumput sintetis itu, ternyata menambah jumlah jamaah shalat dan juga menambah jumlah uang kencleng. Dari semula rata-rata perbulan hanya 12 juta, namun sekarang bisa mencapai angka 20 juta perbulan.

Dana operasional Masjid Agung pertahun idealnya 4 sampai 5 milyar, namun dana yang ada hanya berjumlah 1 milyar yang bersumber dari hibah Pemprov, serta total shodaqoh pertahun yang berjumlah rata-rata 600 juta. Kekurangan tersebut dapat disiasati dengan membuat skala prioritas pada setiap kegiatan.

 MA 7
Catatan Kegiatan Harian

Rekam harian jumlah jamaah yang sholat lima waktu dicatat dalam sebuah form. Di dalamnya tercantum juga petugas imam dan muadzin, serta kegiatan majlis ta’lim. Dari sana dapat dilihat perkembangan jumlah jamaah setiap hari, jumlah per waktu shalat, dan jumlah jamaah yang mengikuti kegiatan di majlis ta’lim.

Waktu saya melihat jadwal majlis ta’lim yang menempel di dinding kantor sekretariat, Kang Atang menambahkan, “Di sini mah segala organisasi ada. Muhammadiyah, Persis, NU, dan yang lain ada semua.  Hanya Ahmadiyah sama ISIS aja yang ga boleh,” ujarnya sambil tersenyum. Totalnya ada 40 majlis ta’lim yang mengadakan kegiatan di Masjid Agung.

 DSCN3220
Unit Pelayanan Jamaah

Selain majlis ta’lim, di Masjid Agung ada beberapa unit pelayanan jamaah, yaitu; UPZ (Unit Pengelola Zakat), KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji), Koperasi, dan Remaja Masjid. Khusus untuk Koperasi, semula mempunyai sebuah warung di bagian depan masjid, namun karena untuk memberi contoh kepada para PKL, maka warung itu ditutup. Sekarang koperasi yang berjalan adalah koperasi simpan pinjam.

Untuk masalah kebersihan, karena sejak dibuka alun-alun yang baru PKL sudah sangat sedikit, maka permasalahan ini pun sedikit berkurang.  Hanya saja kesadaran yang masih kurang dari pengunjung masjid, masih menjadi PR yang belum sepenuhnya terselesaikan. Dalam kaitannya dengan ritul ibadah shalat, kehadiran para pengunjung memang cukup mengganggu, apalagi suka ada beberapa anakyang  berlari-lari sambil main bola. Untuk mengatasi masalah ini, pengurus secara berkala menghimbau lewat pengeras suara agar pengunjung lebih tertib. Sayangnya suara yang keluar dari pengeras itu terdengar kurang jelas.

 DSCN3113
Foto-foto di dalam masjid

Pengunjung masjid yang semula lebih banyak di pelataran, kini beralih memenuhi bagian dalam masjid, meskipun di pelataran pun masih ada. Dan di dalam masjid ada beberapa hal yang dinilai kurang pantas dilakukan oleh pengunjung, misalnya : memakai rok pendek, atau membagikan selebaran tentang seminar menangkap peluang penghasilan.

Berdasarkan keterangan dari Kang Atang, ternyata tanah yang di atasnya berdiri kantor Satpol PP yang berada di Jl. Dalem Kaum adalah tanah milik Masjid Agung. Pihak pengurus masjid berharap bahwa tanah itu bisa kembali digunakan untuk keperluan masjid, prioritasnya untuk kantor sekretariat dan pusat layanan informasi. Namun entah kenapa sampai saat ini pun hal itu belum juga terselesaikan.

 DSCN3114
Mengbal heula lur meh jagjag!

Dulu syiar dan gema dakwah dari Masjid Agung dapat disimak melalui pesawat “Radio Megaria” di gelombang 91,3 FM. Ke depan, dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada jamaah, Masjid Agung rencananya akan dilengkapi dengan Poliklinik, Station Radio, dan sarana penunjang lainnya.

Ada sedikit cerita unik dari “menara kembar” ini, baik dari penuturan Pak Haji, maupun Kang Atang, keduanya bercerita bahwa di Masjid Agung ini ada beberapa jamaah “fanatik” yang kalau hari Jum’at, mereka bela-belain datang dari Lembang, Padalarang, dan Cicalengka, demi untuk sholat Jum’at di masjid Agung. “Kalau saya tanya, jawaban mereka mah : reugreug bisa jumaahan di sini teh,” terang Kang Atang. Selain soal jamaah jum’atan, ternyata ada juga jamaah dari Tangerang yang kalau berkurban selalu menitipkan hewan kurbannya di Masjid Agung.

 MA 6
Ada yang ngasih ini di dalam masjid

Selain itu, bedug yang biasa dibunyikan setiap kali mau shalat lima waktu, ternyata mempunyai variasi pukulan dan nada yang berbeda-beda, disesuaikan dengan shalat yang akan dilaksanakan. Artinya bunyi bedug untuk sholat subuh, dzuhur, ashar, maghrib, isya, dan bahkan sholat Jum’at; semuanya berbeda.

Keberadaan masjid, termasuk di dalamnya Masjid Raya, memang sangat vital bagi masyarakat Priangan, yang dari dulu sudah dikenal taat dalam menjalankan Agama Islam–hal ini sempat diperkuat dengan pendapat tentang penyebaran Wali Songo, yang hanya menempatkan satu wakilnya di Jawa Barat, yaitu Sunan Gunung Djati. Konon penempatan satu wali ini berdasar pada sudah menyebarnya Agama Islam di Jawa bagian Barat, berbeda dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur; yang masing-masing di tempati oleh tiga dan lima wali.

 MA 2
Daftar Hadir Petugas Masjid

Di masa-masa awal, Bupati Bandung sebagai kepala pemerintahan, adalah juga yang secara institusional menjadi pengelola Masjid Agung. Sedangkan operasionalnya dipegang oleh seseorang yang menjabat sebagai Penghulu Bandung, atau yang sekarang lebih dikenal dengan Ketua DKM. Penghulu Bandung berwenang mengatur tata tertib dan kemakmuran masjid. Dalam pelaksanaannya dibantu oleh staf petugas yang diangkat dan diberhentikan oleh Penghulu yang bersangkutan, jumlahnya sekitar 40 orang. Beberapa tugas pembantu Penghulu Bandung itu adalah menjadi imam, khatib, muadzin, muroqi, dll.

Berikut adalah Penghulu Masjid Agung Bandung dari masa ke masa :

1) Penghulu Rd. KH. Zainal Abidin

2) Penghulu K. Nasir

3) Penghulu K. Hasan Mustofa

4) Penghulu K. Rusdi

5) Penghulu K. Abdul Kodir

6) Penghulu K. Siddiq

7) Penghulu K.R. Hidayat

8) Penghulu K. Muhammad Kurdi

9) Penghulu KH. Tamrin

10) Penghulu KH Tb. Saleh

11) Penghulu KH. Dachlan

12) Penghulu KH. Moh. Yahya

13) Penghulu KH. Rd. Totoh Abdul Fatah

Pada perkembangannya, staf Ketua DKM secara jumlah semakin meningkat. Hal ini seiring dengan kian bertambahnya jumlah jamaah. Kiwari pengurus Masjid Raya dibagi menjadi dua kelompok; yaitu karyawan dan non karyawan. Yang karyawan adalah mereka yang tidak mempunyai pekerjaan lain selain mengurus Masjid Raya (jenis pekerjaannya lebih ke operasional, sumber gaji dari APBD Provinsi), sedang yang non karyawan adalah mereka yang cukup sibuk dengan pekerjaan di luar Masjid Raya (lebih ke soal kebijakan).

Berdasarkan hasil musyawarah para ulama, yang dipimpin oleh KH. R. Totoh Abdul Fatah, posisi kiblat Masjid Agung adalah 25 derajat ke arah utara dan khatulistiwa. Adapun peserta penentuan arah kiblat terdiri dari 12 ulama, yang terdiri dari :

1) KH. Mh. Sudja’I dari Pesantren Cileunyi

2) KH. R. Ahmad Al-Hadi dari Pesantren Sukamiskin

3) KH. O. Burhanudin dari Pesantren Cijaura

4) KH. R. Moh. Jahja dari Wakil Ketua Pengadilan Agama Bandung

5) KH. Mch. Dachlan Kepala Jawatan Pengadilan Tinggi Agama Propinsi Jawa Barat

6) KH. Ali Utsman dari Jl. Pangarang, Bandung

7) KL. Sasmita dari Jl. Nakula, Bandung

8) KA. Iping Zainal Abidin dari Jl. Moh. Toha, Bandung

9) K. Moh. Salmon dari Jl. Saledri, Bandung

10) K.R. Moh. Jahja dari Jl. A. Yani, Bandung

11) KH. R. Moh. Kosim Perwakilan Departemen Agama Kota Bandung

12) K. Isa Maftuh Staf Perwakilan Departemen Agama Kota Bandung

 DSCN3175
Arah Kiblat Masjid Agung

***

Waktu saya bertanya ke Kang Atang, apakah pengurus punya semacam buku saku yang di dalamnya dimuat tentang sejarah Masjid Agung, beliau menjelaskan bahwa saat ini sedang disusun sebuah buku tentang Masjid Agung yang berjudul “Syiar dari Menara Kembar” (lihat lagi judul catatan ini). Sementara buku itu belum selesai, maka pihak pengurus menyiapkan tulisan ringkas tentang sejarah Masjid Agung, yang sewaktu-waktu bisa di-print out jika ada yang memintanya.

Berdasarkan catatan ringkas dari pengurus masjid itulah, berikut adalah sejarah Masjid Agung Bandung yang sekarang bernama Masjid Raya Provinsi Jawa Barat. Semoga bisa melengkapi informasi tentang sejarah Masjid Agung yang telah ada dan beredar di masyarakat :

Masjid Raya Bandung Provinsi Jawa Barat, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Masjid Agung Bandung, dibangun pada tahun 1800-an. Ada dua pendapat ihwal kapan tepatnya masjid ini didirikan.

Pendapat yang pertama menyebutkan bahwa Masjid Agung didirikan pada tahun 1812. Bangunan awal masjid ini berupa panggung tradisional, bertiang kayu, berdinding anyaman bambu, beratap rumbia, serta terdapat sebuah kolam besar untuk keperluan mengambil air wudhu. Kolam ini pun dimanfaatkan juga sebagai sumber air untuk memadamkan kebakaran di daerah sekitar Alun-alun Bandung pada tahun 1825.

 MA 1
Masjid Agung 2014

Sedangkan pendapat lain menyatakankan bahwa pendirian Masjid Agung adalah pada tahun 1810,  bersamaan dengan pembangunan Pendopo Kabupaten Bandung yang diresmikan pada tanggal 25 September 1810. Jika melihat pola pembangunan pusat kota yang ada di Priangan, khususnya pada masa Hindia Belanda, memang posisi antara Masjid Agung dan Pendopo Pemerintahan selalu berdekatan, dan mungkin pembangunannya pun dilakukan pada waktu yang sama.

Bangunan Masjid Agung mengalami beberapa perubahan. Sejak didirikannya, masjid ini telah tigabelas kali dirombak; delapan kali di abad ke-19, dan lima kali pada abad ke-20.

Pada tahun 1826 bangunan Masjid Agung diganti dengan kontruksi kayu. Kemudian di tahun 1850 secara berangsur dirombak lagi dengan meningktakan kualitas bangunan. Atas prakarsa Bupati R.A. Wiranatakoesoemah IV atau Dalem Bintang (1846-1874), masjid Agung diganti lagi dengan tembok batu-bata dan atau genting. Selain itu, di sekeliling masjid pun dibangun pagar tembok bermotif sisik ikan (seperti pagar Pendopo Kota Bandung sekarang) setinggi kurang lebih dua meter. Motif ikan tersebut adalah gaya ornamen khas Priangan.

 DSCN3171
Penambahan Waktu Shalat di Daerah

Tahun 1900 atap Masjid Agung berubah menjadi tumpang susun tiga, yang kemudian dikenal dengan sebutan “Bale Nyungcung”. Selain itu halamannya pun luas, dan berpintu gerbang. Meskipun masjid belum dilengkapi dengan menara, namun sudah ada mihrab, pawestren, bedug, kentongan, dan kolam.

Berdasarkan rancangan arsitek Maclaine Pont, pada tahun 1930 Masjid Agung dilengkapi dengan sepasang menara pendek tumpang susun di kanan dan kiri bangunan, dan dilengkapi pula dengan serambi (pendopo) depan.

Di sekitar Konferensi Asia Afrika, yaitu pada tahun 1955, Masjid Agung mengalami perombakan total. Atap tumpang susun tiga yang sudah dipakai sejak tahun 1850 diganti dengan atap bergaya Timur Tengah, yaitu model atap bawang. Sebutan “Bale Nyungcung” pun perlahan mulai menghilang. Tak hanya itu, dua menara pendek pun dibongkar dan digantikan dengan sebuah menara tunggal yang letaknya di halaman depan masjid sebelah selatan. Serambi diperluas, ruang panjang di kiri dan kanan masjid (pawestren) digabungkan dengan bangunan induk.

Serambi kanan masjid, pada tahun 1967, ruangannya ditambah. Hal ini sehubungan dengan berdirinya Madrasah Diniyah, Taman Kanak-kanak, dan Poliklinik YAPMA. Setahun sebelumnya, yaitu di tahun 1965, akibat tiupan angin kencang, atap masjid Agung mengalami kerusakan.

Kepala Perwakilan Departemen Agama Propinsi Jawa Barat, R.H.A. Satori, pada tahun 1969 berinisiatif untuk merintis perubahan dan perbaikan Masjid Agung. Rencana tersebut dituangkan ke dalam bentuk maket. Setelah Solihin GP dilantik menjadi Gubernur Jabar, maka rencana tersebut dimatangkan dan direalisasikan, serta beliau langsung yang memimpin proses penyelesaiannya.

 DSCN3229
Himbauan dari Pengurus Masjid

Dalam pelaksanaannya, proses perubahan dan perbaikan Masjid Agung diperkuat dengan terbitnya SK Gubernur Jabar, tanggal 1 Mei 1972 No. 106/XVII/Dirt.Pem./SK/72, yang didasari atas hasil musyawarah semua unsur yang ada di Jawa Barat.

SK tersebut berisi tentang Pembangunan Masjid Agung Bandung dan Pengangkatan Personalia Pembangunan Masjid Agung Bandung. Berikut susunannya :

Ketua Direksi : H. Jahja

Wakil Ketua Direksi : Ir. Karman (Kepala DPU Jawa Barat)

Perencana Pembangunan :

1)  Ir. Adjat Sudradjat

2) Prof. Dr. Sjadali

3) Ir. Noe’man

4) Ir. Luthfi

Para Arsitek :

1) Ir. Slamet Wirasendjaja

2) Ir. Raswoto

3) Ir. Saharti

4) Ir. Toni Suwandito

 MA 4
Buletin Masjid Agung

Rencana tersebut baru dapat dimulai pada tanggal 3 April 1971. Tahap pertama menghabiskan biaya sekitar Rp 20.000.000,- yang digunakan untuk pembuatan menara dan jembatan yang menghubungkan Masjid Agung dengan Alun-alun. Pembangunan tersebut selesai pada tanggal 4 Januari 1972.

Setelah tahap itu selesai, kemudian dilakukan pembongkaran bangunan lama yang hasil bongkarannya disalurkan kepada masjid-masjid yang ada di Kota Bandung. Di atas bangunan lama yang telah dibongkar tersebut kemudian dibangun masjid baru.

Pada tahap kedua, berdasarkan SK Gubernur Jawa Barat No.234/A-V/16/SK/72 tentang Peletakan Batu Pertama Pemabangunan Masjid Agung Bandung, maka pada tanggal 19 Juni 1972 dilakukan peletakan batu pertama oleh Gubernur Jawa Barat dan Pangdam VI Siliwangi.

Masjid yang baru dibuat berlantai dua. Tempat shalat utama dan ruang kantor menempati lantai dasar, sedangkan lantai dua digunakan sebagai mezanin tempat shalat yang berhubungan langsung dengan serambi luar. Kedua tempat tersebut dihubungkan oleh jembatan beton ke tepi Alun-alun di sebelah barat. Satu hal yang disayangkan adalah bahwa jembatan penghubung tersebut hampir menutupi semua tampilan bagian muka masjid. Di bawah permukaan tanah (basement) difungsikan sebagai tempat pengambilan air wudhu.

Biaya total pembangunan Masjid Agung Bandung yang selesai pada tanggal 1 Oktober 1973, diperoleh dari sumber sebagai berikut :

1) Sumbangan Presiden Republik Indonesia sebesar Rp 15.000.000,-

2) Sumbangan Menteri Dalam Negeri sebesar Rp 5.000.000,-

3) Sumbangan dana Nikah, Talak, Ruju’ (Departemen Agama) sebesar Rp 42.000.000,-

4) Sumbangan dari simpanan Calon Jamaah Haji sebesar Rp 22.000.000,-

5) Sumbangan dari APBD Prop. Jabar 1972/1973 sebesar Rp 90.000.000,-

6) Sumbangan dari Pemda Kotamadya Bandung sebesar Rp 14.000.000,-

7) Sumbangan dari Perencana sebesar Rp 3.000.000,-

 MA 3
Informasi yang Disampaikan di Buletin

Masjid baru tersebut berada di atas tanah wakaf, dan ditambah dengan tanah hasil pembelian Pemda Kotamadya Bandung seluas +/- 2.464 M2,menghabiskan biaya sebesar Rp 135 juta. Jamaah yang dapat ditampung di Masjid baru +/- 5000 (di lantai bawah), dan +/- 2000 di lantai atas. Di dalamnya terdapat pula perpustakaan, ruang kantor, dan tempat wudhu.

Memasuki tahun 1980-an kondisi masjid Agung seolah “terisolasi”. Hal ini disebabkan karena adanya tembok tinggi yang diberi ornamen dari batu granit di depan dinding muka Masjid, serta pintu gerbang besi. Dengan kondisi seperti itu membuat masjid seperti tertutup untuk umum. Hal yang mungkin bisa menarik perhatian warga barangkali hanya puncak menara. Puncak tersebut diganti menjadi model kubah yang menyerupai bola dunia, dan terbuat dari rangka besi. Rangkaian lampu-lampu kecil dililitkan di rangka besi puncak menara tersebut dan dinyalakan pada malam hari.

Tahun 2001 terbit SK Walikota Bandung Nomor 023 Tahun 2001 tanggal 11 Januari 2001 tentang Panitia Pembangunan Masjid Agung. SK tersebut diterbitkan dengan niat untuk mengembalikan citra Masjid Agung yang terlihat semakin suram.

 DSCN3234
Rada diaos heula lur!

Hasil dari pembangunan tersebut adalah lantai masjid yang semakin diperluas. Hal ini karena jalan yang semula ada di depan masjid (sebelah barat masjid) dihilangkan, dan bahkan memakan sebagian alun-alun. Kubah beton berdiameter 30 m dibangun untuk menggantikan atap model joglo. Selain itu, di atas bangunan masjid yang semula lahan alun-alun pun dihiasi dengan dua kubah yang masing-masing berdiameter 25 m.

Yang paling menarik adalah dengan dibangunnya menara kembar yang kita kenal sekarang, yang masing-masing mempunyai ketinggian 81 meter. Semula menara ini hendak dibangun dengan ketinggian 99 meter yang dimaksudkan sebagai simbol Asmaul Husna (nama-nama Allah), namun dengan mempertimbangkan keamanan lalu-lintas udara, akhirnya angka yang diijinkan hanya 81 meter. Tapi jika dihitung dari pondasi yang memiliki ketinggian 18 meter, total ketinggian menara tersebut tetap 99 meter.

Pada rencana dan perjalanannya, menara kembar tersebut bukan hanya berfungsi untuk kepentingan spiritual, namun juga dimanfaatkan untuk kepentingan komersial, telekomunikasi, dan objek wisata.

 DSCN3237
Salah satu Sudut Pelataran Masjid

Karena Provinsi Jawa Barat belum mempunyai masjid Raya, maka Gubernur Jabar waktu itu, yaitu H.R. Nuriana mengadakan pertemuan dengan panitia pembangunan. Dari pertemuan itulah, atas saran dari Drs. H. Tjetje Soebrata, SH., MM selaku Wakil Ketua Pemabangunan, digagaslah untuk mengubah nama Masjid Agung Bandung menjadi Masjid Raya Bandung Jawa Barat. Perlu diketahui bahwa penamaan masjid memang terkait dengan tingkatan di level wilayah dan pemerintahan.

Masjid Nasional (Istiqlal) : Tingkat Negara

Masjid Raya : Tingkat Provinsi

Masjid Agung : Tingkat Kota dan Kabupaten

Masjid Besar : Tingkat Kecamatan

Masjid Jami : Tingkat Kelurahan

Setelah Pemda Jabar dan Pemkot Bandung sepakat ihwal penggantian nama tersebut, maka pada tanggal 4 Juni 2003 nama masjid yang semula Masjid Agung Bandung, diganti dan diresmikan menjadi Masjid Raya Bandung Provinsi Jawa Barat. [ ]

Tim Ngaleut Masjid Raya Bandung :

1) Deris Reinaldi

2) M. Taufik N.

3) Irfan Teguh Pribadi

4) Kukun Kusnandar

5) Syamsul Arifin

Foto :
1) Arsip Irfan Teguh Pribadi
2) Arsip Deris Reinaldi

 

Tautan asli: http://wangihujan.blogspot.com/2015/01/kabar-dari-menara-kembar.html

Melihat Wajah Baru Alun-alun Bandung

Alun-alun Bandung

Alun-alun Bandung (foto: Arya Vidya Utama)

Setelah selesai direnovasi dan diresmikan pada 31 Desember 2014, Alun-alun Bandung kini menjadi primadona wisata warga Kota Bandung. Hamparan rumput sintetis di tengah kawasan kini dipenuhi pengunjung untuk sekedar duduk-duduk atau untuk bermain bersama buah hati. Renovasi yang memakan waktu 7 bulan dan menghabiskan biaya 10 miliar Rupiah berhasil menghilangkan kesan kumuh yang melekat pada Alun-alun Bandung dalam satu dekade terakhir.

Ramainya kunjungan membuat Alun-alun Bandung menjadi fenomena baru di Kota Bandung. Lini masa berbagai media sosial kini dipenuhi dengan foto Alun-alun Bandung, baik itu foto selfie maupun foto keramaian di dalam komplek ini. Fenomena ini kemudian menjadi sebuah anekdot, bahwa selain musim hujan dan musim kemarau, di Kota Bandung sedang musim berfoto di Alun-alun.

Kondisi terkini Alun-alun mengembalikan fungsinya yang sempat hilang. Kemunculan mal yang dimulai pada era 90-an memperparah keadaan. Pusat keramaian warga Bandung bergeser perlahan dari Alun-alun dan kemudian menyebar ke beberapa titik yang terdapat mal di Kota Bandung. Hal ini membuat Alun-alun ‘mati suri’ selama hampir dua puluh tahun.

***

Tak pas rasanya jika membicarakan Alun-alun Bandung tanpa membahas sejarahnya terlebih dahulu. Alun-alun Bandung muncul seiring dengan perpindahan Ibukota Kabupaten Bandung dari Karapyak (Dayeuh Kolot) ke daerah sebelah selatan Jalan Raya Pos pada tahun 1810. Bisa dibilang Alun-alun adalah lapangan terbuka untuk umum pertama yang ada di Bandung setelah perpindahan Ibukota.

Menurut Haryoto Kunto dalam buku Semerbak Bunga di Bandung Raya, pada dasarnya alun-alun merupakan halaman depan rumah kediaman penguasa lokal. Alun-alun dalam Bahasa Jawa artinya ombak lautan. Halaman tempat kediaman penguasa lokal diasosiasikan dengan ombak lautan karena aktivitas seperti pemerintahaan, perdagangan, budaya, dan keagamaan berpusat di seputar lingkungan kediamaan penguasa lokal.

Seperti alun-alun di Pulau Jawa pada umumnya, Alun-alun Bandung juga dipengaruhi oleh kebudayaan Mataram Islam. Komponen yang melengkapi alun-alun di Mataraman dihiasi dengan empat komponen, yaitu masjid, istana raja/bupati, rumah patih, dan pasar. Maka tak heran jika lingkungan di sekitar Alun-alun Bandung mirip dengan kondisi Alun-alun di daerah Jawa.

Alun-alun Bandung dari masa ke masa

 

Alun-alun Bandung di awal penggunannya selain digunakan sebagai tempat aktivitas warga, juga pernah digunakan sebagai tempat eksekusi mati. Mereka yang diputus hukuman mati di Bale Bandung (berlokasi di bekas lahan Nusantara) akan dijerat tali yang terpasang di Alun-alun Bandung. Mereka yang akan dieksekusi akan dikalungi secarik kertas yang berisi kesalahan yang diperbuat.

Pada sekitar tahun 1900-an, Alun-alun Bandung memiliki fungsi sebagai stadion sepak bola karena minimnya stadion sepak bola pada saat itu. Pertandingan yang dilangsungkan bertaraf nasional, biasanya antar klub sepak bola di Hindia Belanda. Kegiatan sepak bola di Alun-alun Bandung ini akhirnya berhenti dilaksanakan pada sekitar tahun 1920-an seiring dilarang digunakannya Alun-alun sebagai stadion sepak bola dan juga beberapa klub sepak bola di Bandung sudah memiliki stadion sepak bola sendiri.

Alun-alun terus mengalami perubahan hampir setiap satu dekade sekali, dimulai sejak tahun 1954 pada saat menjelang Konfrensi Asia-Afrika hingga yang terakhir dilakukan oleh Ridwan Kamil pada tahun 2014. Total setidaknya telah terjadi perubahan selama tujuh kali sejak 1950.

***

Alun-alun kini menggunakan kombinasi batu andesit dan rumput sintetis. Di tengahnya membentang hamparan rumput sintetis seluas 4.800 m2, sedangkan sisanya menggunakan batu andesit. Di kedua sudut sebelah selatan Alun-alun terdapat taman yang ditumbuhi tanaman-tanaman kecil, sedangkan di sudut kanan sebelah utara terdapat arena bermain anak seperti jungkat-jungkit dan ayunan.

Petugas keamanan Alun-alun yang merupakan gabungan dari Linmas dan Satpol PP Kota Bandung mengamankan Alun-alun. Mereka ditempatkan di setiap sudut taman dan terus berpatroli keliling. Selain menjaga keamanan, petugas keamanan juga seringkali menghimbau para pengunjung untuk berhati-hati dalam membawa barang bawaan terutama anak kecil yang membawa ponsel untuk berfoto.

Kondisi Alun-alun cukup bersih. Tempat sampah tersedia di banyak titik dan sudut. Kondisi ini disebabkan karena kesadaran para pengunjung untuk tertib membuang sampah cukup tinggi dan patroli keamanan sesekali membantu memunguti sampah yang tercecer. Namun di beberapa titik masih terlihat adanya sampah yang dibuang sembarangan oleh pengunjung.

Pengunjung datang ke Alun-alun umumnya untuk melepas penat akibat lelah bekerja. Mereka datang bersama keluarga ataupun bersama pasangan untuk sekedar duduk-duduk menikmati keadaan, botram, atau bercengkrama di rumput sintetis. Jumlah pengunjung per hari bisa mencapai ribuan orang dengan puncak keramaian di hari Sabtu dan Minggu. Bahkan menurut salah satu petugas keamanan, kunjungan di hari Sabtu akan terus ramai hingga pukul 5 pagi di hari Minggunya.

Penggunaan rumput sintetis alih-alih penggunaan rumput biasa sempat menjadi polemik. Namun Walikota Bandung, Ridwan Kamil, di akun Twitter-nya pada 27 Desember 2014 menjelaskan bahwa apabila lapangan tersebut diurug tanah, bebannya terlalu berat untuk dua lantai basement yang ada di bawahnya. Selain itu, rumput sintetis yang dipasang awet untuk digunakan selama 10 tahun.

Rumput sintetis ini dirasa cukup nyaman bagi beberapa pengunjung. Para pengunjung, terutama orang tua yang membawa anaknya, menjadi tak khawatir saat anak-anak mereka bermain di atas rumput sintetis. Hal ini disebabkan karena rumput sintetis relatif aman dan dan resiko akibat terjatuh lebih kecil dibandingkan ketika terjatuh di permukaan yang lebih kasar seperti tanah. Selain itu, para orang tua tidak terlalu khawatir anaknya kotor akibat berguling-guling di atas rumput sintetis.

Alas Kaki Pengunjung yang Disimpan di Sisi Rumput Sintetis

Alas Kaki Pengunjung yang Disimpan di Sisi Rumput Sintetis (Foto: Arya Vidya Utama)

Untuk dapat berkegiatan di rumput sintetis Alun-alun, pengunjung harus melepas alas kakinya terlebih dahulu. Sayangnya, tidak ada rak penyimpanan untuk alas kaki, sehingga alas kaki para pengunjung disimpan di sisi rumput. Hal ini menimbulkan kesan tidak rapi dan faktor keamanan alas kaki juga terbaikan. Untuk menyiasatinya, pengunjung dapat membeli kantong keresek yang dijual oleh beberapa orang pedagang. Alas kaki yang sudah terbungkus keresek dapat anda bawa ke dalam rumput dan mempermudah pengawasannya.

Di sekeliling Alun-alun terdapat beberapa pedagang asongan yang berjualan. Kebanyakan dari mereka menjual minuman, makanan ringan, dan bola karet yang biasa digunakan untuk bermain bola di atas lahan rumput sintetis. Menurut beberapa pengunjung, keberadaan pedagang asongan ini cukup membantu karena tidak adanya kios penjual makanan, minuman, dan bola karet di Alun-alun. Sampai saat ini, para pedagang kaki lima ditempatkan di basement. Keberadaan para pedagang asongan juga perlu menjadi perhatian pengurus Alun-alun karena dapat mengancam kebersihan Alun-alun.

Bus Bandros (Foto: Irfan Teguh Pribadi)

 

Selain berwisata di Alun-alun, pengunjung juga dapat berwisata dengan Bus Bandros. Bus yang sudah beroperasi sejak bulan Juli 2014 ini akan membawa anda berkeliling sekitar Bandung dengan rute: Alun-alun, Jl. Banceuy, Jl. Braga, Jl. Lembong, Jl. Sunda, Jl. Diponegoro, Jl. Dago, Jl. Merdeka, Jl. Tamblong, Jl. Asia-Afrika, Jl. Oto Iskandardinata, Jl. Kepatihan, dan kembali ke Alun-alun. Untuk naik bus ini, anda perlu merogoh kocek Rp 10.000,00 untuk satu kali perjalanan. Bus Bandros beroperasi setiap hari Selasa hingga Minggu, mulai pukul 08.00 hingga pukul 15.00.

Menara Kembar Masjid Raya Bandung (Foto: Irfan Teguh Pribadi)

 

Wisata lain yang dapat dilakukan di Kawasan Alun-alun adalah Menara Kembar. Menara ini terdapat di kedua sisi Masjid Raya Bandung, hasil dari perubahan wajah Masjid pada tahun 2001. Masing-masing menara mempunyai ketinggian 81 meter dan jika ditambah dengan tinggi fondasi menara, ketinggian totalnya mencapai 99 meter yang merupakan simbol dari Asmaul Husna (99 Nama Allah swt.). Dari atas menara, pengunjung dapat melihat pemandangan Bandung dari ketinggian. Menara ini dapat diakses setiap hari mulai pukul 08.00 hingga pukul 16.30, dengan tiket masuk Rp 3.000,00 untuk dewasa dan Rp 2.000,00 untuk anak-anak. Menara yang saat ini bisa diakses adalah menara yang terdapat di sisi utara Alun-alun, sedangkan menara di sisi selatan Alun-alun yang sedang dalam perbaikan dapat diakses bulan depan.

Pemandangan Dari Atas Menara Kembar (Foto: Al-Amin Siharis)

 

***

Perubahan Alun-alun Bandung akan berdampak langsung pada Masjid Raya Bandung yang berada di kawasan yang sama, begitu juga sebaliknya. Sejak didirikan pada tahun 1810, masjid ini telah tiga belas kali dirombak; delapan kali di abad ke-19, dan lima kali pada abad ke-20. Perubahan terakhir terjadi pada tahun 2001, di mana saat Masjid Raya Bandung diperluas, Alun-alun berubah menggunakan konblok dan di bawahnya dibangun basement 2 lantai.

Keramaian Alun-alun saat ini berdampak positif pada Masjid Raya Bandung. Sejak Alun-alun berumput sintetis, jamaah yang shalat di Masjid Raya menjadi semakin meningkat. Hal ini dicatat dengan baik oleh pengurus Masjid Raya Bandung. Peningkatan pengunjung di Masjid Raya juga menambah jumlah uang kencleng yang diterima pihak pengurus. Dari semula rata-rata per bulan hanya 12 juta, sekarang bisa mencapai angka 20 juta per bulan.

Namun selain dampak positif, Masjid Raya Bandung juga terkena dampak negatif. Sejak dibukanya Alun-alun baru, memang permasalahan kebersihan di area masjid berkurang karena minimnya PKL jika dibandingkan dengan wajah sebelumnya. Namun, kurangnya kesadaran para pengunjung masjid membuat masalah kebersihan masih menjadi PR yang belum sepenuhnya terselesaikan bagi Masjid Raya Bandung.

Anak Kecil yang Bermain Bola di Dalam Masjid (Foto: Arya Vidya Utama)

Dalam kaitannya dengan ritual ibadah shalat, kehadiran para pengunjung Alun-alun terbilang cukup mengganggu. Gangguan ini disebabkan oleh banyaknya anak-anak yang berlari-lari sambil main bola dan gaduhnya obrolan para pengunjung yang sedang beristirahat di dalam masjid. Untuk mengatasi masalah ini, pengurus secara berkala menghimbau lewat pengeras suara agar pengunjung lebih tertib. Sayangnya suara yang keluar dari pengeras itu terdengar kurang jelas. Ada juga beberapa hal yang dinilai kurang pantas dilakukan oleh pengunjung di dalam masjid, seperti memakai rok pendek saat berkunjung dan membagikan selebaran tentang seminar menangkap peluang penghasilan.

Berfoto-foto di Dalam Masjid Raya Bandung (Foto: Irfan Teguh Pribadi)

 

***

Alun-alun Bandung saat ini telah berhasil kembali kepada fungsinya sebagai ruang publik dan tempat berinteraksi warga Bandung yang sempat hilang dalam dua dekade terakhir. Namun keberhasilan ini perlu dibarengi dengan perbaikan di beberapa sisi seperti sistem penyimpanan alas kaki, dan penanggulangan dampak negatif terhadap Masjid Raya Bandung.

____

Catatan: Pengumpulan data dilakukan pada 25 Januari 2015.

Para Kontributor Tulisan (Foto: Arya Vidya Utama)

 

Kontributor:

Arya Vidya Utama (@aryawasho)

Candra Asmara S. (@candraasmoro)

Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)

Hani Septia Rahmi (@tiarahmi)

Nasir Abdurachman

Ganesha Wibisana (@wibisanaaa)

Bambang Satriya (@bamuban)

Gita Diani Astari (@gitadine)

Hanifia Arlinda (@niviarlinda)

Nida Mujahidah Fathimah (@denidaa_)

Yuningsih

Arif Abdurahman (@yeaharip)

Yanti Maryanti (@adetotat)

Reza Nugraha (@aphrareja)

Rizal N.

Fajar A. (@fajarraven)

Deris Reinaldi

Taufik N. (@abuacho)

Kukun Kusnandar

Syamsul Arifin

Eka Arif Kurniawan (@ekaarif)

Iyan Supiyani (@AangIanzHolic)

Fuji Rahmawati (@nersfuji)

Alifia Rachmanitia Sudrajat

Al-Amin Siharis (@amincun)

Tebing Keraton

Oleh: Mooibandoeng (@mooibandoeng)

Pemandangan Dari Tebing Keraton

Sejak 2006 kenal tempat ini dengan nama Cadas Gedogan. Pemandangan dari atas tebing ke arah Maribaya memang bagus, apalagi pagi atau sore hari. Sekarang tempat ini mendapatkan nama baru, Tebing Keraton, yang konon muncul dari sebuah mimpi. Cerita terus berkembang, di antaranya sebagai pusat kerajaan mahluk halus, lokasi tambatan kuda kerajaan yang disebut Batu Gadogan, dan sebuah curug kecil di bawahnya yang bernama Cikiih Kuda.

Sejak Mei 2014 lokasi ini menjadi sangat populer sebagai objek wisata. Sejak dini hari sudah menerima banyak tamu bermobil atau motor yang menunggu matahari terbit, atau sore hari menjelang matahari tenggelam. Pemandangan kabut di bawah lembah atau berkas cahaya matahari jadi objek foto favorit.

Sekarang lokasi ini dikelola oleh Tahura Ir. Djuanda. Untuk masuk dikenakan biaya Rp.11 ribu. Batuan tebing yang menjorok dirapikan dengan beton dan diberi pagar demi keamanan pengunjung. Jalan setapak yang tadinya tanah dan rumput sudah diberi semen dan dibangun pula sebuah gapura, mengesankan gapura keraton.

Di sisi jalan utama Ciharegem Puncak sudah muncul banyak warung, salah satunya memasang spanduk dengan tulisan “Kampung Keraton”. Digelar pula kegiatan-kegiatan budaya Sunda. Saya coba cari satu rumah petani yang dulu biasa saya singgahi bila lewat kawasan ini, ternyata tak berhasil saya temukan, mungkin karena saya pangling dengan suasana baru yang ada.

Di dekat lokasi ini masih terdapat makam keramat Embah Gembong yang dianggap sebagai leluhur Kampung Ciharegem. Di salah satu puncak bukit di bawah lembah ini juga masih terdapat makam keramat yang walaupun cukup terpencil namun masih dikunjungi peziarah. Untuk menuju makam keramat ini harus mengambil jalan dari arah Maribaya.

#InfoAleut: Menikmati Alun-alun Bandung

2015-01-25 Menikmati Alun-Alun Bandung

#InfoAleut Hari Minggu (25/01/2015) kita akan… “Menikmati Alun-alun”. Mari bersama-sama menikmati suasana alun-alun sekaligus mencari tahu mengenai fenomenanya.

Seperti apa Alun-alun Bandung dari masa ke masa? Apakah ada perubahan fungsi Alun-alun Bandung? Mengapa sekarang Alun-alun Bandung jadi tempat yang nge-hits? Mari kita cari tahu bersama 😀

Tertarik untuk bergabung? Langsung saja kumpul di dekat Shelter Bus Bandros Alun-alun Bandung pukul 07.30 WIB. Bawa alat tulis karena kita akan mencatat beberapa hal yang akan kita cari tahu bersama. Jangan lupa, konfirmasikan kehadiranmu ke nomor 0896-8095-4394. Cukup dengan SMS dengan format nama dan kesedian untuk ikut serta. Ingat, konfirmasi ini hukumnya WAJIB yah 🙂

Cara Gabung Aleut
Untuk yang mau daftar keanggotaan, langsung aja di tempat kumpul kegiatan. Konfirmasikan kehadiranmu, hadir di tempat kumpul, lalu daftarkan keanggotaanmu dengan biaya iuran Rp 10.000,00. Voila! Kamu sudah terdaftar sebagai anggota Komunitas Aleut 🙂

Sekian saja Info Aleut pagi hari ini. Ayo datang dan ramaikan, karena tiada kesan tanpa kehadiranmu 🙂

Penyintas Identitas

Oleh: Ariono Wahyu (@A13xtriple)

Europa Europa-1B

Solomon Parel (Solek)  adalah salah seorang penyitas genosida Perang Dunia Kedua. Dia berhasil selamat dengan cara menyembunyikan identitasnya sebagai seorang Yahudi. Kisah Solek yang diperankan oleh Marco Hofschneider ini menjadi inti cerita film “Europa, Europa” (1990). Judul asli film ini adalah “Hitlerjunge Salomon” dan merupakan adaptasi dari autobiografi Solomon Parel yang berjudul “Ich war Hitlerjunge Salomon” (1989).

Menonton film ini sekarang mengingatkan pada sebuah film lain, “The Human Stain” (2003), yang berkisah tentang pentingnya identitas bagi seseorang. Dalam film “The Human Stain” si tokoh utama menyembunyikan identitas rasnya sebagai keturunan etnis Afrika-Amerika, sedangkan “Europa, Europa” mengisahkan bagaimana perjuangan seorang Yahudi menyembunyikan identitas dengan berpura-pura menjadi seorang keturunan ras Arya.

Bagaimana indentitas seseorang menjadi faktor pembeda sekaligus faktor yang mempersatukan, konflik dan arti indentitas  suku bangsa, agama, ras dan bahkan golongan, semuanya diceritakan dalam film ini. Seorang pemuda Yahudi berusaha menghilangkan identitas fisiknya dengan cara menarik kulup penisnya agar tak terlihat bahwa dia disunat. Solek memperoleh ide tersebut ketika melihat Leny (Julie Delpy), gadis Jerman yang dicintainya menarik sweaternya menutupi kepalanya.

Dalam film ini juga diceritakan betapa ukuran-ukuran fisik  yang diklaim merupakan ciri suatu ras yang paling unggul, ternyata bisa salah. Pada suatu adegan, Solek harus diukur oleh gurunya berdasarkan ukuran-ukuran bangsa Arya, ternyata fisik Solek memenuhi kriteria sebagai keturunan ras Arya, walaupun tidak murni (campuran). Sungguh menggelikan bahwa ada ukuran-ukuran fisik yang dapat menentukan identitas seseorang merupakan ras yang paling mulia. Tapi bukan hanya ukuran fisik seperti lingkar kepala, bentuk hidung saja, bahkan cara berjalan seseorang pun bisa menjadi ciri khas suatu bangsa. Sungguh pemujaan  berlebihan terhadap keunggulan identitas fisik suatu bangsa dapat membuat kekonyolan.

Bukan hanya tantangan ciri fisik yang harus dihadapi oleh Solek. Dia juga harus bergelut dengan masalah identitas kepercayaannya (agama). Saat tinggal di asrama yatim piatu di Grodno, Uni Soviet, Solek menjadi seorang ateis, padahal dia tumbuh dan dibesarkan sebagai Yahudi yang taat. Ketika berpura-pura menjadi seorang Jerman, dia pun harus menjadi seorang Kristen.

Namun identitas juga dapat menjadi faktor pemersatu, perasaan senasib yang mengikat kebersamaan. Saat pertama kali bergabung dengan pasukan Nazi Jerman, Solek yang berpura-pura sebagai seorang keturunan ras Arya dan memanfaatkan kemampuannya berbahasa Jerman, menjalin persahabatan dengan prajurit Nazi bernama Robert (André Wilms). Ternyata Robert adalah seorang gay, dan mengetahui jika Solek adalah seorang Yahudi. Karena baik Robert maupun Solek merasa memiliki identitas rahasia yang dapat mengancam nyawa mereka masing-masing, mereka kemudian menjadi sahabat yang dipersatukan oleh perasaan senasib. Baik Solek maupun Robert memiliki identitas yang sangat dibeci oleh Nazi, yaitu Yahudi dan gay.

Bahasa sebagai salah satu identitas suatu bangsa berperan besar sebagai penyelamat bagi Solek. Solek yang lahir dan dibesarkan di Jerman, dan kemudian tinggal dan mendapatkan pendidikan di asrama yatim piatu di Grodno, Uni Soviet, menguasai bahasa Jerman dan Rusia. Ketika Solek tertangkap oleh pasukan Nazi yang menginvasi Uni Soviet, kemampuan berbahasa itulah yang membebaskannya. Dengan kemampuan berbahasanya, Solek yang berpura-pura menjadi seorang keturunan Jerman, menjadi penerjemah bagi pasukan Nazi yang menangkapnya. Diikuti dengan nasibnya yang mujur, Solek diangkat anak oleh Kapten yang memimpin pasukan Jerman yang menangkapnya, dan kemudian dikirimkan untuk bersekolah di akademi militer yang melatih “Pemuda Hitler” (Hitler Youth/ Hitlerjunge) . Solek dianggap sebagai jimat keberuntungan pasukan Nazi karena berhasil menangkap anak Joseph Stalin, berkat kemampuannya sebagai penerjemah bahasa. Solek juga terlihat maju meyerbu pasukan Uni Soviet seorang diri, padahal sebenarnya dia ingin lari kembali ke Uni Soviet.

Walupun sudah relatif aman dengan menyamar sebagai seorang Jerman, Solek tak bisa mengingkari nuraninya sebagai Yahudi. Pertentangan identitas tersebut mencapai puncaknya pada saat Solek mencari keluarganya di ghetto Yahudi di Polandia. Dia melihat betapa mengengenaskannya kehidupan tahanan di kamp interniran Yahudi tersebut. Akhirnya Solek melarikan diri dari pasukannya saat dia menghadapi pasukan Uni Soviet. Dia pun dapat bertemu dengan kakaknya, Isaac, dan kembali menjadi Yahudi.

Identitas tergambarkan begitu penting di dalam film ini. Solek harus bergelut dengan identitas-identitas untuk dapat bertahan hidup. Perjuangannya untuk selamat dari episode mengerikan Perang Dunia Kedua, membuat Solek yang seorang Ibrani, harus menjadi ateis lalu menjadi fasis. Namun pada akhirnya dia tak dapat membohongi dirinya, dan kembali menjadi seorang Yahudi.

Jadi apa identitas dirimu?  Nasionalis, fasis, fundamentalis, zionis, ateis? Silahkan anda sendiri yang menentukan dan memberinya makna.

Perjalanan Terakhir Bersama KRD Patas Bandung Raya

Oleh: Arya Vidya Utama (@aryawasho)

Saya bukanlah pengguna kereta secara reguler ataupun fans berat kereta api, namun kereta api adalah salah satu moda transportasi favorit saya. Belum pernah saya tidak menikmati bepergian dengan kereta api. Bisa jadi salah satu alasannya adalah karena pemandangan selama perjalanan yang memanjakan mata. Sepanjang mata memandang, saya bisa melihat hamparan sawah, gunung, sungai, jalanan yang paralel dengan jalur kereta, dan juga interaksi masyarakat yang tinggal di bantaran rel. Pemandangan ini tak akan pernah bisa disaksikan jika bepergian menggunakan moda transportasi lain.

Sejenak saya terhenyak saat sedang membuka Twitter pada Rabu malam (14/01).

“Admin @KomunitasAleut Sekedar Info aja Mulai Lusa, Patas bakal di tiadakan. Entah dikemanakan nanti Patas berwarna Hijau itu. :’)” – Railway Fans Bandung (@ppkadaop2bd)

Twit tersebut membuat saya kaget sekaligus sedih, karena kereta yang bentuknya khas dan hanya satu-satunya kereta berpenggerak hidrolik yang beroperasi di Bandung ini akan menghilang dari peredaran. Belum lagi nasibnya yang masih belum jelas akan dikemanakan.

Ingatan akan KRD Patas Non-AC Bandung Raya mengantar saya pada kenangan di bulan Agustus 2014. Setelah sekian lama tidak naik KRD Ekonomi maupun Patas, saya berkesempatan untuk naik kereta api menuju Cimahi dalam rangka survey Ngaleut Kota Garnisun bersama seorang kawan. Saat itu kereta yang kami naiki adalah KRD Patas Non-AC. Berhubung saya tergolong awam akan kereta api, Kawan saya menjelaskan bahwa KRD Patas tidak melayani semua stasiun di Bandung Raya. Kereta ini hanya melayani 6 stasiun saja (Padalarang-Cimahi-Bandung-Kiaracondong-Rancaekek-Cicalengka). Berbeda dengan KRD Patas yang melayani 13 stasiun. Tak heran mengapa harga tiket KRD Patas bisa sampai 2 kali harga KRD Ekonomi.

Belum selesai saya terkagum akan cerita KRD Patas, kereta tiba di Stasiun Cimahi yang menjadi destinasi kami. Bandung-Cimahi ditempuh hanya dalam 10 menit saja. Bandingkan dengan menggunakan mobil ataupun motor yang bisa 3-6 kali lipatnya.

Lamunan ini pun berakhir saat akun Railway Fans Bandung melanjutkan kicauan mereka.

“Besok ada rekan-rekan RF Bandung yang mau Sadride naik Patas Non AC dari Bandung Jam 14.15 & 16.25”

Tanpa pikir panjang saya memutuskan untuk ikut sadride ini. Kapan lagi bisa mengapresiasi KRD Patas selain esok hari. Selain itu, momen ‘terakhir’ selalu menarik untuk saya.

______

Pukul 14.13 saya tiba di Stasiun Selatan Bandung. Sedikit telat dari rencana karena lambatnya pelayanan di bank yang membuat saya harus sedikit ngebut di jalan. Dengan kemampuan berlari saya yang pas-pasan, saya naik di gerbong KRD Patas Non-AC tepat satu menit sebelum kereta berangkat. Ah, hal ini mengingatkan saya saat joyride Ngaleut Spoorwegen In Bandoeng. Saat itu juga saya dan 49 pegiat lainnya tergesa-gesa untuk menaiki KRD Patas AC menuju Cicalengka karena kami mengabiskan waktu terlalu lama untuk menjelaskan daerah sekitar Stasiun Bandung.

Saya bergegas menuju rangkaian gerbong terakhir untuk bertemu dengan teman-teman dari Railway Fans Bandung. Saya banyak berbincang dengan Erwan dan Adit mengenai KRD Patas. Menurut Erwan, KRD Patas mulai melayani daerah Bandung Raya pada sekitar tahun 1970-an. Sejak awal KRD beroperasi, ada 7 stasiun yang dilayani. Namun saat ini Stasiun Cikudapateuh tidak lagi dilayani KRD Patas.

Lalu bagaimana nasib KRD Patas yang akan berhenti beroperasi ini? Menurut Adit, Kereta KRD Patas AC akan dioperasikan menjadi KRD Ekonomi. Sedangkan KRD Patas Non-AC nasibnya belum diketahui, kemungkinan akan dijadikan cadangan bagi KRD Ekonomi.

Kereta terus melaju menuju Stasiun Rancaekek. Di tengah perjalanan, saya bertanya kepada salah satu bapak yang rutin menggunakan KRD Patas. Sudah sekitar 6 tahun ia menggunakan layanan kereta ini, dan mau tidak mau kedepannya ia harus menggunakan KRD Ekonomi meskipun waktu tempuhnya lebih lama.

Kereta akhirnya tiba di Stasiun Rancaekek. Ingatan akan kehebohan di stasiun ini di Ngaleut Spooregen in Bandoeng kembali terngiang. Saat itu kami berniat untuk mengejar kembali ke Bandung menggunakan KRD Patas Non-AC. Seluruh peserta sudah duduk manis di dalam stasiun untuk menunggu kereta yang baru akan berangkat dari Stasiun Cicalengka. Saat saya dan dua orang kawan akan membeli tiket, ternyata tiket kereta yang kami akan gunakan sudah ludes di Stasiun Cicalengka. Dengan sangat tergesa-gesa, peserta diarahkan kembali menuju kereta yang sebelumnya dinaiki. Hampir saja kami harus menunggu kereta berikutnya.

Kereta kembali melaju menuju Stasiun Cicalengka. Stasiun ini adalah pemberhentian paling timur di rute Bandung Raya. Di sini pula saya berpisah dengan teman-teman Railway Fans Bandung yang baru akan kembali ke Bandung sekitar pukul 18.00 menggunakan KRD Patas terakhir, tak hanya di jadwal terakhir pada hari itu namun juga kereta yang terakhir beroperasi. Saya kembali membeli tiket menuju Bandung yang berangkat pada pukul 15.15.

Sepanjang perjalanan pulang, saya hanya menikmati perjalanan singkat ini. Duduk di pinggir jendela membuat saya mudah untuk melihat hamparan sawah, gunung di kejauhan, dan interaksi warga yang tinggal di bantaran rel. Saat kembali menengok keadaan di gerbong, rupanya saya bukan satu-satunya orang yang menikmati sadride ini. 2 baris kursi dari tempat saya duduk ada seorang pelajar SMA yang juga sedang menikmati perjalanan terakhir KRD Patas.

Kereta akhirnya tiba di Stasiun Bandung. Di pintu gerbong sudah terlihat kerumunan penumpang yang akan berangkat ke Stasiun Cimahi maupun Padalarang. Saat turun dari gerbong, salah satu penumpang berseru “Isuk mah moal aya deui euy.” (Besok mah (kereta ini) ga bakal ada lagi euy) kepada rekannya.

Segera saya menghampiri bagian depan kereta untuk sekedar mengabadikan gambar. Tampak pelajar SMA yang duduk satu gerbong dengan saya sedang memfoto kereta ini menggunakan kamera ponselnya. Berdiri tak jauh dari pelajar SMA tersebut saya melihat juga ada 2 orang mahasiswa sedang berfoto di depan kereta. Setelah mereka selesai befoto, giliran saya yang mengabadikan kereta ini melalui foto sembari tak lupa juga saya ber-selfie.

_______

Farewell, my friend. Thanks for the memories.

 

Tautan asli: http://aryawasho.wordpress.com/2015/01/16/perjalanan-terakhir-bersama-krd-patas-bandung-raya/

Ngaleut Institut Teknologi Bandung

Oleh: Arif Abdurahman (@yeaharip)

[youtube https://www.youtube.com/watch?v=_C6tNNnoIaQ?version=3&rel=1&fs=1&showsearch=0&showinfo=1&iv_load_policy=1&wmode=transparent]

Masuk ke kampus almamaternya Ir Soekarno, Ridwan Kamil, dan Pidi Baiq ini hanya pernah saya lakukan kalau ada event Pasar Seni. Kalau masuk lewat SNMPTN emang enggak, soalnya kalau ga salah pilihannya dulu ya cuma Unpad tercinta. Ga kepikiran sih kenapa ga milih FSRD dulu.

Ah Sujiwo Tejo yang kuliah di Matematika dan Teknik Sipil malah jadi seniman. Eh tapi beliau juga alumni ITB sih. Oke lah, biar ga kepanjangan langsung saja bakal saya laporkan kegiatan ngaleut di kampus pencipta orang-orang hebat ini.

canonet ql17 itb

ITB didirikan pada 3 Juli 1920 dengan nama Technische Hoogeschool te Bandoeng, sering disingkat menjadi TH te Bandoeng, TH Bandung, atau THS. Tujuan awal pendiriannya adalah untuk memenuhi kebutuhan tenaga teknik yang menjadi sulit karena terganggunya hubungan antara negeri Belanda dan wilayah jajahannya di kawasan Nusantara, sebagai akibat pecahnya Perang Dunia Pertama.

Dan untuk mengenal lebih dekat salah satu kampus tertua di Bandung ini, Komunitas Aleut mengadakan ngaleut pada Minggu, 18 Januari 2015 dengan meeting point di Taman Ganesha dekat monumen kubus.

itb canonet ql17

itb canonet ql17

Satu bentuk arsitektur yang unik dan mungkin bakal menimbulkan pertanyaan adalah soal bentuk atapnya yang bergaya Minangkabau. Ya, inilah hasil rancangan dari arsitek Belanda asal Jatinegara, Maclaine Pont. Mahakarya Pont ini mendapat serangan dari sejawatnya, Prof. Wolff Schoemaker.

Lihat: Komunitas Aleut – Maclaine Pont dan Kisah ITB

Arsitek Schoemaker dan Bosscha yang mewarnai Bandung dengan beragam bangunan hasil rancangan mereka pun turut andil dalam pembangunan ITB ini. Dan pastinya pujian pun harus kita sematkan kepada para kuli bangunan, karena tanpa mereka ga mungkin ada kampus ITB.

itb canonet ql17

itb canonet ql17

ngaleut canonet ql17

Dari gaya tradisional dan kolonial menuju apartemen Podomoro. Ya, jika menelusuri bangunan kampus ini dari gerbang depan ke belakang, bakal terasa seperti dalam lorong waktu. Semakin ke area belakang ITB, bangunan yang terlihat semakin menjadi gaya kekinian dan futuristik. Bahkan, di area belakang masih berjalan beragam pembangunan gedung baru.

Kondisi cuaca mendung, tapi emang berjalan-jalan di kampus ITB sungguh menyegarkan karena dihiasi beragam pohon rindang. Bayangkan kalau harus ngaleut di Unpad Jatinangor dengan kondisi terik, wih serasa kardio. Tapi tetap bangga sama Unpad lah, ITB mana punya odong-odongnya? 😎

ngaleut itb canonet ql17

ngaleut itb canonet ql17

Salah satu topik yang saya suka, selain urban legend-nya, adalah soal sejarah pergerakan mahasiswanya. Ya, kampus ini yang meluluskan banyak tokoh nasional, yang paling diingat tentu saja sang proklamator dan presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno. Namun oleh para mahasiswa ITB pula kemudian kekuasaan Orde Lama digugat.

Baik di Orde Lama dan Orde Baru para mahasiswa ITB berperan aktif dalam aktivitas pergerakan nasional. Meski pada Orde Baru terjadi sedikit kemerosotan. Dan mungkin di era Reformasi ini, sangat menurun drastis. Salah satu faktornya adalah akibat beratnya beban SKS, sehingga mahasiswa menjadi study-oriented.

Yang pasti, semoga kampus ini tetap bisa mencipta orang-orang hebat yang bisa memberikan manfaat bagi sekitar. Minimal buat kota Bandung lah.

urban landscape tamansari canonet ql17

Oke, semua foto-foto di atas hasil jepretan dari kamera film Canon Canonet QL17 dengan amunisi Fujifilm Superia 200 yang expired-nya entah kapan. Setalah ngaleut langsung dicuci scan di Lab Seni Abadi. Dan untuk ke roll ketiga ini hasilnya ya ada peningkatan lah, khususnya intuisi soal setting exposure yang pas.

Saatnya bikin hashtag #indo35mm #bdg35mm #ishootfilm #beforepixel #believeinfilm #filmphotography #sunny16 #superiajenaka #canonql17.

 

Tautan asli: http://arifabdurahman.com/2015/01/18/ngaleut-institut-teknologi-bandung/

#InfoAleut: Ngaleut ITB

2015-01-18 ITB

Hari Minggu (18/01/2015) kita akan… “Ngaleut ITB”. Mari mengenal lebih dekat salah satu perguruan tinggi tertua di Kota Bandung ini.

Bangunan mana yang pertama kali dibangun? Siapa itu Ijzerman dan mengapa ada taman yang dibangun khusus untuknya? Apa peran Bosscha untuk pembangunan ITB? Yuk cari tahu bersama grin emoticon

Tertarik untuk bergabung? Kumpul di depan Taman Ganesha (dekat monumen kubus, seberang gerbang utama ITB) pukul 07.30 WIB. Jangan lupa, konfirmasikan kehadiranmu ke nomor 0896-8095-4394. Cukup dengan SMS dengan format nama dan kesedian untuk ikut serta. Ingat, konfirmasi ini hukumnya WAJIB yah smile emoticon

Sekian saja Info Aleut malam ini. Ayo datang dan ramaikan, karena tiada kesan tanpa kehadiranmu

Europa Europa: Sulitnya Menjadi Yahudi di Tanah Eropa pada Perang Dunia Ke-2

Oleh: Arya Vidya Utama (@aryawasho)

Europa Europa (1991)

Solomon Perel adalah seorang Yahudi keturunan Polandia yang tinggal di Jerman. Di malam Bar Mitzvah[1], kediaman keluarganya diserang pendukung Nazi. Ia berhasil kabur dari jendela kamar mandi dan bersembunyi di dalam tong kayu. Saat ia kembali, seluruh keluarganya selamat, kecuali saudara perempuannya yang terkena lemparan batu.. Mereka sekeluarga akhirnya kembali ke Polandia karena kondisi di Jerman semakin tidak kondusif.

Sejak itu, kehidupan Solomon dipenuhi berbagai macam petualangan. Kehidupannya di Polandia tidak berlangsung lama, seiring terus meluasnya ekspansi Tentara Nazi. Solomon beserta saudara lelakinya, Isaac, diperintahkan kedua orang tuanya untuk mengungsi ke tanah Sovyet. Namun di tengah perjalanan menuju Sovyet, mereka terpisah di tengah kerumunan pengungsi. Di usia yang sangat muda, Solomon berjuang sendiri di Sovyet, tanpa keluarga.

Saat akhirnya Sovyet diduduki Nazi, kondisi pun semakin sulit bagi Solomon. Ia yang sudah terdaftar sebagai anggota Komsomol[2] kembali mendapat tekanan dari Tentara Nazi. Satu per satu tahanan Nazi diinterogasi dan mereka yang kedapatan tercatat sebagai anggota Komunis dibunuh. Keberuntungan masih di pihak Solomon. Kemahirannya berbahasa Jerman menyelamatkan nyawanya. Setelah menyembunyikan kartu anggota Komsomol di dalam celananya, ia mengaku sebagai Joseph Pieters, seorang Volksdeutscher, dan keluarganya dibunuh Bolshevik di hadapan tentara Nazi. Kemampuan Solomon menguasai Bahasa Rusia dan Jerman membuatnya diangkat sebagai penerjemah bagi Tentara Nazi.

Keberuntungan demi keberuntungan terus menerus dialami Solomon. Saat berencana untuk berpindah ke kubu Uni Sovyet karena seluruh anggota di unitnya tewas, ia malah dianggap menemukan tempat persembunyian Tentara Uni Sovyet dan dianggap sebagai pahlawan. Kepahlawanan di usia yang muda ini membawanya ke sekolah paling elit untuk warga Jerman pada saat itu atas rekomendasi komandan kompinya. Namun status Solomon sebagai orang Yahudi menimbulkan konflik batin dalam dirinya. Di dalam sekolah ia didoktrin untuk membenci Yahudi dan terus diajarkan untuk menanjung Hitler, yang notabene adalah musuh bagi dirinya.

Di akhir cerita, pihak Sovyet dan Sekutu berhasil menaklukan Jerman. Solomon yang tertangkap oleh tentara Uni Sovyet hampir saja dieksekusi karena memihak tertangkap dengan pakaian berdekorasi Nazi. Lagi-lagi keberuntungan masih di pihaknya. Saat Tentara Uni Sovyet akan mengeksekusi dirinya, ia bertemu Isaac, saudara lelakinya yang sudah lama terpisah.

Film ini mengambil setting di saat Perang Dunia Ke-2, di mana Jerman yang pada saat itu di bawah pimpinan Adolf Hitler berperang melawan Yahudi dan Sekutu. Solomon di dalam film ini menggambarkan bagaimana kondisi kaum Yahudi Jerman di masa itu. Mereka secara tidak langsung dipaksa untuk terus menerus menepi dari tanah Eropa Timur seiring gencarnya invasi Nazi hingga ke tanah Sovyet. Di tanah Sovyet pun sebetulnya kaum Yahudi termarjinalkan. Di masa itu belum ada negara bagi kaum Yahudi, sehingga mereka dihadapkan pada 3 pilihan: terus mengungsi, masuk ke kamp konsentrasi, atau menyusup ke dalam Tentara Nazi. Ketiga pilihan ini bukannya tanpa resiko. Jika terus mengungsi, di pertengahan jalan mereka bisa mati terkena serangan pihak lawan. Jika masuk ke kamp konsentrasi, mereka juga bisa mati karena kondisi di sana yang sama sekali tidak layak. Jika membelot ke Nazi, mereka harus bertahan dengan konflik batin dan ketakutan akan kematian jika ketahuan oleh pihak Nazi. Pada saat itu sudah atau tidaknya seorang laki-laki disunat menjadi ciri-ciri apakah ia Yahudi atau bukan.

Hal yang membuat saya kagum akan film ini adalah ceritanya diambil dari kisah nyata Solomon Perer. Filmini diangkat dari autobiografinya yang berjudul Ich war Hitlerjunge Salomon yang terbit pada tahun 1989. Apa yang terjadi di dalam film dialami sendiri oleh Salomon Perel. Film yang didasarkan pada kisah nyata membuat saya lebih merasa masuk ke dalam jalan cerita. Sepanjang film saya bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi kaum minoritas yang terus tersisih oleh rezim yang berkuasa, bagaimana tak nyamannya hidup di tengah peperangan, bagaimana kejamnya rezim Nazi kepada kaum Yahudi, bagaimana beratnya konflik batin yang dirasakan, dan bagaimana rasanya diteror ketika hidup di dalam ‘kebohongan’.

______________________

[1] Upacara kedewasaan bagi remaja pria Yahudi yang sudah memasuki usia 13 tahun

[2] Divisi Pemuda Partai Komunis Uni Sovyet

Menengok Sisa-sisa Puing Radio Malabar

Oleh: @mooibandoeng

Radio Malabar

Tadi pagi (13/01) sempat nengok sisa-sisa radio Malabar di lereng Gunung Puntang. Kabutnya sedang sangat tebal, jarak pandang begitu pendek. Nunggu sekitar satu jam baru kabut agak memudar dan bisa jalan-jalan keliling puing-puing stasiun radio dan bekas radiodorf. Sepi dan nyaman sekali.

Entah seperti apa suasana kawasan lereng gunung yang jauh dari jalan raya ini saat pembangunan stasiun Radio Malabar di tahun 1916-1918. Lima tahun kemudian di bawah dataran lahan stasiun sudah terbangun satu kompleks permukiman para pegawai, Kampung Radio.

Sebuah kampung dengan fasilitas modern di tengah hutan, di lereng gunung. Begitu ramai sekaligus begitu terpencil. Kampung asli terdekat mungkin berjarak sekitar 6 km di dekat jalur jalan penghubung Bandung-Pangalengan.

Bisa jadi dari masyarakat asli ini lahir sebutan Nagara Puntang untuk kampung radio ini. Nagara di tengah leuweung gerogan. Peralatan besar-besar dengan berat ber-ton-ton, menara-menara besi ukuran raksasa dengan bentangan kabel sampai sejauh 2 km sampai ke gunung sebelahnya. Kolam renang, taman-taman, lapangan tennis, bioskop, rumah-rumah tembok yang kokoh dan luas, pembangkit listrik, gua perlindungan. Semua ada. Nagara anyar di lengkob Gunung Puntang, kiduleun kota Bandung: Nagara Puntang

Sayang, sudah bertahun2 dibiarkan tidak terurus. Puing-puing yang tersisa sedikit demi sedikit akan habis digerus iklim dan waktu. Sampai nanti tidak akan ada lagi jejak Nagara Puntang yang pernah jadi pusat perhatian dunia karena berhasil membuat dua benua tersambung. Dari stasiun radio inilah pertama kali telekomunikasi tanpa kabel antarbenua terlahir, 5 Mei 1923.

__________
Foto koleksi Tropen Museum, Belanda.

Tatapan Sunyi (Kaca Mata)

Oleh: Ariono Wahyu (@A13Xtriple)

Cover film Senyap (The Look of Silence)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “kacamata” adalah lensa tipis untuk mata guna menormalkan dan mempertajam penglihatan (ada yang berangka dan ada yang tidak). Yang perlu digaris bawahi di sini mungkin pada bagian kalimat “menormalkan dan mempertajam penglihatan”. Dalam proses menentukan kacamata yang tepat bagi seseorang untuk dapat melihat lebih jelas, kita harus mencoba berbagai jenis dan ukuran lensa. Pada saat ditemukan kacamata dengan lensa yang tepat maka kita akan dapat melihat dengan jelas dan terang.

Memberikan penglihatan yang normal, jelas, dan lebih terang itulah yang coba dilakukan oleh Adi Rukun pada seorang kakek bernama Inong.

“Mata bapak ini yang kiri sudah ketutup”

“Jadi yang kanan”

“Ini kalo ngeliat ke sanalah, itu ada tambah terang atau tambah kabur?” tanya Adi Rukun.

“Tambah terang” jawab Inong

Selanjutnya sambil bercerita mengenai  peranan dirinya pada era selepas Gestapu, Inong mencoba berbagai lensa yang diberikan oleh Adi.

“Yang ini terang”

“Yang ini lebih terang”

“Yang ini masih kabur”

Seperti itulah jawaban Inong ketika mencoba berbagai lensa kacamata yang dipasangkan Adi. Selama proses memilih tersebut, Inong bercerita mengenai apa yang dilakukannya sebagai komandan pasukan pembantai tingkat desa. Cerita mengenai keseganan dan ketakutan warga desa pada dirinya sebagai pemimpin organisasi massa, padahal desa tersebut tujuh puluh lima persen penduduknya adalah anggota Barisan Tani Indonesia (BTI) dan Gerwani, organisasi underbow PKI.

Dia bercerita tentang rasa darah manusia yang menurutnya “masin-masin manis”. Inong harus meminum darah tersebut untuk mencegah dirinya menjadi gila. Ada kepercayaan di antara para eksekutor jika tidak meminum darah korbannya, orang tersebut akan jadi gila, dan akan naik ke atas pohon kelapa untuk mengumandangkan adzan setiap subuh.

Cerita Inong yang lainnya adalah mengenai bentuk organ dalam payudara setelah dipotong yang menurutnya seperti saringan kelapa. Hal tersebut diketahuinya ketika dia diserahi oleh seorang laki-laki yang tak sanggup untuk mengeksekusi adik perempuannya yang anggota Gerwani.

Adegan dan cerita mengerikan tersebut adalah penggalan dari sebuah film dokumenter berjudul “Senyap” (The Look of Silence). Adegan tersebutlah yang saya rasa paling mengena dan memiliki arti yang dalam serta mewakili judul film karya Joshua Oppenheimer ini. Bila diperkenankan saya memberikan judul tersendiri untuk film ini, mungkin judulnya akan menjadi “Tatapan Sunyi/Senyap”(The Look of Silence). Tatapan Sunyi seorang Adi Rukun yang mencari tahu melalui sudut pandang pelaku, mengapa kakaknya, Ramli, seorang anggota BTI, dibantai pada saat itu.

Menurut Inong, Nabi Muhammad memang tidak pernah membunuh, namun diperbolehkan untuk membunuh musuh. Ah, tapi mungkin kakek tua bernama Inong itu lupa, jika Kanjeng Nabi membunuh musuhnya dalam peperangan. Tak pernah membunuh tahanan tanpa melalui sidang pengadilan.

Itu tadi pandangan Inong, yang sangat kebetulan “mata kirinya” sudah tertutup. Sama seperti gambarannya akan apa yang diketahuinya tentang PKI. Menurutnya, PKI itu ya Partai Komunis Indonesia, tidak bertuhan, istrimu-istriku. Bagi Inong pandangannya akan “kaum kiri” sudah tertutup, persis seperti mata kiri dan mata hatinya yang juga tertutup sehingga mampu melakukan perbuatan keji.

Adi Rukun mencoba membuka pandangan mereka yang terlibat pembantaian bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan. Pada film ini profesi Ardi sebagai pedagang kacamata keliling digunakan sebagai simbol pembuka pandangan tersebut. Lebih dari itu, melalui pemeriksaan mata yang dilakukannya, dia dapat melihat dan menatap langsung mata para pelaku. Mencari dan mencoba mengerti perbuatan keji yang mereka lakukan.

Pada film ini juga kita dapat mengetahui arti seorang anak di mata orang tuanya, terutama ibu. Bagaimana tersiksanya Mamak yang harus ndelok (melihat) pembunuh anaknya, Ramli, yang hidup di sekitarnya. Menurut Mamak yang usianya seratus tahun lebih itu, dia hampir gila jika tidak memiliki anak lagi dua tahun setelah anaknya Ramli dibunuh. Anak tersebut adalah Adi Rukun, adik bungsu Ramli. Dalam pengelihatan Mamak, Adi sangat mirip dengan Ramli. Ketika hamil, Mamak berdoa agar diberikan anak laki-laki yang mirip dengan Ramli. Pada saat yang sama, ” Ayah” (bapaknya Ramli/suami Mamak), sangat terpukul oleh kejadian yang menimpa anaknya, Ramli. Menurut Mamak, setelah Ramli dibantai, Ayah tak mau makan dan jarang berbicara, hanya diam di bawah pohon asam tempat biasanya Ramli sering berdiam diri.

“Mak, aku mau minum kopi”

“Baru saja airnya mendidih, ia sudah dibawa pergi”

Begitulah kesaksian Mamak, saat Ramli dibawa oleh massa. Padahal Ramli dalam keadaan terluka bersimbah darah. Sehari sebelumnya Ramli masih selamat dari pembantaian, walaupun dengan kondisi usus terburai dan badan penuh tusukan. Dia sampai ke halaman rumah dan dibawa masuk ke dalam rumah oleh Mamak. Esok harinya massa dengan menggunakan “motor” (truk) datang menjemput Ramli. Pada Mamak, mereka berdalih Ramli akan dibawa ke rumah sakit. Mamak yang tak percaya akan alasan tersebut memaksa untuk ikut, namun massa tak menginzinkannya. Rupanya di tas truk itulah Ramli menemui ajalnya. Saat sudah di atas truk, Ramli langsung dikebiri dan dicincang. Mayatnya kemudian dikuburkan di Pelintahan.

Kengerian di atas tadi serta cerita Inong sebelumnya, disampaikan dalam bentuk narasi dan penuturan saja dalam film “Senyap”. Namun dapat menimbulkan kengerian yang luar biasa bagi kita yang menontonnya. Walaupun film ini tanpa reka adegan, namun kengerian lewat narasi sudah sangat cukup mewakili.

Dengan menonton film ini kita mempunyai pandangan baru mengenai apa yang terjadi setelah peristiwa G30S/PKI. Melalui filmnya Joshua Oppenheimer ingin memberikan pandangan yang terang pada peristiwa yang selama ini selalu kelam. Setidaknya kita dapat memilih menggunakan kacamata yang mana dalam melihat peristiwa ini, apakah kacamata berlensa minus untuk melihat jelas jauh ke depan, atau tetap menggunakan kacamata kuda yang membatasi pandangan kita sehingga lebih mudah dikendalikan orang lain.

Wim Schenk, Pasir Malang dan “Kota Kembang”

Oleh: Ariono Wahyu (@A13Xtriple)

Ketenangan malam Minggu di  Indische Restaurant yang terletak di sisi utara alun-alun Bandung terusik. Sebuah bendi yang ditarik oleh kuda australia tiba-tiba nyelonong masuk ke bangunan restoran yang berbentuk pendopo joglo. Kuda yang hilang kendali itu menendang lampu kristal penuh lilin yang menjadi sumber pencahayaan di dalam restoran. Seketika ruangan menjadi gelap gulita, tamu-tamu yang sebelumnya terbuai oleh alunan musik, berlarian menyelamatkan diri.

Dalam keadaan gelap gulita, seorang kakek sibuk mencari sesuatu di lantai ruangan restoran. Datanglah seseorang dalam keadaan mabuk, menghampiri si kakek.

Rupanya orang tersebut adalah pengemudi bendi yang kehilangan arah tadi.

“Pak, Anda sedang mencari apa?” tanya orang mabuk itu.

“Saya kehilangan uang 10 sen  gara-gara bendi sialan Anda masuk ke dalam restoran,” jawab si kakek.

“Baiklah, mari sini saya bantu carikan!”  ujar si orang mabuk.

Tak berapa lama, ruangan restoran sedikit bercahaya. Rupanya orang mabuk yang berusaha membantu si kakek yang kehilangan uang seketip membakar kertas untuk menerangi ruangan restoran yang gelap gulita. Tapi betapa terkejutnya si kakek saat mengetahui bahwa kertas yang dibakar  oleh orang mabuk itu adalah uang  kertas! Ya, uang kertas bergambar wajah Jan Pieterszoon Coen, yang memiliki nominal 10 gulden!

Si orang mabuk yang membakar “ukon” (wangmas) tadi adalah pemilik perkebunan kina Pasir Malang yang terletak di sebelah selatan kota Bandung, namanya Wim Schenk. Rupanya Tuan Wim Schenk baru saja pulang dari Societiet Concordia, yang terletak di sebelah timur  Indische Restaurant, dalam keadaan mabuk. Maksud hati ingin pulang ke penginapan, apa daya karena hilang kesadaran, bendi yang dikendarainya malah membuat huru-hara di restoran yang lokasinya  dahulu adalah bekas bagunan loji.

Namun cerita Wim Schenk tidak melulu cerita yang bikin malu. Sekali waktu justru Wim Schenk-lah yang menyelamatkan muka kota Bandung dari mendapat malu. Alih-alih tercoreng muka seluruh penduduk kota, Bandung malah memperoleh salah satu julukannya yang terkenal, yaitu “Kota Kembang”. Nah, bagaimana kisahnya sorang pemabuk pembikin onar, malah menjadi seorang pahlawan kota?

Sejak diberlakukannya “U.U. Agraria” tahun 1870, muncul pengusaha-pengusaha perkebunan yang sukses di berbagai daerah dengan berbagai jenis komoditas. Preangerplanters terkenal sebagai pemilik perkebunan teh, kopi dan kina yang berhasil. Suikerplanters menguasai perkebunan dan pabrik-pabrik gula yang banyak terdapat di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan di Sumatra, seperti di daerah Deli muncul petani-petani tembakau kaya raya.

Kemakmuran taraf hidup para pengusaha perkebunan banyak memberikan sumbangan kemajuan bagi kota di sekitar tempat mereka tinggal.  Roda perekonomian dan kemajuan teknologi sebuah kota, sedikit banyak harus diakui merupakan sumbangsih para petani kaya raya ini. Perkembangan kota Bandung  si “Parijs van Java” di antaranya disokong oleh para Preangerplanters seperti keluarga Ir. R.E. Kerkhoven, keluarga Bosscha. Sedangkan kota Malang yang memiliki julukan  “Holland Tropische Stad” didukung oleh para “Suiker-Boer”.

Kemajuan dan kemakmuran suatu daerah sering kali menimbulkan rasa iri dan persaingan. Begitu pula yang terjadi diantara para pengusaha perkebunan ini. Rasa persaingan ditunjukkan dengan saling mencibir, para pengusaha gula diberi sebutan “petani udik” oleh para Preangerplanters.

Para pengusaha gula ingin mengetahui seperti apa rupa kota Paris-nya Pulau Jawa, tempat  yang dibanggakan oleh para Preangerplanters. Rasa penasaran membuat mereka ingin membuktikan apakah Bandung memang seperti julukannya? Mereka merencanakan untuk membuat kongres para pengusaha gula di Bandung.

Akhirnya keputusan untuk melaksanakan Kongres Para Pengusaha Perkebunan Gula yang pertama dikeluarkan oleh “Bestuur van de Vereniging van Suikerplanter” (Pengurus Besar Perkumpulan Pengusaha Perkebunan Gula) yang berkedudukan di Surabaya. Bandung dipilih sebagai kota tempat diselenggarakannya kongres yang pertama tersebut tahun 1896. Memang pemilihan tersebut suatu kehormatan bagi kota Bandung dan seluruh warganya, termasuk para Preangerplanters di dalamnya tentu saja. Namun kehormatan tersebut dapat membuat seluruh penghuni kota kehilangan kehormatannya, jika mereka tidak dapat memberikan pelayanan bagi mereka yang datang berkongres di Bandung. Seluruh warga kota mengetahui bahwa alasan lain pemilihan Bandung sebagai tempat diselenggarkannya kongres, adalah ajang pembuktian dan unjuk pamer dari saingan mereka para “petani udik”.

Padahal pada tahun 1896, Bandung belumlah layak menyandang sebutan sebagai sebuah kota besar, masih lebih pantas disebut “kottatje” atau lebih tepatnya “kampung”. Jalanan kota masih gelap, berlumpur, dan hanya diterangi oleh lampu minyak, itu pun tidak semua jalan mendapatkan penerangan. Penduduknya tak lebih dari tiga puluh ribu jiwa, kalah jauh jika dibandingkan dengan Surabaya misalnya. Warga kota dan panitia lokal kongres tersebut mendadak sibuk dan cemas, mengurusi segala hal yang diperlukan untuk penyelenggaraan kongres tersebut. Sebagian pesimis para peserta kongres akan terpuaskan dengan pelayanan warga Bandung.

Namun pertolongan datang dari arah yang tak disangka-sangka. Saat tiba hari pelaksanaan kongres, Bandung dipenuhi rombongan peserta. Mereka datang dengan konvoi menggunakan mobil-mobil pribadi, sebagian datang dengan menyewa gerbong kereta api jurusan Surabaya – Bandung yang baru dibuka kurang lebih duabelas tahun sebelumnya.

Ternyata seluruh peserta kongres merasa senang atas penyelenggaraan kongres di Bandung. Terutama ketika datang serombongan noni cantik bunga desa yang turun gunung ke kota. Coba siapa yang tidak senang melihat sesuatu yang indah? Sejak itulah dari kisah-kisah yang diceritakan oleh peserta Kongres Pengusaha Perkebunan Gula pertama (1896) Bandung memiliki julukan baru “Kembangnya Kota Pegunungan di Hindia Belanda” (“De Bloem der Indische Bergsteden”). Kemudian julukan tersebut menjadi lebih singkat Bandung “Kota Kembang”. Jadi “kembang” disini mengacu pada gadis-gadisnya yang rupawan, bukan kembang atau bunga dalam artian sebenarnya.

Jadi siapa yang membawa serombongan noni cantik untuk memeriahkan kongres yang terancam gagal tadi?

Ya tak lain dan tak bukan, pemimpin rombongan noni-noni cantik tadi, adalah Wim Schenk dari Pasir Malang. Wim Schenk dapat disebut sebagai salah satu  pemilik perkebunan paling awal di sekitar Bandung.

Lalu dimanakah letak perkebunan Pasir Malang? Perkebunan Pasir Malang, terletak tak jauh dari perkebunan Malabar di daerah Pangalengan, kurang lebih lima puluh kilometer ke arah Selatan dari kota Bandung. Plang perkebunan Pasir Malang dapat ditemui tak jauh dari Situ Cileunca, ke arah perkebunan teh Cukul. Tepatnya di desa Wates.


Tak jauh dari plang tersebut, kurang lebih lima puluh meter akan ditemukan pabrik teh Pasir Malang yang sudah berdiri sejak tahun 1889. Usia perkebunan Pasir Malang lebih tua tujuh tahun dari usia perkebunan Malabar. Perkebunan Malabar lahannya baru dibuka dan disewa oleh Ir. R.E. Kerkhoven pada tahun 1896, dengan menunjuk sepupunya K.A.R. Bosscha sebagai administratur. Jadi tak salah jika pemilik perkebunan Pasir Malang, Tuan Wim Schenk disebut sebagai “senior’ para Preangerplanters.

Saat ini perkebunan teh Pasir Malang merupakan salah satu kebun milik PTPN VIII. Kebun dan pabrik tehnya masih berproduksi. Namun dahulu pada peta “The Autowegen Atlas” keluaran tahun 1935, perkebunan Pasir Malang dicatat sebagai perkebunan teh dan kina.

Sebenarnya jalan masuk ke perkebunan ini dapat juga ditempuh melalui jalan masuk ke perkebunan Malabar. Tepatnya jalan masuk ke arah rumah Bosscha. Setelah melewati “leuleuweungan” lokasi makam K.A.R Bosscha berada, ada persimpangan jalan. Untuk menuju ke perkebunan Pasir Malang, dapat mengambil jalan ke arah kanan, karena jalan yang lurus adalah jalan menuju rumah Bosscha.

Pemandangan di jalan ini sangat indah, gunung-gunung seperti gunung Wayang, gunung Windu,  Gunung Bedil, Gunung Tilu, Gunung Nini dapat jelas terlihat. Yang tak kalah unik  dengan melalui jalan ini adalah melihat Situ Cileunca dan Situ Panunjang dari arah belakang danau tersebut, dengan latar belakang Gunung Tilu.

Sungguh indah pemandangan di perkebunan Pasir Malang, bukan suatu hal yang aneh jika Tuan Wim Schenk betah tinggal di perkebunan ini. Apalagi dengan banyaknya noni-noni cantik “kembangnya kota pegunungan di Hindia Belanda”. Melalui Wim Schenk dari Pasir Malang, Bandung memperoleh julukan “kota kembang”.

 

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑