Month: December 2014

#InfoAleut: Kelas Menulis dan Apresiasi Film

Kelas Menulis dan Apresiasi Film

Sampurasun, Aleutian! Minggu, 28 Desember 2014, Komunitas Aleut mengundang Aleutian untuk datang ke Kelas Menulis. Dalam kelas menulis ini, kita akan melanjutkan kelas menulis minggu lalu. Selain itu, ada Apresiasi Film. Penasaran?

Kumpul di Kedai Preanger (Jalan Solontongan No. 20 – D) jam 13:00. Jangan lupa bawa alat tulis dan konfirmasi ke 0896-8095-4394.

Yuk, ngaleut!

Insulinde

Oleh: Irfan Teguh (@IrfanTeguh)

“Saat kau mencintai sebuah kota, dan sering menjelajahinya dengan berjalan kaki, tubuhmu, apalagi jiwamu, akan mengenal segala sudut jalannya dengan baik.” (Orhan Pamuk : Namaku Merah Kirmizi)

***

Ini tentang penamaan jalan dan daerah. Insulinde atau Archipelago atau dikenal juga dengan Nusantara, di Bandung adalah sewujud nama-nama jalan yang berada di sekitar Departemen van Oorlog (Departemen Peperangan) yang sekarang menjadi Kodam III Siliwangi. Namun ihwal penamaan ini pada akhirnya menjadi identitas dalam penelusuran suatu wilayah.

Kawasan insulinde dihuni nama-nama jalan seperti Jalan Kalimantan, Jawa, Sumatera, Ternate, Seram, Riau, Ambon, Saparua, Bali, Sumbawa, Banda, Bangka, Belitung, Aceh, dan lain-lain. Penamaan ini diberikan sejak dari masa kolonial. Tak heran jika taman yang berada di sekitar jalan-jalan ini disebutnya “Insulinde Park” atau “Taman Nusantara”, yang kemudian lebih dikenal dengan nama “Taman Lalu-lintas”.

Konon Belanda memberi nama jalan-jalan ini dengan nama-nama pulau yang ada di Nusantara, sebagai simbol bahwa pulau-pulau tersebut adalah wilayah yang harus mereka jaga dan pertahankan. Namun terlepas dari informasi tersebut, pemerintah kolonial Belanda memang kerap menamai jalan secara berkelompok, mungkin maksudnya adalah untuk lebih memudahkan dalam menelusuri suatu daerah.

Hal ini pernah disinggung oleh Us Tiarsa dalam bukunya yang berjudul Basa Bandung Halimunan :

“Ti mimiti Bandung jadi haminteu (gemeente) loba jalan anyar. Ku walanda dibėrė ngaran anyar deuih. Sanajan kitu, teu sagawayah mėrė ngaranna tėh. Ngaran wayang, kabėh ngaran wayang. Ayana di Pasirkaliki ka kulon. Ngaran gunung, ngaran gunung wungkul. Ngaran wahangan, wungkul ngaran wahangan. Ngaran manuk laleutik ayana tėh di Cihaurgeulis. Ari manuk galedė tur garalak ayana tėh di Ciroyom ka kulon. Ngaran bungbuahan ngawungkul bungbuahan, ayana di Kebonwaru Kalėr. Ngaran kekembangan ngagunduk di Cikudapateuh. Ngaran kota mah ayana tėh di Kebonwaru Kidul.”

(Dari awal Bandung jadi gemeente atau kota madya, banyak jalan baru. Oleh Belanda dikasih nama yang baru pula. Meskipun begitu, tidak sembarangan dalam memberi nama jalan. Nama pewayangan, semuanya pewayangan; adanya di daerah Pasirkaliki sebelah barat. Nama gunung, semuanya nama gunung. Nama sungai, semuanya nama sungai. Nama burung-burung kecil adanya di Cihaurgeulis—sekitar Gedung Sate. Kalau nama burung-burung besar adanya di Ciroyom sebelah barat. Nama buah-buahan hanya buah-buahan, adanya di Kebonwaru Utara. Nama-nama kembang berkumpul di Cikudapateuh. Dan nama-nama kota adanya di Kebonwaru Selatan).

Dari diskusi dan berbagi informasi dengan Komunitas Aleut, Jl. Sunda yang mulanya saya sangka termasuk juga ke dalam wilayah insulinde, ternyata pengecualian. Penamaan Jl. Sunda termasuk baru jika dibandingkan dengan nama-nama jalan yang masuk ke dalam wilayah insulinde.

Sunda sendiri sebetulnya mempunyai beberapa pengertian. Dulu deretan pulau dari Bali dan Nusa Tenggara disebutnya kepulauan Sunda Kecil, sedangkan beberapa peneliti asing justeru menganggap Sunda itu ya Nusantara. Silang sengkarut pengertian ini konon terkait juga dengan bangunan kampus ITB yang kata beberapa orang desainnya “Minang banget”, padahal kita tahu bahwa ITB letaknya di wilayah yang didiami oleh etnis Sunda. Hal ini menjadi masuk akal kalau Sunda diartikan sebagai Nusantara.

Pengertian Sunda kemudian hanya dikenal sebagai sebuah etnik di wilayah Jawa bagian barat, dan juga agama leluhur yang disebut Sunda Wiwitan. Sampai di sini mengertilah kita mengapa Jl. Sunda tidak termasuk ke dalam wilayah insulinde.

Insulinde, seperti keterangan Us Tiarsa di atas, memang hanya salahsatu pengelompokan nama jalan atau wilayah di Bandung. Maka pada permulaannya, atau bahkan sebelum kompleks perumahan banyak dibangun, mengidentifikasi sebuah wilayah di Bandung bisa dengan mudah dilakukan berdasarkan pengelompokkan nama.

Namun kini hal tersebut jadi agak rumit, sebab banyak nama kompleks perumahan yang namanya sama dengan nama wilayah yang sudah terkenal lebih dahulu. Lagi-lagi Us Tiarsa pernah menjelaskan hal ini masih dalam buku yang sama:

Teu matak sasab jaman harita mah nyanyabaan di kota Bandung tėh. Babari ngapalkeunnana ngaran jalan jeung ngaran lembur tėh. Ngawungkul, sawewengkon-sawewengkon. Asal disebut wewengkonna weh, teu matak hėsė. Anyeuna mah apan matak riweuh. Loba nu sarua. Ngaran jalan nu makė bubuahan, contona, apan di Ahmad Yani aya di Cijerah aya. Margahayu, ngaran lembur di sabudeureun lapang udara lebah Sayati, anyeuna mah dipakė ngaran kompleks di Rancabolang (di tukangeun kompleks pertokoan Metro, Jl. By pass anyeuna). Malah Cipaganti ogė aya deuih di Ciwastra.

Ongkoh anyeuna mah mėrė ngaran patempatan tėh sasat dialus-alus tepi ka matak hėsė nyebutna. Ngaran jalan di kompleks Margahayu Raya ogė apan makė ngaran planėt. Di Gumuruh apan makė ngaran bėntang palak (astrologi). Rėa deuih nu dirobah pėdah kadėngėna teu matak genah kana ceuli. Upamana waė Lemahneundeut Kulon jadi Sarijadi. Ciborėtė jadi Kawaluyaan, Cilokotot jadi Margahayu Permai, Balaindah jadi Balėėndah, jeung sajabana.

—Terjemahan tidak tersedia, tersebab lebih dari satu paragraph; terlampau banyak. Capė euy nerjemahkeunna 😀 —

Dalam buku Bandung Purba; Panduan Wisata Bumi, serampangannya penamaan daerah di Bandung belakangan ini pernah disinggung juga. Sebagai contoh, kompleks Bumi Asri kini terdapat di mana-mana; di Padasuka, di Cijerah, dan di Margahayu. Jadi kalau mau mencari alamat rumah atau kantor di Bumi Asri, mesti jelas dulu Bumi Asri yang mana, jangan sampai tertukar, sebab Bumi Asri yang satu dengan Bumi Asri yang lain jaraknya berjauhan.

Contoh lain adalah nama Padasuka. Kini terdapat komplek Padasuka yang letaknya antara Padalarang dan Cimahi. Padahal Padasuka sudah terkenal ke mancanegara dengan angklungnya adalah yang terletak di dekat Cicaheum, tempat Saung Udjo berkesenian.
Contoh yang paling lucu barangkali kasus yang terdapat di utara Rajamandala. Dalam Peta Topografi buatan AMS (USA), di hilir sungai Cimeta, ada tempat yang bernama Rancabaeud. Namun waktu ditanyakan kepada orang tua di daerah Ciburahol, apakah masih ada Rancabaeud, orang tua itu tersenyum sambil berkata, “nama tempat itu kini sudah diganti menjadi Rawasari!” Demikian juga di dekat Sayati, ada nama tempat Rancabusiat, kini sudah berganti menjadi Rancakasiat. Kurang lebih seperti itu keterangan dari T. Bachtiar & Dewi Syafriani sebgai pengarang buku tersebut.

“Apa arti sebuah nama?,” kata William Shakespeare. Mesti ada orang yang membisikkan ke kupingnya, mungkin mang Ridwan kamil lebih tepat, katakan kepadanya, “meh teu lieur keleuusss…!” [ ]

 

Tautan Asli: http://wangihujan.blogspot.com/2014/11/insulinde.html

Kopi Javaco

Oleh: Ariono Wahyu (@A13Xtriple)

Bagi Bapak saya, kopi itu selalu kopi “Javaco”. Bukan kopi “Aroma” yang terkenal karena mendapat publikasi luas dari berbagai media, bukan juga kopi “Malabar” atau kopi instan dalam kemasan sachet. Kegemaran bapak pada kopi ini dulu sudah sampai dalam tahap fanatik. Bapak tidak akan ngopi kalau kopinya bukan kopi Javaco jenis arabica. Ya itu sudah suatu keharusan kopi arabika dari “Javaco, bukan Melange (robusta) dan bukan juga “Tip top”  Javaco, walaupun kedua jenis tadi berasal dari toko kopi yang sama.

Masih teringat Mamah akan bersusah payah untuk membeli kopi arabika dari Javaco jika persediaan kopi tersebut dalam toples kaca bekas permen sudah akan habis. Kebetulan Mamah bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit “Iyen” di Jl. Kebon Jati, tak jauh dari toko kopi Javaco. Kurang lebih 50 meter jaraknya. Namun walaupun jaraknya tidak begitu jauh, masalah membeli kopi ini bukanlah perkara yang mudah, karena toko kopi ini hanya buka hingga pukul 14.00 saja, pada saat yang sama jam kerja Mamah di rumah sakit baru saja selesai.

Mamah biasanya berupaya mengatasi masalah tersebut dengan cara menitip beli pada pesuruh di rumah sakit, namun kadang kala pesuruh tersebut tak mudah juga ditemukan. Bila sudah seperti ini, urusan membeli kopi ini akan menjadi masalah saya yang akan disuruh untuk membeli ke toko yang menjual kopi Javaco. Dengan berbekal pesan yang harus diingat, “Kopi Javaco Arabica” dan kadang kala berbekal bungkus kertas coklat kopi ini sebagai contoh, saya akan berangkat naik angkot ke toko kelontong yang menjual kopi ini.

Interaksi saya dengan kopi ini tak sebatas hanya bertugas membeli saja. Dulu ketika SD, saya sangat suka kopi, bukan susu seperti lazimnya anak kecil dalam masa pertumbuhan, melainkan kopi hitam kental seperti kopi Bapak. Bedanya kopi Bapak disajikan dalam cangkir dan dinikmati sambil merokok keretek yang sebelumnya telah dibasahi ampas kopi yang Bapak peroleh dari permukaan kopi tersebut. Sedangkan saya menikmati kopi dalam gelas dan tentu saja tanpa rokok hehe. Saya akan meminta dibuatkan kopi, kadang pagi, siang atau malam. Tak mengenal waktu dan tak peduli dengan ledekan “seperti orang tua” atau “seperti mbah yang diberi sesaji” atau anggapan bahwa kopi bisa bikin bodoh.

Sudah lama cerita seputar kopi Javaco ini terkubur. Kefanatikan Bapak terhadap kopi ini pun berjurang. Baru diawal tahun 2014 lalu saya dapat lebih kenal dan mengetahui lebih jauh mengenai kopi Javaco. Saat itu saya secara tak sengaja menemukan alamat kopi Javaco ini tercatat pada buku telepon Bandung tahun 1936 (Telefoongids Bandoeng (Preanger) – Januari 1936). Pada buku telepon ini tercatat nama “Javaco, Koffiefabriek”, lalu ada nama Directeur: Lie Kiem Gwan dan alamat di Kanomanweg 46.

Saya ingin tahu siapakah sebenarnya “Liem Kiem Gwan” dan di manakah letak Kanomanweg yang asing bagi saya, karena sepengetahuan saya bahkan di kompleks jalan perwayangan di sekitar daerah Pajajaran pun tak ada jalan dengan nama demikian. Akhirnya saya memberanikan diri untuk singgah ke toko kopi yang terletak di jalan Kebonjati ini. Pada beberapa kesempatan saya dapat bertemu dengan Pak Hermanto dan Pak Budi, anak-anak dari keluarga pemilik pabrik kopi Javaco.

Kopi Javaco Bandung, menurut generasi ke-tiga pemilik kopi ini, sudah berdiri sejak tahun 1928. Menurut mereka Liem Kiem Gwan adalah pendiri kopi Javaco dan merupakan kakek mereka. Liem Kiem Gwan merantau dari Malang ke Bandung. Pada awalnya membuka usaha teh dan kopi, namun kemudian lebih fokus pada penjualan kopi saja. Sebagai bukti bahwa kopi Javaco ini berdiri sejak 1928 adalah alamat toko ini sudah tercatat pada “Gouvernements Bedrijf der Telefonie Interlocale Gids voor Java en Madoera” Uitgave Januari 1930, bijgewerkt tot 20 December 1929.

Sangat kebeteluan sekali pemilik kopi Javaco saat ini masih menyimpan buku telepon dari era kolonial tersebut. Keterangan yang tercatat dalam buku telepon Jawa & Madura 1930, pada halaman 31, adalah: Koffiefabriek Javaco Dir. Lie Kiem Gwan, Tjikakak 44-46 no telepon Bd 544. Ternyata pada buku tersebut ditemukan pula bahwa Lie Kiem Gwan juga membuka usaha percetakan/drukkerijen bernama “Javaco Press” dengan keterangan alamat yang sama dengan pabrik kopi Javaco.

Selanjutnya, pada buku telepon Bandung tahun 1936 (Telefoongids Bandoeng (Preanger) – Januari 1936) tercatat: Javaco, Koffiefabriek, Directeur: Lie Kiem Gwan, Kanomanweg 46, dengan nomor telepon Bd 156. Saat ini toko kopi Javaco beralamat di Jalan Kebonjati No. 69 menempati bangunan antik dua lantai yang didominasi warna putih dan hijau. Bagian depan bangunan ini dikhususkan sebagai toko untuk menjual produk-produk Javaco, sedangkan bangunan lantai atas serta bangunan belakang yang tembus hingga ke Jalan Durman difungsikan sebagai rumah tinggal keluarga pemilik kopi Javaco. Pak Hermanto, salah satu pemilik kopi Javaco saat ini, juga pernah berbaik hati memperlihatkan surat bangunan toko ini yang berangka tahun 1800-an dan memuat lambang Kerajaan Belanda pada kertasnya.

Letak toko ini sekitar 50 meter ke arah timur dari perempatan jalan Gardujati, Pasirkaliki dan jalan Kebonjati. Bangunan toko ini tepat bersebelahan dengan bekas Hotel Surabaya yang sekarang menjadi sebuah hotel moderen. Di antara kedua gedung ini terdapat sebuah jalan kecil bernama Gg. H. Basar.

Toko ini buka dari hari Senin hingga Sabtu. Pada hari Jum’at buka dari pukul 09:00 sampai 14:00. Saat ini toko kopi Javaco menjual 3 jenis kopi, grade satu yaitu kopi arabika, grade dua adalah melange/robusta dan grade ketiga diberi label tiptop. Dahulu jenis kopi yang dijual di toko ini ada 5 macam, termasuk after breakfast sudah tidak diproduksi lagi.

Memasuki toko Javaco akan segera terasa suasana tempo dulu yang masih tetap dipertahankan keasliannya. Mulai dari kotak surat yang masih bertuliskan Brieven di pintu depan, lantai keramik bermotif yang lawas, kaca patri, dan konter toko berbahan kayu jati. Selain itu ada juga benda-benda lawas seperti motor vespa antik atau mesin pengggiling kopi tempo dulu. Di dinding toko terpajang lukisan berukuran besar bergambar biji-biji kopi serta secangkir kopi dan sehelai daun kopi, di bagian bawah lukisan tertulis “van Plant tot Klant” (Tanaman bagi Pelanggan).

Toko kopi Javaco masih mempertahankan kemasan yang sudah menjadi ciri khasnya sejak lama. Bubuk kopi dikemas dalam kantong kertas coklat bergambar pabrik kopi dengan tulisan “Javaco Koffie”, di bagian atas bungkus tertulis harga dalam bahasa Belanda “Prys/Prijs“. Pada bagian bawah kemasan tertulis “Dapat dibeli di Kebonjati 69, Bandung-Indonesia.” Kemasan coklat ini dapat terus dipergunakan untuk menyimpan kopi yang sudah dibeli agar aromanya tidak hilang dengan saran agar disimpan di toples kaca yang kedap udara. Selain dapat dibeli di tokonya langsung, kopi produksi Javaco juga dapat dibeli di beberapa toserba, di antaranya toko “P&D Setiabudhi”, yang  menurut pak Hermanto serta pak Budi, telah menjadi pelanggan kopi Javaco sejak lama.

Bila toko tempat menjual kopi Javaco terletak di Jl. Kebonjati, maka pabrik tempat mengolah dan menyimpan biji-biji kopi sebenarnya terletak terpisah, yaitu di Jalan Kasmin. Pabrik kopi ini memiliki dan mendatangkan kopi dari kebun-kebun mereka yang terletak di Jawa Timur. Pabrik ini menggunakan dua jenis pengolahan yaitu Wet Indische Bereiding disingkat WIB yang artinya pengolahan basah serta Ost Indische Bereiding (OIB) yang artinya pengolahan kering.

Demikianlah sekilas cerita salah satu produsen kopi tertua di Bandung.

#InfoAleut: Kelas Menulis

2014-12-21 Kelas Menulis

Sampurasun! Hari Minggu (21/12/2014) kita akan Kelas Menulis bersama Ridwan Hutagalung (Admin : Mooibandoeng). Mari kita mencari tahu lebih mengenai bagaimana menulis dengan benar dan efektif. Penasaran?

Yuk, kumpul di Kedai Preanger, Jalan Solontongan No. 20-D jam 13:00. Bagi Aleutians yang tertarik untuk ikut di dalam kegiatan ini silakan konfirmasikan kehadiranmu dengan cara SMS ke nomor 0896-8095-4394. Formatnya cukup dengan cantumkan namamu dan kesediaan untuk hadir. Ingat, konfirmasi kehadiran ini hukumnya WAJIB.

Sekian saja Info Aleut pagi ini. Mari belajar bersama.

#InfoAleut: Jalur Kedokteran (14/12/2014)

Jalur Kedokteran 2014

‪#‎InfoAleut‬ Hari Minggu (14/12/2014) kita akan Ngaleut… “Jalur Kedokteran”. Mari kita mencari tahu lebih mengenai beberapa dokter yang namanya diabadikan sebagai nama jalan di Bandung.

Siapakah dr. Tjipto? Siapakah dr. Rubini? Apa saja kiprah dr. Eijkman? Mari kita cari tahu bersama.

Kumpul di Taman Otten (seberang pintu selatan RS Hasan Sadikin) pukul 07.30. Bagi Aleutians yang tertarik untuk ikut di dalam ngaleut ini silakan konfirmasikan kehadiranmu dengan cara SMS ke nomor 0896-8095-4394. Formatnya cukup dengan cantumkan namamu dan kesediaan untuk hadir. Ingat, konfirmasi kehadiran ini hukumnya WAJIB

Sekian saja Info Aleut malam hari ini. Mari belajar bersama

Cerita Sebuah Donat di Pagi Hari

Oleh: Arya Vidya Utama (@aryawasho)

IMG_20141207_091951

do·nat n kue yg dibuat dr tepung terigu, mentega, gula, dsb, berbentuk bundaran yg berlubang di tengahnya

Pagi itu saat Ngaleut Jelajah Taman dan Villa, sebetulnya saya sudah sarapan dan hanya berniat untuk membeli sebotol kecil teh susu di Roti Gempol, namun niat itu luluh saat saya berjalan menuju meja kasir. Tak sampai sejengkal dari meja kasir, hidung saya mencium aroma khas donat yang baru saja diangkat dari penggorengan (iya, hidung saya memang sedikit hipersensitif kalau menyangkut urusan makanan). Tanpa pikir panjang saya mengeluarkan ekstra Rp 4.500,00 dari dompet saya untuk satu buah donat yang ditaburi gula tepung. Dalam waktu kurang dari 3 menit, donat itu sudah berada di dalam sistem pencernaan saya.

***

Asal-usul Donat

Berhubung saya hanya sebagai ahli (memakan) donat, maka kutip penjelasan mengenai asal-usul donat dari Wikipedia.

Asal-usul donat sering menjadi sumber perdebatan. Salah satu teori mengatakan donat dibawa ke Amerika Utara oleh imigran dari Belanda yang juga memopulerkan hidangan penutup lain, seperti: kue kering, pai krim (cream pie) dan pai buah (cobbler).

Cerita lain mengatakan donat berbentuk cincin diciptakan kapten kapal asal Denmark bernama Hanson Gregory. Sang kapten sering harus menyetir kapal dengan kedua belah tangan karena kapal sering dilanda badai. Kue gorengan yang dimakan ketika sedang menyetir ditusukkan ke roda kemudi kapal, sehingga kue menjadi bolong. Kebetulan bagian tengah kue juga sering belum matang, sehingga donat sengaja dibuat berlubang di tengah agar permukaan donat yang terkena minyak bertambah dan donat cepat matang.

***

Donat dan Indonesia

Jika dilihat dari kacamata kuliner lokal, jelas donat tidak masuk ke dalam katogeri kuliner nusantara mengingat merupakan produk asing (populer di Amerika). Alhamdulillah, sampai tulisan ini di-publish juga saya belum menemukan kajian serius antara donat dengan Zionisme maupun fatwa yang melarang untuk menyantap donat dengan alasan donat merupakan makanan asal Amerika Serikat yang merupakan sekutu Israel.

Di Indonesia, kita dapat menjumpai donat dengan berbagai tekstur, rupa, dan harga. Mulai dari yang teksturnya mirip batu bata hingga yang bisa lumer dengan mudah di mulut, dari yang harganya Rp. 1.000,00 hingga Rp 20.000, dan dari yang berupa seperti bola tenis hingga berupa… donat. Dengan mudah dapat melihat beberapa kotak donat yang berada di boncengan motor di pagi hari. Setidaknya kita akan melihat dua motor membawa berkotak-kotak donat, akan lebih banyak jika rumahmu tak jauh dari pabrik pembuatan donat, dan bahkan lebih banyak lagi jika di kampusmu sedang ada kegiatan danus.

Inti dari omong kosong dalam paragraf di atas adalah, donat telah menjadi bagian dari kehidupan orang Indonesia meskipun berasal dari luar Indonesia. Lihat saja bagaimana menjamurnya penjualan donat di Indonesia, mulai dari donat yang dijual oleh franchise di banyak mal dan pusat perbelanjaan lainnya hingga donat yang dijual di warung kecil dan pedangang keliling. Seringkali donat dianggap sebagai makanan Barat yang mewah, padahal dengan Rp 1.000,00 pun kita dapat menikmati sebuah donat.

Tulisan ini bukanlah propaganda, tapi menjadi pengingat bahwa suka atau tidak suka kekayaan kuliner di Indonesia itu juga dipengaruhi budaya dan kekayaan kuliner dari luar negeri. Seringkali fakta ini terabaikan atas nama nasionalisme.

___

Tautan asli: https://aryawasho.wordpress.com/2014/12/10/cerita-sebuah-donat-di-pagi-hari/

Rumah Zaman Kolonial = Tidak Canggih?

Oleh: Mohamad Salman (@vonkrueger)

20141207_101826

Ya, saya suka dengan rumah-rumah jaman kolonial. Meskipun kadang orang melihatnya sebagai lambang penjajahan, sarang jurig, saya tetep aja suka. Bahkan saya berpikir kalau nanti bikin rumah sendiri, bakal bikin replika atau setidaknya banyak ngambil gaya-gaya rumah kolonial.

Banyak yang bingung ketika saya bilang saya suka dengan rumah-rumah kolonial. Yang sering jadi omongan adalah “ngapain ingin yang kayak gitu, jadul, ga matching sama jaman serba canggih kayak sekarang.” Sebenarnya kalau kita lihat, telaah dan perhatikan lebih dalam, rumah-rumah tua sarang jurig ini sebetulnya lebih canggih dari kebanyakan rumah sekarang.

Rumah kolonial biasanya punya fitur yang khas: pintu dan jendela yang besar. Bagi kebanyakan orang, pintu dan jendela besar ini untuk mengakomodasi bule-bule Belanda yang emang lebih besar dari orang Indonesia. Padahal bukan (hanya) itu. Pintu dan jendela-jendela besar itu sengaja dibuat sebagai jalan angin masuk, dan pada akhirnya membantu sirkulasi udara dan menyejukkan isi rumah.

Nah, konsep pintu rumah sebagai alat ventilasi ini menemukan bentuknya yang paling canggih dalam Dutch Door. Pintu ini dibagi secara horisontal ditengah-tengah, sehingga bagian bawah bisa ditutup sementara bagian atas tetap terbuka. Asalnya pintu ini dibuat untuk menjaga supaya binatang atau anak kecil bisa dijaga supaya tidak keluar masuk rumah sembarangan, tanpa menutup aliran udara. Ternyata, selain menjaga binatang dan anak kecil, pintu bawah yang tertutup juga bisa menahan debu jalanan masuk ke rumah.

Dutch Door

Itulah kenapa ketika kita masuk ke dalam rumah kolonial, kita akan merasa udara di dalam lebih sejuk/tiis dibanding udara di luar. Selain bukaan rumah (pintu dan jendela) yang besar, lubang ventilasinya juga bejibun. Taman luas disekeliling, atau minimal depan dan belakang rumah. Lalu jarak antara lantai dengan plafon, juga loteng yang terhitung besar. Jauh sebelum orang-orang ribut mencari alternatif menyejukkan rumah tanpa AC, rumah-rumah jadul ini sudah menerapkan jawabannya.

 

Jadul-jadul juga canggih, kan? 😀

___

Tautan asli: http://msvonkrueger.wordpress.com/2014/12/09/rumah-zaman-kolonial-tidak-canggih/

#InfoAleut: Jelajah Taman dan Villa (07/12/2014)

2014-12-04 Taman dan Villa

#‎InfoAleut‬ Selamat pagi Aleutians! Hari Minggu (07/12/2014) kita bakal Ngaleut… “Jelajah Taman dan Villa”!

Sesuai dengan judulnya, kita bakal menelusuri beberapa kawasan yang dulunya diperuntukan sebagai taman dan villa. Kawasan mana sajakah itu? Bagaimana kondisinya saat ini? Mari kita cari tahu bersama.

Kumpul di Taman Citarum (Seberang Masjid Istiqomah) mulai pukul 07.30 WIB. Bagi Aleutians yang tertarik bergabung silakan konfirmasikan kehadiranmu melalui SMS ke nomor 0896-8095-4394. Formatnya cukup dengan cantumkan namamu dan kesediaan untuk hadir. Ingat, konfirmasi kehadiran ini hukumnya WAJIB 🙂

Sekian saja Info Aleut pagi hari ini. Ayo ikutan, karena tiada kesan tanpa kehadiranmu 😀

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑