Month: November 2014

Catatan Perjalanan : Ngaleut dan Belajar bersama IYAF 2014

Oleh : Vecco Suryahadi Saputro (@veccosuryahadi)

Bandung, dasar di danau

lari tertumbuk di bukit – bukit

Ramadhan K.H – Tanah Kelahiran 6

Kumpul bersama di Jalan Cikapundung Timur

Kumpul bersama di Jalan Cikapundung Timur

Senin itu, IYAF (Indonesian Youth Agriculture Forum) dan Komunitas Aleut bekerja sama dalam kegiatan bersama. Isi kegiatan bersama tersebut yakni ngaleut dan belajar bersama. Peserta kegiatan saat itu berasal dari anggota IYAF yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. IYAF adalah sebuah forum mahasiswa – mahasiswa untuk mendiskusikan dan memberi solusi atas masalah pertanian di Indonesia.

Peserta kegiatan di Titik Nol Bandung

Peserta kegiatan di Titik Nol Bandung

Dengan mengambil rute Jalan Braga dan sekitarnya, peserta kegiatan yang berjumlah 51 orang memulai dengan berjalan dari Jalan Cikapundung Timur ke Titik Nol Bandung. Dalam perjalanannya, peserta kegiatan dipandu oleh Vecco dan Herdi sebagai perwakilan dari Komunitas Aleut. Di lokasi Titik Nol Bandung, Herdi dan Vecco mulai bercerita mengenai asal mula Titik Nol Bandung dan hubungannya dengan Jalan Raya Pos.

Peserta kegiatan di depan Hotel Preanger

Peserta kegiatan di depan Hotel Preanger

Setelah dari Titik Nol Bandung, para peserta diarahkan ke Hotel Preanger. Saat di depan Hotel Preanger, para peserta diceritakan mengenai para Preanger Planters yang sering turun gunung ke Bandung untuk berbelanja. Selain kisah para Preanger Planters, peserta kegiatan diceritakan juga mengenai juru gambar Hotel Preanger yang kelak menjadi presiden pertama Republik Indonesia.

Peserta kegiatan di Hotel Savoy Homann

Peserta kegiatan di Hotel Savoy Homann

Setelah dari Hotel Preanger, para menyeberang menuju Hotel Savoy Homann. Di sini dua anggota Komunitas Aleut mulai bercerita mengenai salah satu hotel tertua di Bandung ini. Selain cerita sejarah hotel Savoy Homann, ada juga cerita mengenai delegasi – delegasi Konferensi Asia Afrika 1955 yang menginap di Hotel Savoy Homann.

Memasuki Jalan Braga, para peserta mulai menghadapi hambatan yakni trotoar yang sedang diperbaiki. Karena hambatan tersebut, para peserta terpaksa berjalan di tepi jalan khusus untuk kendaraan bermotor.

Peserta kegiatan di depan Rathkamp

Peserta kegiatan di depan Rathkamp

Di ruas jalan ini, Herdi dan Vecco menceritakan asal mula nama Braga dan kisah-kisah Jalan Braga pada masa kolonial. Selain itu para peserta mendapat cerita-cerita mengenai toko serba ada De Vries dan perkumpulan Societeit Concordia yang punya peran penting dalam perkembangan kota Bandung. Umumnya mereka cukup kaget mendengar kisah kamar mandi di dalam toko De Vries yang merupakan hal pertama di Bandung saat itu.

Peserta kegiatan di depan New Majestic Theater

Peserta kegiatan di depan New Majestic Theater

Pada lokasi berikutnya, atau titik yang kelima, kami membuka cerita dengan ketokohan arsitek C.P. Wolff Schoemaker, dilanjutkan dengan bioskop Majestic dan Hotel Braga yang sekarang menjadi Hotel Ibis style Bandung Braga. Tak lupa, kami sampaikan juga tentang sebuah toko terkenal di Braga, Au Bon Marche yang sekarang menjadi Café Zombie.

“Siapa yang tak kenal Sutan Syahrir dan Soekarno?” Adalah pertanyaan pembuka sebelum kami menceritakan latar belakang sebuah bangunan yang menjadi titik keenam. Di sini, Herdi dan Vecco bercerita mengenai bangunan yang dulu bernama Ons Genoegen. Selain tentang gedungnya, kami ceritakan juga pertemuan antara Sutan Syahrir dengan Soekarno di Ons Genoegen.

Peserta kegiatan di dalam Sumber Hidangan

Peserta kegiatan di dalam Sumber Hidangan

Setelah berjalan cukup jauh, para peserta yang mulai kelelahan mencari tempat makanan ringan di Jalan Braga. Untungnya, titik ketujuh kegiatan ini adalah Sumber Hidangan atau dulu bernama Het snoephuis. Dengan menggunakan waktu 15 menit dan 30 ribu, setiap peserta mulai memilih makanan yang tersaji di ruang saji. Ada yang membeli satu atau dua buah kue. Ada juga yang membeli sampai lima hingga sepuluh kue Sumber Hidangan.

Pada titik kedelapan, para peserta mendapatkan cerita-cerita di balik Gedung Gas Negara. Ada peserta kegiatan yang menceritakan pengalaman masuk Gedung Gas Negara saat pameran foto mengambil lokasi di gedung tersebut. Selain cerita pengalaman masuk, Vecco dan Herdi juga bercerita mengenai proses distribusi gas sebelum masa kemerdekaan Indonesia.

Dalam istirahat kedua di gedung Landmark, para peserta memakai tangga masuk untuk menjadi tempat duduk. Selain beristirahat, para peserta mengambil sela – sela waktu istirahat untuk berfoto bersama dengan latar pintu masuk Landmark. Setelah beristirahat, Vecco dan Herdi mulai bercerita mengenai Landmark yang sebelumnya bernama penerbit Van Dorp.

Peserta kegiatan mendengar Bank indonesia

Peserta kegiatan mendengar Bank indonesia

Dengan mengambil tempat di depan Bank Indonesia, anggota Komunitas Aleut menceritakan dan memperlihatkan Bank Indonesia tempo dulu. Pada titik terakhir ini, para peserta berdecak kagum dengan keindahan dan kemegahan bangunan Bank Indonesia yang memang sudah terkenal.

Titik akhir di Taman Balai Kota

Titik akhir di Taman Balai Kota

Pada akhir kegiatan, para peserta dan Komunitas Aleut beristirahat dan berbagi kesan di Taman Balai Kota. Sayang, saat penyerahan piagam dari IYAF ke Komunitas Aleut, hujan besar turun di taman. Oleh karena itu, kami melanjutkan penutupan kegiatan bersama dilakukan di dalam bis.

Sumber Foto :

@IYAF2014

#InfoAleut: “Semerbak Bunga di Bandung”

Semerbak Bunga di Bandung

#‎InfoAleut‬ Hari Minggu (16/11/2014) kita akan Ngaleut… “Semerbak Bunga di Bandung”! Bersama-sama kita akan menyusuri dan melihat kondisi taman yang ada di daerah utara Kota Bandung.

Bagaimana kondisi terkini perbaikan Taman Ganesha? Apakah benar dulu ada lapangan sepak bola di Jl. Badaksinga? Mengapa ada kawasan bernama Kebon Bibit? Di manakah letak Taman Surga? Mari kita cari tahu bersama 🙂

Kumpul di dekat Monumen Kubus Taman Ganesha (persis di seberang gerbang masuk ITB) Jl. Ganesha pukul 07.30 WIB. Jangan lupa bawa bekalmu karena kita akan ngabotram di akhir kegiatan. Mari piknik di tengah kota 😀

Tertarik untuk bergabung? Segera konfirmasikan kehadiranmu ke nomor 0896-8095-4394, cukup dengan SMS saja. Cantumkan namamu dan kesediaan untuk bergabung. Ingat, konfirmasi kehadiran hukumnya WAJIB 🙂

Sekian saja Info Aleut pagi hari ini. Ayo ajak temanmu biar ngaleutnya makin seru. Tiada kesan tanpa kehadiranmu  😀

Ngaleut Eps. “Chinatown in Bandung”

Oleh: Arif Abdurahman (@yeaharip)

[youtube https://www.youtube.com/watch?v=LwESOkMfLcI?version=3&rel=1&fs=1&showsearch=0&showinfo=1&iv_load_policy=1&wmode=transparent]

Jangan bayangkan pecinan yang ada di Bandung merupakan satu kompleks dengan dominansi nuansa merah dan kuning yang menjajakan jajanan suvenir dan kuliner berbau Negara Tirai Bambu. Yang bakal kita temui kebanyakan justru gedung-gedung tuwir bergaya kolonial.

Komunitas Tionghoa di Bandung memang cukup sporadis, ga terpusat dalam satu wilayah saja. Namun di kawasan pusat kota, seperti Alun-Alun dan Pasar Baru, akan banyak kita dapati orang-orang bermata sipit, para etnis Tionghoa keturunan tadi. Yang uniknya mereka fasih berbahasa Sunda.

ngaleut chinatown bandung

Bandung Utara untuk Belanda serta kronco-kronconya, Bandung Selatan untuk pribumi, dan tengah-tengahnya bagi komunitas etnis lain non-kedua-duanya, salah satunya yang terbesar ya etnis Tionghoa. Aturan kolonial ini punya fungsi agar etnis Tionghoa bisa mudah dikontrol pengawasannya.

Sehingga rute ngaleut untuk menelusuri pecinan di Bandung minggu ini dari Masjid Rong He di Jalan Banceuy, melintasi kawasan Pasar Baru dan berakhir di Vihara Satya Budhi di Jalan Kelenteng. Meeting point sendiri bermula di Kantor BJB Braga.

masjid rong he al imtizaj ngaleut chinatown bandung

Kelenteng berkubah Rong He / Masjid Al-Imtizaj

Baca: Catatan Ngaleut Imlek – Part 3: Sejarah Singkat Orang Tionghoa di Bandung

Orang Tionghoa adalah manusia paling adaptif. Buktinya di tiap kota di negara manapun bakal kita temui komunitas etnis ini. Begitu pun Bandung. Sejak dari dibangunnya kota ini, khususnya ketika jalur pos dan jalur kereta api dibuka, mereka yang kebanyakan berasal dari Guangdo dan Fujian datang ke sini untuk mengadu nasib.

Satu proses adaptasi terhadap lingkungan baru adalah dengan berbaur dengan masyarakat sekitar, mengadopsi budaya daerah yang ada. Seperti kaum Tionghoa yang belajar bahasa Sunda, utamanya digunakan untuk bahasa perdagangan. Dan ga sedikit yang tertarik dengan agama mayoritas yang ada di Bandung, yakni Islam. Maka Masjid Rong He ini didirikan sebagai wadah bagi saudara Tionghoa yang muslim, khususnya bentuk dukungan bagi yang mualaf. Pendirian masjid ini berawal dari gagasan Gubernur Jawa Barat, HR Nuriana.

Masjid Al-Imtizaj, atau dalam bahasa Tionghoa-nya Rong He ini memiliki arti “pembauran”. Ya, pembauran khazanah Tionghoa dan Muslim. Sudah sering saya sholat di sini, namun suasana ruang masjid yang ga biasa bagi kita yang bukan berdarah Tionghoa, selalu memberi perasaan sedikit aneh. Yang pasti suasana damai dan nyaman bakal kita rasakan. Meski kemarin lagi rame-ramenya perayaan kemenangan Persib di jalanan, tapi alhamdulillah saya bisa khusuk. 😀

kopi aroma ngaleut chinatown bandung

Koffie Fabriek Aroma – Jalan Banceuy No. 51

Daerah Jalan Banceuy, Jalan ABC, Pecinan Lama dan sekitaran Pasar Baru dipenuhi dengan toko-toko yang kebanyakan barang elektronik, yang rata-rata dimiliki etnis Tionghoa. Ada salah satu toko legendaris di sini. Siapa yang ga kenal Koffie Fabrik Aroma?

Jujur, saya mah cuma penikmat kopi sachet, dan belum pernah icip-icip Kopi Aroma yang kabarnya maknyus ini. Dan karena ini hari Minggu, toko ini tutup.

Pamor toko kopi Aroma memang ga hanya dikenal di Bandung, tapi juga di kalangan wisatawan lokal, asing. Sehingga jangan heran, jika saban hari, pelanggan selalu mengantre di toko kecil yang dibangun oleh Tan Houw Sian sejak 1930 silam itu. Kopi Aroma kini menjadi buah tangan para wisatawan yang datang ke Kota Kembang ini.

cakue bapia osin pasar baru ngaleut chinatown bandung

Cakue & Bapia Osin Pasar Baru – Jalan Babakan 64a

Banyak kuliner asal China yang mungkin sudah jadi santapan lumrah, ga jarang kita pikir itu makanan asli Indonesia. Salah satunya cakue. Nah kalau mau icip-icip cakue paling maknyos, silahkan datang ke kios yang terletak di belakang Pasar Baru ini.

vihara satya budhi ngaleut bandung

Kelenteng Satya Budhi menjadi destinasi akhir ngaleut minggu ini. Tempat peribadatan yang diresmikan pada tanggal 15 Juni 1855 ini bernama asli Hiap Thian Kiong yang artinya adalah ‘Istana Para Dewa’. Merupakan tempat peribadatan kaum Tionghoa yang beragama Budha, Thao dan Konghucu.

Ngomong-ngomong soal China. Kamera yang saya pakai buat foto-foto dan video dokumentasi ngaleut minggu ini pake “GoPro KW Super Made in China”, SJCAM SJ4000. Asyik juga buat street photography, ya meski kualitasnya ga terlalu mumpuni.

 

Tautan asli: http://arifabdurahman.com/2014/11/10/ngaleut-eps-chinatown-in-bandung/

Urban Legend: Menguak Misteri Patung Pastor

Oleh: Arya Vidya Utama (@aryawasho)

 Patung Pastor Verbraak di Taman Maluku, Bandung

Coba perhatikan dengan teliti kalau kebetulan lewat. Perhatikan posisi dan arah pandangan patung itu. Gue liat sendiri (atau sekedar hayalan gue aja), kepala patung itu sering berubah posisi dan arah pandangannya

Kutipan di atas adalah pernyataan seseorang yang saya temukan di internet. Legenda Patung Pastor di Bandung ini cukup menarik karena bukan hanya orang di atas ini saja namun banyak orang yang mempercayai bahwa patung ini memang bergerak di malam hari dan konon si pastor dimakamkan di bawah patung ini.

Sebuah acara berbau mistis pernah juga membahas misteri patung ini. Jika penasaran, teman-teman bisa nonton video berikut ini:

[youtube https://www.youtube.com/watch?v=_Y6w1Q4A3LI?version=3&rel=1&fs=1&showsearch=0&showinfo=1&iv_load_policy=1&wmode=transparent]

Benarkah demikian? Saya akan mencoba menjawabnya dengan cara yang (mungkin) lebih mudah untuk dipahami.

Pastur Verbraak

Foto Pastor Verbraak (sumber: mooibandoeng.wordpress.com)

Verbraak adalah nama pastur yang patungnya berada di sudut Taman Maluku, Bandung. Nama lengkapnya Henricus Christiaan Verbraak, lahir di Rotterdam pada 24 Maret 1835. Di usia ke-34, ia diangkat menjadi seorang pendeta oleh seorang uskup dari Ascalon & Bomberg.

15 Oktober 1872, ia ditugaskan sebagai misionaris di Padang. Ini adalah penugasan pertamanya di Hindia Belanda. Belum genap ia bertugas selama 2 tahun di sana, 29 Juni 1874 ia dipindahtugaskan ke Aceh. Hampir separuh dari hidupnya ia abdikan di Tanah Aceh. Selama ia bertugas, kurang lebih ia melayani 2.000 orang. Sebanyak 75%-nya adalah tentara.

Ia memutuskan untuk pensiun di tahun 1907, setelah 33 tahun mengabdi di Tanah Aceh. Setelah pensiun ia pindah ke Magelang, sebuah kota militer yang terletak di daerah Jawa Tengah. Ia meninggal dengan tenang pada tahun 1918, dan jasadnya dikebumikan di Molukkenpark, Magelang.

Untuk mengenang jasa Verbraak, di Kota Bandung The Dutch East Indian Army mengumpulkan dana dan mendirikan patung Pastor Verbraak pada tanggal 27 Januari 1922 di sebuah taman yang pernah berjuluk ”Paradisi in Sole Paradisus Terrestris”(tanah surga di bawah cahaya matahari). Patung dari bahan tembaga ini dirancang di Belanda oleh seniman G.J.W. Rueb. Di masa pendudukan Jepang, patung ini berhasil disembunyikan. Di masa itu banyak patung tembaga yang dilelehkan untuk kemudian dijadikan amunisi. Setelah era kependudukan Jepang berakhir, patung ini dikembalikan ke tempat asalnya.

Menjawab Misteri

Berdasarkan pengamatan saya saat berjalan-jalan dengan Komunitas Aleut tanggal 18 Oktober kemarin, patung dengan warna tembaga ini memang seolah-olah melihat ke arah kita berdiri pada saat sedang disorot menggunakan senter. Hal ini menurut saya disebabkan oleh kesalahan mata kita dalam menangkap gambaran patung ini di gelap malam. Patung ini terdiri hanya dari satu warna ini  membuat kita tidak bisa membedakan dengan jelas bagian muka patung. Bisa jadi bagian yang seolah-olah melihat itu sebetulnya adalah bagian samping atau belakang kepala patung, bukan bagian wajah. Apa lagi tak ada satupun lampu di sekitar patung, sehingga mata orang yang melihat patung ini salah menangkap objek yang dilihat, dalam kasus ini adalah patung Verbraak.

Lalu, bagaimana dengan rumor bahwa ia dimakamkan tepat di bawah patung ini? Sebelumnya secara jelas sudah dijawab bahwa Vervraak dimakamkan di Magelang, bukan di Bandung. Menurut saya, tulisan di patunglah yang menjadi anggapan orang bahwa di bawah patung ini terdapat sebuah makam. Jika teman-teman main ke dekat taman ini, maka di salah satu tembok tempat berdirinya patung akan menemukan tulisan:

PASTOOR
H.C. VERBRAAK
1835 – 1918
AALMOEZENIER
1874 – 1881
ATJEH
1874 – 1907

Tulisan 1935-1918 di baris ke-3 inilah yang menurut saya menimbulkan anggapan bahwa di bawah patung terdapat sebuah makam. Tulisan tahun kelahiran dan tahun kematian memang seringkali dianggap sebagai tulisan yang umum dituliskan di nisan kuburan.

Dua metode penelusuran misteri patung ini menghasilkan dua jawaban yang berbeda. Mana yang lebih terpercaya? Saya serahkan pertanyaan ini untuk dijawab oleh diri teman-teman sendiri.

Referensi:

http://mooibandoeng.wordpress.com/2013/06/19/riwayat-pastor-verbraak-yang-tak-pernah-ke-bandung/

Data Komunitas Aleut!

 

Tautan asli: http://aryawasho.wordpress.com/2014/11/05/urban-legend-menguak-misteri-patung-pastor/

Catatan Perjalanan: Kerkhof Kebon Jahe

Oleh: Vecco Suryahadi Saputro (@veccosuryahadi)

dia yang pulang dan tak akan kembali

Menyambung dengan tema ngaleut Komunitas Aleut yakni Basa Bandung halimunan. Dalam buku Basa Bandung Halimunan, Us Tiarsa menceritakan kenangannya di salah satu kerkop di Bandung. Kerkop tersebut adalah Kerkhof Kebon Jahe.

Makam, Kerkhof dan Bandung tempo doeloe

Sebagai pengenalan, kata Kerkhof berasal dari bahasa Belanda tua yang berarti pemakaman. Ada beberapa sumber yang mengatakan bahwa Kerkhof berarti dibelakang gereja atau pekarangan di belakangan gereja.

Ada suatu masa yang menjuluki Bandung sebagai kinderkerkhof. Bandung mendapat julukan demikian karena tingkat kematian balita yang tinggi saat itu. Balita yang meninggal biasanya dikubur di pekarangan atau kebun. Hal tersebut terjadi sebelum lahirnya bouwverrordening van Bandoeng atau undang – undang pembangunan kota Bandung.

Setelah ada undang – undang pembangunan kota Bandung, warga Bandung tidak boleh memakamkan kerabatnya di pekarangan atau kebun. Pemerintah menyediakan kuburan baru atau Astana Anyar untuk warga Bandung dan Karang Anyar untuk menak Bandung. Lalu Kerkhof tertua berada di Jalan Banceuy.

Setelah perluasan kota Bandung, Kerkhof di Jalan Banceuy mulai dibagi menjadi dua. Makam – makam orang Tionghoa dipindahkan ke Babakan Ciamis. Sedangkan makam – makam orang Eropa dipindahkan ke Kerkhof Kebon Jahe yang sekarang menjadi GOR Padjadjaran.

Kerkhof Kebon Jahe dalam kenangan

Dalam buku Basa Bandung Halimunan, Us Tiarsa menyediakan satu bab khusus yang menceritakan Kerkhof Kebon Jahe. Pada bab tersebut, Us Tiarsa menceritakan mengenai kenangan masa kecilnya di kerkop tersebut. Selain kenangan masa kecil, Us Tiarsa menceritakan kondisi dan keadaan sekitar di Kerkhof Kebon Jahe dalam bukunya.

Kerkhof Kebon Jahe yang berlokasi di Jalan Padjadjaran termasuk Kerkhof yang luas di Bandung. Sama seperti orang Pribumi dan Tionghoa, terdapat pembagian status dalam Kerkhof Kebon Jahe. Pembagian tersebut menjadi tiga kelas. Kelas satu berada di utara kerkop. Kelas dua berada agak selatan dari kelas satu. Kelas tiga berada paling selatan kerkop.

Dikarenakan berfungsi sebagai pemakaman orang Eropa, kesan rapi dan bersih masih bisa dilihat di Kerkhof Kebon Jahe. Walaupun mayoritas orang Belanda dan Eropa telah pulang ke negaranya, Kerkhof Kebon Jahe masih dirawat dan dibersihkan oleh penjaganya. Saking rapinya, Kerkhof Kabon Jahe sering dipakai oleh warga sekitar Kebon Kawung dan Wastukencana sebagai tempat bersantai.

Mausoleum Ursone di Pandu

Khusus untuk anak kecil, Kerkhof Kebon Jahe sering dipakai untuk tempat bermain. Beberapa anak kecil akan bermain petak umpet atau kejar – kejaran di Kerkhof Kebon Jahe. Selain menjadi tempat bermain, biasanya anak – anak akan memungut marmer – marmer yang lepas dan dijadikan kelereng. Marmer – marmer yang dipungut tersebut kemudian digiling oleh palu untuk menjadi bubuk marmer yang akan dipakai untuk kerajinan anak – anak tersebut.

Jika anak kecil menjadikan Kerkhof Kebon Jahe sebagai tempat bermain, orang dewasa menjadikan Kerkhof Kebon Jahe menjadi tempat bersantai. Kita akan menemukan orang dewasa yang bermain catur atau bersantai di Kerkhof Kebon Jahe. Bahkan kita bisa menemukan orang berpacaran di Kerkhof Kebon Jahe.

Dalam buku Basa Bandung Halimunan, Us Tiarsa menceritakan bahwa ada mandor yang menjaga Kerkhof Kebon Jahe. Mandor tersebut bernama Mandor Atma. Mandor Atma tinggal di dalam kerkop, dekat pintu masuk kerkop. Dikarenakan bertugas sebagai mandor, Mandor Atma terkenal sering menangkap anak kecil yang merusak kerkop.

Kerkhof Kebon Jahe tempo kini

Sayang seribu sayang, tempo kini, kita tidak bisa melihat Kerkhof Kebon Jahe dalam bentuk pemakaman yang besar. Pada tahun 1973, Kerkhof Kebon Jahe digusur dan dijadikan GOR Padjadjaran. Penggusuran tersebut tidak dilakukan secara sistematis. Oleh karena itu, banyak nisan – nisan yang hilang di Kerkhof Kebon Jahe.

Nisan Elisabeth di Jalan H. Mesrie

Jika kita ingin melihat beberapa nisan Kerkhof Kebon Jahe, kita bisa menemukannya di dua tempat. Kita akan menemukan nisan Elisabeth Adriana Hinse di sekitaran Ciguriang, Jalan H. Mesrie dan nisan  Anna Maria de Groote di Museum Sri Baduga.

Sebagai penutup tulisan, saya mulai menyadari bahwa melalui makam, kita bisa menelusuri eksistensi seseorang dan mengetahui perkembangan tata kota. Jika kita mulai melihat penempatan pemakaman yang mulai acak – acakan, saat itulah kita mengetahui bahwa tata kota sudah mulai diabaikan.

Sumber Bacaan :

Basa Bandung Halimunan karya Us Tiarsa

Wadjah Bandoeng Tempo doeloe karya Haryoto Kunto

mooibandoeng.wordpress.com

aleut.wordpress.com

Sumber Foto :

@komunitasaleut

media-kitlv.nl/all-media

 

Tautan asli: http://catatanvecco.wordpress.com/2014/09/29/catatan-perjalanan-kerkop-kebon-jahe/

#infoaleut Ngaleut Chinatown

Sampurasun, Aleutian! Minggu ini (9 November 2014), tema ngaleut kita yakni ngaleut Chinatown. Pada ngaleut kali ini, kita akan melihat sisa – sisa Chinatown di Bandung. Seperti apa Chinatown di Bandung tempo dulu. Penasaran? Yuk, ngaleut Chinatown! Kumpul di Depan Bank BJB Braga (Jalan Braga No. 12) jam 07:30. Jangan lupa konfirmasi kehadiran ke 0896-8095-4394. Yuk, ngaleut! Ngaleut Chinatown

Workshop Mengintegrasikan Elemen Sejarah dan Perencanaan Kota/Kabupaten: Sebuah Laporan Singkat

Oleh: M. Ryzki Wiryawan (@sadnesssystem)

In het heden ligt het verleden. In het nu wat komen zal  (Di masa kini terkandung masa lalu, di masa sekarang termuat masa depan)

Tahukah kamu di mana tempat yang paling banyak menyimpan barang berharga di Jakarta ? Beberapa orang mungkin menyebut Bank Indonesia atau tempat penyimpanan emas lainnya. Namun bagi sebagian orang lainnya termasuk saya, tempat itu adalah Museum Nasional, Perpustakaan Nasional dan Arsip Nasional RI (ANRI). Kalau saya diberi kewenangan untuk merampok, ketiga tempat itu akan menjadi incaran pertama saya… hehe…

Kekayaan luar biasa yang disimpan oleh ANRI itu baru saya sadari setelah saya mengikuti Workshop “Mengintegrasikan Elemen Sejarah dana Perencanaan Kota/Kabupaten” di Gedung ANRI Jakarta pada tanggal 27-28 Oktober yang lalu. Saya datang mewakili Komunitas Aleut dari Bandung. Sayangnya saya  datang terlambat sehingga ada beberapa materi berharga yang terlewat. Tapi materi yang tersisa tidak kalah menariknya.

Sebelumnya, saya seperti mungkin banyak orang lainnya berpikir banyak dokumen lama kita yang dibawa Belanda ke negerinya, namun setelah mengikuti workshop tersebut saya baru tercerahkan dengan kenyataan bahwa hanya sekitar 10% arsip/dokumen kuno saja yang dibawa ke Belanda sana. Jadi untuk mencari arsip-arsip kuno nasional sebenarnya kita tidak perlu jauh-jauh pergi ke Belanda sana, kita cukup mencari terlebih dahulu di pusat penyimpanan arsip lokal atau nasional terlebih dahulu. Menurut pembicara dari ANRI, Risma Manurung, terdapat sekitar 50 kilometer (kalau saya tidak salah dengar) arsip zaman Hindia Belanda yang tersimpan di sana. Benar sekali, puluhan kilometer !!! Bayangkan saja setumpukan dokumen yang biasa kita simpan di meja kantor atau di kamar. Beberapa centimeter saja sudah tampak heurin (what is “heurin” in Bahasa Indonesia?). Apalagi ini yang panjangnya berkilo-kilo meter.

Jaman dahulu memang belum dikenal komputer sehingga semuanya harus dilakukan secara manual, untungnya bangsa Belanda adalah bangsa yang cukup apik dalam menata dokumen. Menurut analisis saya, dokumen-dokumen zaman VOC (yang jumlahnya puluhan kilometer) memang sangat penting untuk disimpan oleh penguasa saat itu, karena bagi seorang pedagang tidak ada yang lebih penting daripada catatat/dokumen. Kebiasaan menyimpan dokumen secara apik ini lantas diteruskan kepada pemerintahan kolonial pasca VOC sehingga masih terjaga sampai sekarang. Namun untuk menelusuri dokumen-dokumen tersebut ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Orang jaman sekarang memang cukup menggunakan search engine untuk mencari sesuatu, tapi untuk mencari data dari dokumen-dokumen kuno tersebut seperti disebutkan oleh Nadia Fauziah Dwindari dari ANRI “membutuhkan kekuatan fisik, mental, jiwa dan kesabaran tinggi”. Bu Risma Manurung bahkan mengibaratkannya seperti mencari “jaruh di tumpukan jerami”. Suatu analogi yang sangat tepat sih…

Sebagai contoh, Nadia Fauziah Dwindari memberi contoh penelusuran arsip Algemene Secretarie 1816 – 1950. Semacam arsip kesekertariatan negara selama berlangsungnya kolonialisme Belanda. Sistem pengarsipan dokumen ini dilakukan sebagai berikut :

 Arsip Algemene Secretarie 1816-1942 secara umum ditata menurut sistem verbaal berdasarkan Keputusan Kerajaan Belanda (Koninklijk Besluit) tanggal 4 September 1823 Nomor 7. Sedangkan arsip periode 1942-1950 ditata menurut fungsi.

Verbaal merupakan kumpulan konsep (minuut) keputusan atau surat keluar yang ditulis dalam kertas dobel folio, dilampiri dokumen pendukungnya (misal: surat-surat masuk, memo, nota, atau advis dari organisasi lain), serta ditata secara kronologis.  

Membingungkan ? Memang begitulah keadannya. Belum lagi untuk mengakses dokumen-dokumen tersebut dibutuhkan skema akses  menggunakan HOOFDENLIJST/KLAPPER, INDEX dan VERBAAL.  Tidak ada jalan pintas, ketiga langkah tersebut harus dilakukan untuk bisa menemukan dokumen yang kita inginkan. Oleh karena itu untuk bisa menemukan data/dokumen tertentu dibutuhkan data selengkap-lengkapnya mengenai data yang diinginkan. Misalnya untuk menemukan data mengenai pembangunan Gedung Sate, sebelumnya minimal dibutuhkan data tahun pembangunan gedung dan segala yang berkaitan dengannya. Tanpa data awal tersebut, maka sama halnya dengan mencari jarum di tengah lautan, bukan lagi di tengah tumpukan jerami.

Lebih lanjut Drs. Johan van Langen dari Nationaal Archief Belanda menambahkan beberapa hal penting dalam pencarian arsip. Antara lain kira-kira apakah arsip tersebut dibuat oleh pemerintah lokal, provinsi, pusat, perusahaan swasta, pribadi, atau lembaga tertentu. Pencarian arsip lokal sebaiknya dilakukan di tempat penyimpanan arsip lokal terlebih dahulu, apabila tidak ditemukan baru bisa dilanjutkan ke penyimpanan arsip pusat. Untuk arsip-arsip pribadi atau perusahaan swasta lebih sulit lagi karena biasanya tersimpan pada masing-masing ahli warisnya. Tidak semua dokumen milik pribadi diserahkan pada penyimpanan arsip negara. Arsip-arsip perusahaan swasta zaman kolonial kemungkinan besar berada di Belanda karena induk perusahannnya berada di sana. Johan van Langen menyebutkan contoh arsip-arsip berikut yang disimpan oleh Nationaal Archief Belanda :

 Royal Institute for Engineers (KIVI) Nederlandsche Handelsmaatschappij Pasoeroean Stoomtram Mij. 1891-1969 Modjokerto Stoomtram Mij. 1895-1970 Probolingo Stoomtram Mij. 1885-1972 Serajoedal Stoomtram Mij. 1894-1940 Madoera Stoomtram Mij. 1896-1973 Kediri Stoomtram Mij. 1894-1970 Semarang-Cheribon Stoomtram Mij. 1890-1952, Semarang-Joana Stoomtram Mij., Oost-Java Stoomtram Mij. 1884-1947, Pasoeroean-Probolingo Stoomtram Mij. 1930-1951, Stoomtrammij. Java / Foto’s en kaarten, Waterstaat (harbours of Surabaya en Tandjong-Priok), De Beaufort, KPM, Commissie tot Ontwikkeling van de Fabrieksnijverheid in Nederlands-Indië (Sawah Loento) dan lain-lain.

Sebagai contoh satu arsip yang tersimpan di Belanda itu, Johan van Langen menunjukan satu gambar blue print gedung Ned. Handel Maatschappik (NHM) di Bandung. Bangunan yang terletak di seberang Gedung PLN Alun-alun ini tidak berubah sampai sekarang.

Blue Print Gedung NHM Bandung

Johan van Langen menyampaikan presentasinya

Selanjutnya menurut van Langen, koleksi yang dimiliki Belanda sudah mulai sedikit demi sedikit didigitalisasi. Dari berkilo-kilo meter naskah yang ada, sekitar 1% koleksi Koran, 5% peta, dan 11% foto telah bisa diakses secara online. Jumlah yang sedikit inipun tampak sangat luar biasa banyak misalnya apabila kita mengakses database Koran-koran lewat www.delpher.nl . Di situs tersebut telah diupload sekitar 8.000.000 edisi Koran dari tahun 1618-1995. (Bayangkan jumlah seluruhnya apabila 8 juta tersebut hanyalah 1% dari seluruh edisi yang ada, luar binasa!!!)

Selanjutnya workshop diisi oleh tokoh yang selama ini karya-karyanya sering menjadi rujukan saya dalam menyusun skripsi/tesis. Beliau adalah Pauline K.M. van Roosmalen. Bertemu beliau adalah salah satu alasan saya ingin mengikuti workshop ini dan ternyata saya tidak keliru, banyak ilmu yang saya dapat dari pertemuan ini.

Pauline banyak menceritakan pengalamannya mengumpulkan data dalam rangka penyusunan desertasinya tentang arsitektur dan perencanaan kota kolonial di Indonesia. Dalam penyusunan itu Pauline juga sempat tinggal di Bandung dan berkolaborasi dengan para ahli di bidangnya.

pau

Desertasi Pauline tentang Sejarah Planning di Indonesia

Mengenai penelitian sejarah, Pauline mengingatkan kita pada satu metode umum yang pernah kita dapatkan di sekolah. Langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah :

  1. Menentukan pertanyaan penelitian
  2. Menentukan ke mana harus mencari sumber (arsip lokal, nasional, atau luar negeri)
  3. Mengidentifikasi sumber/narasumber yang harus diakses
  4. Mengakses koleksi
  5. Mengakses arsip-arsip
  6. Membuat Interpretasi

Perlu diperhatikan bahwa dalam melakukan penelitian apapun, dibutuhkan pengetahuan dasar berupa data yang diperoleh dari buku-buku. Saya mengibaratkannya sebagai berikut : Seseorang yang hendak mencari data tentang sejarah Gedung Sate sebaiknya membaca terlebih dahulu buku-buku sejarah yang memuat data tentang Gedung Sate, apakah itu buku karya Pak Haryoto Kunto atau Pak Sudarsono Katam. Namun buku-buku itu tidak cukup karena buku sejarah adalah “Sumber Sekunder”. Buku-buku sejarah bagaimanapun hanyalah berisi serangkaian interpretasi, bukan bukti sejarah. Sedangkan sumber primer adalah data-data sejarah yang dibuat pada zamannya, bisa berupa arsip, dokumentasi, atau catatan-catatan.  Buku “Wajah Bandoeng Tempo Doeloe” adalah sumber sekunder, tapi di dalamnya kita bisa menemukan rujukan sumber primer. Di mana letaknya ? Betul, letaknya di referensi.  Lalu apa saja yang disebut sumber primer sejarah Bandung ? Mereka adalah arsip-arsip, peta, fotografi, naskah-naskah (buku, jurnal, Koran, catatan) dan lain-lain yang dibuat pada waktu kejadian.

Saya ingin menekankan bahwa buku-buku sejarah, sebagus dan selengkap apapun, tidak lebih berharga dibandingkan sumber primer. Seratus buku sejarah menyebutkan Gedung Sate dibangun oleh Schoemaker akan terbantahkan dengan ditemukannya satu blueprint desain Gedung Sate yang dibuat oleh J. Gerber. Begitu pula tidak ada buku sejarah yang benar-benar lengkap karena dengan ditemukannya data baru, maka buku bisa direvisi kembali. Mengutip sejarawan H.J. de Graaf, kita harus membayangkan satu buku sejarah sebagai sebuah “fragmen” saja dari seluruh rangkaian sejarah yang terjadi. Oleh karena itu setebal apapun buku sejarah “babon” yang pernah dibuat oleh Haryoto Kunto (alm.), buku itu hanyalah menjelaskan sebagian kecil dari kejadian sejarah yang terjadi di Bandung. Masih banyak hal yang bisa diungkap dan ditulis mengenai sejarah Bandung.

Pauline van Roosemalen menjelaskan proses penelitian

Selanjutnya pemaparan yang tidak kalah menarik disajikan oleh Huib Akihary yang dua karyanya juga sering menjadi rujukan dalam studi arsitektur kolonial. Karya tersebut adalah Architecture en Stedebouw in Indonesie 1870-1970 serta Ir. F.J.L. Ghijsels, Architect in Indonesia. Saya beruntung memiliki kedua buku tersebut, namun hanya buku “Ghijsels” saja yang saya ajukan kepada Huib untuk ditandatangani karena buku satunya lagi hanya saya miliki fotokopiannya saja..

Sesuai dengan bidang keahliannya, Huib lebih banyak membahas pencarian data berkaitan identifikasi bangunan kolonial. Sama seperti disebutkan Pauline, Huib menekankan perlunya kita memiliki pengetahuan dasar yang didapat dari buku-buku sejarah. Darinya setelah kita bisa menelusuri arsip-arsip yang ada, kita bisa kembali mengembangkan datanya dengan merujuk pada arsip-arsip lainnya.

Buku tentang Ghijsels milik saya yang ditandatangani oleh penulisnya langsung

Huib Akihary menerangkan sumber-sumber sejarah

Huib yang pernah tinggal lama di Indonesia dalam rangka penyusunan buku pertamanya memiliki banyak pengalaman soal pencarian data arsitektur. Menurutnya pencarian data bangunan-bangunan buatan pemerintah selalu lebih mudah daripada buatan swasta karena arsitek-arsitek pemerintah yang tergabung dalam departemen BOW (Burgerlijke Openbare Werken) selalu tercantum dalam buku Regeerings Almanak voor Nederlandsch Indie yang rutin dikeluarkan pemerintah setiap tahunnya, berisi daftar pejabat-pejabat pemerintah saat itu.

Buku Regeerings Almanak tahun 1934

Daftar Arsitek Pemerintah dalam Regeerings Almanak tahun 1934

Praktek pencarian data ini dipraktekan langsung dalam workshop. Sebagai studi kasus kami para peserta disajikan satu bundel dokumen pembuatan bangunan yang dikeluarkan oleh departemen BOW (atau PU sekarang). Dari sana kami harus mengidentifikasi data yang bisa diambil dari dokumen tersebut (Tentunya akan sangat sulit bagi mereka yang kurang familiar dengan Bahasa Belanda). Dalam satu kasus kami disajikan blueprint bangunan Pusat Penelitian Hutan di Bogor. Kami kesulitan mengidentifikasi siapa arsitek yang membangun bangunan tersebut karena namanya tidak tercantum. Namun dengan dasar tanda tangan dan tahun pembuatan desain yang tercantum dalam blueprint, Huib langsung merujuk pada Regeerings Almanak yang dibuat pada tahun yang sama… Dan bingo ! Sang arsitek pun teridentifikasi…

Dari studi kasus inipun saya sudah bisa memahami betapa sulitnya praktek penelitian sejarah yang sesungguhnya. Tapi sungguh kepuasan yang tidak terduga apabila kita bisa mendapatkan data yang kita inginkan. Bagaikan menemukan harta karun rasanya…

Praktek Mengidentifikasi Dokumen Sejarah

*****

Demikianlah sedikit pengalaman dan ilmu yang saya dapat dari workshop sepanjang dua hari. Maaf apabila tulisan ini memang sedikit panjang dan membosankan, namun apabila saya tidak menulisnya kembali mungkin pengalaman ini tidak akan terlalu bermanfaat bagi diri saya dan orang lain.

Penelitian sejarah bagi sebagian orang memang tampak membuang-buang waktu, tapi hanya dengan cara inilah pengetahuan dan pengalaman orang terdahulu bisa terus tersalurkan dari waktu ke waktu. Pasti terdapat alasan bagi mereka yang meninggalkan arsip atau dokumennya untuk tetap terjaga selama ini. Yaitu agar generasi selanjutnya bisa belajar dari pengalaman mereka.

Demikian saya ingin mengucapkan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh penyelenggara acara, khususnya Pauline K.M. van Roosmalen, Huib Akihary, Hasti Tarekat, Nadia Fauziah Dwidari, Punto Wijayanto, Nadia Purwestri, Peter Timmer, Frans van Dijk dan kawan-kawan. Vaarwel tot betere Tijden !

Sampai Jumpa di Waktu Lain…

Catatan Perjalanan: Kebon Kawung

Oleh: Vecco Suryahadi Saputro (@veccosuryahadi)

 

Ingat tanah. Ingat air. Ingat tanah air

Basa Bandung Halimunan, salah satu judul buku yang menjadi tema Komunitas Aleut minggu ini. Dengan mengambil judul tersebut, Komunitas Aleut menelusuri kenangan Us Tiarsa dan warga Bandung era 60-an di Bandung. Salah satu kenangan yang tersimpan dalam buku berada di Kebon Kawung.

Kebon Kawoeng tempo doeloe

Pohon Aren atau Kawung

Sebelum bernama Kebon Kawung, kawasan Kebon Kawung bernama Babakan Bogor. Kata Bogor berasal dari pohon Kawung atau Aren yang tak dapat lagi mengeluarkan air nira. Kemudian hari Babakan Bogor dikenal dengan nama Kebon Kawung.

Nama Kebon Kawung telah ada sejak era kolonial. Jika kita melihat peta Bandung tahun 1946, kawasan Kebon Kawung sekarang diberi nama Kebon Kawoeng. Kata Kebon Kawung berasal dari banyaknya pohon Kawung atau Aren di kawasan Kebon Kawung. Oleh karena itu, kawasan tersebut diberi nama Kebon Kawung.

Walaupun berada di tengah kota, hingga tahun 1960, kita masih menjumpai Kebon Kawung sebagai desa atau lembur. Hal ini terlihat dari tidak adanya listrik, rumah yang masih gegek, dan banyak pohon – pohon di lingkungan Kebon Kawung. Bahkan untuk menikmati siaran RRI di hari minggu, Us Tiarsa memasang pengeras suara yang tersambung dengan radio saudaranya di luar Kebon Kawung.

Dikarenakan masih berupa desa, kita masih bisa menemukan ciri khas desa di Bandung. Ciri khas tersebut adalah dingin dan sejuknya udara di pagi hari. Hingga tahun 1970, warga Kebon Kawung masih bisa menikmati kabut atau halimunan di Kebon Kawung. Selain berasal dari kondisi alam Bandung, pohon – pohon yang banyak menjadi penyebab sejuknya udara di Kebon Kawung dan Bandung.

Jika kita berjalan – jalan di sekitar Kebon Kawung, kita akan menemukan satu balong atau kolam air. Kolam air tersebut dikenal dengan nama Ciguriang atau sirah air (mata air). Dalam buku Basa Bandung Halimunan, anak yang akan disunat harus dimandikan di Ciguriang yang dingin. Jadi bisa terbayang tersiksanya anak kecil tersebut.

Selain memiliki Ciguriang, terdapat tegal atau lapang di kawasan Kebon Kawung. Lapang tersebut berada di Litsonlaan (sekarang Jln. M. Iskat). Pada tahun 1949, lapang tersebut menjadi tempat tinggalnya bangkai pesawat terbang dan mobil – mobil perang dunia II. Karena sudah tidak terpakai, pesawat terbang dan mobil tersebut dipakai oleh anak – anak Kebon Kawung sebagai lahan bermain perang – perangan.

Kebon Kawoeng tempo kini

Walaupun bernama Kebon Kawung, tempo kini, kita akan kesusahan mencari pohon Aren atau Kawung di Kebon Kawung. Jika kita ingin melihat sisa pohon Kawung, kita bisa melihat satu pohon Kawung atau Aren dekat Ciguriang di Jalan H. Mesri.

Ciguriang di Kebon Kawung

Kalau kita melihat Kebon Kawung tahun 1960-an, Ciguriang di Kebon Kawung masih besar dan luas. Tapi sekarang ini, Ciguriang telah mengecil dan kotor. Jadi kita hanya melihat kenangan Ciguriang yang jernih dan dingin dengan melalui buku saja.

Sebagai penutup tulisan, penelusuran Komunitas Aleut ke Kebon Kawung memiliki tujuan tersendiri. Tujuan tersebut bukan mengenang kenangan seseorang, melainkan upaya untuk menyadarkan bahwa Bandung harus selalu dirawat dan dipelihara. Apabila hal tersebut tidak dilakukan, generasi dibawah kita hanya menikmatinya melalui buku saja.

Komunitas Aleut di depan Ciguriang

 

Sumber Bacaan :

Basa Bandung Halimunan karya Us Tiarsa

Semerbak Bunga di Bandung Raya karya Haryoto Kunto

Wadja Bandoeng Tempo Doeloe karya Haryoto Kunto

Ramadhan di Priangan karya Haryoto Kunto

Sumber Foto :

@komunitasaleut

media-kitlv.nl/all-media

 

Tautan asli: https://catatanvecco.wordpress.com/2014/09/28/catatan-perjalanan-kebon-kawung/

#infoaleut Spoorwegen in Bandoeng

Minggu (2/11/2014), Kita akan ngaleut Spoorwege in Bandoeng! Kita akan mencari tahu perkembangan perkeretaapian di kawasan Bandung sejak awal pendiriannya hingga saat ini. Rute mana sajakah yang masih aktif hingga saat ini? Di manakah bengkel kereta api di Bandung? Di mana kantor pusat PT KAI? Penasaran? Kumpul di gerbang Stasiun Hall, Jalan Kebon Kawung no 43 pukul 07:30 WIB. Jangan lupa konfirmasi kehadiranmu ke 0896-8095-4394. Jangan lupa bawa uang Rp. 15.000 karena kita bakal tumpak sepur. Ke mana rutenya? Rahasia!B1MjBwXCAAACcek

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑