Month: July 2014

Catatan Perjalanan: Bandros Bandung

Oleh: Vecco Suryahadi Saputro (@veccosuryahadi)

“…the way to see London is from the top of a ‘bus” – William Ewart Gladstone

Saya selalu bertanya – tanya pada diri sendiri mengenai alasan pemakaian nama Bandros untuk bus wisata Bandung. Apakah nama Bandros diambil dari nama makanan tradisional khas Bandung? Atau karena Bandros hanya singkatan yang cukup unik dan mudah diingat oleh konsumen?

Sesaat saya teringat konsep branding suatu produk. Jika kita memakai sudut pandang pemasaran, branding adalah poin terpenting dalam memperkenalkan suatu produk. Tujuan branding yakni mendapatkan perhatian dan loyalitas konsumen. Pemilihan brand name suatu produk haruslah sesuai dengan kriteria. Kriteria tersebut adalah mudah diingat, unik, dan kreatif. Nah, apakah branding Bandros ini sudah cukup tepat? Mungkin jawabannya tidak akan didapatkan pada waktu dekat ini.

Bandros saat tahun baru 2014

Sebelum lebih jauh membahas konsep branding Bandros, kita belum mengetahui permukaan luar mengenai Bandros. Bandros adalah singkatan dari Bandung Tour on the Bus. Bus yang dipakai Bandros memakai konsep double decker dimana terdiri dari dua dek. Bandros sendiri diperkenalkan oleh Walikota Bandung Ridwan Kamil kepada warga Bandung pada awal tahun baru.

Walaupun konsep bis yang dipakai Bandros memiliki tujuan sebagai angkutan publik, Bandros sendiri memiliki tujuan yang sangat unik. Tujuan awal dari Bandros adalah sebagai pengantar para wisatawan ke tempat wisata di Bandung. Tujuan Bandros ini memanfaatkan dek teratas dari bis. Berdasarkan observasi William Ewart Gladstone, cara terbaik menikmati kota adalah dengan berada di atas bis. Oleh karena itu, tujuan Bandros sebagai pengantar para wisatawan sangat tepat karena para wisatawan bisa melihat Bandung dari atas bis Bandros.

Sayang seribu sayang, rute Bandros sekarang ini masih tergolong pendek. Rute Bandros saat itu Taman Pustaka – Gedung Sate – Dago – kembali ke Taman Pustaka.

Walaupun rute Bandros yang tergolong pendek, kita akan menemukan kebahagiaan saat memakai Bandros. Kebahagiaan ini tidak hanya dialami penumpang Bandros. Kebahagiaan ini juga dialami oleh warga Bandung yang berada di rute Bandros. Kenapa tidak? Bis Bandros yang tergolong unik untuk warga Bandung menjadikan Bandros sebagai atraksi menyenangkan di sore hari. Jika kita melihat baik – baik Bandros yang melewati rute nya, kita akan menemukan warga Bandung yang melambaikan tangan kepada penumpang Bandros.

Penggiat Komunitas Aleut di Bandros

Sebagai penutup tulisan yang mulai tidak jelas ini, saya sebagai warga Bandung sangat berharap Bandros bisa lebih banyak dan lebih panjang jangkauannya. Mungkin tidak dalam waktu dekat ini, tapi lebih baik berharap bukan?

Keliling Bandung dengan Bandros

Oleh: Nia Janiar (@suravithi)

Di tahun 2014, kata ‘bandros’ tidak lagi merujuk pada sebuah makanan khas Jawa Barat yang terbuat dari tepung beras, kepala parut, dan santan. Bandros kini juga merujuk pada sebuah bus double-decker berwarna merah yang mengangkut para wisatawan untuk menikmati Bandung. Bus yang catchy ini merupakan sumbangan dari program corporate social responsibility sebuah perusahaan telekomunikasi.

Dikerubuti banyak orang.

Mulanya pengunjung bisa memakai Bandros dengan memperlihatkan struk belanja di factory outlet atau toko-toko yang ada di Bandung. Tapi kini pengunjung ditarik bayaran Rp10.000. Keberadaan bus yang namanya merupakan akronim “Bandung Tour on Bus” baru ada satu buah, namun direncanakan akan ada 30 bus lainnya.

Hari ini saya berkesempatan merasakan naik Bandros bersama Komunitas Aleut. Kami menunggu di depan Taman Pustaka Bunga. Ternyata banyak sekali yang mau naik Bandros sehingga kami harus berdesak-desakan. Siapa cepat, dia yang dapat. Bahkan ada yang nekat manjat dari sisi belakang karena tidak ingin melewatkan duduk di lantai dua bus. Jangan ditiru, ya! Nanti busnya cepat rusak.

Hati-hati ada kabel!

 

Semua orang senang. 🙂

Rupanya kebiasaan naik Busway TransJakarta mengajarkan saya menjadi makhluk yang lihai dalam menyalip orang lain. Hehe. Bersama kawan Aleut lainnya, saya bisa duduk di lantai dua. Kami bersorak begitu bus ini jalan. Selain bisa melihat pemandangan, berada di lantai dua ini memiliki tantangan sendiri yaitu kami harus menghindari ranting pohon dan kabel listrik yang jaraknya begitu dekat dengan kepala. Tak jarang petugas Bandros mengingatkan kami untuk tidak berdiri.

Awas pohon!

 

Tempat duduk yang hanya boleh diisi dua orang.

 

Bagian depan bus.

Berbeda dengan bus doubler-decker Jakarta, bus Bandros tidak memiliki atap. Cuaca Bandung yang bersahabat–terutama cuaca sehabis mendung saat kami naik–memang enak dinikmati tanpa penghalang. Begitu sejuk. Bagaimana jika hujan? Tenang, Bandros memiliki terpal dadakan.

Dari Taman Pustaka Bunga, bus berjalan ke arah Jl. Diponegoro, Jl. Ir. H. Juanda, Jl. Ganesha, Taman Sari, Jl. Ir. H. Juanda, dan kembali ke titik awal. Durasi perjalanan relatif singkat. Oleh karena itu, banyak dari para pengunjung yang menunggu-nunggu lampu merah dan mengharapkan jalanan macet. Hehe.

Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk membuat bus ini nyaman untuk digunakan. Salah satunya harus dibuat antrian yang jelas seperti tali atau diberi nomer sehingga orang tidak berdesak-desakan saat akan naik. Selain itu, jika pemandu dapat menjelaskan atraksi wisata atau gedung sejarah yang dilewati bus akan membuat kegiatan wisata ini jauh lebih baik.

Hukum rimba, mulai!

Meskipun demikian, pengalaman ini sungguh menyenangkan. Apalagi karena kami bisa jadi artis sehari dimana kami dilihat banyak orang atau mendapat lambaian dari orang-orang sekitar.

—-
Video courtesy by Guntur.

 

Tautan asli: http://mynameisnia.blogspot.com/2014/07/keliling-bandung-dengan-bandros.html?spref=tw

Mesjid Cipaganti: Sebuah Cerita Dari Masa Lalu

carpe diem

Masjid Cipaganti Teempo Dulu

Jika mencari Mesjid di kawasan Cipaganti, tujuan kita pasti Mesjid Cipaganti. Mesjid yang tergolong besar ini ternyata memiliki cerita masa lalu yang menarik untuk dipelajari. Kenapa tidak. Jika kita membaca peta Bandung era kolonial, kita akan menemukan lokasi Mesjid Cipaganti berada di kawasan perumahan orang Eropa.

Pada awalnya, telah ada kampung di kawasan Cipaganti. Kampung tersebut adalah Kampung Cikalintu. Kampung Cikalintu yang telah memiliki penduduk dipilih oleh Wiranatakusumah II sebagai lokasi ibukota baru. Hal ini terjadi karena Kampung Cikalintu memiliki sumber mata air atau pangguyangan badak putih dimana merupakan salah satu syarat pemilihan lokasi ibukota.

Sayangnya, Kampung Cikalintu berlokasi sangat jauh dari Jalan Raya Pos. Oleh karena itu, Wiranatakusumah II diharuskan mencari lokasi ibukota yang dekat dengan Jalan Raya Pos. Akhirnya, Wiranatakusumah II menetapkan Kampung Bogor sebagai lokasi ibukota baru. Karena pencarian lahan pengganti, muncullah nama Cipaganti yang bermakna “lahan pengganti”.

Peta Bandung 1945

Kembali ke Mesjid Cipaganti. Mesjid Cipaganti pada awalnya berada di Nylandweg. Nylandweg ini berdekatan dengan Lembangweg atau Jalan Setiabudi. Kemudian beberapa tahun setelah kemerdekaan, Nylandweg diganti dengan nama Jalan Cipaganti.

Mesjid Cipaganti yang berada di Jalan Cipaganti memiliki informasi–informasi penting. Informasi–informasi tersebut berdasarkan plakat yang terpasang di Mesjid Cipaganti, antara lain:

1. Pembangunan Mesjid Cipaganti ini dimulai dari 7 Februari 1933 sampai 27 Januari 1934 sehingga memakan waktu kurang dari setahun.

2. Batu pertama Mesjid Cipaganti diletakkan oleh Raden Tg. Hassan Soemadipaadja yang menjabat bupati Bandung, Raden Rg. Wirijadinata yang menjabat patih Bandung, dan Raden Hadji Abdoel Kadir yang menjabat hoofd penghulu Bandung.

3. Mesjid Cipaganti dirancang oleh Prof. C. P. Wolff Schoemaker.

Plakat pada Mesjid Cipaganti

Plakat di Mesjid Cipaganti

Sang arsitek Mesjid Cipaganti, Prof. C. P. Wolff Schoemaker sangat terkenal dengan mengambil konsep arsitektur Jawa, yang sepertinya diterapkan pada Mesjid Cipaganti. Konsep ini dipasang dengan pemakaian atap berundak pada tengah bangunan, mustoko pada atap bangunan, dan soko guru tatal sebagai empat tiang utama.

Plakat Rehabilitasi dan Pengembangan Mesjid Cipaganti

Pada tanggal 28 Oktober 1983, Mesjid Cipaganti direhabilitasi dan diresmikan oleh Walikota Ateng Wahyudi. Rehabilitasi ini dilakukan dari 2 Agustus 1979 sampai 31 Agustus 1983. Rehabilitasi ini menghasilkan sayap kiri dan kanan pada Mesjid Cipaganti. Walaupun telah direhabilitasi, kita masih bisa menikmati bangunan asli dari Mesjid Cipaganti.

Sumber foto :

Komunitas Aleut

Ngabuburit: Tempo Dulu

Oleh: Vecco Suryahadi Saputro (@veccosuryahadi)

ngabuburit : ngadagoan burit dina bulan puasa bari jalan – jalan

Terjemahan dari ngabuburit akan membuka  tulisan saya kali ini. Ngabuburit berasal dari kata burit yang berarti waktu sebelum bedug magrib. ngabuburit itu sendiri berarti menunggu burit saat bulan puasa dengan jalan – jalan.

Jika bertanya pada pelaku sejarah Bandung mengenai ngabuburit di Bandung tempo dulu, ingatan mereka akan melayang menuju beberapa lokasi yang telah berubah fungsi di tempo kini. Misal sungai Cikapundung yang tidak sejernih tempo dulu.

Dulu, ketika Bandung belum memiliki saluran air ledeng, sebagian warga masih melakukan kegiatan sehari–hari di sungai Ci Kapundung. Hal itu wajar dikarenakan Ci Kapundung tempo dulu memiliki air yang jernih, sejuk dan langsung berasal dari kaki Gunung Tangkubanparahu.

Pemandian Cihampelas tempo dulu

Dikarenakan Bandung masih memiliki sungai yang masih bersih, ngabuburit yang menyenangkan adalah dengan bermain air di pinggiran sungai. Warga kota bisa memilih banyak tempat bermain air seperti Empang Cipaganti milik Haji Sobandi, Pemandian Cihampelas, atau Situ Aksan yang memiliki fasilitas berperahu.

Insulinde Park

Selain bermain air di beberapa lokasi tersebut, warga Bandung bisa ngabuburit dengan menikmati taman. Warga Bandung tempo dulu akan merasa kebingungan dalam memilih taman untuk ngabuburit. Bisa dibayangkan bahwa Bandung memiliki banyak taman indah seperti Jubileum Park (Taman Sari), Insulinde Park (Taman Lalu Lintas), Molukken Park (Taman Maluku) dan taman lainnya.

Jika warga memilih berjalan–jalan dalam menghabiskan waktu sebelum berbuka puasa, jalur yang menarik adalah Gang Pelesiran. Gang Pelesiran merupakan sebuah gang yang mengantar pengunjung menuju “Taman Cihampelas”, untuk menikmati bunga bermekaran diiringi gemercik air sungai Ci Kapundung. Sayang, “Taman Cihampelas” telah menghilang dan berubah total menjadi perkampungan padat dan tak teratur.

Untuk anak–anak yang senang bermain bola atau olah raga lainnya, Lapang mungkin lokasi tepat untuk dipakai berolahraga. Lapang untuk berolahraga antara lain Lapang UNI, Sidolig, Tegalega, NIAU (Gelora Saparua), Habom (Jalan Industri), Lapang ATPC (tepi Kali Ci Tepus dekat Pasar Andir), dan Lapang JCMS (dekat Sekolah Andir). Untuk beberapa lapang, sering diselenggarakan pertandingan sepak bola. Pertandingan ini sering ditonton oleh warga kota selagi ngabuburit.

Arus Ci Kapayang tempo dulu tergolong deras. Untuk warga Bandung tempo dulu, arus Ci Kapayang yang deras dipakai untuk membalapkan kapal kaleng dengan lilin di tengah–tengahnya. Adu balap kapal ini sering dilakukan oleh warga Bandung saat ngabuburit. 

Bioskop–bioskop yang Berada di Kawasan Alun–alun

Untuk warga Bandung yang sedang mencari jodoh, lokasi ngabuburit yang tepat berada di kawasan Alun–alun. Selama masa liburan sekolah di bulan puasa, beberapa bioskop di Alun – alun seperti Varia, Oriental, Radio City, dan Elita memutarkan film khusus anak–anak. Para pengantar anak–anak sering menggunakan momen tersebut untuk perkenalan yang kemudian dilanjutkan dengan kencan. Anak–anak yang nonton sibuk dengan film sedangkan para om–tante serta teteh dan aa juga tak kurang sibuk pacaran.

Sisa Pemandian Cihampelas Sebelum Digusur

Sayang seribu sayang, sama halnya dengan beberapa bangunan tua di Bandung, beberapa lokasi yang telah dijabarkan di atas telah hilang atau berubah fungsi. Hilangnya beberapa lokasi seperti Permandian Cihampelas yang diganti dengan apartemen tidak jelas atau Taman Sari yang berubah menjadi perkampungan padat dan tidak teratur sungguh mengganggu para peminat Bandung tempo dulu. Mungkin kita saat ini hanya bisa menikmati perasaan ngabuburittempo dulu dengan mendengar cerita kakek atau dengan mengunjungi beberapa lokasi yang masih tersisa.

 

Sumber bacaan:

Ramadhan di Priangan karya Haryoto Kunto

Basa Bandung Halimunan karya Us Tiarsa R

Semerbak Bunga di Bandung Raya karya Haryoto Kunto

Wajah Bandoeng Tempo doeloe karya Haryoto Kunto

Sumber Foto:

http://media-kitlv.nl/

Asal Usul “Bancakan” Dan “Botram”

 

Oleh: Hani Septia Rahmi (@tiarahmi)

Tidak seperti biasanya, Hari Minggu ini penggiat Komunitas Aleut tidak mengelilingi kota Bandung, belajar mengenal, mencintai, dan mengapresiasi kota tempat tinggal mereka. Pada kesempatan ini, penggiat Komunitas Aleut mengadakan kegiatan apresiasi film dokumenter konser Loreena McKennitt yang berjudul “Night at Alhambra” serta mengadakan salah satu tradisi Sunda untuk makan bersama yaitu “Botram”. Kegiatan ini diadakan di sekretariat Komunitas Aleut di jalan Sumur Bandung no 4.

Dalam tulisan ini, saya tidak membahas segi apresiasi film dokumenter tersebut ataupun siapa Loreena MecKennitt serta pengaruhnya dalam bidang musik. Namun, kali ini saya tertarik untuk membahas tentang tradisi Sunda untuk makan bersama.

Sebagai seorang pendatang yang telah menetap selama kurang lebih enam tahun di Bandung, tradisi botram sudah tidak asing lagi terdengar ditelinga saya. Selain Botram, saya juga mengenal tradisi Sunda untuk makan beramai-ramai lainnya yaitu bancakan. Menurut Fajar, salah satu penggiat Aleut, kedua tradisi makan bersama ini berbeda. Perbedaannya terletak pada yang bertanggung jawab dalam penyediaan konsumsi. Dalam  bancakan, makanan disediakan oleh yang punya hajatan, sedangkan dalam ngabotram, setiap yang ikut diwajibkan membawa makanan masing-masing kemudian dinikmati bersama.

Rasa penasaran saya terhadap dua istilah tersebut, menyebabkan saya kebiasaan iseng mencari dua istilah tersebut di Google dan beberapa literatur kesundaan yang saya punya. Selain googling, saya juga bertanya kepada beberapa teman-teman saya yang merupakan orang asli Sunda.

Bancakan

Dalam beberapa literatur kesundaan yang saya temui, Bancakan didefenisikan sebagai:

Ensiklopedi Sunda

Bancakan atau babacakan ialah nama hidangan maka yang diwadahi nyiru(niru), dengan tilam dan tutup daun pisang, disajikan nuntuk dimakan bersama pada selamatan atau syukuran. Macam  makanan yang dihidangkan lazimnya nasi Congcor atau Tumpeng beserta lauk-pauknya antara lain urab sebagai sesuatu yang khas dalam hidangan selamatan. Tidak disediakan piring, para hadirin makan dengan memakai daun pisang sebagai alasnya. Makan bancakan dimulai setelah pembacaan doa selesai, setiap orang langsung mengambil dari nyiru nasi beserta lauk-pauknya.

Kamus Bahasa Sunda R. A. Danadibrata

Bancakan curak-curak, sukan-sukan bari barang dahar ngariung jeung babaturan;~biasana lain di jero imah bae, tapi di kebon, di sawah, di tempat pelesir jste.; Ing. picnic; ting. darmawisata

Kamus Sunda-Inggris Jonahan Rigg

Babachakan, to guttle, to eat greedily.

Sundanese English Dictionary

Bancak (n) k.o. basket of bamboo basketwork (for serving dishes in certain selametan); bancakan what is serverd in bancaks; babancakan have a selametan where the food is served in a bancak; cf ancak(1), bacak(2)

Kata bancakan ternyata tidak hanya dikenal dalam Bahasa Sunda. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi empat menjelaskan kata bancakan berasal dari kata dasar bancak yang memperoleh akhiran –an. Dapat diartikan Ban-cak, ban-cak-an (n) 1 selamatan; kenduri; 2 hidangan yang disediakan dalam selamatan; 3 selamatan bagi anak-anak dalam merayakan ulang tahun atau memperingatai hari kelahiran disertai pembagian makanan atau kue-kue. Dalam tradisi jawa, bancakan dikenal sebagai simbol rasa syukur kepada nenek moyang dan Tuhan sebagai pencipta dengan cara-cara membagi-bagikan makanan kepada relasi. Menurut Mutya Dyan dalam blognya, http:mutyadyan.blogspot.com, menjelaskan bancakan merupakan modifikasi konsep dan bentuk sajen yang dilakukan para wali dalam menyiarkan ajaran Islam.Sebelum mengenal Islam, masyarakat telah mengenal dinamisme. Salah satu ritual yang ‘wajib’ mereka jalani adalah memberikan persembahan alias sajen kepada kekuatan tertinggi yang mereka tahu (para arwah nenek moyang ataupun lelembut).

Botram

Asal kata botram sendiri masih menjadi dalam bentuk tanda tanya. Dari sekian banyak referensi tentang kesundaan dan kamus Bahasa Sunda yang saya baca, tak satupun menjelaskan definisi botram secara harfiah. Saya menduga “Botram” merupakan kata yang diserap dari bahasa asing. Entah dari bahasa apa, kata tersebut diserap namun, botram telah menjadi suatu tradisi makan bersama masyarakat Sunda yang cukup menarik perhatian saya.

Botram (ngabotram) merupakan suatu istilah dalam bahasa Sunda yang merujuk pada sebuah kegiatan maka bersama beralaskan daun pisang yang dilakukan di sembarang tempat (seperti kebun, pantai, rumah) yang bertujuan mempererat rasa kekeluargaan serta untuk bersenang-senang. Biasanya masyarakat Sunda melakukan kegiatan  ngabotram sebelum bulan puasa (mengingat sekitar tanggal 29/30 Juni, sudah memasuki bulan Ramadhan ).Karena acaranya bersifat yang informal, maka dalam acara botram dilarang membicarakan hal-hal serius ataupun bercerita sesuatu hal yang menyedihkan. Itu dapat merusak selera makan…

Sepengamatan saya, ada beberapa yang wajib ada ketika ngabotram yaitu, nasi liwet, sambal, lalapan, kerupuk,dan ikan asin. Tak jarang dalam ngebotram, juga dijumpai menu seperti tahu, tempe,ayam, oseng jengkol, dan petai.

Yang unik dalam kegiatan ngabotram ini, tidak ada pihak harus menyediakan makanan dan pihak lain harus menghabiskan makanan. Masing-masing orang membawa makanan serelanya dan seadanya. Semua yang terlibat dalam dalam acara ngabotram tidak diberi ketentuan yang mengingat untuk membawa makanan khusus. Yang terpenting bisa makananya bisa dinikmati bersama.

Yang menarik perhatian saya terhadap dua tradisi makan bersama masyarakat Sunda ini, ada pengguna bahan alam sebagai media alas penyaji makanan (daun pisang). Di zaman yang serba maju ini,kepraktisan menjadi faktor utama seseorang memilih benda yang berguna untuk kehidupan. Tak jarang dalam beberapa acara makan bersama, penggunakan kertas, plastik, ataupun styrofoam sebagai alas penyaji maknan lebih diminati dibandingkan penggunaan bahan alam seperti daun pisang, batok kelapa dan lainnya dengan alasan kepraktisan. Padahal ditinjau dari dampaknya terhadap lingkungan, penggunaan kertas, plastik, dan styrofoam lebih berbahaya dibandingkan bahan alam. Menurut Indonesia Solid Waste Association (InSWA), organisasi profesi yang bergerak di bidang manajemen dan teknologi pengelolaan sampah, waktu urai untuk kertas sekitar satu hingga tiga minggu, plastik antara 10-80 tahun tergantung jenis plastik, dan styrofoam akan terurai setelah 10.000 tahun. Sedangkan daun pisang, batok kelapa dan bahan alam lainnya yang biasa digunakan sebagai alas saji makanan lain memiliki waktu urai yang lebih singkat. Ini disebabkan bakteri yang terdapat didalam tanah telah mengenal bahan tersebut sebagai makanan sehari-hari mereka.

Menurut saya, kegiatan bancakan dan botram mengurangi pemakaian sampah padat terutama dalam acara-acara yang bersifatnya informal dan meningkatkan kekeluargaan. Selain, dapat bersenang-senang bersama teman dan keluarga, namun juga membantu melestarikan budaya dan mengurangi sampah padat yang sulit terurai.

 

Kegiatan Bancakan dan Botram sekaligus teman-teman Komunitas Aleut

Kegiatan Bancakan dan Botram sekaligus teman-teman Komunitas Aleut

Bandung, 22 Juni 2014

#Kegiatan Menjelang Ramadhan  #Komunitas Aleut!

Info Aleut 6 Juli 2014

‪#‎infoaleut‬
Sampurasun, Aleutian! Minggu (6 Juli 2014), tema kali ini adalah Ramadhan di Priangan. Penasaran ngabuburit ala Komunitas Aleut? Atau penasaran ngabuburit tempo dulu di Bandung seperti apa? Ayo, kita ngaleut di Komunitas Aleut! Kumpul di Mesjid Cipaganti pukul 14:00. Konfirmasi ke 082-315-010-836. Ayo kita ngaleut Ramadhan di Priangan.

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑