Month: May 2014

Komunitas Aleut Temukan Batu Nisan Oeij Bouw Huen

Ria Indhryani – 26 Maret 2014, 21:03 WIB

Bisnis.com, BANDUNG–Komunitas Aleut menemukan sebuah batu nisan yang merupakan kuburan seorang Letnan dari Negara China yang bernama Oeij Bouw Huen pada salah satu daerah pemukiman Kelurahan Babakan Ciamis, Bandung.

Ridwan Hutagalung, Pembina Komunitas Aleut, mengungkapkan pihaknya menemukan makam Oeij Bouw Huen ini pada Sabtu lalu ketika menyusuri Cikapundung untuk mencari informasi tentang bencana banjir di Kota Bandung yang besar dan terjadi pada tahun 1945.

“Saya tidak sengaja menemukannya dan kebetulan juga area ini dulunya merupakan area pemakaman China pindahan dari Oude Kerkhoff (Sentiong), sehingga tidak aneh bila ditemukan sebuah batu nisan area pemukiman ini. Namun, yang menarik adalah ternyata batu nisan ini milik seorang Letnan dari Negeri China,” katanya, Rabu (26/3/2014).

Pada nisan yang menempel di sebuah rumah warga tersebut terpampang tulisan ‘Luitenant Oeij Bouw Hoen 1882. Namun sayangnya, pusara dari makam tersebut sudah tidak terlihat, bahkan tertumpuk bebatuan.

Ridwan mengungkapkan Oeij Bouw Hoen merupakan Letnan China pertama yang ada di Kota Bandung dan pastinya merupakan orang pilihan dengan berbagai kriteria sempurna pada jaman Pemerintahan Hindia Belanda.

Beberapa warga sekitar bahkan tidak memiliki banyak informasi tentang sejarah dari batu nisan tersebut.

“Seharusnya, batu nisan tersebut dijadikan sebuah situs sejarah yang dijaga, bukan dibiarkan seperti ini sehingga informasi tentangnya kurang jelas. Tentu nisan sejarah seperti ini hanya salah satu dari sekian banyak.” (K31/ija)

Tautan asli: http://bandung.bisnis.com/read/20140326/45759/505187/komunitas-aleut-temukan-batu-nisan-oeij-bouw-huen

Jalan-jalan Aleut: 124 tahun Biofarma

Jumat 7 Maret saya bergabung dengan komunitas Aleut. Ini komunitas sejarah, kerjaannya jalan-jalan mendatangi tempat bersejarah. Kadang-kadang gak jalan-jalan melulu, tapi juga berkumpul di satu tempat dan bedah buku juga atau bedah musik.

Nah jumat lalu, jam 2 siang, kami diijinkan masuk ke gedung Biofarma. Buat yang bingung ngapain ke gedung Biofarma, kami kesana dalam rangka melihat peninggalan sejarah yang masih ada disana. Mulai dari penampakan gedungnya, interiornya, sampai ke museumnya juga.

 

lagi merhatiin ceritanya Pemandu dari Biofarma

 

Iya, ternyata Biofarma punya museum! Baru tau saya, nih. Walo cuma satu ruangan, tapi tetep aja rasanya sejarah panjang Biofarma lengkap ada disini. Saya bisa liat peralatan bikin vaksin tahun 1930-an! Widiiih jadul banget.

Pihak Biofarma menyambut kedatangan kami dengan ramah banget. Mereka juga nganterin kami keliling Biofarma. Kami diajak keliling gedung di bagian yang utama aja. Yang detil-detil sih tertutup buat umum. Di beberapa titik dalam gedung kami gak diperkenankan motret.

Biofarma adalah lembaga (BUMN) vaksin yang diakui dunia. Kita ini udah ngimpor vaksin-vaksin sendiri. Di dunia ini cuma ada 23 negara yang boleh ngimpor vaksin, salah satunya Biofarma. Dan tempat ini cuma satu-satunya di Indonesia.

Biofarma yang ada di Jalan Pasteur ini berdiri tahun 1920-an. Karena udah ada sejak dulu, gak heran bentuk bangunannya tempo dulu banget. Gagah dan megah, detil dan unik. Saya sukaaaaaaaaaa banget sama detil jendela-jendelanya. Kadangkala suka mikir gimana caranya itu tukang-tukang kuli bangunan ngebangun tempat ini, Mana detil juga.

Ventilasi kan gampang ya tinggal bolongin dinding. Tapi mereka, Belanda, bisa bikin ventilasi keliatan kayak ukiran. Ihik… bagusnya…

Sebentar, saya ikut mejeng ya. Hahaha. Duh Belanda, buat bikin ‘monumen’ pendiri aja bagus gini ya. Kayak prasasti.

Di bawah ‘prasasti’ Nyland,
salah seorang sesepuh Biofarma

Seneng deh bisa masuk kesini. Bisa liat sejarah Bandung yang lain. Sejarah dunia malahan 🙂

Makasih Aleut, hatur nuhun Biofarma.

foto keluarga

Gedung Biofarma ada di Jalan Pasteur. Tepatnya sebelah Rumah Sakit Hasan Sadikin, pas banget di bawah Jalan Layang Pasupati. Buat masuk ke tempat ini agak-agak ribet kalau bukan pegawai Biofarma-nya. Bukan birokratif, tapi emang gak bisa sembarang orang keluar masuk ke tempat pembuatan vaksin ini. Jadi kalau mau jalan-jalan liat gedungnya, kudu izin ke pihak humasnya yak. Cek di webnya http://www.biofarma.co.id/

Komunitas Aleut, mengenalkan Bandung lewat jelajah jalan kaki

Merdeka.com | Reporter : Andrian Salam Wiyono | Sabtu, 11 Januari 2014 16:01

 

Merdeka.com – Bandung dari masa ke masa bergerak begitu dinamis. Kota yang disebut nyaman, aman dan harmonis bisa menjadi bom waktu jika pertumbuhan penduduk tak mampu dibendung.

 

Sebagai ibu kota Jawa Barat, secara ideal kota ini harusnya hanya ditinggali 500 ribu jiwa. Namun apa yang terjadi dewasa ini. Penduduk Bandung mencapai 2,7 juta.

 

Kota adalah tempat di mana warganya hidup, bekerja, bercanda dan beraktivitas. Sebuah kota diharapkan bisa benar-benar kebahagiaan untuk warganya.

 

Namun tumbuh kembangnya Bandung, tak jarang menjadi masalah. Banjir, macet, sampah, alih fungsi lahan, menjadi titik balik cermin keterpurukan Bandung di usianya yang menginjak 202 tahun.

 

Keprihatinan akan masa depan Bandung membuat sejumlah warga bergerak, Komunitas Aleut misalnya yang berdiri sejak 2006 lalu. Berangkat dan peduli dari permasalahan yang ada, sekumpulan mahasiswa dari berbagai latar belakang coba memahami apa yang terjadi.

 

Dengan metode berjalan kaki, Aleut berusaha mengapresiasi, memahami masalah Bandung.

 

Tak kenal maka tak sayang. Istilah ini menjadi panduan tersendiri untuk lebih mencintai Bandung. Melalui cara ngaleut (datang, lihat dan belajar) banyak informasi didapat.

 

Aleut sendiri memiliki arti berjalan beriringan. Untuk menimbulkan interaksi positif dan memahami (dengan) warganya, perlu adanya hal yang diingatkan.

 

Melalui sebuah laman aleut.wordpress.com aktivitas pencatatan, pendokumentasian, dan publikasi adalah salah satu cara membangun ingatan warga. Dengan adanya metode itu diharapkan warganya makin peduli dan mencintai kotanya.

 

“Jangan bilang cinta Bandung, kalau sebenarnya masih menanyakan masalah Bandung itu apa,” terang Koordinator Aleut Hani Septia Rahmi saat berbincang dengan merdeka.com, Sabtu (11/1).

 

Sejak berdiri 8 tahun silam, sudah ribuan tempat disambangi komunitas yang sudah beranggotakan sekitar 700 orang. Komunitas ini memang punya cara sendiri untuk mencintai kotanya.

 

“Kami tidak frontal mengkritisi kebijakan pemerintah, tapi kami hanya menjalankan apa yang kiranya berguna buat kami sebagai pengetahuan dan orang lain melalui apa yang sudah didapat dan dituangkan ke dalam media tulisan,” imbuh perempuan jebolan ITB tersebut.

 

Dia sadar bentuk kepedulian warga Bandung sudah sangat kurang. Permasalahan yang ada terkadang dibuat warganya sendiri. Warga yang apatis, pengusaha yang oportunis menjadikan Bandung sulit untuk dibanggakan dewasa ini.

 

“Kalau bukan warganya siapa lagi yang mau peduli,” terangnya.

 

Aleut melalui gerakan ngaleutnya membuka bagi siapa saja yang ingin tahu Bandung. Melalui jalan-jalannya, itu adalah bentuk cinta warga terhadap kota bahkan mengetahui permasalahannya. Tentu dengan solusinya juga.

 

“Jadi untuk mencintai Bandung mulailah dari hal-hal kecil, berhentilah membuang sampah sembarangan,” ucap dia yang berharap Pemerintah bisa membenahi kawasan pedestrian di Bandung.

 

[ian]

 

Tautan asli: http://www.merdeka.com/peristiwa/komunitas-aleut-mengenalkan-bandung-lewat-jelajah-jalan-kaki.html

Jejak yang Memudar: Sukarno di Bandung, Bagian 3

KARYA-KARYA ARSITEKTUR SUKARNO DI BANDUNG

Setelah lulus sebagai Insinyur Sipil dari Technische Hoogeschool (THS), Sukarno dan kawan-kawan membentuk Algemeene Studie Club mencontoh yang sudah dilakukan oleh Dr. Sutomo di Surabaya. Organisasi Indonesische Studie Club yang didirikan oleh Dr. Sutomo aktif membangkitkan kesadaraan sosial dan politik masyarakat. Sukarno sangat hormat pada apa yang sudah dilakukan oleh Dr. Sutomo dan menjadikannya sebagai inspirasi untuk mendirikan organisasi serupa di Bandung. Sukarno ingin kelompok yang akan didirikannya bersama kawan-kawan dapat berperan lebih jauh lagi, lebih meluas, dan lebih progresif.

Rumah Bersejarah di Jl. Ciateul yang menjadi tempat berkumpul menajamkan ide-ide kemerdekaan RI.

Rumah Bersejarah di Jl. Ciateul yang menjadi tempat berkumpul menajamkan ide-ide kemerdekaan RI.

Sukarno kemudian terpilih untuk mengetuai Algemeene Studie Club dengan didampingi oleh Anwari dan Iskaq. Saat itu Sukarno sudah membayangkan bahwa organisasi yang baru mereka bentuk ini akan menuju pada pembentukan suatu partai dengan dasar kebangsaan yang luas. Tak lama, Studie Club ini telah berkembang ke daerah-daerah dan mengambil peran penting dalam mengembangkan gerakan-gerakan kebangsaan.

Dari sedikit buku yang membahas sisi Sukarno sebagai arsitek itu pun tidak ada yang memiliki daftar lengkap karya-karya arsitektur Sukarno di Bandung.

Continue reading

Jejak yang Memudar: Sukarno di Bandung, Bagian 2

TAPAK TILAS SUKARNO DI BANDUNG

Sejak pertama kali menginjakkan kakinya di Kota Bandung pada tahun 1921 hingga pembuangannya ke Ende, Flores, pada tahun 1934, maka paling sedikit Sukarno melewatkan waktu sekitar 14 tahun di Bandung. Nah, bila sekarang ada yang bertanya di mana saja Sukarno pernah tinggal, atau ke mana saja beliau suka pergi selama di Bandung, maka jawabnya tidak akan mudah. Tidak ada rekaman jejak yang rinci tentang hal itu. Mungkin yang akan paling mudah teringat adalah kampus ITB di Jl. Ganesha, tempat Sukarno menjalani pendidikan hingga lulus sebagai insinyur sipil pada tahun 1926. Atau sebagian akan mengenang Gedung Merdeka sebagai perekam jejak inisiatif Presiden Sukarno untuk memerdekakan bangsa-bangsa di Asia-Afrika.

IMG_8490

Tapi tentu saja dua tempat itu tidak cukup mewakili perjalanan panjang seorang pemuda pribumi yang telah menghabiskan masa mudanya ikut berjuang merintis kemerdekaan Republik Indonesia, pemuda yang kemudian menjadi pemimpin pertama negara merdeka ini sejak 1945 hingga 1967. Ada banyak lokasi ataupun gedung yang sebetulnya merekam jejak Sukarno di Bandung, tetapi rupanya hal ini belum menjadi perhatian utama baik dari pemerintah ataupun masyarakat kita.

Hampir semua tokoh utama perjuangan saat itu pernah datang ke rumah panggung ini untuk bertukar pandangan dan merancang berbagai gerakan untuk meraih kemerdekaan Indonesia. Rumah panggung ini merekam jejak kehadiran Agus Salim, Abdul Muis, K.H. Mas Mansur, Moh. Hatta, M.H. Thamrin, Moh. Yamin, Trimurti, Oto Iskandardinata, Dr. Soetomo, Asmara Hadi, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh lainnya.

Continue reading

Jejak yang Memudar: Sukarno di Bandung, Bagian 1

Sukarno Muda Tiba di Bandung

Ketika aku pindah dari Djawa Timur kedaerah Djawa Barat ini, Pak Tjokro telah mengusahakan tempatkumenginap dirumah tuan Hadji Sanusi. Aku pergi lebih dulu tanpa Utari untuk mengatur tempat dan melihatlihatkota, rumah mana jang akan mendjadi tempat tinggal kami selama empat tahun, begitulahmenurutperkiraanku diwaktu itu. Aku merasa hawanja dingin dan wanitanja tjantik-tjantik. Kota Bandungdan aku dapat saling menarik dalam waktu jang singkat.

Pertama kali Sukarno menjejakkan kakinya di Kota Bandung untuk melanjutkan pendidikan ke Technische Hooge School (THS), ia langsung jatuh cinta pada kota ini. “Kota yang menyenangkan hati,” begitu tutur Sukarno dalam buku karangan Cindy Adams, “Bung Karno; Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”. Hari itu, pada akhir bulan Juni 1921, adalah awal perjalanan pemuda Sukarno di Bandung, sebuah perjalanan panjang yang kelak akan membawa bangsanya menuju kemerdekaan.

Saling menarik antara Bandung dengan Sukarno akan berlangsung paling tidak selama empat belas tahun ke depan. Di kota berhawa dingin ini Sukarno melahirkan pemikiran-pemikiran pentingnya. Bandung, seperti ditulis oleh Peter Kasenda dalam “Sukarno Muda; Biografi Pemikiran 1926-1933”, adalah pusat alam pemikiran nasionalis sekuler. Di Bandung telah berkembang pemikiran bahwa tujuan pergerakan adalah kemerdekaan penuh untuk tanah air Indonesia. Ke dalam pusat pergerakan inilah Sukarno muda menerjunkan dirinya.

Kehidupan Sukarno di Bandung dimulai dengan tinggal indekost di rumah Haji Sanusi. Seperti telah diketahui, Sukarno pernah tinggal selama hampir lima tahun di rumah Cokroaminoto, seorang pemimpin Sarekat Islam di Surabaya. Cokroaminoto juga yang telah mengatur bakal tempat tinggal Sukarno selama menjalani pendidikan di Bandung, yaitu di rumah Haji Sanusi yang terletak di Javaveemweg. Haji Sanusi adalah seorang anggota Sarekat Islam yang berkawan baik dengan Cokroaminoto. Di rumah ini pula Sukarno berjumpa dengan Inggit Garnasih yang saat itu masih berstatus sebagai istri Haji Sanusi.

Untuk sementara pasangan Sukarno-Inggit tinggal di rumah orang tua Inggit di Javaveemweg. Setelah itu mereka berpindah-pindah tempat tinggal ke beberapa lokasi di dalam kota Bandung. Awalnya ke Gg. Djaksa di sebelah selatan Regentsweg (sekarang Jl. Dewi Sartika), lalu ke Gedong Dalapan di Poengkoerweg (Jl. Pungkur), kemudian ke Regentsweg 22, sebelum akhirnya menetap di sebuah rumah panggung di Astanaanjarweg.

Continue reading

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑