Month: November 2013

Kisah Di Balik Tugu Tani: Patung Pahlawan

Oleh : R.Indra Pratama (@omindrapratama)

 B379F4D0929FDABD687F1343F28A1

Patung Pahlawan (courtesy : plasa.msn.com)

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya.

Kalimat diatas merupakan petikan yang sangat populer di Indonesia. Namun darimana, dari siapa, dan dimana pertama kali kalimat itu diserukan, masih belum menjadi pengetahuan umum. Siapa sangka, kalimat tersebut pertama kali tercantum ternyata pada pondasi sebuah patung di Jakarta. Yaitu Patung Pahlawan.

Patung Pahlawan (dikenal juga dengan Tugu Tani) adalah patung yang melambangkan seorang ibu yang melepas anaknya ke medan pertempuran. Patung ini adalah karya pematung kenamaan Uni Soviet, Matvey Genrikhovich Manizer, dibantu oleh putranya Ossip Manizer. Karya –karya Matvey Manizer sejak 1930-an sudah menjadi karya-karya yang diakui di Uni Soviet. Karya-karyanya tersebar mulai dari St.Petersburg hingga Moskow. Karya-karya Matvey sendiri merupakan klasik bagi aliran sosialis-realisme. Aliran yang kompatibel dengan Sosialisme – Komunisme. Dimana sebuah karya seni  haruslah menjadi sebuah pembawa  pesan proses serta tujuan revolusioner.

manizer Matvey Manizer

Pada Mei 1959, Soekarno melakukan kunjungan kenegaraan ke Uni Soviet untuk bertemu dengan Perdana Menteri Nikita Kruschev. Saat tiba di Moskow, Soekarno tertarik dengan patung-patung bertema sosialis-realisme yang tersebar di beberapa penjuru kota. Oleh pejabat Uni Soviet, Soekarno pun diperkenalkan dengan Matvey, yang saat itu menjabat sebagai vice president  USSR Academy of Arts. Matvey sebetulnya pada dekade 50-an sudah tidak aktif berkarya, dengan karya terakhirnya, Monumen Ivan Pavlov di Kota Ryazan, diselesaikan tahun 1950.

Soekarno mengundang the Manizers untuk datang ke Indonesia dan membuat sebuah karya yang diilhami keadaan di Indonesia. Matvey pun datang ke Indonesia dalam rangka mencari inspirasi. Matvey akhirnya terpesona oleh cerita perjuangan rakyat yang konon berasal dari Jawa Barat, dimana ada seorang ibu yang mendukung anaknya pergi berperang demi kemerdekaan dan tanah airnya. Dimana sang ibu membekali anaknya dengan makanan dan harapan.

Manizer lalu mewujudkan gagasan itu sekembalinya ke Uni Soviet. Beberapa lama di tahun 1963 ia menyelesaikan patung tersebut. Lalu setelah selesai sempurna, patung tersebut dikirimkan ke Jakarta melalui kapal laut, diberikan sebagai tanda persahabatan Moskow-Jakarta. Patung tersebut akhirnya ditempatkan di Menteng, dan diberi judul  Patung Pahlawan. Soekarno melengkapi karya ini dengan membubuhkan kata-kata “Hanja Bangsa Jang Menghargai Pahlawan Pahlawannja Dapat Menjadi Bangsa Jang Besar”.

Bagi saya pribadi, mencoba mengapresiasi patung ini merupakan pengalaman yang seru. Saya melihat ada beberapa sisi yang menarik dari patung ini. Pertama adalah fakta terang bahwa patung ini merupakan sebuah penanda sebuah titik di linimasa sejarah Indonesia. Masa dimana Indonesia mulai berpaling dari posisi non-blok dan mendekat ke Moskow, juga dalam konteks lain, Peking. Masa dimana identitas negara dicoba dibentuk lewat jargon dan simbol-simbol yang berada di ambang realitas dan konstruksi. Dalam konteks idiosinkratik dalam selera seni, juga menandai masa perpindahan selera seni Soekarno, dari kegemarannya pada bentuk simbol dan mitologi (terutama wayang), menjadi karya-karya seni dengan sebuah pesan yang jelas dan realistik.

Kedua, menarik melihat Matvey mengangkat golongan tani sebagai subjek karya. Golongan tani yang bersenjata, merupakan konsep yang berasal dari Peking, dan bukan datang dari Moskow. Beberapa tahun sebelum karya ini lahir, Partai Komunis Indonesia dibawah Dipa Nusantara Aidit, mengusulkan konsep Angkatan Kelima, dimana para petani dan buruh dipersenjatai sebagai langkah pertahanan dan keamanan. Konsep ini terus mendapat penolakan dari golongan militer, karena ditakutkan akan memicu pemberontakan revolusioner kaum Komunis, seperti yang terjadi di Uni Soviet dan Republik Rakyat China. Kedekatan PKI dengan Peking, dibanding dengan Moskow, juga menjadi keresahan dan sebuah isu yang penting di masa itu.

Meskipun saya juga masih bertanya-tanya; apakah betul hanya dengan menghargai jasa pahlawan bisa membuat kita menjadi bangsa besar?.

Sumber Bacaan : 

Edman, Peter. 2005. Komunisme A la Aidit : Partai Komunis Indonesia di Bawah Kepemimpinan D.N. Aidit 1950-1965. Jakarta : Center for information Analysis.

Ivanov, Sergei. 2007. Unknown Socialist Realism. The Leningrad School. Saint Petersburg : NP-Print.

Nas, Peter J.M. 1993. Urban symbolism. Volume 8 Jurnal of Studies in human society. Leiden- New York-Koln :BRILL.

Pemerintah Daerah Khusus Ibu-Kota Jakarta, Dinas Museum & Sejarah. 1992. Sejarah Singkat Patung-Patung dan Monumen di Jakarta.

Saint Petersburg Encyclopaedia. Manizer M.G., (1891-1966), sculptor. Diakses via (http://www.encspb.ru/object/2804029999;jsessionid=40C35124D553C2A86148CBCCA809CE88?lc=en)

Kenal Kanal Cikapayang

@A13Xtriple

Hari Minggu, 10 November 2013, bertepatan dengan Hari Pahlawan, @KomunitasAleut mengadakan “Ngaleut Kanal Cikapayang”. Mungkin ini sebagai apresiasi dari para penggiat @KomunitasAleut bagi pahlawan lokal Bandung, Raden Adipati Aria Martanagara.

Walaupun hanya bersifat lokal, Bupati Martanagara memiliki banyak jasa bagi kemajuan kabupaten yang dipimpinnya. Kabupaten yang menjadi Kota Bandung kini, sedikit banyak masih merasakan manfaat dari apa yang dibangun Martanagara dalam masa pemerintahannya 1893-1918. Salah satu hasil karya Martanagara yang masih dirasakan manfaatnya adalah jalur kanal yang lebih dikenal dengan sebutan sungai Ci Kapayang.

Kanal atau saluran air ini dibangun oleh Martanagara dengan mengerahkan puluhan penduduk salah satu kampung tertua di Bandung yang letaknya di aliran sungai Ci Kapundung, yaitu kampung Balubur. Diceritakan ketika dalam proses pembangunan di daerah jembatan Ci Kapayang di sebelah utara Pasar Balubur sekarang, proyek ini menelan korban 6 orang meninggal. Kabarnya, karena tempat yang digali tersebut adalah makam kuno yang angker. Itu mungkin kabar mistisnya, namun yang jelas mungkin medan proyek pembangunan kanal yang berat.

Haryoto Kunto dalam bukunya “Wajah Bandung Tempoe Dulu,” menceritakan kondisi kanal ini dahulu tebing pinggirnya masih lebar dan curam dengan air yang deras dan jernih. Derasnya air di aliran Ci Kapayang di daerah Balubur tepatnya berada di depan Rektorat ITB, di sekitar percabangan aliran Ci Kapayang yang ke timur ke arah Gasibu dan ke selatan ke arah Pieterspark.

Aliran Ci Kapayang ke arah Pieterspark yang deras, dahulu sering dipergunakan sebagai arena bermain bagi anak-anak. Jika hari mulai senja, anak-anak bergerombol di aliran Ci Kapayang tersebut dengan perahu yang terbuat dari kayu; di tengah-tengah perahu tersebut ditancapkan sebatang lilin, kemudian dihanyutkan di aliran Ci Kapayang. Anak-anak bergerombol mengikuti kerlap-kerlip nyala lilin di perahu mereka ke arah Pieterspark. Bagi adik-adik kecil yang belum mampu membuat perahu kayu sendiri, mereka memanfaatkan kulit buah dari tanaman cucurutan atau sepatu-dua (sepatu dewa).

Kulit-buah tanaman Ki Acret (Spathodea Campanulata) ini kira-kira panjangnya 15-20 cm, yang bila terbelah dua bentuknya mirip perahu. Dulu kabarnya tanaman ini banyak ditemui di daerah Jl. Sumatera, Jl. Taman Sari, sebelah utara Pasar Balubur, atau sepanjang jalan raya ke Pangalengan. Namun, dalam penelusuran kemarin di daerah Balubur-Rektorat ITB tidak ditemukan lagi pohon Ki Acret tersebut. Mungkin karena daerah Balubur-Rektorat ITB dan daerah Jl. Cikapayang sudah banyak berubah sejak pembangunan jalan layang Pasupati.

Jalan layang yang diresmikan tahun 2005 itu telah mengubah lingkungan aliran kanal Ci Kapayang di daerah Balubur-Rektorat ITB hingga ke daerah lapangan Gasibu. Namun perubahan lingkungan aliran Ci Kapayang juga tercatat sudah terjadi pada tahun 1950-an ketika aliran Ci Kapayang yang masih jernih dan deras airnya itu dipergunakan untuk budidaya ikan dalam keramba yang mengakibatkan pencemaran dan pendangkalan aliran sungai.

Copy of SAM_3365
Tebing sisi sungai Ci Kapayang pada tahun 1980-an sudah berubah dipenuhi rumah dan perkampungan seperti di daerah aliran Ci Kapayang di belakang Apotik Kimia Farma, perempatan Jl. Dago-Jl. Riau. Kondisi tebing aliran Ci Kapayang yang sudah dipenuhi permukiman saat ini bisa juga dilihat di daerah Sasak Gantung, di tebing sisi Ci Kapayang dan Cikapundung.

Selama lebih dari 100 tahun sejak pembangunannya, aliran kanal ini masih dimanfaatkan bagi saluran drainase kota Bandung. Bisa disebutkan kota Bandung masih bergantung pada peninggalan Martanagara ini. Karena rasanya kota yang semakin padat ini tidak lagi membangun kanal sefenomenal Ci Kapayang. Padahal jika hujan lebat selalu terjadi banjir cileuncang menggenangi Bandung.

Kepopuleran dan manfaat dari Ci Kapayang bisa dibuktikan dari masih dikenalnya aliran sungai tersebut bagi masyarakat yang tinggal di aliran kanal tersebut. Seperti ibu-ibu di daerah Taman Hewan, yang mencuci di sumur umum warga, dengan pasti mengatakan jika got selebar 2,5m didepannya adalah Ci Kapayang. Sekelompok anak di Gang Abah Winata di derah yang sama juga memanfaatkan aliran Ci Kapayang untuk berenang.

Copy of SAM_3369
Tak terbayang apakah anak-anak itu gatal-gatal atau tidak, karena sepanjang aliran Ci Kapayang di daerah Taman Hewan, Pelesiran, itu saat ini dipenuhi sampah dan limbah rumah tangga. Seorang teman kuliah yang keluarganya sudah tinggal selama 3 generasi di tepi aliran Ci Kapundung, dengan pasti menunjukkan saluran air di seberang rumahnya di kawasan Sasak Gantung, adalah Ci Kapayang. Bahkan dia menunjukkan di sebelah mana Ci Kapayang bermuara kembali ke sungai Ci Kapundung. Daerah Sasak Gantung (sasak=jembatan; jembatan gantung yang merupakan salah satu jembatan hasil karya Martanagara) adalah satu dari tiga tempat Ci Kapayang bermuara setelah mengalir dari hulunya di Sungai Ci Kapundung, di daerah Lebak Gede.

Ada beberapa pendapat mengapa Martanagara membangun kanal Ci Kapayang. Ada yang berpendapat bahwa Ci Kapayang dibangun sebagai saluran irigasi untuk mengairi ladang dan sawah di kota Bandung, karena pada masa pemerintahannya Martanagara mengintensifkan penanaman singkong yang saat itu sedang naik pasarannya di Dunia. Dalam masa pemerintahaan Martanagara pula luas sawah di Bandung terus bertambah, dari 800ribu bau di  tahun 1896 menjadi 1juta bau di tahun 1912.

Namun mungkin alasan Martanagara membangun kanal Ci Kapayang yang masih jelas terlihat tujuannya adalah untuk  mengalirkan air sungai Ci Kapundung ke daerah-daerah yang tidak dilalui aliran sungai besar, dengan fungsi sebagai aliran drainase baik bagi aliran air tanah, maupun aliran air kotor, sekaligus untuk mengairi taman-taman yang dibangun di Bandung, di antaranya Jubileumpark (Taman Sari), Ijzermanpark (Taman Ganesha), Pieterspark (Taman Merdeka/Taman Balai Kota), Insulindepark (Taman Lalu-lintas), dan Molukenpark (Taman Maluku). Pemerintah kota saat itu membangun taman-taman yang bersifat terbuka dengan salah satu tujuannya adalah menyediakan tempat rekreasi yang murah, sekaligus tempat berinteraksi warga kota baik dengan sesama warga maupun dengan alam.

Sarana rekreasi dan berinteraksi dengan alam inilah yang mungkin sudah sangat berkurang di kota Bandung saat ini. Sehingga warganya dengan usahanya sendiri menciptakan sarana rekreasi bagi dirinya. Bandingkan dengan warga kota baheula yang disediakan taman-taman luas dengan konsep penataan yang jelas, mulai dari tanaman yang ditanam di taman-taman tersebut hingga ke sistem pengairan dengan kanal seperti contoh Ci Kapayang di atas.

Copy of SAM_3269
Gambaran warga kota yang merindukan ruang terbuka hijau inilah yang dapat ditemui di lahan bekas Jubileumpark, di sekitaran Kebon Binatang. Di bantaran Ci Kapundung bisa ditemui seorang bapak yang menyirami bibit tanaman pepaya thailand. Pak Latif, yang bekerja sebagai satpam di sebuah kantor pengacara memperoleh biji pepaya thailand tersebut dari kantor tempatnya bekerja. Karena bertempat tinggal di daerah lembah Jl. Cihampelas yang merupakan pemukiman yang padat dan tanpa lahan untuk bercocok tanam, Pak Latif menyalurkan hobi bercocok tanamnya di bak beton di taman pinggiran Ci Kapundung, tak jauh dari pintu air Lebak Gede.

Dia juga memanfaatkan tanah lahan Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) untuk menanam pohon pepaya yang sudah besar. Warga lain menggunakan lahan di belakang Kebun Binatang Bandung yang dialiri Ci Kapayang untuk membuat kolam ikan, sebagian untuk berternak dan yang lainnya untuk dijadikan kolam pemancingan. Warga kota terus merindukan taman terbuka yang mudah diakses untuk berekreasi dan berinteraksi dengan alam. Bukan taman tertutup seperti yang disebutkan Pak Kunto di bukunya “Taman yang dilihat boleh dipegang jangan”.

Copy of SAM_3263

#ngaleutjkt : Sebuah Cerita di Sisi Timur Gambir

Oleh : Anggi Aldila (@anggicau)

Sekitar pukul 7.40 saya sudah duduk manis nunggu teman – teman dari @komunitasaleut yang bekerja di Jakarta. Satu demi satu teman yang memang sudah lama pengen ngerasain ngaleut di Jakarta sudah mulai berdatangan di meeting point, sebuah restoran cepat saji di kawasan Tugu Tani Jakarta. Teman yang paling jauh dateng dari Bogor (dalam hati “gokil juga nih demi #ngaleutjkt doi nyubuh dari Bogor pake kereta api”.). Sambil sarapan kami mulai berdiskusi untuk rute #ngaleutjkt kali ini. Maklum semuanya  baru pertama kali #ngaleutjkt soalnya kemarin itu yang datang bukan orang Jakarta asli semua , meski mungkin ada beberapa teman yang sudah pernah berwisata ke beberapa objek sejarah Jakarta . Berhubung saat itu Indra bawa  dua buku  “panduan” buat #ngaleutjkt (1. Gereja – Gereja tua di Jakarta, 2.Historical Places of Jakarta) pengarangnya seorang pastor Jerman yang sudah menjadi WNI yaitu A. Heuken.

                                        Tugu Tani           Tugu Tani (foto : courtessy triposo.com)

Berbekal buku tersebut dimulailah #ngaleutjkt ini. Karena lokasi berkumpul kami di Tugu Tani, maka diambilah rute di seputaran Tugu Tani tersebut. Kami mulai di lokasi pertama yaitu Gereja Anglikan (Gereja All Saints) yang letak nya di Jl. Arief Rachman Hakim, persis di depan tugu tan. Di gereja yang dibangun tahun 1819 ini (saya baru tahu kalo disini itu termasuk salah satu gereja tertua yang ada di Jakarta, meski setiap hari saya melewati gerbang gereja tersebut) terdapat beberapa prasasti makam prajurit Britania (Inggris raya) yang meninggal disaat Inggris menduduki Hindia Belanda. Salah satunya adalah prasasti William Campbell, seorang prajurit Inggris yang tewas pada saat itu. Juga terdapat prasasti seorang kapten yang umurnya masih 16 tahun tapi saya lupa namanya J. Meski terdapat banyak prasasti tapi jasad dari para prajurit yang meninggal itu tidak semua dibawa ke gereja ini,  jadi disini hanya terdapat prasastinya saja.

Setelah mendapatkan informasi yang cukup dari penjaga keamanan gereja dan berhubung itu masih di sekitar kawasan Tugu Tani, jadi sekalian saja kami bercerita tentang  Tugu Tani sendiri yang ternyata merupakan sumbangan dari Uni Soviet. Soviet yang kala itu masih berteman dengan pemerintahan Orde Lama mengirim dua orang pematungnya ke Indonesia. Untuk mendapatkan inspirasi berkelilinglah kedua pematung tersebut ke beberapa wilayah Indonesia, dan menurut cerita kedua pematung itu mendapatkan inspirasi ketika mereka berkunjung di Jawa Barat,  melihat seorang ibu yang akan mengantarkan anak nya ke peperangan.

Gereja Anglikan
Will Campbell

                  Gereja Anglikan (atas), Prasasti prajurit Inggris (bawah) (dok. komunitas aleut)

Menyusuri jalan Ridwan Rais kami menuju ke arah Pejambon, yaitu ke arah Gereja Immanuel, gereja yang di bangun di tahun 1834 ini adalah rancangan J.H. Horst yang katanya beliau itu bukanlah seorang arsitek hanya seorang pegawai biasa. Gereja yang oleh masyarakat sekamir sering disebut gereja bundar ini setelah selesai dibangun pada tahun 1839 dan diresmikan untuk menghormati raja Willem 1 (Raja Belanda periode 1813 – 1840). Namun sayang kami tidak bisa melihat gereja ini lebih dekat karena gereja sedang dalam tahap renovasi dan sedang ada orang yang disemayamkan disana, karena terlihat ada bendera kuning di gerbang halaman gereja. Lalu berhenti kami sejenak di terusan Kali Ciliwung. Di samping gereja, Indra mulai bercerita tentang Nyai Dasimah, yaitu cerita rakyat Jakarta. Cerita ini bisa dilihat dari dua sisi yang berbeda terutama dari pihak kolonial (Francis Gijsbert) dan pihak pribumi (SM Ardan).

                                                 Immanuel

Gereja Immanuel (dok.komunitas aleut)

Selanjutnya kami melangkah ke Gedung Pancasila (Kemenlu sekarang). Meskipun tidak bisa masuk ke dalamnya, kami tetap bercerita tentang sejarah gedung yang dibangun tahun 1830 ini. Gedung yang pada awalnya bernama Residence of Dutch Royal Army Commander  ini berubah menjadi Volksraad  (Dewan Rakyat) pada tahun 1918, kemudian berubah lagi menjadi tempat  Badan Penyidik Usaha – usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang lalu berubah lagi menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Pada saat akan merumuskan  naskah proklamasi rombongan Soekarno sedang menuju ke gedung ini, namun karena gedung ini masih dijaga oleh beberapa tentara Jepang, maka kemudian dipilihlah rumah Laksamana Maeda di Jalan Imam Bonjol menjadi tempat perumusan naskah proklamasi.

Katedral Jakarta, gereja yang sebenarnya bernama gereja “ Bunda Maria Diangkat ke Surga”. Menurut saya ini adalah bangunan yang sangat menakjubkan arsitekturnya.  Ciri khas bangunan gotik sangat kelihatan. Hanya sayang kami tidak bisa masuk ke dalam museumnya, yang sedang direnovasi. Setelah ngobrol dan istirahat sejenak di Katedral, kami lanjut perjalanan kearah Departemen Keuangan yang dulunya merupakan istana Gubernur Jendral Daendels.  Pada saat itu gedung yang dikenal juga dengan nama Gedung Putih (Het Witte Huis) ini dirancang oleh JC Schultze. Namun sayang Daendels sendiri tidak pernah menempati Istananya, sedangkan di samping istana tersebut berdiri sebuah bangunan organisasi Freemason yaitu Loji Bintang Timur yang oleh penduduk sekamir biasa disebut “Gedung setan”. Untuk Lapangan Banteng sendiri dulunya bernama Waterlooplein, yang dilapangan tersebut terdapat patung Napoleon, lalu ketika pemerintahan Orde Lama patung itu diganti lagi dengan Patung Pembebasan Irian Barat yang sketsanya dibikin oleh Henk Ngantung .

Depkeu Loji

Istana Daendels (atas) , Bawah : Loji Bintang Timur (dok. komunitas aleut)

Puas menikmati kawasan Lapangan Banteng, perjalanan kami dilanjut ke RSPAD Gatot Subroto. Bangunan yang dulunya sempat ditempati istana milik Gubernur Jenderal Van Der Parra ini sekarang hanya sedikit sekali terlihat sisa – sisa bangunan aslinya. Hanya beberapa bagian yang terlihat masih bernuansa bangunan kolonial. Tidak banyak cerita yang bisa di dapatkan di RSPAD ini. Maka setelah sholat Dzuhur kami lanjut perjalanan ke Museum Kebangkamin Nasional, yang mana pada masa pergerakan gedung ini dikenal dengan nama STOVIA, yang kemudian melahirkan organisasi Boedi Oetomo. Disini banyak sekali foto – foto para pendiri Boedi Oetomo, beberapa teks di era pergerakan, dan alat – alat kedokteran pada jaman itu. Namun sayang karena hari libur semua ruangan museum tertutup rapat. Tapi kami masih bisa menikmati bangunan – bangunan itu dari dalam, menikmati ruang – ruang asrama para mahasiswa STOVIA, juga melihat ruang konserpasi.

Itulah rangkaian #ngaleutjkt kemarin. Memang masih banyak objek sejarah yang belum sempat kami datangi. Mungkin di lain waktu kalau ada libur weekdays lagi #ngaleutjkt akan ada lagi. Hasil dari #ngaleutjkt kemarin, yang jelas menambah teman dan yang pasti after ngaleut saya ngaringkuk di kosan karena sudah lama banget saya tidak berjalan kaki rada jauh…gracias..hatur nuhun.

Kamis, 07 November 2013

Balandongan

Berikut ini cerita singkat tentang balandongan yang pernah menjadi bagian sejarah kota Bandung.
Cerita awalnya pernah saya twitkan melalui akun @mooibandoeng pada tanggal 21 September 2013.

Babakan Surabaya-b

Ini cerita dari zaman pembukaan sebuah kawasan di Bandung yang bernama Kampung Jawa dan Babakan Surabaya. Letaknya di sebelah timur kota Bandung, cukup jauh dari stasiun kereta api Bandung.

Kedua kampung ini dihuni oleh para pendatang dari Jawa Timur, terutama Surabaya dan Ngawi. Mereka ini para pekerja di pabrik senjata dan mesiu yang baru dibangun di Kiaracondong (1895). Ketika itu, pabrik-pabrik senjata dan sejumlah instansi militer memang dipindahkan dari beberapa daerah untuk dipusatkan di Bandung. Continue reading

Catatan Ngaleut Kawasan Trunojoyo – Bagian 2

Catatan Ngaleut Kawasan Trunojoyo – Bagian 2:
Nama-nama Jalan

Mencatat Sudut Kota 031113b
Poster oleh @pamanridwan.

Tulisan ini adalah lanjutan dari bagian pertama CATATAN NGALEUT KAWASAN TRUNOJOYO. Bagian pertama adalah rangkaian perjalanan serta catatan sejarah ringkas dan situasi yang terlihat, sedangkan pada bagian ini saya ingin memberikan penjelasan tentang nama-nama yang hadir di kawasan ini.

Tetapi sebelum melanjutkan, saya ingin menyampaikan isi pikiran yang selama ini sering mengganggu, sebetulnya bagaimana memilih dan menentukan nama-nama tokoh yang dipergunakan sebagai nama jalan di kawasan ini? Atau pertanyaan semacam kenapa nama jalan Sultan Agung atau Diponegoro misalnya, ditempatkan di ruas jalan utama dibandingkan dengan nama-nama seperti Geusan Ulun, Pangeran Kornel, atau Wiraangunangun ? Bahkan nama bupati seperti Martanagara yang punya banyak jasa bagi kota ini kenapa malah disematkan pada jalan kecil yang jauh di sebelah selatan kota?

Kawasan Trunojoyo-b

Baiklah, saya langsung ke nama pertama di kawasan ini, yaitu Jl. Sultan Agung d/h Heetjansweg. Ruas jalan Sultan Agung tidak terlalu panjang, namun lebih lebar dibanding jalan-jalan lain di kawasan Trunojoyo. Letaknya juga strategis karena menjadi salah satu ruas jalan utama yang menghubungkan Dago dengan kompleks vila di kawasan ini, Continue reading

Catatan Ngaleut Kawasan Trunojoyo – Bagian 1

Mencatat Sudut Kota 031113b
Poster oleh @pamanridwan.

Berikut ini adalah catatan santai kegiatan @KomunitasAleut hari ini, Minggu, 3 November 2013. Jelajah kawasan yang dipilih adalah seputaran Jl. Trunojoyo, seperti terlihat dalam peta, dengan batas-batas luar (warna kuning) Jl. Dago (barat), Jl. Trunojoyo-Bahureksa (selatan), Jl. Banda-Cimandiri (timur), dan Jl. Maulana Yusuf-Diponegoro (utara).

Kegiatan ngaleut berlangsung dari jam 8 pagi dan selesai sekitar jam 1 siang atau kalau menurut sistem pembagian waktu budaya Sunda, berlangsung sejak Wanci Ngaluluh Taneuh hingga Wanci Lingsir. Hari yang cerah, namun dengan temperatur yang lebih panas dari biasanya. Jumlah peserta ngaleut hari ini 24 orang, termasuk 8 orang anggota/kawan baru.

Trunojoyo-02
Cuplikan peta dari Google Earth.

Sebagai titik awal perjalanan dipilih tempat berkumpul di depan patung PDAM (depan gedung Driekleur/BTPN) di pertigaan Jl. Dago-Jl. Sultan Agung. Seluruh peserta dibagi ke dalam dua kelompok perjalanan dengan masing-masing rute:

  1. Sultan Agung – Bahureksa – Tirtayasa – Kawasan Gempol – Cilamaya – Banda – Tirtayasa – Wiraangunangun. Kelompok ini dipimpin oleh Vecco dan Mentari.
  2. Sultan Agung –Geusanulun – Maulana Yusuf – Pangeran Kornel – Adipati Kertabumi – Aria Jipang – Diponegoro – Gempol – Wiraangunangun. Kelompok ini dipimpin oleh Hani dan Atria.

Hingga akhir abad ke-19, pola permukiman di Bandung memisahkan kawasan hunian secara sosial dan morfologis. Kawasan hunian orang Eropa (Europeesche zakenwijk) berada di sebelah utara rel kereta api dan kawasan bagi kaum pribumi berada di sebelah selatan. Kelompok sosial lainnya, yang terdiri dari bangsa-bangsa timur seperti Arab, India dan terutama Tionghoa berada di sebelah barat (Pecinan). Pembangunan sarana kota pada masa ini lebih terpusat di sekitar Alun-alun dan di kawasan sepanjang jalur rel kereta api.

Wacana, dan akhirnya, rencana pemindahan ibukota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandoeng yang berlangsung di awal abad ke-20 mengundang pembangunan kota secara besar-besaran. Berbagai sektor industri dibuka dan dipusatkan di Bandung. Kawasan hunian modern dibangun, terutama di kawasan sebelah utara kota. Rumah-villa dan kompleks-kompleks perumahan pegawai kantor-kantor pemerintahan pun didirikan di sejumlah lokasi.

Tentang perancangan dan pembangunan kota Bandung pada masa itu bisa dibaca di sini

http://mooibandoeng.wordpress.com/2013/06/05/bandoeng-1918-bagian-1/ dan

http://mooibandoeng.wordpress.com/2013/06/05/bandoeng-1918-bagian-2/

Promosi kenyamanan tinggal di kota Bandung dilakukan di mana-mana. Komunitas semacam Vereeniging tot nut van Bandoeng en Omstreken yang terdiri dari tokoh-tokoh Eropa dan kalangan pejabat pribumi Bandung turut membantu pengembangan Bandung menjadi kota modern. Kegiatan komunitas ini kemudian dilanjutkan oleh banyak kelompok lain, terutama Bandoeng Vooruit yang banyak membantu dalam mengembangkan fasilitas dan promosi dalam kepariwisataan Bandung. Pembangunan sarana perkotaan di Bandung saat itu berlangsung dengan sangat cepat. Continue reading

Si Cantik, Dago 141

Oleh: Hani Septia Rahmi (@tiarahmi) dan Atria Dewi Sartika (@atriasartika)

“Perlu keberanian besar untuk menemukan sebuah keberuntungan kecil.”

Kalimat itu mungkin cocok dengan penemuan kami hari itu, 4 November 2013, di saat hujan menyapa. Langit memang tertutup awan gelap, namun tidak membuat sekitar kami menjadi terlalu gelap. Kondisi itu yang mendorong keberanian kami untuk melangkah ke rumah itu. Rumah yang sudah cukup sering menghadirkan rasa penasaran kami.

IMG_20131104_150258

Letaknya tidak persis di depan jalan Ir. H. Juanda atau yang lebih kita kenal dengan nama Jalan Dago. Ia menjorok ke dalam, sekitar 100 meter. Beberapa mobil terparkir di dekat pintu gerbangnya. Jalan menuju teras depan halaman rumah tidak seperti rumah lain yang tertutup paving block sehingga menutupi wilayah resapan air, melainkan terdiri atas bebatuan yang memadat karena sering dilewati. Selebihnya, halaman rumah tersebut ditutupi beberapa tumbuhan yang umurnya, kami duga sudah cukup tua. Ada satu pohon menjulang tinggi dan sekumpulan tanaman talas berukuran besar yang menyita perhatian kami.

IMG_20131104_150347

“Pasti umurnya lebih tua daripada saya”; “Wah tanaman ini tua sekali. Apa sudah sampai seratus tahun ya?”; itu adalah pikiran-pikiran yang berkelebatan di kepala kami.

Kesan pertama ketika kami melangkahkan kaki menuju halaman depan rumah ini adalah seram. Ya, rumah ini bahkan sering disebut “rumah hantu” oleh beberapa orang. Itu mungkin efek umum yang diberikan indera pelihatan kita ketika melihat bangunan tua dengan halaman depan yang tak terurus. Semakin mendekati teras rumah bangunan tersebut, efek seram tersebut berganti dengan rasa takjub dan senang dapat melihat bangunan bercat warna putih tersebut dari dekat. Kaca-kaca patri masih terpasang jelas pada kusen pintu, jendela, dan loster rumah tersebut.

Ketika salah seorang dari kami, Atria, ingin mengabadikan dalam bentuk foto, mendadak pintu rumah tersebut terbuka. Seorang laki-laki paruh baya keluar dan bertanya: “Apa yang sedang kalian lakukan?” tanyanya dengan wajah serius. Kehebohan kami yang sibuk memotret seketika berhenti. Rasa kaget dan cemas bercampur aduk menjadi satu. Iseng kami bertanya, “Sekarang, rumah ini difungsikan untuk apa, Pak?” beliau langsung menjawab, “rumah hantu!” Kami langsung terdiam, namun tidak lama kemudian, Pak Iwan, nama laki-laki tersebut, tersenyum. Kami pun akhirnya tertawa salah tingkah.

Kami dengan segera memberikan penjelasan bahwa kami ini adalah penggemar bangunan tua yang ada di kota Bandung serta penggiat di Komunitas Aleut. Lambat  laun, suasana pun mencair sehingga kami dapat leluasa bertanya banyak hal tentang rumah tersebut. Sayangnya, kami tidak diizinkan masuk karena kedatangan diikuti nyamuk hutan yang kelaparan. Alhasil, obrolan kami dilakukan di teras rumah, tanpa duduk, ditemani gerimis kecil serta nyamuk-nyamuk yang masih setia menggigiti kami.

Dari hasil obrolan singkat ini, banyak informasi yang berhasil kami dapatkan mengenai rumah tua tersebut dan wilayah sekitarnya, yakni Dago. Pak Iwan, yang ternyata adalah pemilik rumah tersebut, menjelaskan bahwa kawasan Dago dulunya merupakan kawasan vila. Kawasan vila yang dimaksud bukan konsep komplek vila (1) yang sekarang menjadi tren, melainkan sebuah rumah yang dikelilingi oleh kebun atau pekarangan yang cukup luas. Salah satu contoh vilanya adalah rumah tersebut. Menurut izin bangunan yang keluar pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, bangunan ini berdiri sejak tahun 1914. Berarti, rumah di Jl. ir. H. Djuanda 141 ini telah berdiri enam tahun lebih awal dibandingkan Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS Bandoeng) yang diresmikan pada 3 Juli 1920. Ketika bangunan Aula Barat dan Gedung Fisika THS baru didirikan, dilakukan pengambilan foto dari udara, rumah ini ikut terekam dalam foto tersebut; informasi ini dituturkan oleh Pak Iwan kepada kami.

Foto angkasa ITB tahun 1925 dari koleksi Tropen Museum. Di pojok kanan atas terekam pula rumah Dago 141.
Continue reading

Villa-Villa di Tengah Kota

Oleh : Nandar Rusnandar (@nandarali)

Pagi ini Minggu,3 November 2013, saya sudah siap untuk mengikuti kegiatan @KomunitasAleut. Air minum, alat tulis, dan sweater pun sudah masuk tas.

Jam sudah menunjukkan pukul 07.00 wib. Saya masih di dalam angkot, meeting point kegiataan hari ini di Jl. Dago, tepatnya di pertigaan tugu pengeboran (PDAM). Jam 07.45 akhirnya saya tiba di lokasi, ternyata banyak teman-teman yang sudah menunggu. Saya kena tegur karena belum mengonfirmasi keikutsertaan saya dalam kegiatan hari ini, hehehe, maap maap..

Memang untuk mengikuti kegiatan Aleut, sebaiknya calon peserta mengonfirmasi paling lambat sehari sebelumnya agar para pengelola kegiatan punya bayangan besaran jumlah peserta dan membantu mereka juga menyusun kegiatan. Seperti biasa sebelum kegiatan dimulai, setiap anggota diwajibkan mengenalkan diri dan asal (tempat kuliah atau pekerjaan) agar dapat saling mengenal dengan lebih akrab.

Yang menarik pada kegiatan minggu ini adalah tidak adanya sistem pemanduan seperti yg biasanya dilakukan pada setiap kegiatan. Sekarang berbeda, para peserta dibagi ke dalam dua kelompok dan saya termasuk kelompok satu. Kami dianjurkan untuk menggali informasi dari orang-orang sekitar yang mengenal objek yang kita datangi. Wahh.., ini menarik sekali jadi bisa mendapatkan tambahan informasi langsung dari masyarakat.

Kelompok satu pun memulai perjalanannya. Objek pertama yang kita temui adalah Drie Kleur, yang artinya Tiga Warna, yang saat ini sedang direnovasi. Gedung ini dulunya berfungsi sebagai kantor dan tempat tinggal, arsiteknya adalah A.F. Aalbers.

Nandar-01b

Gedung Drie Kleur alias Tiga Warna.

Oh iya, salah satu koordinator kelompok satu ternyata ada yang kuliah di jurusan Biologi, namanya Mentari. Dia banyak menjelaskan tentang tanaman. Nah, di depan gedung Tiga Warna ternyata ada banyak tanaman hias dan pohon-pohon, salah satunya adalah pohon Spatodhea campanulate alias bunga mangkuk (campanulate=mangkuk) karena bentuknya yang seperti mangkuk sehingga dapat menampung air hujan. Dalam bahasa Sunda, namanya Ki Acret atau Ki Ceret, karena selalu ada muncratan air hasil tampungan dari bunga itu.

Nandar-02

Ki Acret atau bunga mangkuk atau Spatodhea campanulate.

Perjalanan pun dimulai. Kami menyusuri Jl. Sultan Agung, ternyata jalan ini dulunya adalah lokasi vila-vila Belanda. Masih terlihat dari beberapa gedung besar yang bentuknya sama. Itu pun cuma ada beberapa yang masih utuh, selebihnya sudah direnovasi, bahkan ada yang sudah diganti menjadi gedung baru.

Kata Vecco, salah satu kordinator kami, kalau kita mau ngebedain gedung yang dibangun pada tahun 1920 s.d. 1930 itu, salah satunya bisa dilihat dari bahan konstruksinya, yaitu terbuat dari batu kali. Dan saya liat hampir semua bangunan lama di jalan ini menggunakan batu kali.

Saya juga lihat banyak bangunan vila yang sudah dialihfungsikan menjadi café, distro, atau agen travel . Tetapi kata Vecco, lebih baik dialihfungsikan sebagai sesuatu yang menghasilkan tetapi dengan tidak merubah konstruksi bangunannya, jadi bangunan itu akan tetap terawat.

Nandar-03b
Ini adalah salah satu vila yang beralih fungsi menjadi café dan distro

Nandar-04b
Vila yang
telah berganti menjadi agen tour and travel.

Setelah melewati Jl. Sultan Agung, kami semua masuk Jl. Trunojoyo. Di jalan ini banyak saya lihat vila yang sudah berubah. Menurut saya kurang indah karena tidak memakai estetika bangunan zaman dulu lagi. Orang Belanda bikin satu bangunan vila itu memperhitungkan keseimbangan dan keserasian bangunanya, tapi sekarang karena pemilikan bangunan terbagi-bagi dan selera pemilik masing-masing berbeda, maka bangunan itu jadi terlihat tidak serasi dan aneh, hehe.

Nandar-05b

Satu bangunan lama yang sekarang terbagi tiga pemilikan berbeda dan masing-masing membuat perubahan sesuai seleranya.

Oh ya, tampaknya ciri-ciri vila zaman dulu itu bangunan-bangunannnya sama, makanya di jalan ini juga masih terlihat bangunan-bangunan dengan bentuk yang sama. Bangunan di bawah ini masih mempertahankan penggunaan batu-batu hiasan dari masa lalu, sementara bagian atapnya masih kokoh dengan cat yang baru.

Nandar-06b

Kami juga menemukan bangunan vila yang unik karena tertutup oleh gedung yang dibangun di depannya, akibatnya keunikan bangunan ini tak tampak oleh orang-orang yang melewatinya. Mungkin dulu vila unik ini berhalaman luas sampai ke jalan raya. Andai bangunan di depannya tidak ada, maka akan terlihat uniknya bangunan ini. Dengan posisi berada di persimpangan, bentuk bangunan ini tampak mengikuti alur jalan, seperti melingkar.

Nandar-07b

Seorang rekan memotret bangunan unik ini dari balik pagar.

Masuk ke Jl. Bahureksa disambut oleh bangunan-bangunan yang tertata bagus. Bahkan di sini lebih banyak bangunan peninggalan lama yang masih dipertahankan.

Nandar-08b

Nandar-09b

Bangunan di Jl. Bahureksa.

Tak disangka, kami menemukan suatu bangunan yang bentuknya masih asli serta bisa berinteraksi dengan pemiliknya langsung. Bangunan ini memiliki nama Dulce Domum yang dalam bahasa Indonesia artinya “Rumah Cinta”. Romantis yah, hehehe.

Nandar-11b

Beruntung kami dapat melihat bangunan ini dari dekat.

Ada tambahan informasi dari Vecco, katanya tempat tinggal orang Belanda zaman dulu itu biasa mempunyai nama-nama. Nama yang dipasang di rumah-rumah mereka biasanya nama anak perempuan pertama. Tapi waktu saya tanyakan tentang Dulce Domum kepada pemiliknya, ternyata nama ini adalah nama tempat.

Nandar-10b   

Salut kepada pemilik Rumah Cinta ini, dia mempertahankan setiap bagian rumahnya. Terlihat dari pintu, kaca patri, dan kotak surat jadul yang masih menempel di pintunya. Pemilik Rumah Cinta ini adalah pemilik tangan ketiga. Dia ingin menjual rumah itu seraya berharap semoga pemilik berikutnya tidak mengubah bentuk aslinya.

Nandar-12b

Pintu rumah Dulce Domum.

 Nandar-13b
Ini adalah kaca patri yang masih asli dari zaman belanda

Perjalanan masih berlanjut hingga tiba di daerah Gempol. Di sini ada toko/pejual roti yang sudah lama. Kami mampir ke toko ini sebentar dan setelah itu lanjut menyusuri gang. Saya melihat sebuah rumah kecil yang bahan bangunannya sebagian besar berbahan kayu, dari bentuknya tampak seperti rumah adat Jawa. Ternyata kata Vecco, rumah ini adalah rumah buat pejabat-pejabat pribumi yang bekerja di pemerintahan pada saat itu, yaitu di Gedung Sate. Jadi bagi pegawai rendahan pribumi diberi tempat tinggal yang kecil dan terbuat dari kayu, sedangkan bagi pegawai dengan kedudukan lebih tinggi diberi tempat tinggal yang permanen dan lebih bagus.

Konon, sebelum dibikinkan rumah-rumah kecil ini, pegawai-pegawai rendahan tinggal tidak beraturan, mungkin juga dengan membangun bedeng-bedeng. Namun demi keindahan dan estetika, maka dibikinlah rumah-rumah kecil yang ditempatkan di belakang gedung-gedung para pegawai yang punya kedudukan tinggi. Dengan begitu suasana permukiman tampak lebih indah teratur, rapi, dan nyaman dihuni. Katanya, penempatan seperti ini juga biar gampang untuk memanggil para pegawai rendahan bila dibutuhkan. Makanya ada sebagian gedung yang di belakanya terdapat pintu kecil, selain buat evakuasi, pintu ini juga berfungsi buat memanggil pembantu-pembantu.

 Nandar-14b  

Kalau kita mendengar istilah pintu darurat pasti kita ingat yang adanya di gedung-gedung bertingkat. Ternyata zaman dulu juga sudah dipikirkan oleh orang-orang Belanda agar di setiap kompleks rumah itu selalu ada brandgang. Gang ini adalah jalur evakuasi bila terjadi kebakaran atau bencana alam. Ciri-cirinya umumnya di jalan seperti ini terdapat jalur air.

Nandar-15b

Kami menyusuri salah satu brandgang, ada yang masih punya jalur air, ada pula yang sudah jadi gang biasa. Salah satu brandgang di Gempol ini ternyata bisa tembus ke Jl. Banda. Ada sesuatu hal menarik yang saya temukan di Jl. Banda ini, saya melihat ada dua rumah dari zaman Belanda yang masih bagus dan di sebelahnya ada rumah dengan bentuk sama tetapi sedang dipugar. Saya lihat banyak bagian rumah ini yang dihancurkan. Perkiraan saya, rumah ini akan dibikin tempat usaha, karena tampak seperti diperluas juga lahannya.

Nandar-16b

Rumah yang masih mempertahankan kondisinya

Nandar-17b

Rumah yang sedang direnovasi  untuk penampilan baru.

Perjalanan hari ini berakhir di sebuah taman di Jl. Wira Angunangun. Kami berkumpul dan berbagi pengalaman tentang apa saja yang sudah kami lihat sejak pagi tadi. Semua mengutarakan kekaguman pada orang-orang zaman dulu yang dalam membangun rumahnya tidak hanya memperhatikan masalah keamanan dan kenyamanan, tetapi juga estetikanya diperhitungkan baik-baik.

Namun banyak juga catatan teman-teman yang menyayangkan bahwa vila-vila yang indah dan nyaman ini hanya tertinggal sedikit saja. Mungkin mahalnya pajak atau biaya perawatan bangunan-bangunan tua ini membuat banyak pemilik sekarang yang ingin menjual atau menjadikannya sebagai tempat usaha. Dalam beberapa hal mungkin pilihan merenovasi seperti yang sudah kami lihat tadi terasa lebih baik, karena bangunan aslinya masih dapat terlihat. Ya, daripada bila dihancurkan sama sekali?

Ini sajalah kisah perjalanan saya bersama @KomunitasAleut hari ini, paling tidak saya bisa menyaksikan langsung bahwa rumah yang nyaman dan indah itu tidak harus selalu mewah, yang penting adalah keserasian dengan lingkungan sekitar. Keberadaan bangunan seimbang dengan keadaan sekitarnya, kenyamanan hunian sangat diperhatikan, begitu juga keamanan dan keselamatannya. Hari ini saya sadar apa artinya masa lalu. Terima kasih banyak buat @KomunitasAleut.

Situ Cisanti; Mastaka Citarum

  Catatan Singkat Perjalanan Bersama @Komunitasaleut

Oleh :  Indra Rha

 

IMG-20131107-WA0000

Hari itu tanggal 26/10/2013 Aleut! berangkat menuju kawasan Baleendah, Ciparay, lalu menuju Pacet. Menyusuri jalanan Pacet menuju Cibeureum ini kami disuguhi pemandangan indah yang memanjakan mata. Di jalanan yang merupakan lembah pegunungan ini terhampar indah sawah-sawah dengan pola berundak-undak di bawah kaki Gunung Rakutak atau Si Rawing, menurut sebutan orang sekitar.

Melihat model sawah seperti ini mengingatkan pada persawahan di Bali. Selain sawah juga berderet undak-undakan ladang pertanian yang ditanami kentang, bawang daun, wortel, dan banyak sayuran lainnya. Di dasar lembah ini mengalir sebuah sungai yang sangat terkenal dan strategis keberadaannya sejak jaman dulu, inilah Citarum yang merupakan sungai terpanjang di Jawa Barat itu.

Perjalanan kami berlanjut menuju Situ Cisanti, suatu kawasan danau yang merupakan hulu sungai Citarum. Yaa di danau inilah sungai Citarum berasal sebelum bermuara di daerah Karawang. Memasuki kawasan Situ Cisanti yang dikelola oleh Perhutani ini, kami diharuskan membayar sebesar 5ribu rupiah pada petugas-petugas liar yang juga bertugas sebagai juru parkir, sebenarnya saya sendiri tidak tahu berapa resminya tiket untuk memasuki kawasan ini karena kami tidak mendapati petugas ataupun tiket masuk resmi setelah membayar.

Berjalan memasuki kawasan Situ Cisanti yang sejuk ini, kami disambut pohon-pohon Eukaliptus yang menjulang tinggi dengan kulitnya yang mengelupas. Turun mengikuti tangga akhirnya kami sampai di sebuah situ atau danau seluas kurang lebih 8ha dengan air yang tenang. Di sini terdapat juga sebuah dermaga kecil dan perahu. Sekeliling danau terlihat ada satu dua pemancing ikan yang sedang termangu menatap jorannya. Situ Cisanti ini memang banyak ikannya, karena selain ikan asli endemik seperti  mujaer, paray, dan bogo, juga banyak ditabur benih-benih ikan baru seperti ikan mas, nila, dan nilem oleh instansi-instansi dan pemerhati lingkungan.

IMG-20131107-WA0003

Kawasan Situ Cisanti ini awalnya hanya danau dan rawa, tapi pada tahun 2001 pemerintah mulai membenahi dan membangun parit selebar 1,5m di pinggiran seputaran kaki gunung, sebagai usaha menahan longsoran tanah yang mungkin terbawa dan akan mengakibatkan sedimentasi danau. Selain itu dibangun juga 2 buah pintu air di kiri dan kanan yang merupakan awal aliran sungai Citarum menuju perkampungan Tarumajaya tempat masyarakat sekitar menggunakannya untuk keperluan rumah tangga, pertanian, dan peternakan mereka

Situ Cisanti berada di Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasarie, Kabupaten Bandung, dan lokasinya tepat berada di kaki Gunung Wayang. Danau ini terbentuk dari beberapa mata air yang mengalir dari seputaran gunung. Ada tujuh mata air besar yang mengalir menuju danau, yaitu :

1. Mata air Cikahuripan (Pangsiraman)

2. Mata air Mastaka Citarum

3. Mata air Cihaniwung

4. Mata air Cisadane

5. Mata air Cikawedukan

6. Mata air Cikoleberes

7. Mata air Cisanti

Di mata air Cikahuripan dan Mastaka Citarum ini kita bisa melihat langsung bagaimana mata air meluap keluar dari dalam tanah, dari sela-sela pohon besar, dan dari sela-sela bebatuan. Dari dulu banyak orang sengaja datang ke sini untuk berziarah, berdoa, mandi, dan meminum air dari mata air tersebut. Kegiatan ini terutama ramai pada waktu terang bulan di Bulan Maulud. Di kawasan Situ Cisanti ini juga kita bisa mendapati suatu situs petilasan dari Dipati Ukur, seorang Wedana Bupati Priangan, berbentuk serupa makam sepanjang kurang lebih 5m.

Image_3

Setelah puas menikmati keindahan kawasan Situ Cisanti, kami ditemani Pak Atep sebagai kuncen Situ Cisanti, mendatangi sumber-sumber mata air di kaki Gunung Wayang. Sesudahnya, kami melintasi perkebunan kopi yang sedang berbuah dan beristirahat di bawah rimbunan pohon Eukaliptus sambil menyantap batagor dari seorang penjual pikulan.

Saat itu rasa lelah kami terlupakan sejenak dengan kesejukan dan keindahan Situ Cisanti. Sayangnya di sekitar terlihat agak banyak sampah yang berserakan dan coretan-coretan tangan jahil di batu dan pohon-pohon.

Sambil menikmati kopi dan susu segar dari peternakan sapi di daerah Kertasarie, saya semakin menyadari pentingnya kawasan Gunung Wayang, mata air, dan Situ Cisanti ini agar terjaga kelestariannya mengingat kawasan ini merupakan hulu sungai Citarum yang menjadi gantungan kehidupan masyarakat di sepanjang alirannya, baik untuk keperluan rumah tangga, pertanian, peternakan, atau juga industri.

Aliran Sungai Citarum ini juga merupakan sumber dari tiga PLTA besar di kawasan Jawa Barat yaitu Saguling, Cirata, dan Jatiluhur. Hasil olahannya berupa aliran listrik yang menerangi kehidupan dan aktivitas masyarakat di Pulau Jawa dan Bali. Dan yang tak kalah pentingnya, Citarum juga merupakan sumber air minum bagi masyarakat DKI Jakarta.

Entah apa jadinya nanti, jika saat ini saja aliran air dari Citarum ini sudah semakin rusak karena dijadikan pembuangan sampah, limbah rumah tangga, limbah peternakan, dan limbah industri. Seperti yang telah kawan-kawan Aleut! temukan ketika menapaki aliran sungai Citarum di kawasan Baleendah beberapa waktu lalu. Sampah dan limbah rumah tangga menyumbang sekitar 70% dari keseluruhan limbah. Diperlukan kesadaran sejak dini untuk menanggulanginya agar sungai Citarum yang indah di hulu ini tidak semakin rusak di hilir dan malah menjadi bencana bagi masyarakat dengan banjir, sampah, dan limbah yang mengakibatkan kerugian lahir dan batin.

Meskipun berbagai cara sudah dicoba oleh pemerintah untuk menghindari agar tidak terjadi bencana, namun akhirnya kitalah sebagai manusia yang harus mengerti dan beradaptasi dengan alamnya, jangan paksakan alam untuk beradaptasi dengan kita.

Image_4

Sumber foto: Dokumentasi Komunitas Aleut!

Boenga Roos dari Tjikembang

Boenga_Roos_dari_Tjikembang_cover

Papan nama itu selalu saja mengusikku, “Cikembang”.

Entah sudah berapa sering melewati lintasan jalan dengan petunjuk arah menuju Cikembang.
Tapi tentu saja plang nama seperti itu saya temukan hanya bila sedang berada di kawasan Pangalengan saja, dan pastinya berhubungan dengan perkebunan. Cikembang memang kawasan lama perkebunan kina di kaki sebelah barat Gunung Kendang.

Tapi bukan itu yang mengusikku.
Cikembang sudah cukup lama terpatri di kepalaku justru karena sebuah bacaan lama dengan judul Boenga Roos dari Tjikembang.

Saya tidak ingat persis kapan dan di mana saya tau tentang Boenga Roos dari Tjikembang, mungkin cuplikan sebuah disertasi tentang sastra Tionghoa (Sapardi Djoko Damono?) atau mungkin dari buku kajian tentang sastra Melayu-Tionghoa (Claude Salmon?), entahlah. Benar-benar lupa.

Tapi kemudian saya memang membaca cerita Boenga Roos dari Tjikembang dalam ejaan baru yang termuat dalam buku jilid kedua Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia (KPG, 2001). Cerita itu ditulis Kwee Tek Hoay dan terbit tahun 1927. Waktu itu saya penasaran betul, di mana Cikembang yang disebutkan dalam judul cerita itu.

Kemudian saya tahu, Cikembang dalam cerita Bunga Roos ternyata merupakan perkebunan karet yang terletak di perbukitan antara Gunung Salak dan Gunung Gede. Wilayahnya termasuk bagian Sukabumi. Berarti tidak ada hubungan dengan kebun kina di kaki Gunung Kendang ini.

Tapi selama menyukai kegiatan jalan-jalan, Sukabumi termasuk wilayah yang kurang sering saya jelajahi. Belum pernah rasanya tinggal cukup lama di Sukabumi agar punya waktu mengelilingi alam dan wilayah perkebunannya yang luas itu. Berbagai tempat di sana-sini tentu sudah pernah saya datangi, tapi masih belum membuat saya merasa cukup kenal Sukabumi. Suatu waktu nanti saya akan luangkan waktu tersendiri untuk Sukabumi.

Kapan mau luangkan waktu satu-dua minggu ke Sukabumi? Masih belum terjawab.
Sementara itu, plang penunjuk arah “Cikembang” saat ini berada di depan mata.
Baiklah, mari lihat ada apa di sana.

Jalanan aspal yang kurang bagus meliuk-liuk seperti menjauhi kompleks Gunung Windu-Wayang-Bedil yang terlihat utuh. Lalu sebuah lapangan. Jalan makadam. Akhirnya perbukitan dengan puing-puing bangunan tua bekas pabrik. Continue reading

Menelusuri Taman di Kota Bandung

Oleh: Arya Vidya Utama (@aryawasho)

Hari Minggu tanggal 20 Oktober 2013, Komunitas Aleut berkesempatan untuk menelusuri beberapa taman yang ada di Kota Bandung. Kegiatan ini merupakan kegiatan kedua Komunitas Aleut di pekan ke-3 bulan Oktober. Kegiatan pertama berlangsung pada tanggal 19, yaitu kegiatan Ngaleut Kampung Adat Cirendeu.

Sebagai titik awal penelusuran, kami memilih boulevard yang berada di depan Masjid Istiqamah. Boulevard di Kota Bandung belakangan ini cukup sulit ditemui setelah boulevard yang menjadi ikon Bandung di Jalan Pasteur hilang akibat pembangunan jalan layang Pasupati. Kondisi boulevard di depan Masjid Istiqamah cukup terawat, hanya sedikit sampah yang terlihat di lokasi ini. Sayangnya di lokasi ini saya tidak sempat mengambil gambar, sehingga cukup sulit untuk membuktikan persepsi saya mengenai boulevard di sini.

Masih dari boulevard ini, saya beserta Hani menjelaskan Tjitaroemplein. Di atas lahan Tjitaroemplein pernah berdiri sebuah monumen untuk memperingati percakapan pertama melalui radio telepon antara Hindia Belanda (Indonesia) dengan Belanda pada tanggal 3 Juni 1927, di stasiun pemancar Malabar.

Bentuk monumen berupa bola besar yang mengibaratkan bumi dan dua patung lelaki berhadap-hadapan tanpa busana di kedua sisinya. Ekspresi sebuah patung tampak sedang berteriak dan yang lainnya menempelkan telapak tangan di telinga. Monumen ini melambangkan jarak bumi menjadi tidak berarti lagi melalui komunikasi radio telepon.

(sumber: Tropenmuseum)

Pada tahun 1950-an, monumen ini diruntuhkan karena dianggap melanggar norma kesusilaan. Setelah monumen diruntuhkan, kemudian dibangunlah sebuah masjid di atas lahan Tjitaroemplein. Nama masjid tersebut adalah… Masjid Istiqamah.

Kemudian sebagai titik kedua penelusuran, kami mendatangi Taman Lansia. Taman ini dahulu bernama Tjilakiplein. Taman ini memiliki aliran air yang berasal dari Sungai Cikapayang. Aliran ini berada di tengah-tengah taman. Taman Lansia sendiri terbagi menjadi 2 segmen. Segmen pertama membentang dari tepi Jalan Diponegoro hingga persimpangan Jalan Cisangkuy dan Jalan Cimandiri, sedangkan segmen berikutnya membentang hingga simpang Jalan Citarum.

Di segmen pertama, terlihat terjadi banyak aktivitas. Hal ini wajar, mengingat perjalanan kami dilaksanakan pada hari Minggu yang bertepatan dengan pasar kaget mingguan. Sayangnya, pada segmen ini taman digunakan juga untuk berjualan oleh beberapa pedagang pasar kaget, sehingga kurang nyaman bagi para pejalan kaki. Bahkan di foto kedua, terlihat adanya tumpukan sampah di dekat kanal air. Cukup disayangkan.

Di segmen kedua, kondisi taman lebih kondusif dibandingkan segmen pertama. Terlihat beberapa orang bersantai di segmen ini. Selain itu, di segmen ini juga terlihat beberapa orang yang berolahraga jalan santai, mengingat aktivitas di segmen ini tidak seramai segmen pertama.

Dari Taman Lansia, kami bergerak menuju Taman Cibeunying. Taman ini diresmikan pada tanggal 6 September 1986 dengan nama “Taman PKK Cibeunying”, merupakan hasil kerja sama antara Tim Penggerak PKK Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung dengan Dharma Wanita Unit Perumtel (sekarang Telkom) Pusat. Sempat beralih fungsi menjadi Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Pertamina, pada awal tahun 2013 oleh Dinas Pertamanan dan Pemakaman fungsinya dikembalikan lagi menjadi taman.

Taman ini cukup luas. Saat kami mendatangi taman ini, terjadi banyak aktivitas. Saya melihat ada beberapa orang membawa anjing peliharaan mereka, ada yang duduk bersantai di gazebo, ada juga anak-anak yang sedang berlarian. Kondisi taman ini terbilang bersih, walapun di beberapa titik terlihat ada sampah gelas air mineral.

Luas Taman Cibeunying tidak hanya hingga tulisan “Cibeunying Park” pada foto di atas. Di belakang tulisan ini, masih terdapat taman yang juga bisa dimanfaatkan oleh banyak orang.

Menurut Kabid Taman Dinas Pertanaman dan Pemakaman (Distankam) Kota Bandung, Dadang Darmawan, pihaknya sedang menjajaki kemungkinan pemasangan wi-fi di Taman Cibeunying. Beberapa provider telekomunikasi sudah melakukan pengajuan, namun pihak Distankam masih mempelajari dan menyeleksi terlebih dahulu. Sebagai fakir koneksi wi-fi, saya sangat mengharapkan adanya koneksi internet di taman ini, hehehe.

Dari Taman Cibeunying, kami beranjak menuju Taman Cilaki. Sesuai dengan namanya, taman ini terletak di Jalan Cilaki. Mudah untuk menemui taman ini, karena taman ini terletak dekat dari SD Ciujung dan SD Priangan.

Taman Cilaki

Kondisi taman cukup terawat dan terhitung bersih, karena tidak terlihat adanya sampah yang berserakan. Dari gambar di atas, terlihat jelas bahwa Taman Cilaki digunakan sebagai tempat berolahraga karena di tengah taman terdapat lantai beton dan terdapat tiang yang posisinya berseberangan. Umumnya, tiang seperti ini digunakan sebagai tempat menggantungkan jaring, baik itu untuk bulutangkis ataupun bola voli.

Taman ini juga memiliki sebuah bale di sudut yang dekat dengan Jalan Jamuju.

Bale di Taman Cilaki

Bale ini cukup nyaman untuk berteduh dari sinar matahari, mengingat Taman Cilaki tidak terlalu rindang. Jika tertarik berkegiatan di taman ini, saya menyarankan untuk menggunakan krim tabir surya jika tidak ingin kulit menghitam.

Kemudian kami bergerak menuju Lapangan Supratman, yang terletak hanya beberapa puluh meter saja dari Taman Cilaki. Lapangan ini sudah ada sejak pembangunan ruas Jalan Supratman di jaman penjajahan Belanda.

IMG_8385

Serupa dengan Taman Cilaki, lapanganini juga berfungsi sebagai tempat berolahraga. Namun, jika kita lihat lebih seksama, taman ini lebih difungsikan sebagai lapangan sepakbola karena di kedua ujung lapangan terdapat dua buah gawang.

Pada tahun 2010, lapangan ini pernah dijadikan lokasi syuting film Obama Anak Menteng. Menurut Damien Dematra, penulis skenario dan co-sutradara film Obama Anak Menteng, lokasi ini dipilih karena dinilai memiliki kesamaan dengan Jalan Matraman, tempat Obama dulu tinggal.

Walikota Bandung saat ini, Ridwan Kamil, berencana mengubah lapangan ini menjadi sebuah lapangan sekaligus Taman Persib. Kombinasi lapangan dan taman ini akan dibuat nyaman. Taman sebagai tempat nongkrong akan difasilitasi dengan wifi. Sedangkan lapangan, selain untuk bermain bola, suatu saat pun bisa dijadikan tempat untuk menggelar nonton bareng pertandingan. Rumput di Lapangan Supratman yang terkesan tak terurus ini juga sudah direncanakan Ridwan Kamil untuk diperbaiki.

Dari Lapangan Supratman, kami beranjak menuju Taman Anggrek. Taman yang berlokasi di Jalan Anggrek ini dahulu bernama Wilhelminaplein. Taman Anggrek sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda.

Taman Anggrek

Pada saat kami berkunjung ke taman ini, kondisi taman berbeda dengan apa yang saya lihat 4 bulan yang lalu. Taman terlihat bersih dan bebas dari tuna wisma. Taman dicat warna oranye karena taman ini diperbaiki menggunakan dana CSR dari Bank Danamon. Taman ini merupakan taman bertema fotografi. Kondisi taman terhitung bersih, sampah hanya terdapat di beberapa bagian taman dalam jumlah kecil. Taman ini kini semakin nyaman digunakan anak-anak untuk bermain, seperti yang terabadikan di foto di atas.

Dari Taman Anggrek, kami bergerak menuju Taman Salam. Taman yang terletak di Jalan Salam ini tidak terlalu banyak diketahui warga Kota Bandung. Hal tersebut tercermin dari mayoritas pegiat yang baru kali itu berkunjung ke Taman Salam.

Taman Salam

Kondisi Taman Salam sangat terawat dan sangat rindang. Kondisi taman yang terawat ini menurut saya karena taman ini terletak di wilayah perumahan, sehingga ada anggaran dari setiap penghuni rumah untuk merawat taman. Taman ini juga representatif untuk digunakan sebagai ruang beraktivitas selama tidak membuat kegaduhan. Saran saya jika berkunjung ke taman ini, gunakanlah lotion anti-nyamuk karena serangan nyamuk di taman ini cukup ganas.

Masih di sekitar Jalan Salam, kami menemukan bekas menara listrik di jaman kolonial.

Para Pegiat di Depan Bekas Menara Listrik

Hal yang membuat saya cukup yakin bahwa bangunan ini adalah bekas menara listrik adalah karena saya dan Ayan (@SadnessSystem) menemukan plakat kecil yang bertuliskan GEBEO. GEBEO adalah perusahan listrik di jaman kolonial.

Plakat GEBEO di Dekat Menara Listrik Jalan Salam

Setelah dari menara listrik Jalan Salam, kami bergerak menuju titik terakhir perjalanan, yaitu Taman Cempaka.

Taman Cempaka

Sama seperti Taman Anggrek, taman ini juga diperbaiki menggunakan dana CSR dari Bank Danamon dan merupakan taman dengan tema fotografi. Taman ini sudah ada sejak jaman kolonial, dengan nama Nassauplein.

Kondisi taman dalam keadaan baik, karena baru satu bulan diperbaiki. Namun disayangkan, taman ini tidak bersih karena sampah berserakan dimana-mana, belum lagi jumlah tempat sampah kurang dan tempat sampah yang adapun penuh.

Kondisi Taman Cempaka

Sampah Berserakan di Taman Cempaka

Meskipun demikian, Taman Cempaka sangat representatif untuk digunakan sebahai tempat berkegiatan. Taman ini cukup luas, rindang, dan juga dilengkapi arena bermain anak, sehingga cocok juga untuk dijadikan tempat berekreasi keluarga.

Seperti biasa kami mengakhiri kegiatan dengan berfoto bersama.

Pegiat Komunitas Aleut Berfoto di Taman Cempaka

Ditulis juga di http://aryawasho.wordpress.com/2013/10/20/menelusuri-taman-di-kota-bandung-bagian-1/ dan http://aryawasho.wordpress.com/2013/11/06/menelusuri-taman-di-kota-bandung-bagian-2/

Mengenal Lebih Dekat 4 Monumen Sister City di Kota Bandung

Oleh: Arya Vidya Utama (@aryawasho)

Jika kita menyusuri Jalan Wastukencana sambil memperhatikan keadaan di sekitarnya, maka kita akan menemukan 3 monumen sister city yang berdiri kokoh di jalan tersebut. Mungkin tak banyak dari kita yang ngeh dengan keberadaan monumen sister city, bahkan mungkin tidak peduli dengan keberadaan monumen tersebut. Padahal, monumen-monumen itu adalah simbol kerja sama Kota Bandung dengan kota lain di beberapa bidang tertentu.

Apa Itu Sister City?

Sister City atau Kota Kembar adalah konsep penggandengan dua kota yang berbeda lokasi dan administrasi politik dengan tujuan menjalin hubungan budaya dan kotrak sosial antar penduduk. Kota kembar umumnya memiliki persamaan keadaan demografi dan masalah-masalah yang dihadapi. Konsep kota kembar bisa diumpamakan sebagai sahabat pena antara dua kota. Hubungan kota kembar sangat bermanfaat bagi program kerjasama di bidang budaya dan perdagangan [1].

Di Indonesia istilah ini digunakan oleh Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Luar Negeri adalah Sister City, dengan keluarnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 193/1652/PUOD tanggal 26 April 1993 perihal Tata Cara Pembentukan Hubungan Kerjasama Antar Kota (Sister City) dan Antar Provinsi (Sister Province) dalam dan luar negeri.Berdasarkan uraian di atas, maka skema Sister City berawal dipada tahun 1951, kemudian baru di Amerika Serikat (1956), dan kemudian Indonesia sendiri menggunakan secara formal pada tahun 1993. Meskipun sebenarnya jauh sebelum itu secara terbatas sudah dimulai di Indonesia, misalnya Pemerintah Kota Bandung dengan Braunschweig, Jerman yang menandatangani MOU kerjasama sister city pada Juni 1960, dan dengan Fort Worth, USA pada April 1990 [2].

Keuntungan Yang Didapatkan Dengan Skema Sister City

Keuntungan yang didapat dengan skema sister city antara lain [2]:

  • Kesempatan untuk tukar menukar pengetahuan dan pengalaman pengelolaan pembangunan bidang-bidang yang dikerjasamakan.
  • Mendorong tumbuhnya prakarsa dan peran aktif pemerintah daerah kota, masyarakat dan swasta.
  • Mempererat persahabatan pemerintah dan masyarakat kedua belah pihak.
  • Kesempatan untuk tukar menukar kebudayaan dalam rangka memperkaya kebudayaan daerah.

Sister City (Mitra Kota) Kota Bandung

Kota Bandung memiliki 25 sister city. Jumlah ini menempatkan Kota Bandung sebagai kota dengan jumlah sister city terbanyak nomor dua setelah Jakarta dengan total 49 sister city. Kota yang menjadi sister city Kota Bandung antara lain [3]:

  1. United States Fort Worth, Texas, United States
  2. United States Miami, Florida, United States
  3. United States Las Vegas, Nevada, United States
  4. South Africa Nelspruit, South Africa
  5. South Africa Tshwane, South Africa
  6. Malaysia Kuantan, Malaysia
  7. Malaysia Seremban, Malaysia
  8. Malaysia Petaling Jaya, Malaysia
  9. Italy Bari, Italy
  10. Austria Klagenfurt, Austria
  11. Philippines Cebu City, Philippines
  12. Germany Braunschweig, Germany
  13. Thailand Udon Thani, Thailand
  14. India Bangalore, India
  15. Indonesia Pekanbaru, Indonesia
  16. Indonesia Manado, Indonesia
  17. Slovenia Maribor, Slovenia
  18. Slovakia Topolcianky, Slovak Republic
  19. Japan Hamamatsu, Japan
  20. South Korea Suwon, South Korea
  21. China Liuzhou, China
  22. China Hangzhou, China
  23. China Yingkou, China
  24. Kazakhstan Almaty, Kazakhstan
  25. Burma Mandalay, Burma

Monumen Sister City di Kota Bandung

Dari 25 kota yang menjadi sister city, terdapat 4 monumen sister city yang menjadi simbol kerja sama Kota Bandung dengan mitra kotanya: Braunschweig, Fort Worth, Suwon, dan Liuzhou.

  • Monumen Sister City Liuzhou
(sumber: wikimapia.org)

Liuzhou merupakan sebuah kota di Cina yang terletak di bagian timur. Tepatnya di Region Otonomi Guangxi. Liuzhou terletak di aliran Sungai Liu, terletak 255 km dari Nanning, ibukota propinsi. Liuzhou terletak 3.535 km dari Beijing, 2.033 km dari Shanghai dan 727 km dari Hong Kong . Liuzhou merupakan kota pertama yang dilewati sungai Liu yang memiliki air sangat bersih. Tradisi berenang di sungai Liu menjadi tradisi bagi kota ini. Liuzhou memiliki populasi 3.758.700 jiwa (sensus 2010), dengan luas wilayahnya 18.677 km2. Kepadatan penduduk kota Liuzhou sekitar 200 jiwa/km2 [4].

Pemerintah Kota Bandung menjalin hubungan sister city (kota bersaudara) dengan dua kota dari negara RRC, yaitu Kota Liuzhou Provinsi Guang Xi dan Kota Yingkau Provinsi Lioning, ditandai penandatangan Memorandum of Understanding (MoU) di Plaza Monumen Bandung Lautan Api (BLA) atau Taman Asia-Afrika Tegallega, Kamis (21/09/2006). Penandatangan MoU, masing-masing dilakukan oleh Walikota Bandung Dada Rosada , Wakil Walikota Liuzhou, Mrs. Wen Hequn dan Wakil Walikota Yingkou, Mr. Hao Qinghui [5].

Tidak diketahui secara pasti meliputi bidang apa saja kerja sama yang dilakukan oleh pihak Liuzhou dan Yingkau dengan Kota Bandung. Satu hal lagi yang cukup menarik adalah tidak adanya monumen sister city Yingkau, padahal penandatanganan MoU Yingkau bersamaan dengan penandatanganan MoU Liuzhou.

Monumen ini dapat kita temukan di simpang Jalan Tamansari dan Jalan Wastukencana.

  • Monumen Sister City Braunschweig
(sumber: wikimapia.org)

Braunschweig adalah kota terbesar kedua di Niedersachsen, berpenduduk sekitar 250 ribu jiwa. Di Braunschweig terdapat banyak lembaga-lembaga penelitian nasional, bahkan menurut survei yang baru, daerah Braunschweig dan sekitarnya mempunyai pengeluaran per kapita terbesar untuk Eropa dalam hal penelitian. Universitas teknik tertua di Jerman juga terletak di kota ini dan Carl Friedrich Gauss juga lahir di sini. Selain itu terdapat industri automobil dan penunjangnya [6]. Braunschweig memiliki luas wilayah 192.13 km2 , dengan jumlah penduduk sebanyak 243.829 jiwa [8].

Pada tanggal 24 Mei 1960 di Museum Kota Braunschweig dalam upacara khusus diresmikan persahabatan antara kota Braunschweig dan Bandung yang ditandai dengan penandatanganan Piagam Ikatan Persahabatan Bandung – Braunschweig, dari Pihak Indonesia diwakili oleh Duta Besar RI, Dr. Zairin Zain dan dari pihak Jerman diwakili oleh Hans Gunther Weber (Direktur Kota) dan Oberburgermeister (Walikota Braunschweig) Ny. Martha Fuchs. Piagam Persahabatan itu baru disempurnakan setelah ditandatangani oleh Walikota Bandung Bapak R. Priatnakusumah disaksikan oleh 300 orang tokoh-tokoh Bandung serta utusan Braunschweig Prof. Dr. George Eckert, pada tanggal 2 Juni 1960 di Bandung [6].

Kerjasama Braunschweig ini, merupakan kerjasama yang paling lama di Indonesia. Bidang kerjasama meliputi ekonomi, sosial budaya, pendidikan, pertukaran pemuda, pelatihan, kesenian dan olahraga. Titik berat pada bidang sosial budaya, pelatihan dan pertukaran pemuda [7].

Monumen ini dapat kita temukan di simpang Jalan Riau dan Jalan Wastukencana.

  • Monumen Sister City Forth Worth
(sumber: wikimapia.org)

Fort Worth merupakan kota terbesar ke-16 di Amerika Serikat dan merupakan kota terbesar ke-5 di negara bagian Texas. Kota ini memiliki luas wilayah 904.4 km2, jumlah populasi 777.992 jiwa, dengan kepadatan 835.2/km2[9].

Berawal dari saran Prof. Dr. Ing. BJ. Habibie yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi yang juga menjabat Direktur Utama IPTN, mengharapkan untuk menjalin sister city antara Kota Bandung dengan Kota Fort Worth Texas, Amerika serikat. Dasar kerjasama mitra kota ini dilatarbelakangi oleh kerjasama IPTN dengan Pabrik Helicopter BELL. Penandatangan MoU Mitra Kota antara Kotamadya Bandung dengan Kota Fort Worth dilaksanakan pada tanggal 2 April 1990 oleh Walikota Bandung, Ateng Wahyudi, dan Walikota Fort Worth, Bob Bolen [10].

Kerjasama antara Bandung-Forth Worth meliputi bidang ekonomi, bidang pendidikan, bidang pelatihan, bidang kesenian, pertukaran pemuda dan sosial budaya [11].

Monumen ini dapat kita temukan di simpang Jalan Purnawarman dan Jalan Wastukencana.

  • Monumen Sister City Suwon
(sumber: wikimapia.org)

Suwon merupakan sebuah kota yang terletak di bagian barat dari negara Korea Selatan, tepatnya di Provinsi Gyeonggi-do, dan hanya berjarak 30 km dari Seoul.  Kota Suwon memiliki kebudayaan yang unik dan mempunyai obyek-obyek wisata yang indah. Pada tahun 2002, Kota Suwon menjadi salah satu tuan rumah diselenggarakannya turnamen akbar Piala Dunia Korea-Jepang [12]. Kota dengan luas 121.1 km2 dan jumlah populasi 1.160.062 jiwa ini merupakan salah satu kota pendidikan utama di Korea Selatan. Tercatat ada 14 universitas terdapat di kota ini [13].

Inisiatif untuk menjadi sister city berawal dari Pemerintahan Kota Suwon yang berkeinginan mengadakan kerja sama dengan Kotamadya Bandung, yang disanpaikan melalui kedutaan Besar RI di Seoul dan Dirjen HELN Departemen Luar Negeri untuk disampaikan kepada Menteri Luar Negeri RI [14]. Kerja sama antara Kota Bandung dengan Kota Suwon, Korea Selatan ditandatangani tanggal 27 Agustus 1997. Kerja sama tersebut meliputi bidang ekonomi, sosial budaya, pendidikan, kesenian dan olahraga [15].

Monumen ini dapat kita temukan di simpang Jalan Jawa dan Jalan Merdeka.

Sumber:

[1] http://kakniam.wordpress.com/2011/01/10/analisis-kegagalan-pembentukan-sister-city/

[2] http://bulletin.penataanruang.net/index.asp?mod=_fullart&idart=260

[3] http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_twin_towns_and_sister_cities_in_Indonesia

[4] http://en.wikipedia.org/wiki/Liuzhou

[5] http://www.bandung.go.id/?fa=berita.detail&id=663

[6] http://www.bandung.go.id/?fa=berita.detail&id=660

[7] http://news.detik.com/read/2008/08/22/130551/992755/486/inilah-5-kota-sister-city-kota-bandung

[8] http://en.wikipedia.org/wiki/Braunschweig

[9] http://en.wikipedia.org/wiki/Fort_Worth,_Texas

[10] http://www.bandung.go.id/?fa=berita.detail&id=661

[11] http://news.detik.com/read/2008/08/22/130551/992755/486/inilah-5-kota-sister-city-kota-bandung

[12] http://www.bandung.go.id/?fa=berita.detail&id=662

[13] http://en.wikipedia.org/wiki/Suwon

[14] http://www.bandung.go.id/?fa=berita.detail&id=662

[15] http://news.detik.com/read/2008/08/22/130551/992755/486/inilah-5-kota-sister-city-kota-bandung

Ditulis juga di http://aryawasho.wordpress.com/2013/09/12/mengenal-lebih-dekat-4-monumen-sister-city-di-kota-bandung/

Mencatat Sudut Kota: Belajar Pelayanan Publik dari Perumahan Tua

Bandung, 3 November 2013
Oleh: Atria Dewi Sartika (@atriasartika)

Setelah beberapa kali gagal ikut serta, kali ini saya kembali mengikuti kegiatan ngaleut bersama Komunitas Aleut. Kembali berjalan-jalan dan mengenal (lebih banyak lagi!) sudut kota Bandung. Benar adanya filosofi Komunitas Aleut yang kegiatannya adalah ngaleut yang berarti berjalan bersama-sama. Dengan berjalan kaki, kita akan menemukan apa yang selama ini kita lewatkan saat berkendara.

Kali ini saya berkenalan dengan beberapa jalanan yang belum pernah saya lewati, diantaranya adalah Jl. Geusanulun, Jl. Adipati Kertabumi, dan Jl. Aria Jipang. Sedangkan jalan lain seperti Jl. Trunojoyo; Jl. Maulana Yusup; dan Jl.Pangeran Kornel sudah sering saya lewati. Nah ternyata dengan menyusurinya sambil berjalan kaki, saya merasa seperti baru pertama kali melewati ketiga jalan tersebut.

Pertama kali melewati Jl. Geusanulun membuat saya sumringah. Kenapa? Karena masih banyak rumah-rumah tua di sana. Ada sejumlah rumah yang bahkan sepertinya belum mendapatkan perubahan signifikan, kecuali perubahan pada atap; kaca jendela; dan pintu. Bahkan di sini saya dan teman-teman dari Komunitas Aleut melihat sebuah rumah yang masih memiliki nama yang terpahat di dindingnya. Rumah itu bernama “Gerardine”. Orang Belanda dahulu, biasanya menamai rumah mereka dengan nama anak perempuan pertamanya. Maka asyiklah saya menduga-duga apakah benar nama anak perempuan pertama pemilik pertama rumah ini adalah “Gerardine”? Cantikkah ia? Apakah dengan menamai rumah ini ia menjadi mudah ditemukan oleh para pemujanya? Apakah jodohnya cepat datang? *efek kebanyakan baca Historical Romance*

Rumah bertuliskan "Gerardine"

Nah di Jl. Geusanulun ini, kami juga menemukan Brandgang (baca seperti berkata: “Brangghang”). Ini adalah  Brandgang pertama yang kami temui. Kenapa yang pertama? Sebab nanti  akan ada Brandgang lainnya. Totalnya ada 3 Brandgang yang saya lihat hari ini.

Setelah dari Jl. Geusanulun, saya dan teman-teman dari Komunitas Aleut menyusuri jalan menuju Jl. Maulana Yusup. Jujur saja, jalanan ini memang tidak asing bagi saya. Setiap kali melewatinya, mata saya akan langsung menangkap tulisan “Sate Maulana Yusup”. Tapi kali ini berbeda. Saya melihat sebuah bangunan besar yang menjadi rumah pertama yang menyambut kami saat memasuki jalan tersebut. Rumah ini seperti layaknya sebuah rumah tua di zaman Belanda, ia memiliki menara, dan bentuknya mengikuti lengkungan jalan. Rumah itu tergolong megah bagi saya. Apalagi tampaknya rumah itu adalah rumah yang paling besar (di zamannya!) di sepanjang Jl. Maulana Yusup tersebut. Jika melewati jalan ini dengan berkendara, maka kemungkinan besar, kita tidak akan sempat melihat baik-baik rumah ini.

Setelah itu kami melanjutkan perjalanan ke Jl. Pangeran Kornel dan segera berbelok ke Jl. Adipati Kertabumi. Kembali lagi, di jalan ini kami menemukan rumah-rumah tua. Namun kali ini kami bisa melihat keidentikan rumah-rumah di sepanjang jalan tersebut. Jika di 2 kawasan yang kami lewati sebelumnya bentuk teras rumah lebih banyak melengkung, maka kali ini kami melihat teras yang persegi (lebih mirip belah ketupat sih karena sudut runcingnya menghadap keluar).

Setelah melewati Jl. Adipati Kertabumi, kami berbelok ke kanan dan menyusuri sepotong Jl. Arya Jipa. Di sini saya melihat lagi satu Brandgang. Di sini kami juga sempat masuk ke dalam sebuah Mess TNI yang sebenarnya adalah gabungan dua rumah. Rumah di sisi kanan bertuliskan “Han-Arnold” dan rumah di sebelah kiri bertuliskan “Sonja=Bea”. Selain itu kami menemukan sebuah celah yang bertuliskan “Brieven” pada pintu rumah. Kami menduga itu merupakan celah yang berguna untuk memasukkan surat yang diterima pemilik rumah. Hari ini kami pun berkesempatan untuk masuk ke dalam rumah. Itu sebuah kesempatan yang jarang kami dapati saat ngaleut. Saat masuk ke rumah “Han-Arnold” kami mendapati bahwa sebagian besar lantai rumah masih asli yakni marmer berukuran sekitar 20cmx20cm. Ada pula satu pintu geser dan 3 kamar yang memiliki pintu penghubung dengan kamar dan ruangan lain. Jadi dalam satu kamar memiliki 2 atau 3 pintu. Saat itu, iseng kami berjalan ke belakang rumah tersebut. Tidak ada yang menarik. Namun saat salah seorang teman menaiki undakan beton, ia pun berkata bahwa ternyata Brandgang tepat berada di samping rumah ini. Sayang kondisinya sudah tidak sedap dipandang karena penuh rumput dan sampah.

Dan hari ini kompleks perumahan buatan Belanda yang terakhir kami datangi adalah yang berada di Jl. Gempol. Dari informasi yang disampaikan oleh salah seorang teman, rumah-rumah di Jl.Gempol adalah rumah-rumah yang dikhususkan bagi pribumi yang merupakan pegawai rendahan di Gedung Sate. Itulah sebabnya bangunan asli di daerah ini yang hanya tersisa sekitar 3 buah, terbuat dari kayu. Ini tentu saja berbeda dengan rumah permanen yang sedari tadi kami lihat.

Setelah mampir sebentar membeli Roti Gempol yang menurut pemiliknya sudah berdiri sejak 1958, kami pun menuju ke tempat finish yakni taman yang berada di Jl. Wirangunangun. Pada saat itu kami pun melihat rumah-rumah tua lainnya. Namun kali ini estetikanya agak kurang sedap dipandang. Di daerah tersebut, rumah yang dibangun adalah rumah “dempet” yakni dua rumah kembar yang bersebelahan dengan atap yang menyatu. Namun saat ini ada sejumlah rumah yang sudah berubah bentuknya. Jadi, di sebelah rumah tua yang seharusnya adalah bangunan rumah dengan wajah yang sama dan atap yang bersatu kini sudah memiliki pasangan yang berbeda yakni bangunan dua tingkat modern.

Nah setelah menceritakan beberapa hal yang saya lihat, saya ingin berbagi sedikit informasi yang saya temukan dalam buku “Bandung: Citra Sebuah Kota” karya Robert P.G.A Voskuil,dkk. Diceritakan bahwa pesatnya pertambahan jumlah villa atau rumah di kawasan Bandung Utara mulai terjadi di masa di tahun 1920-an. Ini ada hubungannya dengan pembuatan “Rancangan Bandung Utara” yang dibuat pada tahun 1917 yang disusul dengan “Kerangka Rencana Pengembangan Seluruh Bandung” pada tahun 1927.

Selain itu kampanye pemerintah untuk mengundang sejumlah warga Eropa khususnya para pensiunan untuk mengahbiskan masa pensiun di Bandung mulai menampakkan hasilnya. Ini karena jumlah warga Eropa di Bandung meningkat secara pesat, yakni dari 16.600 orang pada tahun 1905, menjadi 150.000 pada tahun 1927. Hal ini tentu saja menyebabkan kebutuhan untuk membangun rumah tinggal/ villa untuk warga Eropa.

Nah, jika memperhatikan rumah-rumah di kawasan lain selain Jl. Gempol, maka akan ditemukan kesamaannya yakni bangunan menggunakan batu kali di bagian pondasinya. Ini nampak di sisi bagin bawah rumah Belanda tersebut. Jadi biasanya teman-teman di Komunitas Aleut saat melihat rumah yang dibagian bawah tampak menggunakan batu kali, maka mereka akan menduga bahwa rumah tersebut dibangun di sekitar tahun 1920-1930an.

Hal menarik lainnya adalah keberadaan Brandgang dalam kawasan-kawasan yang kami lewati. Brandgang ini adalah sebuah jalur khusus yang digunakan sebagai jalur evakuasi penduduk di wilayah tersebut saat terjadi sebuah bencana seperti kebakaran. Bahkan ada yang mengatakan bahwa jalur Brandgang ini bahkan dirancang saling sambung menyambung namun terkait tujuan akhir jalurnya saya belum menemukan info apapun.

Hm…sebagai penutup, saya harus mengakui tentang kejelian pemerintah Belanda dalam mengatur kota jajahannya. Menurut buku “Zaman Baru Generasi Modernis: Sebuah Catatan Arsitektur” karya Abidin Kusno, bahwa tata kota yang mulai dibuat pada tahun 1920-an punya tujuan lain yakni untuk mengawasi warga kota. Ini dilakukan untuk mencegah berbagai pergerakan kota seperti pemogokan dan protes kaum buruh. Namun di luar itu semua, saya harus mengakui pertimbangan pemerintah Belanda yang tampaknya membuat sebuah pola baku untuk sebuah kompleks bangunan. Tampaknya keberadaan Brandgang dan taman menjadi salah satu hal wajib yang dipenuhi oleh perumahan-perumahan tersebut. Selain itu aturan bahwa bangunan baik kantor maupun rumah yang berada dibelokan jalan harus dibangun mengikuti bentuk lengkungan jalan. Ini tentu secara estetika bagus dilihat dan lebih aman karena orang akan sadar bahwa di depan mereka ada belokan jalan.

Baiklah, itu cerita saya tentang kegiatan menyusur kota yang dilakukan pada hari ini, 3 November 2013. Selamat menyusur sudut-sudut kota Bandung dan buktikan kebenaran tulisan saya (^_^)v

Tulisan ini di reblog dari http://filosofilandak.blogspot.com/2013/11/mencatat-sudut-kota-belajar-pelayanan.html

Cisanti

Situ Cisanti

Sabtu, 26/10/13 siang, rasanya danau kecil ini seperti milik sendiri.

Sungguh sepi.
Hanya sekelompok anak muda sibuk berpose dan foto-foto di atas dermaga kayu.

Sekelompok lainnya berkerumun di tepi danau dekat warung, sepertinya mereka berasal dari suatu organisasi entah apa yang menginap di pondokan milik Perhutani di dekat gerbang masuk ke danau. Waktu masuk tadi, terlihat dua pondok itu penuh perlengkapan seperti ransel dan banyak orang di dalamnya.

Satu-dua pasangan pacaran duduk-duduk mengambil spot yang paling nyaman buat mereka. Sisanya adalah para pemancing ikan yang tersebar di sekeliling danau, dan dua penjual batagor dengan perangkat pikulan di dekat pintu air.

Saat masuk memarkirkan motor, tidak ada petugas loket yang berjaga. Di parkiran, dengan sigap seorang pemuda menghampiri dan menunggui di sebelah. Setelah beres, mengunci motor, saya dengar katanya, “tujuh ribu.” Itu saja komunikasi di gerbang masuk Danau Cisanti, Desa Tarumajaya, Kecamatan Cisanti, Kabupaten Bandung.

Menuruni tangga semen ke arah danau, sempat melihat kesibukan di dua pondok yang terlewati. Sepertinya sedang ada yang bikin kegiatan kelompok di sini. Di halaman pondok, ada beberapa kerumunan mengobrol sambil minum teh atau kopi, yang turun ke area danau hanya beberapa orang saja. Continue reading

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑