Month: October 2013

Balitsa dan Marietje

Kalau bepergian ke Tangkubanparahu atau Subang dari arah Lembang, kita akan melewati sebuah kompleks bernama Balai Penelitian Tanaman Sayuran atau sering disingkat Balitsa, di sebelah kiri jalan. Kompleks ini terletak di Jalan Tangkubanparahu No.517, Lembang. Halaman kompleks sangat luas, di belakangnya terlihat ada banyak bangunan.

Balitsa-7

Sekilas dari jalan raya saja kita bisa perhatikan bahwa kompleks ini punya lingkungan yang nyaman. Halaman rumput yang luas dan bersih, mendekati jalan raya halaman ini membentuk gawir karena memang lokasinya berada agak tinggi di atas jalan raya. Udara di kawasan ini juga memang sejuk, ketinggiannya sekitar 1250 meter di atas permukaan laut.

Walaupun setiap waktu kita makan sayur, belum tentu juga kita menyadari keberadaan lembaga seperti Balitsa ini. Padahal berbagai penelitian dan percobaan dilakukan oleh lembaga ini agar dapat mengembangkan produksi sayuran dan buah-buahan sehingga pertanian dapat menghasilkan produk yang benar-benar baik untuk kita konsumsi.

Rintisan lembaga penelitian ini dimulai di bawah Balai Penelitian Teknologi Pertanian di Bogor pada masa akhir kekuasaan Hindia Belanda (1940). Tahun 1962, Balai Penelitian di Bogor itu mendirikan Kebun Percobaan Margahayu di bawah kordinasi Lembaga Penelitian Hortikultura, tempatnya di Lembang, di tengah-tengah wilayah yang sudah lama dikenal sebagai penghasil sayuran di Priangan. Continue reading

Puncak Cae

Rencana hari ini sebetulnya hanya mengunjungi Kecamatan Pacet di kaki Gunung Rakutak untuk melihat beberapa objek kegiatan swadaya masyarakat yang berkaitan dengan Ci Tarum pada hari Sabtu-Minggu (26-27 Oktober 2013) nanti. Maka dengan beberapa rekan @KomunitasAleut, pagi-pagi sekali kami sudah berada di daerah Lemburawi, Ciparay, untuk mengambil beberapa foto lingkungan sekitar.

Puncak Cae-1 Kebun

Sebelumnya di Pakutandang saya sempat berhenti sebentar di depan sebuah kampung yang pernah saya sambangi beberapa tahun lalu dalam sebuah kegiatan perekaman musik gamelan. Kampung ini dihuni oleh para penghayat aliran kebatinan”Perjalanan.” Kebetulan saya pernah berkawan baik juga dengan salah seorang pemuda pemain kendang yang mumpuni dari kampung ini. Saya membantu lawatan kelompok musiknya ke beberapa kota di Pulau Jawa dan akhirnya mengikuti Worldmusic Festival pertama di GWK, Bali.

Nostalgia “Perjalanan” itu sekejap saja, karena tidak lama kemudian saya sudah berada di Padaleman, lalu Cikoneng, Maruyung, Buntultanggol, dan akhirnya Resmitinggal, berhadapan langsung dengan gunung legendaris itu, Rakutak. Di sekitar Harempoy sempat berhenti sebentar di warung untuk minum kopi dan ngobrol dengan warga. Pemeriksaan wilayah utama memang ada di wilayah ini hingga hulu Ci Tarum.

Tapi kemudian di Cinenggelan terjadi sebuah obrolan dengan seorang pekerja ladang yang mengubah sebagian besar rencana hari ini. Mendengarkan pengalaman peladang yang kelahiran kampung sekitar Rumbia ini cukup menarik. Dia menyebutkan beberapa dano, hutan pekat, dan jalur-jalur jalan tembus ke beberapa daerah lain dari tempat kami berada. Beberapa nama yang disebutkan sangat mengundang perhatian, Monteng, Puncak Cae, dan Asrama. Continue reading

K.F. Holle dan Politik Anti Islam

Oleh : M. Ryzki Wiryawan ( @sadnesssystem )

Image

K.F. Holle

Sejarah merupakan kawasan abu-abu. Di dalamnya, penilaian terhadap sesuatu hanya bisa dilakukan lewat sudut pandang tertentu dengan konsekwensinya masing-masing. Dalam tulisan ini, saya akan membahas seorang tokoh Kontroversial bernama K.F. Holle (1829-1896) yang bagi sebagian orang merupakan “pahlawan” namun bagi sebagian lainnya merupakan musuh. Adalah cukup penting untuk memahami kedua pandangan tersebut agar sikap terhadap tokoh Holle bisa dilakukan secara lebih berhati-hati. Sebagai referensi terhadap tulisan ini, saya menggunakan  buku “Kawan dalam Pertikaian” karya Karel Steenbrink (Mizan, 1995), “Politik Islam Hindia Belanda” karya H. Aqib Suminto (LP3ES, 1985), dan De Regenten Positie karya R.A.A. Soeria Nata Atmadja (A.C. Nix, 1940).

Karel Frederik Holle tiba ke Hindia Belanda bersama kedua orang tuanya pada usia 14 tahun. Pada tahun 1846 ia mengawali karirnya sebagai pegawai kantor pemerintah hingga sepuluh tahun kemudian mengundurkan diri untuk bisa mengurus perkebunan teh “Waspada” di Garut. Holle memang berasal dari keluarga Hucht yang telah merintis usaha perkebunan di Priangan sejak tahun 1844. Holle menguasai dua lahan perkebunan di Limbangan bernama Waspada I seluas 148 bahu yang didirikan 3 Januari 1865 dan  Waspada II seluas 50 bahu yang didirikan tanggal 29 April 1868.

Tanpa pengetahuan formal, Holle berhasil mengembangkan kemampuannya di bidang perkebunan dan bidang lainnya seperti linguistik dan budaya. Perkebunannya dijadikan labotarium untuk mempelajari berbagai segi pertanian di saat yang sama ia mengembangkan kemampuannya untuk menguasai bahasa Melayu, Sunda dan Jawa. Untuk menghargai jasa-jasanya, pemerintah kolonial pada tahun 1871 mengangkatnya sebagai Penasihat Honorer untuk Urusan Pribumi. Untuk menyebarkan ide-idenya, Holle bekerja sama dengan teman setianya, Raden Muhammad Moesa, kepala pengulu Garut. Perlu diketahui bahwa posisi Penghulu saat itu diangkat oleh pemerintah kolonial dan diberi gaji tetap, sehingga pemilihan orang-orang yang menduduki posisi tersebut haruslah orang yang sejalan dengan kepentingan pemerintah kolonial.

Muhammad Moesa memulai karir kepegawaian sipilnya pada tahun 1852 sebagai akuntan pada depot garam di Garut, hingga para tahun 1855 diangkat sebagai kepala penghulu dan sejak tahun 1860 bekerja sama dengan Holle dalam berbagai kegiatan. Salah satunya dalam penyusunan berbagai brosur populer tentang pertanian. Mereka juga terlibat dalam pendirian Sekolah Guru di Bandung (Kweekschool voor Onderwijsers op Inlandsche Schoolen) pada tahun 1865. Pendirian sekolah yang hanya menerima kalangan menak (bangsawan) ini adalah salah satu usaha Holle untuk menghasilkan”kelompok pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi dan jauh dari pengaruh Islam”. Walau demikian, Kebijakan pemberian pendidikan kepada pribumi ini ditanggapi dengan sangat hati-hati oleh pemerintah karena bisa menjadi “dinamit” bagi pemerintah kolonial.

Image

R.M. Moesa

Holle bersama Holle turut menulis buku-buku bacaan yang menggunakan tulisan Sunda, yang merupakan varian artifisial dari tulisan Jawa. Usaha ini sempat mendapatkan reaksi keras. Asisten Residen Rangkasbitung misalnya, menulis bahwa tidak habis pikir mengapa “tulisan ini dipaksakan kepada penduduk pribumi”.

Alasan Holle mengembangkan aksara tersebut tidak lain untuk menyaingi tulisan Arab yang saat itu populer digunakan masyarakat. Tulisan Arab menurutnya hanya akan memperkuat pengaruh orang-orang yang fanatik agama. Holle sebagaimana Snouck Hurgronje di masa kemudian, lebih suka menggunakan cara-cara halus untuk membendung ajaran Islam karena tindakan yang terlalu masif, seperti pelaksanaan Kristenisasi justru akan menimbulkan reaksi balik yang keras dari umat Muslim.

Untuk menahan peran sosial dan politik Islam di kawasan, Pada tahun 1873 Holle bersama Moesa berangkat ke Singapura dalam misi rahasia untuk mengetahui sejauh mana upaya Islam internasional dalam mendukung perlawanan anti-Belanda di Aceh. Keterlibatan Moesa dalam hal ini tentu saja cukup mengejutkan mengingat posisi strategisnya sebagai pimpinan Islam tertinggi di daerahnya.

Sebagai penasehat Pemerintah Kolonial, Holle mengusulkan agar pemerintah mewaspadai para Haji yang telah pulang dari tanah suci. Menurutnya, para Haji membawa paham fanatisme dan ketertutupan. Holle mengusulkan agar para Haji ini tidak diberi jabatan yang lebih tinggi, mereka juga dilarang memakai pakaian Haji. Holle memuji Bupati Cilacap setelah mengetahui bahwa tidak seorang pun dari wilayahnya yang menunaikan Haji. Bupati Purwokerto juga tidak luput dari pujian berkat tindakannya melarang guru tertentu untuk memberikan pelajaran Agama. Dengan kata lain, Holle pada dasarnya menganggap para Haji dan Guru Agama sebagai bahaya terbesar yang dimiliki oleh Islam.

Di antara mereka yang paling berbahaya menurut anggapan Holle adalah mereka yang terlibat dengan perkumpulan tarekat, yang sejak tahun 1850 berhasil menarik berbagai pengikut dari jajaran kelompok sosial atas. Sejumlah Bupati dan tokoh tertentu di Jawa Barat yang terlibat tarekat tidak luput terkena serangan Holle, salah satunya penghulu Cianjur yang disebutnya “sangat fanatik dan anti-Eropa” gara-gara menolak minum anggur dalam suatu pesta yang diadakan asisten residen. Orang-orang Belanda di pesta tersebut lantas memaksa membuka mulut sang penghulu serta kemudian menuangkan anggur ke dalamnya. Sejak itu sang Penghulu Cianjur berusaha menjauhi orang-orang Eropa.

Dalam peristiwa lain, Holle melaporkan informasi yang dimuat De Javabode tanggal 29 September 1885 berjudul “Perang Sabil”, berisikan adanya rencana perampasan, pembunuhan dan perampokan terhadap orang Eropa dalam skala besar yang tengah digerakan oleh sekelompok umat Muslim. Desas-desus itu tidak pernah terjadi. Malahan koran De Javabode dibredel pemerintah pada 6 Oktober 1885 selama beberapa bulan karena dianggap membuat berita yang meresahkan masyarakat. Penelusuran Residen terhadap kasus ini berujung kepada persoalan politik, yaitu upaya R. M. Moesa yang didukung Holle untuk menempatkan anaknya yang menjadi Bupati Lebak bisa menjadi Bupati Cianjur. Juga anaknya yang termuda yang menjadi Naib di Wanareja agar menjadi kepala Penghulu di Cianjur. Si bungsu ini mendapati keterbatasan karir mengingat cacat fisik dan mental yang dideritanya setelah terjatuh dari kuda pada usia 12 tahun.

Demikian secuplik kiprah K.F. Holle dalam rangka membendung ajaran Islam, yang kemudian langkahnya dilanjutkan oleh Snouck Hurgronje. Seperti halnya Holle yang bermitra dengan M. Moesa, Snouck juga menggunakan peran penghulu dalam melaksanakan misinya. Tapi itu lain cerita. Intinya, kita harus lebih arif dalam menilai atau menyikapi seorang tokoh kolonial. Salam Sadness!~

Image

Kunjungan Singkat ke Kampung Adat Cireundeu

Hari ini (19 Oktober 2013) senang sekali berkesempatan melaksanakan salah satu rencana lama bersama @KomunitasAleut, yaitu berkunjung ke Kampung Adat Cireundeu di Cimahi.

Seminggu lalu, dua rekan @KomunitasAleut, Tony dan Yudhis, sudah melakukan pendahuluan mendatangi kampung itu dan mendapatkan izin untuk kunjungan pada hari Sabtu, 19 Oktober 2013 ini.

Pagi ini di Taman Otten, sebrang RSHS, sudah siap beberapa motor untuk menuju Cireundeu.
Kami mengambil jalan pintas melalui Gunungbatu dan sekitar 45 menit kemudian kami sudah berada di gerbang masuk kampung.

Awalnya agak heran karena perkampungan dengan jalan2 utama berupa jalan gang yang di semen ini sama sekali tak menampakkan suasana perkampungan tradisional. Hampir semua bangunan yang ada adalah bangunan permanen dan modern.

Keterangannya akan kami dapatkan kemudian dari Kang Jajat, salah satu warga yang seharian ini akan menemani seluruh perjalanan kami di Cireundeu. Begitu masuk ke sebuah lapangan olahraga tempat kami parkir motor, langsung terlihat bangunan utama di kampung ini, yaitu Bale Saresehan. Di sebrang bale sedang ada kegiatan pembangunan sebuah panggung permanen untuk kegiatan warga. Di sini kami diterima oleh Kang Jajat. Continue reading

Braga Sebagai Kawasan Wisata Kota Tua di Bandung

Braga 1937 (3)

Jalan Braga sebagai salah satu tujuan wisata di Kota Bandung tampaknya semakin populer belakangan ini. Di banyak situs internet berupa weblog dapat dengan mudah kita temui tulisan-tulisan ringan mengenai ruas jalan yang panjangnya hanya sekitar setengah kilometer ini. Kebanyakan tulisannya bercerita tentang kesan para penulisnya berjalan-jalan di kawasan Braga. Sebagian lain sedikit lebih serius dengan menyampaikan juga data-data sejarah yang berkaitan dengan perkembangan modern Jalan Braga sejak akhir abad ke-19 hingga saat ini.

Minat utama para penulis blog yang sempat mengunjungi Jalan Braga ini adalah suasana tempo dulu yang masih dapat terlihat dari sebagian kecil bangunan yang berjajar di sepanjang Jalan Braga. Tak sedikit dari mereka membawa peralatan seperti kamera foto atau perekam video untuk mengabadikan berbagai obyek yang menarik perhatian. Kadang di lokasi atau gedung tertentu para pengunjung terlihat sampai memperhatikan berbagai detail yang masih tersisa. Untuk diketahui, para penulis blog ini tak sedikit yang berasal dari luar kota, termasuk dari luar negeri.

Yang juga cukup menarik adalah fenomena banyaknya kelompok remaja yang mengunjungi Jalan Braga terutama pada akhir minggu dan hari-hari libur. Sejak pagi hingga menjelang malam, berbagai kelompok remaja tampak silih berganti berjalan-jalan atau berfoto bersama di sudut-sudut jalan Braga. Obyek foto paling populer tentunya gedung-gedung tua peninggalan masa kolonial yang sebagian tampak masih kokoh berdiri dan menyisakan keindahan masa lalunya. Tak jarang pula bisa kita saksikan berbagai kegiatan pemotretan untuk keperluan fashion atau pernikahan, dan bahkan untuk pembuatan film, dilakukan di sepanjang Jalan Braga dengan latar gedung-gedung tuanya. Continue reading

Pacet

COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Rijstterrassen_in_de_omgeving_van_Patjet_TMnr_60016823

Salah satu uwak saya sudah sangat lama tinggal di Majalaya, dari tahun 1950-an. Dia bekerja sebagai mantri gigi di Rumah Sakit Majalaya. Dulu rumah tinggal uwak adalah rumah dinas rumah sakit yang terletak di halaman belakang. Rumah bergaya kolonial yang dikelilingi halaman rumput yang luas. Di belakang rumah juga ada halaman rumput luas dan sebuah kolam. Bila keluarga besar berkumpul, biasanya kami gelar tikar di situ makan siang bersama. Di dekat kolam ada menara besi tinggi yang di puncaknya terdapat penampungan air. Anak-anak senang memanjati menara itu.

Selain menara, kami juga senang memanjati pohon jambu batu yang batangnya meliuk-liuk sehingga bisa kami duduki. Dari atas pohon terlihat bentangan sawah di balik pagar semak yang membatasi halaman rumah dengan sawah. Di kejauhan membayang jajaran pergunungan, katanya di sana ada satu tempat yang sangat sejuk, nama daerahnya terdengar aneh, Pacet.

2013-08-25 08-10-21-110

Belasan tahun kemudian saya benar-benar punya kesempatan menginjakkan kaki ke Pacet. Saat itu saya sudah punya tambahan sedikit informasi tentang Pacet dan kawasan sekitarnya. Kali pertama menuju Pacet, saya dibuat kagum sepanjang perjalanan mulai dari arah Ciparay. Jalanan terus menanjak dengan pemandangan persawahan yang bertingkat-tingkat di kiri-kanan jalan.

Di lembah sebelah kiri, mengalir sungai Ci Tarum yang penuh dengan sebaran batuan berukuran besar. Di sebelah kanan jalan pemandangan terisi oleh jajaran perbukitan yang termasuk kawasan Arjasari. Pada masa Hindia Belanda, di Arjasari terdapat perkebunan teh yang cukup luas yang dikelola oleh salah satu perintis Preangerplanters, Rudolf A. Kerkhoven (1820-1890). Continue reading

Panenjoan di Cihanjuang

Cihanjuang 1b

The other good walk is to follow the line of the Lembang Fault ridge as far as you can.  One of the easiest ways to reach this line of hills, is to continue along this road for about 7 km until you see the Advent College on your right.

Immediately opposite the main entrance is a turning left leading straight to the ridge. Park your vehicle where the road cuts the ridge (there is a small kampung at the top) and begin walking. The track to the right (heading west) does not go far, but ends in one of the most spectacular views in the Bandung area.

Walk along the track for a few hundred meters, across across the small bridge before climbing up a track to the highest point, passing through flowers, citrus, etc., and you will be on top of a deep gorge cut through the hills by a tiny silver streak of river 300 meters below.

You cannot continue further (unless you have wings) so you must return to the rocky road.

(Catatan Richard & Sheila Bennett dalam Bandung and Beyond, 1980) Continue reading

Rel Kereta Api memiliki Arti

Oleh: Alek alias @A13Xtriple

Semenjak suka ikut-ikutan jalan-jalan dengan @KomunitasAleut, saya jadi terpacu dan senang memperhatikan detail setiap benda, terutama benda-benda lama yang memiliki nilai sejarah. Benda-benda tersebut tak lagi hanya menjadi benda mati tanpa arti, namun memiliki cerita di dalamnya. Dalam beberapa minggu di akhir bulan September dan awal bulan Oktober 2013 @KomunitasAleut mengadakan rangkaian perjalanan yang juga berhubungan dengan sejarah perkembangan kereta api di Bandung dan wilayah sekitarnya.

Pada tanggal 21 September 2013 saya mengikuti survey untuk kegiatan reguler @KomunitasAleut, rutenya mulai dari Lapangan Sidolig (Stadion Persib), Kosambi, hingga Parapatan Lima, di rute ini kami melewati pintu perlintasan Kereta Api Kosambi. Pada pintu perlintasan tersebut ada sebuah pos penjaga yang halamannya dipagari menggunakan bilah rel kereta api bekas yang dicat dengan warna biru dan putih. Saya perhatikan pada bilah rel itu terukir tulisan nama dengan deretan angka. Pada pagar rel di pos perlintasan ini dapat kita temukan beberapa rel yang bertuliskan KRUPP 1883 dan KRUPP 1890. Tulisan yang serupa juga ditemukan pada potongan rel kereta yang digunakan sebagai tiang net lapangan volleyball di dekat bekas stasiun kereta api Soreang (KRUPP 1890). Yang terakhir ini adalah bagian dari kegiatan @KomunitasAleut menyusuri jalur rel kereta api Soreang-Banjaran pada tanggal 28 September 2013.

Dalam penyusuran itu, kami melewati daerah Citaliktik di sisi jalan raya Soreang-Banjaran. Di situ kami menemukan bekas rel kereta api yang menggantung di atas tanah. Saat saya perhatikan, terdapat tulisan CARNEGIE USA 1919 SS. Tulisan serupa juga ditemukan pada pagar pos perlintasan kereta api di Kosambi dalam kegiatan Jelajah Kawasan Kosambi pada tanggal 6 Oktober 2013, tulisannya CARNEGIE USA 1920 SS.

Saya juga menemukan tulisan CARNEGIE USA 1921 SS di sisa rel dekat bekas stasiun kereta api Cikajang (+1246m), Garut. Yang ini saya dapatkan saat mengikuti kegiatan Jelajah Kawasan Perkebunan di Priangan, tanggal 12-14 Oktober 2013. Pada sekitar daerah bekas stasiun kereta api Cikajang, Garut, ini juga ditemukan tiang dari bekas rel kereta api yang bertuliskan KRUPP 1890.

Perkembangan dan masuknya jalur-jalur kereta api khususnya di daerah Bandung dan Priangan lagi-lagi tidak bisa dilepaskan dari sumbangsih perkebunan-perkebunan di tanah Priangan. Beberapa tahun setelah keluarnya Undang-Undang Agraria (1870), daerah Priangan menjadi terbuka bagi para pemilik modal yang ingin membuka dan menanamkan modal mereka di sektor perkebunan swasta di Hindia. Hal ini tentu saja memacu laju pertumbuhan jumlah perkebunan. Priangan di masa itu memiliki sebanyak 150 perkebunan atau 80% dari jumlah total perkebunan di seluruh Hindia Belanda. Pada tahun 1902, di Hindia Belanda terdapat 100 pekebunan teh, 81 perkebunan terletak di Priangan. Sedangkan perkebunan kina ketika itu berjumlah 80 perkebunan, dan 60 di antaranya terletak di Priangan. Kebanyakan perkebunan-perkebunan tersebut berada di kawasan pergunungan Priangan.

Tentu bisa dibayangkan sumbangsih sektor perkebunan Priangan bagi pemasukkan pemerintah Belanda. Sebagai gambaran besarnya sumbangan sektor perkebunan Priangan, hasil ekspor produk perkebunan kina Priangan pada tahun 1939 sebanyak 12.391 ton atau 90% dari seluruh produksi kina dunia. Karena besarnya sumbangan sektor perkebunan daerah Priangan dengan produk-produk ekspor unggulan di pasar dunia seperti teh, kopi, kina, dan karet, tak heran bila daerah ini mendapatkan prioritas untuk pembukaan jalur kereta api. Jalur kereta api ini tentu saja untuk mempermudah, memperlancar dan mempercepat pergerakan barang dan modal di daerah ini.

Memang sebelumnya sudah ada jalur jalan Onderneming yang dibangun pemerintah Hindia sebagai sarana transportasi hasil-hasil bumi dari program Tanam Paksa atau Cultuurstelsel. Salah satu hasil Revolusi Industri adalah penemuan kereta api uap yang membuat sistem transportasi menjadi lebih cepat dan efisien. Akhirnya Bandung mendapatkan akses jalur kereta api pada tahun 1884, lalu Bandung-Ciwidey, dan jalur kereta api ke Cikajang pada tahun 1890. Jalur ke daerah Bandung selain memudahkan pengangkutan hasil-hasil perkebunan, juga dalam rencana jangka panjang adalah sebagai sarana pendukung pemekaran Gemeente Bandoeng pada tahun 1919.

Jalur kereta api ke Ciwidey dibangun juga untuk memfasilitasi transportasi hasil perkebunan di daerah pedalaman (hinterland), tempat perkebunan-perkebunan besar seperti N.V. Assam Thee Onderneming Malabar (milik Preangerplanter K.A.R. Bosscha), atau perkebunan teh “Gamboeng” dan “Ardjasari” milik sepupu K.A.R Bosscha, Ir. Rudolf Eduard Kerkhoven. Di Cikajang, Garut, ada perkebunan teh Waspada (Bellevue) milik K.F. Holle atau perkebunan karet Boenisari Lendra, dll.

Masa jaya perkebunan kolonial sudah berlalu, banyak lintasan kereta api saat ini sudah tidak lagi beroperasi. Banyak juga artefak sejarah kereta api yang tertinggal dan masih dapat ditemukan, misalnya bilah-bilah rel seperti yang sudah diceritakan di atas. Bilah-bilah rel termasuk yang masih mudah dan banyak ditemukan di sekitar jalur mati atau di pos-pos perlintasan seperti di Kosambi itu.

Lalu apa makna nama Krupp atau Carnegie yang tercetak pada bilah-bilah rel itu?

Krupp adalah nama pabrik pembuat rel tersebut, sedangkan 1883 adalah angka tahun pembuatan rel tersebut. Tahun yang sangat menarik karena bertepatan dengan meletusnya Gunung Krakatau. Krupp adalah perusahaan baja Jerman yang terkenal memproduksi seamless railway tires atau roda (rel) kereta api tanpa sambungan yang terkenal anti retak. Rel buatan Krupp sangat terkenal walaupun harganya tinggi. Kualitasnya sangat baik. Rel Krupp juga digunakan pada jaringan rel kereta api di Amerika Serikat sejak sebelum Perang Sipil, karena pada saat itu pabrik-pabrik di Amerika Serikat belum mampu memproduksi baja dalam kapasitas besar dan dengan kualitas yang sebaik itu.

Dari 100.000 ton jalur kereta yang digunakan di Amerka Serikat pada tahun 1869, hanya 5000 ton berasal dari pabrik-pabrik baja di Amerika, sisanya diproduksi oleh parik baja di Sheffield, Inggris, dan oleh pabrik Krupp, Jerman. Pemasukan pabrik baja Krupp pada tahun 1860-an, 92% diperoleh dari penjualan di luar negeri/ekspor. Tak heran jika jalur rel kereta api di Hindia Belanda, khususnya di Priangan, juga menggunakan rel dari Krupp.

Produk rel ini dikembangkan oleh Alfred Krupp (1812-1887), anak pendiri pabrik baja Krupp, Friedrich Krupp. Alfred harus berhenti sekolah pada usia 14 tahun untuk melanjutkan operasi pabrik baja Krupp setelah Friedrich meninggal pada tahun 1824. Alfred mengembangkan teknik cast steel pada tahun 1841 yang kemudian dia patenkan. Teknik ini sebelumnya dikenal hanya dikuasai oleh perusahaan-perusahaan baja di Inggiris, khususnya di perusahaan–perusahaan baja di daerah Sheffield.

Kemajuan produksi pabrik baja Krupp juga diuntungkan ketika Napoleon melakukan blokade laut terhadap Inggris. Sehingga Krupp menjadi pemasok baja utama di Eropa. Alfred mengembangkan perusahaannya dengan membeli peleburan-peleburan baja, tambang-tambang besi, dan membeli cadangan biji besi. Pada tahun 1858, Krupp membuat senjata ketika memperoleh kontrak dari Kerajaan Prusia.

Seperti sebagian Preangerplanters, Krupp juga sangat peduli pada kesejahteraan karyawannya. Krupp menyediakan perumahan bagi para pekerjanya atau bagi para pensiunan dari pabriknya. Krupp menyediakan asrama bagi pegawainya yang masih lajang, asuransi kesehatan, program tunjangan pensiun, koperasi, dan sekolah teknik untuk memperoleh tenaga kerja yang terampil.

Lalu ada CARNEGIE. Carnegie adalah nama perusahaan pembuat rel tersebut, USA adalah negara asal perusahaan, 1920 angka tahun pembuatan, sedangkan SS adalah singkatan dari Statspoorwagen/Perusahaan Kereta Api Negara. Statspoorwegen adalah perusahaan yang menjadi operator untuk transportasi kereta api di wilayah Priangan. Kantor pusat SS berada di Bandung pada tempat yang dulunya merupakan Grand National Hotel. Yang menarik adalah membahas perusahaan pembuat rel kereta api tersebut, Carnegie Steel Company.

Perusahaan ini didirikan tahun 1892 oleh Andrew Carnegie. Ia meraih sukses dengan menciptakan metode peleburan baja yang efisien dan menghasilkan baja dengan kualitas yang baik. Pada tahun 1900-an, produksi baja Amerika Serikat melampaui produksi baja Inggris, dan sebagian besar produksi tersebut berasal dari pabrik yang dimiliki oleh Andrew Carnegie. Pada tahun tahun 1901 Andrew Carnegie menjual perusahaannya senilai $480 juta, untuk kemudian menjadi perusahaan baja “US Steel”. Dari uang tersebut, Carnegie membuat donasi untuk berbagai kegiatan amal, perpustakaan, lembaga-lembaga ilmu pengetahuan, sekolah, universitas, hingga menyumbang bagi pembangunan Hooker Telescope di Observatorium Mount Wilson. Mirip dengan sifat dermawan K.A.R. Bosscha, pemilik perkebunan Malabar di Pangalengan, Bandung.

Dari kedua potongan rel kereta api tadi, dapat pula kita menyimpulkan perkembangan perusahan baja dunia. Bahwa sebelum tahun 1900, produksi baja dunia dikuasai oleh produk-produk baja dari Inggris (Sheffield) dan Eropa (Krupp). Baru setelah Perang Sipil Amerika, produksi baja negara tersebut mengalami kemajuan yang memuncak pada awal tahun 1900. Saat itu produksi baja Amerika Serikat dapat melampaui produksi baja Inggris.

Copy of SAM_1313

Copy of SAM_1309

Copy of SAM_1921

Copy of SAM_1919

Copy of SAM_1830

SAM_1815

Anda Kerkhoven: dari Bandung menjadi “Pahlawan Perempuan di Groningen”

Oleh: Alek alias @A13Xtriple

Cerita ini adalah tentang Anda Kerkhoven atau lengkapnya, Melisande Tatiana Marie Kerkhoven. Anda adalah anak ke 6 dari 8 bersaudara pasangan Ir. Adriaan Rudolph Willem (ARW) Kerkhoven (1868-1944) dengan Constanze Pauline Marie Bosscha (1885-1961). Constanze adalah keponakan K.AR. Bosscha, pemilik perkebunan teh Malabar.

Pasangan Adriaan dan Constanze menikah di Bandung, pada tanggal 22 Februari 1905. Dari perkawinan ini lahirlah:

  1. Adriaan Paul (penerima medali Broonze Cross atas aksi heroiknya pada PD II sebagai pilot pesawat tempur)
  2. Eduard Julius
  3. Joan Julian (tewas di kamp interniran di Fukuoka, Jepang, 24 Desember 1943. Sisa jasadnya di makamkan di pemakaman Menteng Pulo, Jakarta)
  4. Diana Arabella
  5. Carmen Mercedes
  6. Melisande Tatiana
  7. Rudolph Hector, dan
  8. Merlin Alexis Kerkhoven.

Image

Anda Kerkhoven lahir di St. Cloud, Perancis, pada 10 April 1919. Lalu dibawa ayahnya yang pada rapat umum pemegang saham tanggal 9 April 1929, ditugaskan menjadi komisaris utama perkebunan N.V. Assam Thee Onderneming Malabar. Perusahaan perkebunan besar itu baru saja ditinggalkan pengelolanya yang legendaris, K.A.R. Bosscha yang baru wafat pada 26 November 1928.

Pada saat A.R.W. Kerkhoven menjabat  sebagai Komisaris Utama di Perkebunan Malabar, Anda tinggal di perkebunan Panoembang, dan menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Kristen Lyceum, Dago, Bandung, pada tahun 1937.

Sejak SMA, Anda dikenal sebagai pribadi yang kuat dan teguh memegang prinsip. Badannya kecil, namun tak pernah terlihat lelah atau sakit. Kulitnya putih dan parasnya seperti orang Cina, sehingga teman-teman sekolahnya menjuluki Anda dengan sebutan “Eskimo”. Hal ini dapat dimengerti karena dalam tubuh Anda mengalir darah keturunan Cina dari neneknya (ibunda A.R.W. Kerkhoven adalah Goey La Nio, seorang nyai dari Eduard Julius Kerkhoven pemilik perkebunan teh Sinagar, Sukabumi).

Anda dikenal sebagai seorang Kristen yang taat, vegetarian garis keras yang bahkan menyentuh telur pun tidak, dan sorang yang penuh kasih sayang. Dia bahkan  menentang pembedahan pada makhluk hidup (vivisection). Anda yang sedang menempuh pendidikan di Sekolah Kedokteran di Batavia kesulitan menghadapi masalah yang satu ini. Akhirnya dia memutuskan untuk keluar dari sekolah dan mencari gantinya di Belanda. Sebuah sekolah di Groningen, Belanda, ternyata dapat menerima keberatan Anda tentang vivisection, Anda pun bergabung dengan sekolah ini pada tahun 1938.

Dua tahun Anda berada di Negeri Belanda, Nazi menguasai Belanda. Kehidupan Anda yang sebelumnya damai berubah menjadi kehidupan dalam rezim yang penuh dengan tekanan, penderitaaan tanpa kebebasan apapun. Hingga ke makanan pun dijatah dengan menggunakan kupon. Pada saat ini Anda yang sangat penuh kasih sayang terhadap sesama, ingin membantu orang-orang yang hidup dalam kesulitan.

Seperti mahasiswa-mahasiswa lainnya, Anda bergabung dengan organisasi-organisasi perlawanan bawah tanah. Semasa kuliah Anda bergabung dengan Sociaal Democratische Studenten Club. Kemudian juga dengan organisasi L.O. dan sebuah kelompok yang bernama De Groot.

Kegiatan kelompok ini seperti juga kegiatan organisasai-organisasi perlawanan bawah tanah, bersifat sangat rahasia dan tertutup, tiap-tiap anggota memegang teguh sifat kerahasiaan kelompok ini, rata-rata anggota tidak saling mengenal, dan mengadakan pertemuan di tempat-tempat yang tak biasa. Semua ini demi menghindari penangkapan oleh Sicherheitsdienst (SD)/Polisi Rahasia Nazi yang di bantu organisasi orang Belanda simpatisan Nazi/NSB.

Aktivitas kelompok perlawanan ini adalah melakukan sabotase-sabotase, menyerang transportasi pada saat pemindahan tahanan untuk membebaskan mereka, menggalang dana untuk menyuap pejabat-pejabat Nazi dengan tujuan membebaskan para tahanan, memalsukan berbagai dokumen, dari surat keterangan hingga ke pemalsuan kupo-kupon jatah makanan, menyediakan tempat persembunyian, dan menyediakan kebutuhan mereka-mereka yang dicari-cari oleh pihak Nazi.

Walaupun kegiatan-kegiatan kelompok ini penuh dengan resiko, dari mulai di tangkap, dipenjarakan, dibuang, hingga diekseskusi mati, Anda Kerkhoven tanpa gentar terlibat aktif di dalamnya.

Nazi melakukan berbagai cara untuk menemukan para anggota organisasi perlawanan-perlawanan tersebut. Mulai dari menyebar mata-mata melalui organisasi NSB (orang2 Belanda yang pro Nazi) hingga melakukan trik-trik jebakan, seperti dengan mengirimkan mata-mata yang menyamar sebagai pilot tentara sekutu yang pesawatnya jatuh di sekitar Belanda, dan membutuhkan pertolongan untuk menghindari penangkapan Nazi.

 Image

Patung kepala Anda Kerkhoven hasil rancangan seniman Belanda, Sebastiaan (Bas) Galis. Patung ini sekarang berada di Afrika Selatan.

Anda Kerkhoven akhirnya tertangkap juga pada tanggal 27 Desember 1944, di rumah kerabatnya, pasangan Karel dan Else Hendriks, ketika pulang sehabis mengatarkan sebuah keluarga Yahudi ke tempat persembunyiannya. Sebelum tertangkap Anda berhasil memusnahkan daftar-daftar nama orang-orang yang membutuhkan pertolongan dengan cara memakannya.

Anda ditahan di tempat yang dinamakan Het Scholtenhuis. Dalam rumah tahanan ini, Anda mengalami berbagai siksaan, mulai dari dipukul menggunakan pentungan karet, hingga dimasukan ke dalam bak mandi yang dialiri listrik. Anda tetap tak mau memberikan informasi-informasi yang diinginkan oleh pihak Nazi, “Kalian semua tetap akan memancung kepala saya, jika saya bicara!” ujar Anda dalam suatu proses interogasi.  “Kamu pasti akan di pancung, tapi sebelumya kamu pasti akan bicara,” ujar para interogator memberi tekanan pada Anda.

Pernah suatu ketika Anda mengeluhkan kamar tahanannya yang dingin, mereka malah dengan sengaja memberikannya kamar tahanan di bagian rumah yang paling dingin. Anda harus tinggal di dalam kamar tahanan tersebut tanpa menggunakan alas kaki. Para penahan mengetahui bahwa Anda yang berasal dari daerah tropis tidak akan kuat dengan siksaan tersebut.

Namun Anda bertahan melewati berbagai siksaan dalam tahanan. Anda masih sanggup untuk selalu menyemangati dan menghibur tahan-tahanan lainnya. “Sungguh wanita yang luar biasa, dia mampu mengatasi apa yang sebagian pria tak mampu melaluinya,” ujar kesaksian salah satu teman sesama tahanan. Sekali waktu, Anda mencoba bunuh diri dengan cara melompat dari atap rumah tahanan tersebut, namun ajaibnya dia jatuh dengan posisi berdiri tanpa luka sedikitpun.

Akhirnya pada saat tentara Sekutu melakukan operasi ke Normandy, sebelum mereka melancarkan Operasi Market Garden untuk membebaskan Belanda, pihak Nazi yang sudah terdesak dan dalam persiapan mundur meninggalkan wilayah negara Belanda. Mereka berusaha menghilangkan segala jejak kejahatan mereka, bahkan dengan membakar semua bangunan dalam area seluas 4000 ha di derah Polder Dam Johannes Kerkhoven.

Dalam suasana penuh kegelisahan bagi pihak Nazi yang mulai mengalami kekalahan, Anda akhirnya diekseskusi mati pada tanggal 19 Maret 1945. Malam itu Anda dibawa dari rumah tahanan Het Scholtenhuis. Dengan mata ditutup, Anda bersama seorang tahanan laki-laki anggota pejuang perlawanan, Gerrit J. Boekhoven, digiring ke kawasan di sebelah selatan Groningen, sekitar perbatasan daerah Harenermolen-Glimmen (Oosterbroekweg).

Di tepian jalan tersebut, Anda Kerkhoven dieksekusi dengan cara ditembak di belakang kepala dari jarak dekat. Anda dikuburkan dalam satu lobang dengan Boekhoven yang juga dieksekusi pada saat yang sama. Liang kubur tersebut baru ditemukan setelah pasukan sekutu membebaskan Belanda bagian utara pada 16-19 April 1945, sekitar satu bulan sejak eksekusi Anda.

Bulan Juni 1945, atas petunjuk salah dua orang eksekutor anggota NSB yang tertangkap, liang tersebut dapat ditemukan. Jenazah Anda kemudian dipindahkan ke permakaman di Noorderbegraafplaats, Groningen, pada tanggal 23 Agustus 1945. Banyak sekali pelayat yang hadir. Semua tahu, Anda Kerkhoven adalah seorang perempuan berani yang banyak memberikan pertolongan bagi sesama warga kota yang membutuhkan. Karena itu warga kota menjuluki Anda Kerkhoven sebagai “Pahlawan Perempuan dari Groningen”.

Seluruh rangkaian upacara dan semua kebutuhan pembiayaan permakaman ini ditanggung sepenuhnya secara pribadi oleh seorang detektif bernama Jan Kerkhof. Dia juga secara tegas menolak keinginan keluarga Anda Kerkhoven untuk mengganti seluruh biaya yang telah dikeluarkannya.

 Image

Makam pertama di Groningen (1945-1967) hasil rancangan Bas Galis.

Sebagai epitaph, pada nisan Anda dituliskan puisi yang ditulisnya pada hari Natal 1943, “Baiklah kita timbang lagi dalam terang terakhir potongan sisa lilin kita, niat Kristus yang berani bertahan menghadapi semua dan segala sesuatu” dan “Tidak ada satu tujuan apapun yang dapat membenarkan kekejaman atau ketidakadilan berlangsung. Kita harus mampu melangkah terus mengikuti jalan kita sendiri, tanpa panduan apapun kecuali hati nurani kita sendiri.

Pada tahun 1967, atas persetujuan kerabat dan keluarganya yang masih hidup, makam Anda Kerkhoven dipindahkan ke Ereveld Loenen di sebelah utara kota Arnhem. Pada tahun 2003, beberapa kenangan tentang Anda Kerkhoven dibuat di Rijks Universiteit, Groningen, di antaranya lukisan karya Johan Djikstra, sebuah prasasti tentang korban2 PD II bersama Anda, sebuah serial perangko, dan sebuah prasasti kenangan untuk Anda di Haren. Nama Anda juga diabadikan menjadi nama sebuah asteroid yang ditemukan oleh E.W. Elst melalui European Southern Observatory pada 18 November 1990, “15735 Andakerkhoven.”

Image

Prasasti berisi nama Anda Kerkhoven di gerbang Universitas Groningen.

Image

Prasasti bagi Anda Kerkhoven didirikan juga di Haren.

Demikian ringkasan kisah hidup Anda Kerkhoven, salah seorang anggota klan Preangerplanters yang ternama “van der Hucht, Holle, Kerkhoven, & Bosscha” dan yang juga pernah berjejak di Bandung.

——————————————-

 

Cerita ini aslinya ditulis oleh Prof. Dr. Ir. Constant L.M. Kerkhoven, lalu dirapikan oleh Vincent J.J. Kerkhoven, dan dimuat dalam situs http://www.andakerkhoven.nl/

 Foto-foto diambil dari situs yang sama, http://www.andakerkhoven.nl/

Kunjungan Singkat ke Kampung Adat Cireundeu

Oleh: @mooibandoeng

Hari ini (19 Oktober 2013), senang sekali berkesempatan melaksanakan salah satu rencana lama bersama @KomunitasAleut, yaitu berkunjung ke Kampung Adat Cireundeu di Cimahi.

Seminggu lalu, dua rekan @KomunitasAleut, Tony dan Yudhis, sudah melakukan pendahuluan mendatangi kampung itu dan mendapatkan izin untuk kunjungan pada hari Sabtu, 19 Oktober 2013 ini.

Pagi ini di Taman Otten, sebrang RSHS, sudah siap beberapa motor untuk menuju Cireundeu. Kami mengambil jalan pintas melalui Gunungbatu dan sekitar 45 menit kemudian kami sudah berada di gerbang masuk kampung.

Awalnya agak heran karena perkampungan dengan jalan2 utama berupa jalan gang yang di semen ini sama sekali tak menampakkan suasana perkampungan tradisional. Hampir semua bangunan yang ada adalah bangunan permanen dan modern.

Keterangannya akan kami dapatkan kemudian dari Kang Jajat, salah satu warga yang seharian ini akan menemani seluruh perjalanan kami di Cireundeu. Begitu masuk ke sebuah lapangan olahraga tempat kami parkir motor, langsung terlihat bangunan utama di kampung ini, yaitu Bale Saresehan. Di sebrang bale sedang ada kegiatan pembangunan sebuah panggung permanen untuk kegiatan warga. Di sini kami diterima oleh Kang Jajat.

Dari obrolan dengan Kang Jajat kami dapatkan bahwa rupanya adat di Cireundeu tidak terlalu ketat dalam hal penampakan fisik, mereka membolehkan banyak hal mengikuti perkembangan zaman, rumah modern, pakaian, kendaraan bermotor, atau gadget modern, samasekali tidak dimasalahkan. Namun dalam hal bermasyarakat, masih diberlakukan aturan2 adat secara turun temurun. Cara hidup ini bertolak dari filosofi hidup bermasyarakat di sini, yaitu Ngindung ka waktu, mibapa ka jaman.

Image

Bale Saresehan Kampung Adat Cireundeu.

Untuk berbagai aturan adat ini, tak ada bahan tertulis yang dapat dijadikan acuan, semua berlangsung dan diturunkan secara lisan antarpemuka-adat. Berbagai masalah dalam hubungan kemasyarakatan selalu dirundingkan di Bale Saresehan ini.

Aturan adat yang masih dipegang teguh tentu bukanlah hal dapat langsung terlihat oleh mata. Orang luar perlu tinggal beberapa lama agar dapat mengalami keberadaan aturan2 ini.

Lalu, selain aturan adat, apa lagi yang menarik dari kampung ini? Pemandangan dan suasana kampung yang sangat biasa dan mirip dengan kampung2 modern lainnya tentu memunculkan pertanyaan ini.

21 Februari 2005 terjadi sebuah peristiwa mengejutkan di kawasan Leuwigajah, Cimahi. Sebuah ledakan besar terjadi di lokasi pembuangan sampah yang timbunannya mencapai jutaan meter kubik. Ketinggian timbunan sampah sampai 30 meter. Akibat ledakan terjadi longsoran dahsyat yang menimpa permukiman di sekitarnya, paling tidak 81 rumah tertimbun dan 139 jiwa manusia menjadi korban oleh longsoran itu. Kerusakan terbanyak terjadi di Kampung Cilimus, Desa Batujajar (sekarang Kab. Bandung Barat) dan di Kelurahan Leuwigajah, Kota Cimahi. Konon peristiwa ini menjadi tragedi sampah terburuk nomor dua di dunia setelah kejadian serupa di Filipina pada tahun 2000.

Keramaian peliputan tragedi inilah yang kemudian membawa sejumlah wartawan menemukan keberadaan sekelompok warga di dekat lokasi bencana yang secara tradisional mengonsumsi singkong sebagai makanan pokoknya. Kemudian diketahui kelompok warga ini berasal dari sebuah kampung yang masih kuat mempertahankan adat-istiadat lama mereka, yaitu Cireundeu. Sejak itu kampung unik ini sering menjadi pemberitaan.

Kampung adat Cireundeu diyakini didirikan oleh seorang tokoh yang bernama Haji Ali. Makam tokoh ini masih dapat ditemukan di halaman belakang perkampungan ini. Menurut cerita Kang Jajat, Pada tahun 1918 Haji Ali menyarankan agar warga kampung mulai mencoba makanan lain sebagai pengganti beras sehubungan dengan krisis pangan saat itu. Kemudian tahun 1924, Ibu Omah Hasmanah (menantu Haji Ali), menemukan dan merintis pemanfaatan singkong sebagai bahan makanan utama dan sejak itulah warga Kampung Cireundeu mulai menjadikan singkong sebagai makanan pokok mereka.

Image     Image

Penampakan rasi mentah dan yang sudah ditanak.

Singkong diolah secara tradisional menjadi aci (sagu) yang biasanya mereka jual dan beras nasi atau rasi. Rasi sebetulnya adalah ampas hasil penggilingan singkong untuk membuat aci, ampas ini dijemur lalu dijadikan bahan pangan utama seperti beras bagi kelompok masyarakat lain. Semua bahan lauk dan sayur bisa saja serupa dengan yang kita ketahui sehari-hari, yang membedakan warga Cireundeu adalah rasi sebagai pengganti nasi.

Setiap kepala keluarga di Cireundeu memiliki lahan singkong dengan luas berbeda-beda. Selain ditanam untuk keperluan sendiri, warga juga memiliki lahan garapan bersama untuk keperluan kampung atau dibagi antarsesama penggarap. Pola penanaman diatur berdasarkan jeda waktu, agar panen singkong dapat berlangsung terus tanpa terputus sehingga kebutuhan makanan pokok dapat selalu terpenuhi.

Image

Pergunungan yang mengelilingi kampung Cireundeu. Di kejauhan sebelah kiriadalah Gunung Kunci, agak di bawahnya Pasir Panji, dan yang terdekat di sebelah kanan adalah Gunung Gajahlangu dengan hutan larangannya.

Lahan singkong dengan mudah ditemui di kawasan pinggiran kampung hingga ke lereng2 gunung yang mengelilingi, yaitu Gunung Cimenteng, Gunung Kunci, dan Gunung Gajahlangu. Yang terakhir ini sekaligus berfungsi sebagai hutan larangan bagi adat Kampung Cireundeu. Tidak sembarang orang atau sembarang waktu bisa memasuki hutan ini. Hutan kecil ini menjadi penyangga utama lingkungan hidup warga Kampung Cireundeu. Kebutuhan air utama di kampung ini juga didapatkan dari mata air di lereng gunung Gajahlangu selain dari beberapa mata air lain di gunung sekitar kampung.

Kembali ke Haji Ali, beliau sempat bertemu dengan pendiri ajaran Sunda Wiwitan (dulu sering disebut Agama Jawa-Sunda), Haji Madrais, di Cigugur, Kuningan. Ajaran Madrais melalui Haji Ali ini yang masih dipegang teguh oleh warga kampung Cireundeu sampai sekarang.

Minimal dalam satu kunjungan singkat kemarin, sudah ada beberapa hal unik yang kami dapatkan dari Kampung Adat Cireundeu. Adat-istiadat, makanan pokok, dan sistem kepercayaan. Tapi buat sementara, ini dulu yang saya catatkan.

#InfoAleut
Minggu, 20 Okt 2013, Mari melihat kita akan liat kondisi beberapa taman yang ada di Kota Bandung, baik itu taman peninggalan jaman kolonial ataupun taman yang baru. Selain taman, kita juga akan lihat kondisi beberapa bekas kawasan villa jaman kolonial. Jangan lupa pake Pin Aleut temana-teman, bawa catatan, alat tulis dan kamera ya. Kumpul di TAMAN MESJID ISTIQAMAH pukul 7:30. Konfirmasi kehadiran 081221619800 (Arya). Ayoo mengapresiasi kota

NB : Untuk tema-teman ingin ikutan kegiatan Aleut, bisa daftar ditempat kok

de Koning der Thee (Sang Raja Teh)

Oleh: Alek alias @A13Xtriple

Tanah Priangan yang subur melahirkan banyak Preangerplanters yang kaya raya: Suiker Lords, Thee Jonkers, Koffie Baronnen, Kina Boeren, dan Tabaks Boeren. Boeren dalam bahasa Belanda berarti petani, namun boeren di sini tentunya bukan petani biasa melainkan petani kaya raya. Begitu pun dengan planters yang berarti pemilik perkebunan, mereka bergelimang harta.

Ada 8 keluarga planters yang termashur di Priangan: Van Der Hucht, De Kerkhovens, De Holles, Van Motmans, De Bosscha’s, Families Mundt, Denninghofs Stelling, Van Heeckeren van Walien. Dari 8 keluarga tadi, tiga diantaranya tercatat sebagai yang pertama mendirikan sekolah bagi anak-anak keluarga pekerja dan masyarakat di sekitar perkebunanya. Mereka adalah Keluarga Holle, Kerkhoven, dan Bosscha. Bosscha menguasai perkebunan teh “Malabar” di Pangalengan, Holle dan Kerkhoven memiliki beberapa perkebunan, di antaranya di Garut dan Sukabumi.

Upaya budidaya teh di Priangan mengalami kemajuan setelah didatangkan bibit teh unggulan dari  daerah Assam di India pada tahun 1878. Bibit-bibit teh tersebut tumbuh dan dikembangkan di perkebunan Parakan Salak dan Sinagar di daerah Sukabumi oleh Adriaan Walraven Holle, Albert Holle, dan Eduard Julius Kerkhoven. Lalu di perkebunan Gambung dan Arjasari oleh Ir. Rudolf Eduard Kerkhoven.

Di awal abad XX kualitas teh dari P. Jawa adalah yang terbaik mutunya di seluruh dunia, ini berkat jasa para Preangerplanters yang mengembangkannya. Teh menjadi komoditas eksport unggulan yang mendatangkan banyak keutungan besar dan tentu saja uang. Dengan uang, para pemilik perkebunan mampu melakukan apa saja, di antaranya ada yang lebih memilih untuk mendermakan sebagian hartanya bagi kemakmuran rakyat banyak. Seperti K.F. Holle pemilik perkebunan teh Waspada di Garut, yang mendirikan Kweekschool (Sakola Radja), yang bangunannya sekarang digunakan sebagai Mapolwiltabes Bandung. Holle juga menerbitkan buku-buku pelajaran berbahasa Sunda. Tak heran karena aktivitasnya tersebut K.F. Holle diangkat sebagai Penasihat Urusan Dalam Negeri Hindia Belanda. Bila di daerah sekitar Garut kita mengenal K.F. Holle, untuk daerah di sekitaran Bandung, tentu kita sudah tidak asing dengan nama Bosscha.

Image

Karel Albert Rudolf Bosscha (Gravenhage, 15-5-1865 – Pangalengan, 26-11-1928) adalah putra dari  pasangan Johannes Bosscha Jr., seorang ahli fisika, dengan Paulina Emilia Kerkhoven (anak dari Anna Jacob Kerkhoven terlahir dari keluarga Van der Hucht). Dari garis ibu, Ru Bosscha, demikian ia biasa dipanggil, adalah saudara sepupu dari Ir. Rudolf Eduard Kerkhoven (Ru Kerkhoven) pemilik perkebunan teh Assam Gambung dan Arjasari. Paman Ru Bosscha adalah Eduard Kerkhoven pemilik perkebunan teh Sinagar, selama 6 bulan setelah tiba di Hinda 1887, Ru Bosscha bekerja di perkebunan tersebut. Karena kurang menyenangi pekerjaan tersebut, Ru Bosscha bergabung degan kakaknya yang geolog, Jan Bosscha, di Borneo dalam kegiatan eksplorasi emas di daerah Sambas hingga tahun 1892. Pada tahun 1892, Ru Bosscha kembali ke perkebunan Sinagar dan bekerja hingga tahun 1895 sebagai Administrator.

Tahun 1895, Ru Bosscha merintis berdirinya Preanger Telefoon Maatschappij, yang diambil alih pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1908. Kesuksesan Ru Bosscha datang ketika dia memiliki Perkebunan Teh Malabar sejak tahun 1896, atas dukungan keuangan dari R.E. Kerkhoven dan S.J.W. van Buuren. Berdasarkan pengamatannya, iklim daerah Pangalengan tempat perkebunan tehnya berada sangat mirip dengan daerah kaki pegunungan Himalaya di India. Ru Bosscha berkeyakinan bahwa daerah tersebut sangat cocok ditanami teh. Keyakinannya tersebut terbayar setelah dalam 10 tahun dari awal masa reklamasi, perkebunan N.V. Assam Tea Company ‘Malabar’ berhasil membayar deviden 80%. Perkebunan tersebut terus berkembang hingga luasnya lebih dari 1000Ha. Perkebunan Teh Malabar menjadi contoh bagi seluruh perkebunan teh di Hindia Belanda, karena tak pernah gagal dalam penerapan teknologi dalam bidang eksplorasi, eksploitasi, dan penanaman. Degan penggunaan teknologi tepat guna, Thee Onderneming “Malabar” menghasilkan laba terbesar di seluruh Hindia Belanda saat itu. Tak heran Ru Bosscha di juluki “de Koning der Thee atau Sang Raja Teh.

Dari kesuksesan finansialnya itu, Ru Bosscha, memberikan banyak sumbangsih bagi perkembangan masyarkat Bandung. Ru Bosscha adalah salah satu Preangerplanter yang pertama mendirikan sekolah untuk anak-anak keluarga pekerja perkebunan dan masyarakat sekitarnya. Ru Bosscha, mendirikan dan mendesain sendiri dam dan pembangkit listrik tenaga air dari sungai Tjilaki untuk tenaga listrik bagi perkebunannya sekaligus juga supply bagi listrik kota Bandung.

Keberhasilan Ru Bosscha dalam mengembangkan teh di perkebunannya mengantarkan dirinya terpilih menjadi Ketua “Perhimpunan Pengusah Perkebunan Teh” dari tahun 1910-1923. Dia juga mendirikan dan memimpin “Balai Penyelidikan Tanaman Teh” di Pangalengan dari  tahun 1917-1920 kemudian dari tahun 1922-1923. Keberhasilannya sebagai pengusaha perkebunan teh mengantarkan dirinya ikut mendirikan dan juga duduk sebagai komisaris di banyak perkebunan teh di Priangan diantaranya: Wanasoeka, Taloen, Sitiardja, Raja Mandala, Arjuna, Papandajan, Sindangwangi, dan Bukit Lawang.

Image

Sebagi pengusaha yang sukses, dia juga ikut mempromosikan dan mendirikan banyak perusahaan seperti : de Nederlandsch-Indische Escompto Mij., de Bandoengse Electriciteits Mij (Perusahaan Listrik Bandung), Technisch Bureau Soenda (Biro Teknik Sunda), de D.E.N.I.S.-hypotheekbank, de N.V. Eerste Ned.-Ind. Ziekten en Ongevallen Verzekering Mij., E.NI.ZOM (perusahaan asuransi jiwa dan kesehatan) di Batavia, de theezaadtuin ‘Selecta’ (kebun bibit teh), het Houtindustrie-Syndicaat (Sindikasi Industri Perkayuan), de Automobiel Import Mij. (perusahaan importir mobil), de Kistenfabriek, dan banyak perusahan lainnya.

Keberhasilan Ru Bosscha dalam mengembangkan perkebunanya tak lepas dari penerapaan ilmu pengetahuan dalam usahanya, seperti penggunaan tenaga air untuk pembangkit listrik bagi perkebunannya. Ru Bosscha juga merintis penggunaan ukuran/skala metrik (Metrisch Stelsel) di perkebunannya. Dia mengganti ukuran luas seperti “Bahu” (7096m2) menjadi Hektar. Jarak yang semula diukur menggunakan “Pal” (1 pal kurang lebih sama dengan 1.5 km) diganti menggunakan patokan Kilometer.

Dari keuntungan perkebunanya tersebut Ru Bosscha ikut menyumbang bagi pendirian lembaga-lembaga seperti mendirikan dan mensponsori bursa tahunan Jaarbeurs, menjadi donatur tetap untuk lembaga Bala Keselamatan (Leger de Heils), Lembaga Tuli Bisu (Doofstommen Instituut), mendirikan Lembaga Kanker(Kanker Instituut) dengan menyumbangkan 250gr Radium bromide. Dia juga membiayai perawatan pasien di panti perawatan lepra di Plantungan, Jawa Tengah. Bosscha menyumbang pula bagi pendirian komplek permukiman pensiunan KNIL di Bandung yang dikenal sebagai komplek Bronbeek. Dia ikut mendirikan dan duduk sebagai President Curator (Dewan Penyantun) Technische Hogeschool Bandung (sekarang ITB) hingga wafatnya di tahun 1928. Di perguraan tinggi teknik pertama di Hindia Belanda ini Ru Bosscha menyumbang Laboratorium Fisika. Plakat sumbangan tersebut masih terdapat di dinding gedung Laboratorium Fisika.

Image

Ketertarikan Ru Bosscha terhadap ilmu pengetahuan mungkin karena dalam darahnya mengalir darah ilmuwan dari garis keturunan ayah. Ayahnya, Johaness Bosscha Jr adalah seorang ahli fisika, sedang kakeknya Prof. Dr. J. Bosscha adalah yang merancang dan mengusulkan pendirian peneropongan bintang di Universitas Leidse di Belanda. Mengikuti jejak kakeknya Ru Bosscha dan sepupunya Ru Kerkhoven berinisiatif mendirikan peneropongan bintang (Sterrenwacht) modern pertama di Hindia Belanda. Pada Oktober 1922 pembangunan dimulai di atas tanah sumbangan dari keluarga peternak sapi di Lembang, Ursone Familie, dan diresmikan pada tanggal 1 Januari 1923. Pada tahun 1928 peneropongan ini resmi dinamakan Bosscha-Sterrenwacht sebagai penghargaan atas sumbangsihnya selama ini.

Atas perhatiannya yang besar bagi kemajuan masyarakat Bandung, Ru Bosscha mendapat beberapa penghargaan, di antaranya diangkat sebagai anggota Volksraad di Batavia, menjadi Ketua kehormataan seumur hidup lembaga Bandoeng Vooruit, dan penghargaan sebagai “Warga Utama Kota Bandung” (1921). Upacara penganugerahan gelar tersebut disertai upacara besar-besaran di Balai Kota oleh Gemeente Bandoeng. Ru Bosscha bahkan mungkin satu-satunya orang di Hindia Belanda yang pada masa hidupnya didirikan 6 buah monumen peringatan bagi jasa-jasanya. Sebuah jalan di bagian utara Bandung juga mengabadikan namanya, Jalan Bosscha.

Mungkin tanpa sifat kedermawanan Bosscha kita tidak akan memiliki peneropongan bintang, sekolah tinggi teknik terbaik, hingga ke perusahaan teh terbaik di Indonesia saat ini.

 Image

*disarikan dari: “Semerbak Bunga di Bandung Raya” (Haryoto Kunto)

Biografi singkat pada penjelasan koleksi Foto Tropen Museum

Tiang Gantung Bale Bandung

Oleh: @A13Xtriple

Alun-alun biasanya menandakan lokasi ibukota sebuah kerajaan atau kabupaten (bahkan ada juga hingga tingkat kawedanaan atau kecamatan). Sebagai pusat kota, Alun-alun mempunyai fungsi sebagai pusat kegiatan administratif dan sosial-kultural khususnya bagi masyarakat pribumi. Sebagai lahan terbuka (plein) di tengah ibukota, Alun-alun sering dipergunakan untuk berbagai acara. Banyak kegiatan dilaksanakan di Alun-alun, dari mulai gelar pasukan kerajaan, acara keagamaan, untuk menyampaikan pengumuman-pengumuman penting, hingga ke pelaksanaan hukuman mati (hukuman gantung). Begitupun halnya dengan di Alun-alun Bandung dahulu.

Dalam buku Pak Kunto, “Semerbak Bunga di Bandung Raya”, ada cerita mengenai Mas Alimu yang menggelapkan kiriman kopi dari gudang kopi (koffiepakhuis) milik Andries de Wilde, yang seharusnya dikirimkan ke Cikao di Purwakarta, malah dilarikannya dan kemudian dijual ke orang Inggris di Cirebon. Konon, Mas Alimu melakukannya sebagai bentuk perlawanan terhadap keserakahan monopoli kebijakan pemerintah Belanda melalui Cultuurstelsel. Mas Alimu ditangkap, lalu diadili di Bale Bandung yang terletak di pojok tenggara Alun-alun. Ia dikenai hukuman mati dengan cara digantung di atas sebuah panggung kayu tempat tiang gantungan berada. Lokasi pelaksanaan hukuman gantung ini terletak di depan bekas Bioskop Dian sekarang ini. Dalam pelaksanaan hukuman gantung itu, daftar kejahatan  atau daftar dosa terhukum akan dituliskan pada selembar kertas yang kemudian dikalungkan di leher sang terhukum.

Tempat mengadili Mas Alimu yang disebut Bale Bandung ini dulu berada di pojok tenggara Alun-alun. Di depan Bale Bandung terletak sebuah panggung kayu dengan tiang untuk pelaksanaan hukuman mati. Bangunan Bale Bandung serupa bangsal dengan tiang-tiang besar yang menyangga atap bersusun, lantainya ditinggikan dua atau tiga kaki dari atas tanah. Bale Bandung ini biasa digunakan sebagai tempat bersidang, rapat, atau menerima tamu bagi Patih dan Jaksa. Tempat tinggal Patih saat itu berada di luar kompleks benteng Pendopo, lokasinya berada di daerah yang dinamakan Kepatihan sekarang ini. Di sebelah timur Alun-alun ada bangunan lain, yaitu rumah gedong tempat tinggal putra sulung Bupati. Di lokasi ini kelak akan hadir kompleks bioskop Oriental, Varia, dan Elita.

Siapakah Mas Alimu? Ternyata terhukum mati ini adalah seorang jurutulis di koffiepakhuis, dia membelot dan berkomplot dengan Mandor Padati dalam perbuatannya. Mas Alimu tidak terima keserakahan Belanda dalam monopoli perdagangan kopi, karena itu ia membawa lari hasil panenan saat itu. Dari sebuah jalan kecil yang saat itu disebut Jalan Pedati (Karrenweg, atau kelak akan dikenal dengan nama Jl. Braga), Mas Alimu mengangkut curiannya menuju Grootepostweg ke arah Sumedang.

Malangnya, Mas Alimu berhasil ditangkap oleh Juragan Skaut (Schout) saat berada di daerah Cadas Pangeran. Mas Alimu digiring kembali ke Bandung, lalu diadili dan dijatuhi hukuman mati dengan cara digantung. Hukuman gantung ini dilakukan di depan Bale Bandung dengan disaksikan oleh orang banyak. Banyak warga Bandung yang dalam waktu lama mengenang peristiwa ini, ungkapan populer dalam bahasa Sunda untuk peristiwa itu: “Gantung Alimu, sorolok Mandor Padati!” Menurut Pak Kunto, kisah “Gantung Alimu, sorolok mandor padati” ini diceritakan pula di majalah Sunda, Mangle, No.939 (1984).

Tiang gantung di depan Bale Bandung ini juga pernah dipakai untuk menghukum mati komplotan perusuh “Huru-hara Munada” yang membakar Pasar Ciguriang di sekitar daerah Kepatihan. Kejadian ini berlangsung pada masa Bupati R.A. Wiranatakusumah III.

Ternyata salah satu pemanfaatan kawasan Alun-alun Bandung tempo dulu adalah juga sebagai tempat eksekusi hukuman mati. Tempat pelaksanaan hukuman mati lainnya adalah Lapang Tegallega. Hukuman mati dilaksanakan di Alun-alun agar disaksikan oleh orang banyak, sehingga menimbulkan efek jera dan agar tidak ada yang berani berbuat hal yang sama.

Pada koleksi foto milik Rijk Museum, Belanda, terdapat foto pelaksanaan hukuman gantung di sebuah tempat di Bekasi yang dilaksanakan bagi para pelaku sebuah kejahatan pembunuhan. Di Batavia, pelaksanaan hukuman gantung dilaksanakan di depan Balaikota yang sekarang menjadi Museum Sejarah Jakarta. Salah sorang yang pernah dieksekusi gantung di tempat tersebut adalah Bang Puase, yang membunuh Nyai Dasima, atas suruhan Samiun, suami Nyai Dasima.

Karena tidak ada rekaman foto proses penggantungan Mas Alimu di depan Bale Bandung, jadi ini foto ilustrasi saja dari eksekusi hukuman gantung di Tambun, Bekasi, tahun 1870. Foto dibuat oleh Woodbury and Page dan diambil dari website Rijk Museum dengan nomor kode RP-F-F01220-T.

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑