Month: September 2013

Sepetik Kisah Teh di Priangan

Oleh : M. Ryzki Wiryawan @sadnesssystem

Dapatkah anda membayangkan hubungan antara wanita-wanita cantik yang hingga saat ini menjadi ciri khas Bandung dengan sejarah teh di Priangan ? Tahukah anda apabila negeriini bisa merdeka karena teh ?  Tampaknya kita menganggap remeh hubungan antara sejarah teh di Priangan dengan kehidupan kita saat ini. Peninggalan kejayaan teh Priangan tidak hanya terlihat dari hamparan permadani hijau perkebunan teh yang masih mewarnai kawasan Priangan saat ini.  Teh adalah komoditas yang merubah sejarah Indonesia (Hindia Belanda pada masa lalu). Wah mulai lebay nih…  

Sejarah masuknya teh di Priangan udah dimulai dari zaman VOC alias Kompeni.Saat itu teh sebagai komoditas dagangan sudah dibawa oleh para pedagang Tionghoa asal Kanton dan Fokien yang berlabuh di Batavia. Seperti diketahui, orang-orang China sudah memiliki tradisi meminum teh sejak ribuan tahun lalu. Orang – orang Belanda di Hindia Belanda sendiri diketahui memiliki tradisi minum teh yang biasanya dilakukan saat sarapan pagi.

Penanaman pohon teh pertama di tanah Jawa sendiri tidak dapat dipastikan. Namun pada tahun 1691 Dr. Valentijn, seorang sejarawan terkemuka, menemukan sepucuk tanaman ini di kebun milik Gubernur Jenderal  J. Champhuis yang terletak di NieuwPoort Batavia. “…allerlei zeldzame gewasschen,jonge thee boomkens nit China als aalbessen boomkens…”, ujarnya yang berarti “ Terdapat tiga jenis tanaman langka, pohon teh muda asal China setinggi pohon kismis”. Sejak penyebutan oleh Valentijn tersebut, cukup lama waktu yang dibutuhkan bagi pemerintah kolonial untuk memberi perhatian lebih pada tanaman teh.

Dalam satu surat tertanggal 15 Maret 1728 yang dikirimkan kepada Kompeni oleh salah seorang direkturnya di Belanda, tercatat usulan untuk memulai perdagangan dan penanaman komoditas teh di Jawa, mengingat orang-orang Eropa lainnya terbukti telah berhasil mendapatkan keuntungan besar lewat perdagangan komoditas ini di China. Usulan ini dilanjutkan dengan surat selanjutnya yang dikirimkan pada bulan Desember tahun yang sama, berisikan iming-iming hadiah kepada kompeni untuk setiap pon teh yang berhasil diproduksi di pulau Jawa. Namun mengingat keadaan Kompeni yang lagi sakratul maut saat itu, usaha pembudidayaan teh di pulau Jawa tidak sempat dilakukan.

Pasca kematian VOC, Pemerintah Kolonial mulai melanjutkan upaya serius untuk merintis penanaman teh di pulau Jawa. Pada tahun 1920, pemerintah menyewa jasa seorang Botanis Perancis bernama Diard, yang dibayar sebesar 300 fl./tahun (cukup tinggi untuk ukuran zaman itu), untuk mengembangkan tanaman-tanaman yang memiliki potensi ekonomi, salah satunya teh. Namun upaya itu tidak berjalan mulus, beberapa kali upaya pengiriman  bibit teh dari China oleh Diard pada tahun 1822, 1823, dan 1824 hanya berbuah kegagalan. Tanaman teh yang dibawanya mati di perjalanan. Singkat cerita, pada tahun 1825, muncul inisiatif dari Dr. Von Siebold untuk mengambil bibit  dari perkebunan teh yang berhasil didirikan EIC (semacam Kompeni-nya Inggris) di daerah Assam, India. Bibit tanaman teh tersebut langsung ditanam di Kebun Botani Bogor setahun kemudian. Sebagian dikirimkan ke daerah Limbangan,Garut untuk dibudidayakan oleh seorang Inggris bernama Kent.

Pada bulan Juli 1927, sudah berhasil dikembangkan sebanyak 1.500 tanaman teh di Bogor dan Limbangan. Melihat keberhasilan tersebut, Tidak lama kemudian Komisaris Jendral Hindia Belanda du Bus Gesegnies pada tanggal 27 September 1827 mendatangkan seorang ahli teh dari NHM (Nederlandse Handel Matschappij), Jacobus Isidorus Loudewijk Levian  Jacobson, untuk diangkat sebagai pemimpin upaya pembudidayaan teh di Jawa dengan gaji sebesar 10.000 Fl. / tahun. Dalam upayanya guna bisa menghasilkan tanaman teh terbaik, Jacobson melakukan beberapa perjalanan ke China antara tahun 1828-33.

Jacobson menemukan bahwa penanaman bibit-bibit teh terbaik yang dibawanya dari China terkendala oleh ketiadaan pengelola perkebunan teh yang handal di Jawa. Untuk mengatasi masalah tersebut Jacobson “mengimpor” seorang penanam teh beserta empat pembuat teh dan tujuh artisan (ahli teh) langsung dari China pada tahun 1832. Pada awalnya pengembangan budidaya teh mengalami peningkatan pesat, namun lama kelamaan pemerintah merasa keuntungan yang dihasilkan tidak sebanding dengan pengeluarannya sehingga lambat laun melepas monopoli pengelolaan perkebunan teh kepada swasta. Perkebunan teh terakhir yang dimiliki pemerintah,Jatinangor dan Cikajang – pun dilepas pada tahun 1865.

Perkembangan perkebunan teh kembali mengalami kemajuan terutama setelah benih teh China mulai digantikan oleh bibit teh Hibrida asal Assam India yang didatangkan A.W. Holle dari Assam, Jaipur, Bazaloni dan Manipur India tahun 1878. Bibit teh Assam tersebut dibudidayakan oleh R.E. Kerkhoven di Gamboeng. Teh yang ditanam dikawasan Priangan ini memiliki rasa yang khas dibanding teh dari negara lainnya.

The flavour of Java tea, which seems more to depend on altitude than localconditions or soil, etc., whilst lacking the strength of the Indian teas or thesoftness of some of the China ” chops,” is delicately fine, and apurer or more wholesome tea is not to be found anywhere. (DonaldMaclaine Campbell, 1915)


Berbeda dengan tanaman kopi yang menimbulkan mimpi buruk bagi warga Priangan. Teh merupakan “mimpi yang lebih baik” karena pengelolannya yang dilakukan oleh swasta.  Orang-orang swasta atau partikulir ini lebih manusiawi dalam memperlakukan bangsa pribumi dibandingkan pengelola perkebunan kopi yang dimonopoli pemerintah beserta jajarannya. Apabila pembudidayaan kopi dilakukan lewat metode “tanam paksa”, pembudidayaan teh dilakukan secara sukarela oleh masyarakat di Priangan, yang mula-mula dilakukan di halaman rumahnya untuk kemudian disetorkan kepada pengusaha perkebunan.

Pada tahun 1870, perkebunan teh swasta mulai membagikan bibit tanaman teh kepada rakyat di desa-desa terdekat. Desa-desa penghasil teh ini lantas dikenal sebagai “kampoeng daoen” (Ponder, 1934).  Ini menjadi awal bagi penanaman teh rakyat diJawa Barat.

Kampung Petani Teh

Kampung Petani Teh

Didukung oleh UU Agraria tahun 1870 yang memungkinkan pemilikan lahan secara perorangan, petani teh lokal mulai leluasa mengembangkan pertanian yang tadinya hanya dilakukan di halaman rumah menjadi perkebunan yang lebih luas. Terjadi hubungan simbiosis antara petani teh dengan pengolah daun teh. Para petani menjual pucuk teh kepada pabrik teh terdekat. Hampir setiap perkebunan swasta memiliki pabrik teh sendiri.

Para pemilik perkebunan teh di Priangan dengan julukannya sebagai “PreangerPlanters” berhasil meraup kekayaan yang luar biasa dari komoditas teh. Sebagai gambaran, Sir Walter Kinloch yang mengunjungi perkebunan milik Mr.Brumsteede di Tjembooliyut (Cimbeuleuit) pada tahun 1852 mengungkapkan bahwa perkebunan tersebut setiap tahunnya menghasilkan 152.000 pon teh, dengan biaya produksi tiap pon-nya yang berkisar 45 sen, teh dijual ke pemerintah dengan harga 75 sen. Artinya dari tiap pon teh saja, seorang pengusaha sudah memperoleh keuntungan 30 sen. Untuk mengetahui keuntungan totalnya, profit tersebut tinggal dikalikan saja dengan seluruh hasil produksi. Sebagian besar teh dari Jawa khususnya Priangan dikirimkan ke Inggris. Tidak aneh mengingat orang-orang Inggris mengkonsumsi lebih dari setengah produksi teh dari seluruh dunia.

Para Preangerplanters  yang kekayaannya luar biasa ini nantinya akan memberi andil besar dalam pembangunan kota Bandung khususnya. Mereka juga dikenal memiliki kepekaan sosial yang cukup tinggi dengan orang Pribumi mengingat keseharian mereka yang selalu berada di tengah perkebunan teh dan selalu berhubungan dengan masyarakat setempat. Dari keluarga “Raja Teh Priangan” sempat muncul beberapa nama seperti Karel Frederik Holle, Kerkhoven dan Bosscha yang memiliki perhatian besar terhadap kehidupan orang Pribumi. Tanpa andil Kerkhoven dan Bosscha, mungkin Technische Hogeschool  (ITB) tidak akan pernah berdiri. Sedangkan dari kampus inilah lahir seorang  tokoh bernama Soekarno yang menjadi penggerak utama kemerdekaan.

Dinasti Teh dari Priangan, Keluarga Holle

Dinasti Teh dari Priangan, Keluarga Holle

Oke satu pertanyaan tentang hubungan antara teh dengan kemerdekaan sudah terjawab. Lalu bagaimana hubungan antara teh dengan wanita-wanita cantik di Bandung ? Nah, para saking dekatnya hubungan para preangerplanters dengan para pemetik teh yang kebanyakan perempuan, tidak jarang hubungan tersebut berakhir di tempat tidur, menghasilkan keturunan berdarah campuran pribumi-Belanda. Dengan kekayaannya yang luar biasa, para pengusaha perkebunan ini bisa membiayai anak-anak hasil hubungannya dengan para “nyai”  tersebut, namun tidak jarang anak-anak “setengah bule” tersebut akhirnya terdampar ke rumah-rumah bordil yang  berada gang coorde  Braga karena terbuang dari keluarganya. Anak-anak Indo ini, yang memiliki perpaduan kemolekan wanita priangan dengan darah bule ini dicirikan oleh ketampanan / kecantikan melebihi rekan-rekannya yang berdarah asli. Ingin bukti lain ? Pergilah ke kawasan perkebunan-perkebunan teh jadul yang berada  di pelosok  Priangan, jangan kaget ketika menemukan gadis-gadis cantik berkulit putih di sana. Mereka kemungkinan besar memiliki darah keturunan Belanda dari  buyut dan buyutnya yang terdahulu.

Itu cuma intermezzo saja, tapi intinya teh telah menjadi bagian dari diri kita saat ini lebih dari yang kita duga. Teh juga mempengaruhi kebudayaan Indonesia. Di Jawa, apabila anda bertamu ke rumah seseorang dan tidak disajikan teh oleh si empunya rumah, artinya kedatangan anda tidak diharapkan. Lain halnya apabila teh disajikan langsung setelah tamu tiba, maka kunjungan sang tamu diharapkan tidak berlangsung lama (Louis Fischer, 1959).

Kini hampir setiap jongko kaki lima menyediakan teh tubruk gratis untuk tiap pelanggannya. Tidak lengkap rasanya makan bakso tanpa ditemani segelas teh tawar. Teh botol pun laku keras, sehingga muncul istilah “apapun makanannya, minumannya teh botol xxxx” (Nggak boleh nyebut Sosro).  Walau demikian, nasib produksi teh di negeri ini tidak pernah membaik sejak dilepas Belanda. Mungkin dikarenakan sikap kolonialisme orang Belanda yang ingin membantu orang Indonesia dengan cara “biar saya membantumu, biar kami menunjukan caranya, biar kami melakukannya” (Furnivall, 1939), orang-orang Indonesia langsung kelimpungan ketika diserahkan pengelolaan perkebunan milik orang Belanda pada tahun 50’an. Gimana nggak bingung, biasa kerja disuruh sama sang “Toean Madjikan” tiba-tiba diangkat jadi “Toean Madjikan”… hehehe

Salam SadnessSystem !   – M.R.W.-

Kolonialisme Belanda di Indonesia : Baik atau buruk ?

Kolonialisme Belanda di Indonesia : Baik atau buruk ?. Pengaruh pendidikan sejarah di sekolah terhadap persepsi kolonialisme

Oleh : M. Ryzki Wiryawan – @Sadnesssystem

 


Dalam satu perbincangan dengan seorang teman, saya dihadapkan pada pertanyaan menarik. Andaikan Belanda tidak pernah menjajah kita, seperti apa keadaan kita sekarang. Apakah keadaan kita lebih baik atau lebih buruk dari saat ini. Pertanyaan jebakan. Jawaban saya : “Maaf, agama Islam yang saya anut melarang saya untuk berandai-andai… “.

Memang tidak mudah untuk menjawab pertanyaan demikian, sejak kecil kita disuapi berbagai materi kekejaman penjajah. Mulai dari kisah tanam paksa, pembuatan jalan anyer-panarukan, pemberontakan-pemberontakan, penangkapan tokoh-tokoh nasional, pembantaian oleh Westerling, dll.. Seluruhnya menggambarkan kondisi buruknya kolonialisme. Materi pembelajaran sejarah kita, layaknya film action  Holywood, memang tidak mengenal sisi abu-abu. Seluruhnya berada pada sisi hitam atau putih, baik atau jahat, pahlawan atau penjajah. Semua materi itu penting, namun jarang sekali menyentuh substansi dari kolonialisme.

Kolonialisme pada dasarnya memang tidak pernah ditempatkan dalam nuansapositif. Kolonialisme dalam artian sempit berarti penindasan dan mobilisasitenaga kerja di koloninya, di luar apapun alasannya. Dalam banyak kasus, akar dari ideologi ini tidak lain adalah kapitalisme. Kapitalisme kolonial menurut S.H. Alatas (1988 : 3) dicirikan oleh sifat-sifat berikut : (a) penguasaan yang menonjol dan pengerahan modal oleh kekuatan ekonomi asing, (b) penguasaan terhadap koloni oleh suatu pemerintahan yang dijalankan kelompok kekuatan asing, yang bertindak menurut kepentingannya sendiri, (c) tingkat yang tertinggi dari bisnis perdagangan dan industri, ditangani oleh komunitas penguasa asing, (d) arah perdagangan ekspor dan impor negara disesuaikan dengan kepentingan penguasa asing, (e) lebih condong terhadap pola produksi pertanian daripada terhadap industri, (f) pengembangan keterampilan teknologi dan ilmu pengetahuan sangat sedikit, (g) organisasi produksi melibatkan tenaga kerja setengah bebas, (h) tiadanya serikat pekerja atau organisasi buruh untukmelakukan tindakan pemerasan, (i) sebagian besar penduduk tidak terlibat langsung dalam perusahaan kapitalis, dan (j) berlakunya seperangkat antitesa dalam masyarakat koloni yang diterangkan dengan istilah dualisme.

Istilah-istilah di atas, tidak pernah ditemukan dalam buku-buku sejarah Indonesia karangan sarjana-sarjana Belanda maupun buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah. Kita diajarkan bahwa penjajahan itu buruk, namun bagaimana praktiknya tidak banyak dijelaskan.  Disembunyikan layaknya perlakuan penguasa pribumi terhadap rakyatnya sebelum kedatangan penjajah. Clive Day (1966:17-37).menjelaskan buruknya kelakuan para penguasa pribumi ini dalam kurang lebih 20 halaman bukunya “The Dutch in Java”. Ia contohnya mengisahkan bagaimana seorang penguasa memiliki ruangan di Istana tempat iamenikmati pertunjukan wanita telanjang yang bergulat dengan harimau. Peperangan antar kerajaan terus menerus terjadi. “Tampaknya tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa separuh atau lebih dari peperangan yang sungguh-sungguh melibatkan Negara-negara pribumi, timbul akibat persoalan yang sepele, sepertihalnya dua orang yang sama buruknya harus menguasai wilayah tertentu”.  Kecenderungan inilah yang sangat dimanfaatkan oleh orang Belanda lewat politik oportunis dan bermuka dua yang disebut “politik adu domba”.

Selain lewat politik adu domba, Belanda juga sangat memanfaatkan sikap feodal penguasa lokal terhadap rakyatnya. Pemerintah kolonial merasa tidak mungkin melepaskan para Bupati dalam kontrol kekuasaan mereka. Sehingga para Bupati tidak hanya dibiarkan dengan kebiasaan lamanya, melainkan juga diberi peluang dan kebebasan yang lebih besar daripada yang pernah diterima oleh mereka dari raja-raja Jawa yang sebelumnya menguasai mereka. Terdapat simbiosis mutualisme antara pemerintah Kolonial dan penguasa-penguasa pribumi lokal atau para Bupati ini (Djoko Marihandono, 2011 : 87). Kekuasaan para Bupati yang gemar memeras hasil kerja rakyat ini mulai ditertibkan ketika Daendels menjabat Gubernur Jenderal. Dalam masa pemerintahannya diatur bahwa “Hanya Gubernur Jenderal yang berhak memecat bupati dan para kepala rendahan lainnya agar semua tujuan rahasia dan jahat yang sering diwujudkan bisa dicegah secara lebih tegas dan digagalkan”. Seakan-akan begitu mulia kebijakan Daendels tersebut.

Walau tindakan Daedels baik dari sudut tertentu, tujuannya  mengatur kuasa para bupati tidak lain didasari oleh kepentingan ekonomi semata.  Ia mengurangi kekuasaan bupati dan mengangkat mereka sebagai pegawai pemerintah agar penyetoran hasil bumi dilakukan secara lebih efektif. Segala tindakan pemerintah kolonial pada dasarnya didasari oleh kepentingan ekonomi. Bahkan politik etis harus dilihat dari sudut pandang ini.

Kolonialisme didasari oleh prinsip kapitalisme “tujuan dan sasaran akhir dari kegiatan ekonomi adalah penambahan kekayaan sehingga menjadilebih besar dan besar lagi”.

Pekerja Perkebunan di Masa Kolonial

Pekerja Perkebunan di Masa Kolonial

Sebaik apapun pemerintah kolonial, mereka akan berpikir seribu kali untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan modern dan teknologi kepada masyarakat koloni. Sebaliknya, sistem perkebunan dan pertambangan dikembangkan karena tidak memerlukan banyak pengetahuan dan teknologi dalam produksi awal bahan mentah, yang kemudian dikirim langsung ke Eropa. Karena dikerjakan di Eropa, daerah koloni tidak memetik manfaat dari praktek ilmu pengetahuan modern dan teknologi yang dihubungan dengan proses tersebut. Karena itulah hanya dalam beberapa tahun pasca kemerdekaan, jumlah sekolah di Indonesia meningkat, melek huruf menyebar sangat cepat, koran-koran bermunculan bagai cendawan, ribuan gedung baru dibangun, ribuan mahasiswa pergi ke Barat, dan banyak universitas didirikan. Bekas-bekas koloni memperoleh jauh lebih banyak peradaban Barat setelah kemerdekaan dibandingkan sebelumnya (Alatas, 1988 :30).

Kini sudah jelaslah bahwa apa yang dinamakan kolonialis memang buruk. Sebaik apapun kiprah Belanda di Indonesia, selama dilakukan dalam rangka kolonialisme, tidak dapat bisa diapresiasi secara positif. Dengan demikian materi sejarah di sekolah harus lebih banyak menggiring anak untuk memahami substansi dan keburukan kolonialisme alih-alih berkutat pada kekejaman Belanda, Portugis atau Jepang. Kolonialisme tidak mengenal batasan negara atau ras tertentu. Pemerintah sendiri pun bisa menjadi agen kolonialisme. Materi sejarah harus terus disesuaikan dengan konteks kontemporer. Lewat pengenalan sifat-sifat kolonialisme yang telah disebutkan di atas, kita toh jadi menyadari bahwa negara ini belum merdeka 100% seperti yang sering digaungkan Tan Malaka.

Untuk perenungan. Mari kita berhenti mempermasalahkan tetek-bengek dan mulai mengambil pelajaran dari Sejarah. Sejarah selalu berulang, praktik pertarungan antar raja-raja Nusantara tetap berlangsung hanya saja kali ini mengambil bentuk partai-partai dan penguasa-penguasa lokal. Praktik feodal tetap terjadi di tingkat pusat maupun daerah. Perdagangan ekspor dan impor negara dikuasai oleh kartel dan Negara asing. Sementara itu kita sibuk menggali gunung padang agar diakui sebagai pusat peradaban dunia.

Catatan Perjalanan : Kampung Mahmud

Oleh: Adira Oktaroza (@AdiraOktaroza)

Muncul rasa yang berbeda di tiap langkahku ketika masuk ke kawasan perkampungan ini. Laki-laki berpakaian serba putih dan wanita bercadar memenuhi jalanan yang berdebu berbondong-bondong menuju ke suatu tempat. Suasananya mengingatkanku pada tempat ziarah para wali.

Terletak di selatan Kota Bandung tepatnya di pinggir aliran Sungai Citarum, Kampung Mahmud adalah salah satu kampung adat yang memiliki peran yang penting di dalam sejarah, khususnya di dalam sejarah penyebaran Agama Islam di daerah Bandung dan sekitarnya.

ImageTugu Mahmud

Berawal dari ilham yang didapat oleh seorang Abdul Manaf yang merupakan keturunan dari Wali Cirebon, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Ilham itu didapat ketika Abdul Manaf akan kembali ke kampung halamannya setelah beberapa waktu menetap di Mekah pada abad ke-15. Ketika itu ia berdoa di tempat yang disebut Gubah Mahmud, berdekatan dengan Masjidil Haram. Ia membawa segenggam tanah dari Mekah lalu sesampainya di tanah air, ia mencari rawa untuk dijadikan sebuah perkampungan. Pencariannya berakhir ketika ia menemukan sebuah rawa dipinggir Sungai Citarum. Lalu lahan itu ditimbun tanah agar layak untuk dijadikan perkampungan, tidak lupa ia menyertakan tanah yang ia bawa dari Mekah. Perkampungan itu lalu dijadikannya sebagai tempat perlindungan dari penjajah dan juga sebagai tempat pembelajaran Agama Islam.

Di tengah keramaian ku coba mengikuti kemana mereka melangkah. Akhirnya langkahku terhenti di sebuah gerbang, ratusan orang berdiri menghadap ke satu arah dan mulai melantunkan doa-doa. Bergetar hatiku ketika mendengarnya.

Peziarah Makom Mahmud

Abdul Manaf menetap di kampung itu hingga akhir hayatnya dan dimakamkan di sana. Makam Abdul Manaf selalu ramai dikunjungi peziarah di saat Bulan Maulud, Syawal, dan Jumat Kliwon. Entah apa niatnya tapi beberapa dari mereka yakin bahwa pada saat tersebut leluhur datang dan mengamini segala harapan yang disampaikan. Mereka yang berziarah tak hanya dari sekitaran Bandung, mereka berdatangan dari segala kota, bahkan tidak jarang ada peziarah dari luar negeri.

Ketika musim hujan biasanya di daerah Bale Endah sering terendam banjir namun Kampung Mahmud yang letaknya lebih hilir sama sekali tidak pernah dibanjiri air sepanjang sejarahnya meskipun kampung ini terletak diantara aliran Sungai Citarum Lama dan Citarum Baru. Entah apa yang menyebabkannya tapi warga mempercainya sebagai karomah yang diberikan pada Abdul Manaf oleh Allah SWT.

Posisi Kampung Mahmud dilihat dari Google Earth

Posisi Kampung Mahmud dilihat dari Google Earth

Mereka yang tinggal Kampung Mahmud sebenarnya memiliki beberapa pantangan namun pantangan-pantangan tersebut sudah banyak dilanggar. Pantangan tersebut antara lain adalah dilarang membuat sumur, menyalakan penerang, membunyikan alat musik, membangun bangunan permanen dan memelihara binatang. Bukan tanpa alasan pantangan tersebut di buat, pelarangan membuat sumur dan bangunan permanen dikarenakan oleh tanah sekitar yang dahulunya bekas rawa tidak stabil dan pantangan mengenai tidak boleh memelihara binatang dan menyalakan penerangan dikarenakan dahulu Kampung Mahmud selain pusat pembelajaran Agama Islam dijadikan pula sebagai tempat perlindungan dari penjajah.

Original Post http://parttimesleeper.wordpress.com/2013/08/31/catatan-perjalanan-kampung-mahmud/ diunggah 31 Agustus 2013

Catatan Perjalanan : Curug Jompong

Oleh: Adira Oktaroza (@AdiraOktaroza)

Curug Jompong…

Deras airnya seharusnya melantunkan keindahan
Tetapi  yang kudapat hanyalah pesan tentang kehancuran
Derunya penuh dengan kebencian dan dendam
Manusia bermain-main pada alam
alam tak pernah main-main.

Panorama Curug Jompong

Di aliran Sungai Citarum di selatan Kota Bandung terdapat satu curug yang dinamakan Curug Jompong.  Curug ini sempat dijadikan sebagai salah satu objek wisata dan tercatat di dalam buku panduan wisata Bandung/Priangan pada tahun 20-30an. Namun keindahannya kini sudah jauh berkurang, kini sampah plastik, styrofoam, hingga limbah industri sudah mencemarinya.

Curug Jompong

Ada wacana bahwa Curug ini akan dipangkas untuk memperlancar aliran Citarum.  Dengan adanya pemangkasan diharapkan banjir di daerah Bale Endah dapat teratasi. Namun menurut para ahli hal tersebut tidak akan mengatasi banjir dan dianggap hanya akan menghambur-hamburkan uang melalui proyek-proyek yang beranggaran besar yang tidak akan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

Curug Jompong dilihat dari satelit

Curug Jompong dilihat dari satelit

“Asa ningali nu geulis, ngan hanjakal… gelo.”

“Seperti melihat yang cantik, tapi sayang… tidak waras”

 

Original Post http://parttimesleeper.wordpress.com/2013/09/06/catatan-perjalanan-curug-jompong/ diunggah 6 September 2013

 

Kesan Seorang Penggiat Aleut

Oleh: Mentari Alwasilah (@mentariqorina)

Saya menemukan hal menarik di komunitas ini. Saya mendapatkan sambutan hangat, teman baru, ilmu baru. Saya banyak belajar, tidak hanya sejarah bandung yang awalnya sama sekali tidak saya ketahui, saya juga belajar bagaimana bersikap, mendengarkan, berbicara, berbagi pengalaman, bertukar pikiran. Saya senang sekali bertemu orang-orang baru dengan latar belakang yang berbeda, pikiran berbeda, sudut pandang dan di akhir perjalanan setiap minggu kami selalu berdiskusi, saling berbagi dan membuka pikiran.

Itu hanyalah sekilas rasa yang saya dapatkan, saya ingin teman-teman merasakan hal ini, mendapatkan hal menarik bersama. Kami tunggu di Komunitas Aleut :’)

Original Post http://mentarii.tumblr.com/post/60609845510/komunitasaleut-saya-menemukan-hal-menarik-di diunggah 8 September 2013

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑