Month: July 2013

Hinloopen Labberton, Peran Seorang Teosof dalam Pergerakan Nasional

Oleh : R.Indra Pratama (@omindrapratama)

Dirk van Hinloopen Labberton (Doesburg 24-9-1874 – Ojai (California, Amerika Serikat) 3-9-1961) adalah seorang guru, elitis, teosof, dan yang paling penting, adalah pengaping bagi para pemula gerakan nasionalisme Indonesia. Putra dari Richard Hinloopen Labberton, seorang penjual buku, and Regina Henke ini datang ke Hindia Belanda tahun 1894, setahun setelah lulus dari secondary school. Tahun berikutnya ia telah bekerja sebagai analis kimia di pabrik gula “Gajam” di Jawa Timur. Tahun 1896 ia diangkat menjadi kepala pabrik gula Sempal-Wadak, juga di Jawa Timur. [1]

Labberton (memejamkan mata) bersama Tjipto Mangoenkoesoemo (kanan gambar), dan Satrowijono (bawah) saat pertemuan  Comité voor Javaanse Cultuurontwikkeling di Surakarta tahun 1918.

Labberton (memejamkan mata) bersama Tjipto Mangoenkoesoemo (kanan gambar), dan Satrowijono (bawah) saat pertemuan Comité voor Javaanse Cultuurontwikkeling di Surakarta tahun 1918. (KITLV)

Setelah lulus dari ujian amtenaar, ia bekerja di sebuah kantor departemen di Buitenzorg (Bogor) di bagian Sekretaris Umum 1899-1904. Pada waktu senggangnya, Labberton sangat tertarik mempelajari bahasa dan etnologi lokal (Taal en Volkenkunde) seperti Jawa dan Melayu, juga bahasa serapan Sansekerta. Akhirnya pada tahun 1904 ia ditunjuk untuk mengajar Bahasa Jawa dan Melayu di Gymnasium William III di Weltevreden (Jakarta Pusat sekarang), Batavia hingga 1913. Ia dan istrinya juga dikenal sebagai penggemar wayang  kulit. [2] Bahkan bersama Tjipto Mangoenkoesoemo kelak, Labberton dan istrinya pernah terlibat dalam perdebatan modifikasi pertunjukkan wayang kulit sebagai media pergerakan. Istri Labberton merupakan salah satu tokoh yang aktif menulis tentang nilai-nilai ayng wayang kulit dalam sudut pandang orang Belanda.[3] Labberton berpendapat bahwa wayang menggenggam rahasia besar kemanusiaan, tapi justru disia-siakan oleh orang Eropa[4]. Wayang pada perkembangannya ternyata terbukti efektif menjadi alat penyebaran teosofi yang cukup penting.

Murid-murid Gymnasium Willem III, tempat Labberton mengajar.

Murid-murid Gymnasium Willem III, tempat Labberton mengajar. (Tropenmuseum)

Ketertarikan Labberton kepada bahasa Sanskrit membawanya kepada gerakan Teosofi, yang mana sedang memusatkan perhatiannya kepada kultur India dan dunia spiritual ketimuran. Selama mengajar Labberton juga terlibat dalam beberapa proyek kebudayaan, antara lain menjadi anggota Dutch East Indian Commission for the Brussels World Fair in 1909/1910 tahun 1908, dimana ia berperan sebagai editor untuk the Illustrated Handbook Insulinde yang akan dibuat sebagai sarana promosi Hindia Belanda di dunia internasional. Ia juga aktif berperan sebagai editor di Journal of Indian language, geography and ethnology and the Discourses yang diterbitkan Batavian Society of Arts and Sciences. Setelah itu Labberton sempat belajar teosofi di India bersama Annie Beasant dan kembali ke Hindia Belanda tahun 1912. Ia juga ditunjuk sebagai anggota ketika pemerintah kolonial mendirikan Comissie voor de Volkslectuur pada 14 September 1908. Komisi itu awalnya meliputi 5 orang pengurus, yaitu G.A.J. Hazeau (Penasehat Masalah Pribumi), G.J.F. Biegman (Inspektur Pendidikan Pribumi di Bandung), D. Van Hinloopen Labberton (Guru Bahasa Jawa di Batavia), J.H. Ziekel (Asisten Residen Pensiunan), dan H.C.H. Bie (Ajung Inspektur untuk Pertanian Pribumi di Bogor). Komisi ini berperan sebagai penasehat Kementerian Pendidikan dan Agama yang bertanggung jawab untuk mengatur bahan pelajaran sekolah. Pada tahun 1918 komisi ini berkembang menjadi Balai Pustaka.[5]

Labberton merupakan salah satu penganut politik etis. Ia pun aktif bersama East Indian division of the Theosophical Society, yang menjadi perpanjangan tangan gerakan Teosofi versi Annie Beasant, yang satu haluan dengan politik etis, anti rasisme/kolonialisme, persaudaraan umat manusia, dan pluralisme.[6] Ia pun akhirnya mengetuai Komunitas Teosofi Hindia Belanda ini. Tahun 1912 ia menjadi editor jurnal teosofi Hindia Belanda Theosofisch Manblaad van Nederlandsch-Indie. Tahun yang sama ia juga diangkat sebagai presiden Perkumpulan Teosofi Hindia tahun hingga tahun 1923.

Pergaulannya yang luas membawa Labberton kepada para aktivis Java Studie Fond, diantaranya Soetomo. Ia menjadi mentor bagi para anggota Java Studie Fond, yang akhirnya menjadi Boedi Oetomo, yangsejalan dengan pemikiran Teosofi, mengusung isu kelokalan yang kental. Membawa pendidikan dan budaya barat sebagai modal memajukan budaya lokal. Soetomo dan kawan-kawan pada awalnya memakai tameng Komunitas Teosofi sebagai pelindung forum-forumnya. Labberton dijuluki “Kiai Santri” karena pengetahuannya yang luas dan dalam tentang kebudayaan dan mistik Jawa. Pergaulan kebatinannya membuatnya dihormati dan disegani di kalangan bngsawan Jawa, terutama di kalangan aktivis BO.[7]

Yang unik adalah kebiasaan Labberton menggunakan bahasa Melayu saat berbicara di depan forum-forum Java Studie Fonds, maupun kelak Boedi Oetomo. Kondisi tersebut sangat kontras dengan kebiasaan-kebiasaan para aktivis pribumi seperti Soetomo maupun Goenawan Mangoenkoesoemo yang selalu menggunakan bahasa Belanda saat berbicara di depan publik.

Seiring dengan berkembangnya pemikiran kaum pergerakan pribumi, Labberton pun makin mengembangkan aktivitasnya, ia pun masuk ke lingkaran dekat kaum nasionalis awal, terutama Central Sarikat Islam, via Abdoel Moeis yang menjadi mentee nya. Para teosof kala itu memang menjadi tempat bernaung bagi para aktiivs muda pribumi. Ketika itu gerakan teosofi berpusat di Blavatsky Park, sebelah barat Koenigsplein, sekarang Medan Merdeka Barat, diduga berada di sekitar kantor Indosat sekarang. Banyak aktivis yang aktif berkegiatan di Blavatsky Park, seperti Muhammad Jamin, M.Tabrani, Roestam Effendi, dan Sanoesi Pane. Moh.Hatta juga pernah berkunjung, tetapi tidak menjadi anggota, meskipun kelak Hatta akan mendapat beasiswa dari para teosof untuk belajar di Belanda. Konsep teosofi pula yang banyak mewarnai pemikiran kebangsaan dari Tjipto Mangoenkoesoemo, Agus Salim, Abdoel Moeis, dan Soerjopranoto.[8]  Dari Labberton lah Tjipto Mangoenkoesoemo disebut belajar lagi lebih banyak tentang keJawaan yang lebih bersifat kebatinan daripada aristokratik.[9]

Bersama Abdoel Moeis juga, Labberton menjadi orang yang aktif menyuarakan gerakan pertahanan Hindia (the Indie Weerbaar), semacam wajib militer pribumi dalam menghadapi Perang Dunia I. Gerakan ini dijuduli Labberton “Hindia Koeat Memeliharakan Diri”.[10] Labberton bahkan mengadakan tur politik di Jawa Tengah, dan berbicara di depan publik dengan menggunakan blangkon dan memakai bahasa Jawa Halus. Pada 1917 Abdoel Moeis mewakili Sarekat Islam dan lima orang lain yaitu Pangeran Ario Koesoemodiningrat (mewakili Prinsen Bond), Bupati Magelang Raden Tumenggung Danoe Soegondo mewakili Regenten Bond, Mas Ngabehi Dwidjosewojo mewakili Boedi Oetomo, F Laoh mewakili Perserikatan Minahasa, dan W.V Rhemrev diutus ke Belanda untuk membicarakan ide ini secara langsung di parlemen Belanda. Labberton ikut dalam rombongan ini sebagai pendamping rombongan.

Sekedar informasi, sebagaimana layaknya ide wajib militer, Indie Weerbaar juga menjadi kontroversi di kalangan rakyat dan aktivis. Moeis berpendapat bahwa masuknya rakyat ke dalam militer sekarang, kelak akan mendorong terbentuknya laskar perjuangan tangguh, yang berisikan prajurit pribumi. Keberadaan laskar semacam itu tentunya akan meningkatkan posisi tawar pribumi di tatanan kolonial. Organisasi tempat Moeis bernaung, Sarikat Islam, justru menolak keras ide ini. Labberton sendiri berpendapat bahwa lewat Indie Weerbaar, kaum pribumi akan mendapat arena berlatih untuk melindungi diri dan kepentingannya sendiri. [11]

Bersama dengan isu Indie Weerbaar, rombongan itu pun memboyong satu isu lain, yaitu pendidikan tinggi di Hindia Belanda. Isu pendirian sekolah teknik, terus disuarakan Moeis dan Labberton dalam setiap kesempatan temu wicara dengan para petinggi Belanda. Dari kedua ide yang diusung rombongan ini, Ratu Belanda hanya berkenan meluluskan salah satu, yaitu ide sekolah tinggi teknik, yang kemudian diwujudkan tahun 1920 dengan pendirian Technische Hoogeschool di Bandung, yang biayanya berasal dari patungan berbagai pihak di Hindia, terutama kaum swasta dan penganut politik etis.

Labberton juga aktif menggagas beberapa gerakan dan perkumpulan berbau asosiasi. Pardamean Sedoenia, Associatie van Oost en West, Mimpitoe (dengan anggota dr.Radjiman Wediodiningrat) dan Ati Soetji. Gerakan itu murni inisiatif Labberton, dan bukan merupakan program dari gerakan teosofi intenasional.

Labberton tercatat juga sebagai aktivis gerakan Nederlandsch-Indie Vrijzinnige Bond (NIVB), perkumpulan campuran yang berideologikan politik asosiasi. NIVB didirikan tahun 1916, dan memperjuangkan self bestuur (pemerintahan sendiri) bagi Hindia Belanda. Tokoh lain NIVB adalah Achmad Djajadiningrat dan Sujono. Aktivisme di NIVB membuat Labberton terpilih kedalam Volksraad tahun 1918. Namun dalam karir politiknya ia dijuluki si “kelinci astral”, merujuk pada pemikirannya yang hyper-ethicist dan dianggap sangat utopis waktu itu. Labberton seringkali bersinggungan dengan politisi-politisi lain, baik politisi konservatif kanan, maupun kaum kiri. Kaum konservatif menganggap pemikiran pro integrasi Labberton terlalu berlebihan, namun keberadaannya yang dekat dengan sejumlah tokoh pemerintahan membuat kaum kiri menyebutnya “Teosof Imperialis”. Labberton aktif juga sebagai praadviseur/penasihat Gementeraad sehubungan dengan usaha adanya hak pilih bagi segala bangsa di Dewan Penjajah (Koloniale Raad).

Selama berada di parlemen, Labberton aktif menyuarakan demokratisasi pemerintahan di Hindia Belanda. Sebuah ide yang pada akhirnya melahirkan tuntutan paling radikal saat itu : otonomi Hindia. Ia pun berada satu poros dengan kaum radikal dari CSI, Indische Social Demoratic Partij (ISDP), dan Sarikat Hindia. Saat Abdoel Moeis mengusulkan nama Indonesia menggantikan nama Hindia Belanda, Labberton beserta Cramer dan Vreede (keduanya juga tokoh teosofi mendukung dengan ikut mengjukan amandemen penggantian nama tersebut. Meskipun pada akhirnya ide tersebut mentah[12].

Labberton juga makin jauh terlibat di urusan kebudayaan dengan ditunjuk menjadi anggota Comissie voor de Volkslectuur. Komisi itu awalnya meliputi 5 orang pengurus, yaitu G.A.J. Hazeau (Penasehat Masalah Pribumi), G.J.F. Biegman (Inspektur Pendidikan Pribumi di Bandung), D. Van Hinloopen Labberton (Guru Bahasa Jawa di Batavia), J.H. Ziekel (Asisten Residen Pensiunan), dan H.C.H. Bie (Ajung Inspektur untuk Pertanian Pribumi di Bogor). Pada awalnya, Komisi merupakan penasehat Kementerian Pendidikan dan Agama yang bertanggung jawab untuk mengatur bahan pelajaran sekolah.

Sebelum kepergiannya, Labberton membuat sebuah kongres yang berusaha mempersatukan kelompok-kelompok radikal di Hindia, yang dinamai All Indie Congress. Kongres yang terinspirasi gerakan serup di India itu diadakan di Gedung Jaarbeurs Bandung 2-4 Juni 1922. Semua organisasi terkemuka hadir, kecuali kaum komunis, yang sejak lama menganggap kaum teosof sebagai kapitalis teosof. Tema yang dibicarakan adalah tema persatuan Hindia.[13] Meskipun pada praktiknya berbagai tema faktual dalam konteks pergerakan, seperti tema exorbitante rechten (hak gubernur jenderal untuk membuang orang yang dianggap berbahaya) yang disuarakan Soewardi, keuntungan ekonomi persatuan pergerakan oleh Douwes Dekker, dasar buadaya persatuan oleh Fournier, dimensi federasi sebagai arah persatuan oleh Dr.G.S.S.J Ratulangie. Akhirnya pun dibentuk panitia tetap untuk kongres-kongres mendatang, yang diketuai Dwijosewojo dan P.F Dahler dari Nationale Indische Partij sebagai sekretaris. Namun kongres tersebut hanya meletup sekali itu saja dan tidak terdengan kiprah lanjutannya lagi dan gagal menjadi gelombang pendorong nasionalisme.[14]

Jaarbeurs, (sekarang Kologdam Bandung). Tempat Congress All Indie pernah diselenggarakan. (Tropenmuseum)

Jaarbeurs, (sekarang Kologdam Bandung). Tempat Congress All Indie pernah diselenggarakan. (Tropenmuseum)

Teosofi era Labberton mendapat banyak tentangan, terutama karena gerakan kebatinannya. Corak kegiatan yang mencomot berbagai budaya asli beraroma Hindu-Buddha. Sebelum era Labberton, ketika Teosofi adalah gerakan yang agak lebih tertutup dan eksklusif, protes semacam ini belum pernah dialami oleh organisasi. Ketika Teosofi menjadi lebh terekspos karena keaktifan Labberton dan bergabungnya para priyayi, maka mulai muncul reaksi-reaksi keras, terutama dari kalangan agama konvensional, seperti Islam dan Katholik. Meskipun pada kenyataannya protes tersebut beraroma ketakutan akan pemurtadan umat[15]. Labberton sendiri pernah menyatakan bahwa ia melihat bagaimanapun taatnya, muslim Hindia tidak akan pernah menjadi “Meccan Arab”, sebagaimana kaum kristen Jawa tidak akan menjadi fanatik seperti di Eropa. Ia percaya pasti masih akan ada bawaan dari kebiasaan-kebiasaan animistik.[16]

Politik represi yang mulai berkembang awal dekade 1920-an membuat Labberton dan kaum radikal tertekan dan terisolir dalam dunia politik. Kaum konservatif melakukan tindakan-tindakan represif terhadap aksi-aksi yang dianggap melanggar rust en orde. Kondisi ini akhirnya memicu keresahan Labberton, yang akhirnya memutuskan untuk pergi dari Hindia Belanda. Labberton pergi Oktober 1923 ke Jepang dan digantikan sementara oleh J.Kruisheer, sebelum akhirnya Kruisheer dipilih sebagai ketua tetap pada Kongres Tahunan NITV 18-20 April 1930.

Ia pun melanglangbuana di Jepang, sebagai pengajar Bahasa Jawa, Melayu dan Sanskrit di Imperial University of Tokyo selama tahun 1923 sampai tahun 1925. Lalu ia menempuh pendidikan di Belanda dan memegang gelar Master Bahasa untuk jurusan Indologi, serta lulus pula di jurusan sejarah Universitas Amsterdam. Tahun 1936 ia pergi ke Amerika Serikat dan menetap di Ojai, sebelah utara Los Angeles untuk aktif di Krotona Institute of Theosophy. Pada masa Perang Dunia II, Labberton aktif di Federal Bureau of Investigation (FBI) dan Konsulat Belanda di Los Angeles, sebagai penerjemah dokumen-dokumen berbahasa Jepang.

Labberton kemudian menghabiskan masa tuanya di Taormina, pinggiran Kota Ojai, hingga wafatnya tahun 1961.

CATATAN KAKI :


[1] Tichelman, F. 1994. Labberton, Dirk van Hinloopen. Biographical Dictionary of 4 Netherlands. The Hague.

[2] Sears, Laurie Jo. 1996. Shadows of Empire: Colonial Discourse and Javanese Tale. Duke University Press. Hlm 140-141. Buku ini juga membahas tentang pemikiran-pemikiran istri Labberton (C.van hinloopen Labberton) tentang wayang kulit dan kaitannya dengan teosofi.

[3] Schwarz, Henry. Sangeeta Ray. 2008. A Companion to Postcolonial Studies. John Wiley and Sons. Hlm 346 & 348.

[4] Labberton, Dirk van. 1916. Wajang dan Gamelan. Dimuat di Pemitran, 2 April 1916.

[5] Teeuw, A. 1972. The Impact of Balai Pustaka on Modern Indonesian Literature. Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London. Vol. 35, No. 1. Hlm. 111–127

[6] Nagazumi, Akira. 1988. Ketika Nasib Bangsa Diperbincangkan di Sekolah Dokter Jawa. Dimuat di Majalah Tempo 4 Juni 1988. Diakses via https://serbasejarah.wordpress.com.

[7] Nagazumi, Akira. 1972. The Dawn of Indonesian Nationalism, the Early Years of Boedi Oetomo, 1908-1919. Institute of Developing Economies. Tokyo. Hlm 71-73.

[8] Van Miert, Hans. 1995. Dengan Semangat Berkobar, Nasionalisme dan gerakan Pemuda di Indonesia, 1918-1930. Hasta Mitra-PustakaUtan Kayu : KITLV-Jakarta.Hlm135

[9] Dewantara, Ki Hajar. 1952. Tjipto Mangoenkoesoemo, Dari Kenbangunan Nasional sampai Prokamasi Kemerdekaan : Kenang-kenangan Ki Hajar Dewantara. Djakarta : Endang. Hlm 215-228. Dalam Takashi Siraishi 1990. Zaman bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Grafiti : Jakarta. Hlm.171.

[10] Koch, DMG. 1951. Menuju Kemerdekaan : Sedjarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia Sampai 1942. Jakarta : Yayasan Pembangunan. Hlm 56.

[11] Dijk, Cornelis. 2007. The Netherlands Indie and the Great War : 1914-1918. KITLV Press. Hlm 275, 284-286.

[12] Van Miert, Hans. 1995. Dengan Semangat Berkobar, Nasionalisme dan gerakan Pemuda di Indonesia, 1918-1930. Hasta Mitra-PustakaUtan Kayu : KITLV-Jakarta.Hlm 273

[13] Van Klinken, Geert Arend. 2003. Minorities, Modernity and the Emerging Nation: Christians in Indonesia, a Biographical Approach. KITLV Press. Hlm 98.

[14] Van Miert, Hans. 1995. Dengan Semangat Berkobar, Nasionalisme dan gerakan Pemuda di Indonesia, 1918-1930. Hasta Mitra-PustakaUtan Kayu : KITLV-Jakarta.Hlm 326-329.

[15] Nugraha, Iskandar P. 2001. Teosofi, Nasionalisme dan Elite Modern Indonesia.Komunitas Bambu : Jakarta.

[16] Sumartana, Th. 1994.  Mission at the Crossroads: Indigenous Churches, European Missionaries, Islamic Association and Socio-religious Change in Java, 1812-1936. BPK Gunung Mulia. Hlm 50

Apresiasi Film “Le Grand Voyage”

Oleh : Atria Sartika (@atriasartika)

 Siang ini Aleutians nggak jalan-jalan menyusuri Kota Bandung. Kali ini kita menyusuri kehidupan (tsaaahh) melalui apresiasi film. Ya, Le Grand Voyage adalah film yang dipilih untuk menghabiskan waktu sambil menunggu info adzan Maghrib di timeline Twitter (ha..ha.. generasi zaman sekarang..)

Berikut profil singkat Le Grand Voyage

Directed by Ismaël Ferroukhi
Produced by Humbert Balsan
Written by Ismaël Ferroukhi
Starring Nicolas Cazalé,
Mohamed Majd
Distributed by Pyramide Distribution
Release date(s) September 7, 2004
Running time 108 minutes

Le Grand Voyage adalah sebuah film berbahasa Perancis tentang perjalan seorang ayah dan anaknya menuju Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Film ini diawali dengan kesibukan sang anak, Reda, yang tengah memperbaiki sebuah mobil. Setibanya di rumah ia mendapat kabar bahwa ia harus menggantikan kakaknya menyupiri sang ayah ke Mekah. Hal ini karena kakaknya, Khalid, ugal-ugalan di jalan sehingga SIM nya dicabut. Jadilah dengan berat hati ia menemani sang ayah menempuh perjalanan tersebut.

Berangkat dari Perancis, perjalanan sejauh 5.000 km itu pun menjadi sebuah perjalanan panjang dengan banyak ibrah (hikmah). Namun jangan salah, meskipun membahas mengenai perjalanan haji ayah Reda, namun dimensi keislaman dalam film ini tidaklah menjadi hal yang paling ditonjolkan. Film ini mengangkat Islam dari sudut pandang yang berbeda.

Ayah Reda adalah seorang muslim Maroko yang telah tinggal di Perancis selama 30 tahun. Reda sendiri lahir di Perancis. Maka dalam film ini akan terlihat bagaimana sang ayah tidak memaksa anaknya untuk shalat seperti yang sering kita temui di budaya ketimuran. Sepanjang film, setiap kali sang ayah shalat maka Reda nampak hanya memandangi saja, tidak ikut shalat dan tidak diajak pula oleh sang ayah. Kepergiannya ke Mekah pun benar-benar hanya mengantar, tidak ada sedikitpun niat untuk sekalian ikut berhaji bersama ayahnya.

Perjalanan 5.000 km tersebut sering diwarnai ketegangan. Dalam konflik yang ditampilkan di film ini kita akan menemukan tentang perbedaan generasi tua dan generasi muda. Dimulai dari cara mereka menikmati perjalanan, sang ayah memandang perjalanan ini sebagai bagian dari ibadahnya, sedangkan sang anak ingin menjadikan perjalanan ini sebagai sebuah pesiar atau jalan-jalan. Selain itu Reda yang sejak awal memang tidak dengan ikhlas mengantar sang ayah pun menjadi gampang emosi. Perjalanan ini memberinya rasa tertekan. Reda pun sempat marah pada sang ayah saat mengetahui bahwa ayahnya telah membuang telepon selular miliknya ke dalam tempat sampah.

Ketegangan kembali terjadi saat mereka sempat nyasar dan memiliki pandangan masing-masing tentang arah jalan yang harus mereka tempuh. Reda lebih banyak menggunakan kemampuan membacanya dan menggunakan petunjuk peta sedangkan sang ayah mengikuti petunjuk alam yang bisa dibacanya. Kemudian di tengah jalan mereka pun mendapat “penumpang khusus” yakni seorang wanita bisu yang membantu mereka menemukan jalan ke Beograd. Namun Reda tak menyukai kehadiran wanita tersebut, hal ini memunculkan perdebatan di antara ayah dan anak tersebut.

Setelah meninggalkan wanita bisu tersebut di sebuah penginapan, Reda dan ayahnya kembali melanjutkan perjalanan, namun ternyata mereka terjebak hujan salju saat menuju kota Sofia. Saat menunggu hujan salju reda, Reda kembali bertanya pada ayahnya tentang mengapa mereka harus menempuh perjalanan ini jika bisa menempuhnya dengan pesawat terbang? Dan inilah jawaban sang ayah,

“Saat air laut naik ke langit, rasa asinnya hilang dan murni kembali. Air laut menguap naik ke awan. Saat menguap, ia menjadi tawar. Itulah sebabnya, lebih baik naik haji berjalan kaki daripada naik kuda. Lebih baik naik kuda daripada naik mobil. Lebih baik naik mobil daripada naik kapal laut. Lebih baik naik kapal laut daripada naik pesawat.”

Jika kita mau memahami lebih jauh kalimat ini maka banyak pelajaran yang bisa kita ambil hikmahnya. Hal ini kita bahas di akhir tulisan ini saja.

Di lain waktu mereka kembali mendapat penumpang tambahan yakni seorang pria asal Turki bernama Mustapha. Pria itu membantu mereka menyelesaikan masalah saat pemeriksaan paspor ketika akan memasuki Turki. Setelah mengetahui niat mereka untuk naik haji, Mustapha mengajak dirinya sendiri untuk ikut dalam perjalanan itu. Ayah Reda tidak menyukainya meskipun Reda sendiri sangat menyukai pria tersebut. Ternyata penilaian sang ayah tidak salah. Musthapa memang memiliki maksud buruk. Musthapa membawa lari uang yang mereka siapkan di perjalanan.

Ketegangan ini menyurut saat mereka semakin dekat dengan kota Mekah. Di tengah perjalanan mereka bertemu dengan rombongan yang juga melakukan perjalanan darat menuju tanah suci ummat Muslim tersebut. Rombongan itu berasal dari berbagai negara ada yang dari Mesir, Lebanon, Sudan maupun Suriah. Dalam moment ini terlihat bagaimana umat Muslim merasa bersaudara meski pun mereka berasal dari negeri yang berbeda (terutama mengingat mereka memiliki tujuan yang sama yakni menunaikan ibadah haji).

Dalam seluruh rangkaian dalam film ini kita menemukan banyak hikmah diantaranya bahwa sebenarnya dalam hidup ini yang paling penting adalah proses bukan hasilnya. Manusia jika disibukkan hanya pada hasil atau tujuan akhir saja dan melupakan prosesnya, maka kita tidak akan bisa mengambil hikmah apapun dan belajar dari proses itu. Proses inilah yang akan membentuk kita menjadi manusia yang lebih baik.

Dalam film ini ada moment di mana sang ayah berkata kepada Reda, “Kamu bisa membaca dan menulis, tapi kamu buta dalam membaca kehidupan”. Inilah salah satu pelajaran yang bisa diambil oleh generasi muda dari generasi tua. Generasi masa kini cenderung lebih menyukai kepraktisan dan kadang lupa menikmati dan belajar dari proses yang ditempuh saat berusaha meraih tujuan. (saya sendiri pun masih harus belajar banyak tentang hal ini (^_^)v)

Selain itu film ini juga menarik karena ada sedikit kontradiksi antara sikap sang ayah yang cenderung tidak ingin dibantah dan sikap tolerannya saat anaknya memilih untuk tidak ikut shalat seperti dirinya. Ini mungkin lebih ke budaya. Bagi orang Indonesia dan budaya ketimuran, agama seorang anak menjadi hal yang bisa dicampuri oleh orang tua. Orang tua dianggap berhak menentukan sikap anaknya dalam beribadah. Namun bagi budaya barat, hal terkait agama itu menjadi hak privat yang tidak bisa dicampuri bahkan oleh orang tuanya.

Ya, film ini menjadi film yang menarik untuk ditonton sambil ngabuburit. Kita mungkin bisa sekalian memaknai bahwa puasa yang kita (umat muslim) jalani tidak semata-mata menunggu bedug maghrib melainkan proses yang kita alami di antara adzan subuh hingga adzan maghrib. Proses saat merasakan lapar dan haus yang dirasakan oleh mereka yang terpaksa berpuasa karena tidak punya uang untuk membeli makanan, sehingga kita bisa belajar lebih banyak tentang berempati.

Puasa yang kita jalani seperti sebuah proses pemurnian yang dialami oleh air laut sebelum turun menjadi hujan. Tinggal bagaimana kita menjalani dan belajar dari proses itu. Ya, hari ini sekian isi kepala saya yang berhasil “diaduk” dalam Kinealeut hari ini. Semoga besok-besok bisa tetap belajar lebih banyak lagi.

Sumber :

http://en.wikipedia.org/wiki/Le_Grand_Voyage

Dimuat juga di :

http://www.filosofilandak.blogspot.com/2013/07/apresiasi-film-le-grand-voyage.html

Harumi, Pendamping Sang Ksatria

Diupload oleh : M.Ryzki Wiryawan (@sadnesssystem)

Wanita muda yang selalu mendampingi Douwes Dekker (DD) itu bernama Nelly Alberta Kruymel. Wanita Indo kelahiran Sumatera Utara, dari ayah seorang Belanda dan Ibu seorang Banten yang tidak pernah ditemuinya. Kisah pertemuannya dengan DD diawali ketika dirinya bertugas sebagai Perawat di Belanda. Ketika itu ia ditawari oleh rekannya untuk mendampingi seorang pria tua yang akan melakukan perjalanan ke Indonesia.”Dia adalah seorang pejuang,” tutur rekannya seorang wanita Indonesia itu. “Dia tidak memiliki apa-apa. Dia memerlukan bantuan, namun tidak ada uang untuk membayar tenaga anda. Bila anda bersedia bergantian dengan saya merawatnya selama perjalanan. Bantuan anda sungguh akan kami hargai”

Nelly menyanggupi permintaan itu. Ia pun sanggup merahasiakan identitas si pria tua yang akan didampinginya selama perjalanan dari Rotterdam menuju Jawa itu. Dari sanalah perkenalan Nelly dengan DD yang berusia sekitar 66 tahun dan nyaris buta itu dimulai. Saat itu Nelly telah memiliki putra dari pernikahannya yang pertama, nama sang anak adalah Keesje.

DD ketika itu baru saja menghabiskan masa pengasingannya di Suriname dan dipindahkan ke Belanda. Kepulangannya ke Indonesia dilakukan dalam satu misi rahasia yang didanai para Pelajar Indonesia di Belanda. Dalam perjalanan, DD menyamar sebagai seorang Radjiman, petani dari daerah Klender yang tidak mampu berbahasa Belanda. Misi ini berhasil.

Setibanya di Indonesia, DD segera dibawa ke Daerah Republik yang berpusat di Jogjakarta. Beliau langsung disambut Presiden RI yang pernah menjadi rekan seperjuangannya, Ir. Soekarno.

Suatu ketika, DD menyatakan kepada Nelly yang selama ini mendapinginya. “Bagaimana kalau anda menyertai kehidupan saya seterusnya ? Sukakah anda menjadi istri saya ?” Nelly tidak langsung menjawab.

Selang beberapa waktu kemudian tibalah Soekarno menemui Nelly. Dia mengulangi permintaan DD. “Nelly, tidak sukakah anda mengorbankan beberapa tahun dari hidup anda untuk menjadi istri seorang Douwes Dekker ? Ia sudah tua dan sakit-sakitan. Kami bangsa Indonesia sangat berutang budi kepadanya. Kami ingin melihat sisa-sisa hidupnya dilewati dalam suasana kebahagiaan. Hanya andalah yang kami harapkan dapat mewujudkan hal itu” ujarnya. Nelly pun menganggukan kepala tanda persetujuan.

Pada tahun 1947 berlangsunglah perikahan DD dan Nelly secara Islam di Masjid Besar Jogjakarta. Saat itu Douwes Dekker merubah namanya menjadi Danudirja Setiabudhi, sedangkan Nelly Alberta Kruymel menjadi Harumi Wanasita dan Keesje menjadi Kisworo. Bertindak sebagai saksi adalah Bung Karno dan Ki Hajar Dewantara. Bung Karno jugalah yang mengajari Harumi untuk mengucap kalimat syahadat.

Sempat ada kericuhan dalam upacara pernikahan. Karena ketika mempelai pria ditanya perihal maskawin, ternyata ia tidak memiliki apa-apa. Maka terpaksalah Harumi merogoh dompet dan mengeluarkan uang sebesar Rp. 10.000,- untuk diberikan kepada calon suaminya guna dijadikan pembayaran maskawin. Uang itu diperoleh Harumi dari hasil penjualan gaun-gaunnya yang dibawa dari Eropa.

Pasca Persetujuan Roem – Royen, Setiabudhi bersama Harumi dan Kisworo kembali menempati kediamannya yang lama di Jalan Lembang No. 410 Bandung (Daerah Cihampelas sekarang). Doktor Danudirja Setiabudhi menghabiskan masa tuanya di sana hingga akhir hayatnya tanggal 25 Agustus 1950. Ia disemayamkan di Makam Pahlawan Bandung.

*Dicukil dari buku “Tuan Kijang” karya Soebagijo I.N.

Foto diunggah oleh : M.Ryzki Wiryawan (@sadnesssystem)

Wiranatakusumah V (Dalem Haji), Bupati Bandung Periode Periode 1920 – 1931 dan Periode 1935 – 1945. Beliau juga pernah menjabat Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tahun 1945.

Jalan-jalan ke Bogor

Re: Tour de Buitenzorg

BAGIAN 1

Catatan berikut ini saya sarikan dari tulisan tentang kunjungan sehari penuh ke Bogor bersama sejumlah teman beberapa waktu lalu. Beberapa lokasi tujuan sudah kami tentukan sebelumnya, sisanya kami kunjungi secara spontan karena kebetulan terlewati dalam perjalanan.

Ini bukan tulisan lengkap tentang sejarah Bogor ataupun objek-objek wisata di Bogor, namun sukur-sukur bila catatan ini bisa jadi panduan tambahan juga bagi mereka yang ingin berkunjung ke Bogor.

Afdeling paling Selatan residensi Batavia, kira2 dibekas ibu-kota Pakuan keradjaan Padjadjaran (1433-1527), tjantik alamnja, bagus letaknja dan njaman hawanja (72˚C). Gupernur-Djenderal Maetsuyker (1653-1678) telah tertawan hatinja oleh daerah itu sedemikian rupa, hingga ialah orang pertama, jang berhasrat mendirikan sebuah istana disana. Hutan2 dibabat (1677). Ketika itu pekerdja2 Sunda menemui banjak pohon-aren jang sudah mati rusak terbakar, hingga tidak mengeluarkan nira lagi (bogor), maka sedjak ketika itulah pula dinamakan Bogor.” Kutipan ini tercantum dalam bagian awal tulisan berjudul “Bogor 1853-1873; Bazaar di Bogor” karya Lie Kim Hok.[1]

Sebelum memasuki Kota Bogor yang katanya njaman hawanja itu, kami mampir dulu ke bekas sebuah situs kuno di kaki Gunung Pangrango, yaitu Arca Domas. Situs ini berdampingan dengan situs makam lainnya yang merupakan kompleks pemakaman tentara Jerman dari masa Perang Dunia II. Untuk menuju lokasi ini kami harus masuk dari jalan yang tidak terlalu lebar di Gadog, perjalanan agak menanjak sekitar 6-7 kilometer. Seluruh badan jalan memang sudah beraspal namun sempitnya cukup menyulitkan juga terutama bila berpapasan dengan mobil lain dari arah berlawanan.

ARCA DOMAS

Biasanya nama Arca Domas dikaitkan dengan situs keramat masyarakat Baduy di Kanekes, Banten. Namun ternyata masih ada Arca Domas lainnya, yaitu di Cikopo, Desa Sukaresmi, Kecamatan Megamendung. Nama Arca Domas di sini disinggung pula oleh Thomas Stamford Raffles dalam bukunya “History of Java” (1817). Dalam buku itu Raffles menyebutkan terdapatnya patung-patung batu dengan bentuk kasar di Buitenzorg dan di Recha Domas, dua daerah yang berhubungan dengan ibukota kerajaan kuno, Pajajaran.[2] Continue reading

Prasasti Kawali – Situs Astana Gede

Buat yang mau jalan-jalan ke Ciamis, atau kebetulan lewat kota itu, coba mampir ke Situs Astana Gede di Kawali. Letak persisnya di kaki Gunung Sawal di Dusun Indrayasa, Kecamatan Kawali, sekitar 27 km di utara ibukota Kabupaten Ciamis. Dalam kompleks situs seluas 5 hektar ini terdapat berbagai peninggalan bersejarah berupa punden berundak, menhir, prasasti, dan makam-makam kuno bercorak Islam.

Keberadaan situs ini ‘ditemukan’ oleh Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles (1811-1816) yang kemudian membukukan berbagai hasil penelitiannya di Pulau Jawa – termasuk tentang prasasti Kawali – dalam buku History of Java (1817).

Sejumlah penelitian kemudian dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa, di antaranya oleh Duymaer van Twist (juga seorang gubernur jenderal periode 1851-1856), Friederik (1855), K.F. Holle (1867), J. Noorduyn (1888), Pleyte (1911), dan de Haan (1912). Penelitian oleh bangsa Indonesia di antaranya oleh Saleh Danasasmita (1984) dan Atja (1990).

Berdasarkan prasasti (tanpa angka tahun) yang bertuliskan aksara dan bahasa Sunda kuno itu dapat diketahui tentang seorang raja yang dikenal dengan nama Prabu Raja Wastu (Niskala Wastu Kancana) yang berkedudukan di Kawali dengan keratonnya yang dinamakan Surawisesa. Kompleks situs Kawali ini berada tidak jauh dari lokasi Alun-alun Keraton Surawisesa dahulu.

Selain peninggalan Niskala Wastu Kancana, situs Kawali juga memiliki peninggalan berupa sebuah kolam kecil berukuran sekitar 10 meter persegi.  Kolam kecil ini sebetulnya merupakan sumber mata air yang bernama Cikawali. Konon dari nama kolam inilah nama daerah Kawali berasal. Ada juga sebuah menhir dengan tinggi sekitar 130 cm, lebar 15 cm, dan tebal 10 cm.

Berdampingan dengan menhir ini terdapat lumpang batu berbentuk segitiga. Jenis batu pada menhir ini konon hanya ditemukan di dua tempat saja di Jawa Barat, satu lainnya berada di Gunung Sembung, Cirebon. Warga setempat menyebut menhir ini dengan nama Batu Pangeunteungan. Sejumlah menhir lainnya terserak secara acak di kawasan ini, sebagian sudah disusun kembali hingga menyerupai bentuk nisan, sebagian lainnya mungkin sudah hilang.

Peninggalan bercorak Islam dapat ditemukan pada makam Raja Kawali, Adipati Singacala (1643-1718), yang terletak di puncak punden berundak di tengah kompleks situs. Panjang makam ini 294 cm. Selain itu, masih ada sekitar 10 makam lainnya yang tersebar di situs ini. Continue reading

Ledeng

Foto-foto koleksi KITLV.


Foto-foto koleksi KITLV.

Ledeng… Sebagai nama kawasan, Ledeng sudah sangat akrab dengan warga Bandung, karena terdapat sebuah terminal untuk akses transportasi ke wilayah di sebelah utara kota Bandung. Selain itu juga di kawasan ini terletak salah satu kampus penting di Bandung, yaitu Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

Tapi bagaimana ceritanya sehingga kawasan ini dinamai Ledeng?

Sampai tahun 1920-an daerah ini dikenal dengan sebutan Cibadak, sesuai dengan keberadaan sebuah mata air cukup besar di sana, Cibadak. Nama badak di sini ternyata selain dapat berarti mengacu pada hewan badak dan kemungkinan keberadaanya pada masa lampau di daerah ini[1], juga bisa jadi merupakan perubahaan dari kata bahasa Sunda lainnya, badag (=Cibadag), yang berarti besar.

Warga sekitar lokasi mata air ini memang mendapatkan cerita turun-temurun tentang besar atau melimpahnya air dari sumber mata air di sini. Hampir seluruh kampung di sekitar kawasan Cibadak lama memanfaatkan air dari tempat ini. Selain mata air Cibadak, ada juga beberapa mata air lainnya di dekat Cibadak, yaitu Cidadap dan Cikendi. Seluruh sumber air ini diberi benteng pelindung seperti tampak dalam foto kanan bawah, yang dibangun antara tahun 1920-1923.

Air yang melimpah ini disadap dan dialirkan melalui saluran pipa-pipa besar ke kawasan sekitarnya. Bangunan penyadapan tampak pada gambar kanan bawah. Pipa-pipa saluran berukuran besar yang melintang inilah yang yang kemudian menjadi cikal munculnya nama Ledeng bagi kawasan tersebut, karena ledeng (leiding) dalam bahasa Belanda memang berarti saluran. Sampai sekarang pipa-pipa ini masih tertanam dan dipakai sebagai saluran pembagian air ke pemukiman penduduk.

Gambar kiri atas adalah mata air Cibadak, sedangkan gambar kiri dan kanan bawah adalah rekaman foto saat peresmian instalasi penyadap air Cibadak yang dilakukan oleh Walikota Bandung, Bertus Coops, tahun 1921.

(Sumber foto KITLV)

 


[1] Lihat buku “Lie Kim Hok” karya Tio Ie Soei  dan dua buku Haryoto Kunto, “Semerbak Bunga di Bandung Raya” dan “Wajah Bandoeng Tempo Doeloe”

Pemboman Radio Malabar

J.C. Bijkerk dalam bukunya “Vaarwel tot Betere Tijd” menulis bahwa pada tanggal 6 Maret 1942 para pembesar Pemerintah Hindia Belanda (Jend. Ter Poorten, G.G. Tjarda, Maj. Bakkers, dan Gubernur Jabar Hogewind) mengadakan suatu pertemuan di rumah Residen Bandung, Tacoma. Pertemuan tersebut menghasilkan keputusan menjadikan Bandung sebagai kota terbuka dengan maksud agar Jepang dapat masuk Bandung tanpa harus terjadi  peperangan.

Peristiwa ini tentu dapat dimaklumi mengingat sebelumnya Jepang telah memborbardir pertahanan sekutu Pearl Harbour di Lautan Pasifik (8 Desember  1941) yang dilanjutkan dengan siaran gencar radio propaganda Nippon yang dipancarkan dari Tokyo. Siaran dalam bahasa Indonesia ini berisi : “Sebentar lagi Tentara Dai Nippon akan tiba di Indonesia. Kami akan datang bukan sebagai musuh, tetapi bertujuan untuk membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda.” Sebagai pembuai, siaran gombal dari Jepang ini selalu diakhiri dengan pemutaran lagu Indonesia Raya yang ternyata memang mampu membuai kebanyakan rakyat Indonesia.

Propaganda balik dari pihak Belanda dilakukan melalui radio-radio Nirom Surabaya dan Nirom Batavia, isinya agar rakyat Indonesia jangan memercayai siaran radio propaganda Jepang tersebut. Namun serangan balik ini sama sekali tidak berhasil karena tak lama kemudian Suarabaya, Malang, dan Madiun telah dibombardir (ejaan Hindia Belanda) angkatan udara Nippon.

Serangan berikutnya terjadi di Laut Jawa pada 27 Februari 1942. Jepang berhasil menenggelamkan kapal-kapal Exeter, Kortenaer, Java, dan Encouter milik sekutu yang disusul oleh dua kapal terakhir, Houston dan Perth. Continue reading

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑