Month: June 2013 (Page 1 of 2)

Beberapa Toko Buku Tempo Dulu di Bandung

Bandung - Jalan Braga (Toko Van Dorp)

1.     N.V.G.C.T. van Dorp & Co.

Toko buku van Dorp dibangun tahun 1922 dengan arsitektur bergaya indo-europeeschen architectuur stijl hasil rancangan arsitek Ir. C.P. Wolff Schoemaker. Dua buah kepala kala menghiasi bagian atas gedung van Dorp seperti yang juga terdapat di gedung bioskop Majestic di Bragaweg. Hiasan kepala kala dapat dikatakan sebagai tanda-tangannya Schoemaker. Bangunan bekas van Dorp saat ini tidak banyak mengalami perubahan sejak didirikan. Semua ornamen masih tampak utuh, demikian juga arcade di bagian depannya.

Toko buku van Dorp sangat terkenal di Bandung masa kolonial dulu. Toko yang berpusat di Batavia ini memiliki jaringan di Bandung, Semarang, dan Surabaya, dengan distribusi ke seluruh wilayah Hindia Belanda. Sejak awal dibuka sudah berfungsi sebagai toko buku dan berlangsung sampai tahun 1972. Kemudian cukup lama dibiarkan kosong hingga tahun 1980-an dijadikan rumah bilyar dan lantai duanya dijadikan bioskop POP. Saat ini bekas van Dorp dijadikan gedung pameran dengan nama Landmark Convention Centre sedang di bagian atasnya beroperasi sebuah night-club/diskotek.

Pada awal tahun 1940-an, toko van Dorp pernah menerbitkan sebuah buku botani berjudul “Indische Tuinbloemen”. Buku ini disusun oleh M.L.A. Bruggeman, botanikus pengelola Kebun Raya Bogor, dengan Ojong Soerjadi sebagai ilustrator. “Indische Tuinbloemen” memuat 107 kolom kosong dengan keterangan nama bunga di bawahnya. Untuk mengisi kolom kosong itu kita dapat menyicil membeli koleksi gambarnya. Setiap membeli sebuah gambar bunga tertentu, pembeli akan mendapatkan juga bibit tanaman bunga yang bersangkutan lengkap dengan potnya. Dengan begitu, van Dorp juga telah berperan mengajak warga Bandung untuk menjadi para penanam bunga.

Dalam satu bulan pertama setelah penerbitan buku “Indische Tuinbloemen”, van Dorp telah menjual sekitar satu juta tanaman bunga beserta potnya akibat permintaan pelanggan yang antusias. Untuk kebutuhan bunga saat itu mudah saja, karena kawasan di seberang van Dorp adalah sebuah pasar bunga yang besar dan ramai. Ini adalah pasar bunga lama sebelum dipindahkan ke Wastukancana. Continue reading

Karl Albert Rudolf Bosscha

Foto koleksi Tropen Museum.

Foto koleksi Tropen Museum.

Perkebunan Teh Malabar sudah dibuka sejak tahun 1890 oleh Preangerplanter bernama Kerkhoven yang sebelumnya sudah membuka perkebunan teh di daerah Gambung, Ciwidey. Namun popularitas kawasan Kebun Teh Malabar berkembang dan memuncak setelah Kerkhoven mengangkat sepupunya, Bosscha, untuk menjadi administratur perkebunan ini pada tahun 1896.

Selain perkebunan, sejumlah jejak Bosscha lainnya masih tersebar di kawasan ini. Di antaranya sebuah rumah tinggal yang saat ini sedang direnovasi akibat kerusakan yang cukup parah oleh gempa bumi pada bulan September lalu. Sebelum kerusakan ini, berbagai barang pribadi peninggalan Bosscha masih tersimpan dan tertata rapi di rumah ini. Saat ini barang-barang tersebut diungsikan ke sebuah gudang sampai renovasi selesai dilakukan. Salah satu spot favorit Bosscha di perkebunan ini adalah sebuah hutan kecil yang sekarang menjadi lokasi makam dan tugu Bosscha. Beberapa pohon besar (termasuk yang langka) memberikan keteduhan pada kompleks makam ini.

Tak jauh dari makam, terdapat suatu area dengan pohon-pohon teh yang sudah berumur lebih dari 100 tahun. Pohon-pohon teh yang mencapai tinggi hingga 6 meter ini berasal dari biji-biji teh Assam (India) yang ditanam pada tahun 1896. Biji teh dari Assam inilah yang kemudian menjadi bibit bagi perkebunan teh di sekitar Pangalengan. Di belakang pasar Malabar hingga saat ini masih dapat juga ditemui sebuah rumah panggung tempat tinggal para buruh perkebunan di masa Bosscha. Konon rumah panggung yang sekarang dikenal dengan nama Bumi Hideung ini didirikan pada tahun 1896, saat yang sama dengan berdirinya Perkebunan Teh Malabar.

Nama Bosscha sebenarnya tak dapat dipisahkan dari kota Bandung. Sifatnya yang dermawan telah melibatkannya dalam berbagai perkembangan dan kemajuan Kota Bandung di masa lalu. Beberapa di antaranya : pembangunan Technische Hooge School (THS atau ITB sekarang) beserta fasilitas laboratoriumnya, Sterrenwacht (peneropongan bintang) Bosscha di Lembang, PLTA Cilaki di Gunung Sorong, serta berbagai sumbangan untuk Doofstommen Instituut (Lembaga Bisu Tuli) dan Blinden Instituut (Lembaga Buta) di Jln. Cicendo dan Jln. Pajajaran, Leger des Heils (Bala Keselamatan), dan beberapa rumah sakit di Bandung.

Foto koleksi Tropen Museum.

Foto koleksi Tropen Museum.

Stasiun Radio Malabar-Gunung Puntang

Foto koleksi Tropen Museum.

Foto koleksi Tropen Museum.

Kawasan wisata Gunung Puntang yang merupakan bagian dari rangkaian Pegunungan Malabar, terletak di desa dan kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung. Kawasan ini sempat pusat perhatian dunia pada tahun 1923 karena saat itu pemerintah Hindia Belanda berhasil mendirikan stasiun radio pemancar yang pertama dan terbesar di Asia. Untuk memancarkan gelombang radio digunakan bentangan antena sepanjang 2 km antara Gunung Puntang dan Gunung Halimun. Ketinggian antena dari dasar lembah rata-rata 350 meter. Kontur lembah di kawasan yang terpencil ini ternyata sangat mendukung efektivitas rambat gelombang yang mengarah langsung ke Nederland. Sebagai pendukung tenaga listriknya, dibangun pula sejumlah pembangkit listrik, di antaranya PLTA Dago dan PLTA Plengan dan Lamadjan (di Pangalengan) serta sebuah PLTU di Dayeuhkolot.

Pada tahun 1923 ditambahkan sebuah kompleks hunian bagi para karyawan stasiun pemancar ini. Kompleks yang disebut sebagai Radiodorf (Kampung Radio) ini memiliki sejumlah fasilitas seperti rumah karyawan, gedung pemancar, lapangan tenis, kolam renang, dan konon juga sebuah bioskop. Sayang semuanya kini hanya tinggal puing berserakan saja. Di seantero kawasan ini bisa dengan mudah kita temui sisa-sisa bangunan, bekas-bekas fondasi yang sering tertutup semak, serta sisa-sisa antena yang masih tersebar di area pegunungan. Saat ini di reruntuhan bangunan yang tersisa dipasang plakat-plakat nama para pejabat yang pernah tinggal di situ.

Perintisan dan pembangungan Stasiun Radio Malabar dilakukan oleh seorang ahli teknik elektro Dr. Ir. C.J. de Groot sejak 1916. Pembangunan antena di Gunung Puntang sudah dilakukannya sejak 1917. Setelah mengalami kegagalan, de Groot akhirnya bisa menyelesaikan pekerjaannya pada tahun 1923 (antena Telefunken yang diterima di Batavia pada 1919, baru selesai terpasang pada 1922). Stasiun Radio Malabar kemudian diresmikan oleh Gubernur Jenderal de Fock pada tanggal 5 Mei 1923. Continue reading

Jalan-jalan ke Kampung Naga

Repost: Lupa dulu di tulis untuk siapa..

kampung naga 040506 03

Pagi itu cuaca cukup cerah, walaupun matahari di langit tidak tampak dengan jelas. Sinar kehangatan yang dipancarkan tidak terlalu terasa menembus kulit. Mungkin karena saat ini cahayanya terhalang bukit dan material alam lainnya.

Jalur perjalanan antara Garut – Tasikmalaya masih terhitung hijau dan asri. Setelah menempuh perjalanan sekitar 2 jam dari kota Bandung, akhirnya tibalah di kawasan adat Kampung Naga. Dari bukit di seberang sungai Ci Wulan nampak lembah yang menjadi wilayah Kampung Naga. Kampung ini dikelilingi oleh bukit-bukit hijau, hutan yang dikeramatkan, pesawahan, beberapa kolam di depan kampung serta aliran sungai Ci Wulan yang semuanya bertaut menjadi semacam pagar alami bagi wilayah pemukiman masyarakat Kampung Naga. Atap-atap rumah tradisional masyarakat Kampung Naga nampak terkumpul di bagian tengah. Atap-atap tersebut nampak seragam dengan dominasi warna atap yang kehitaman.

kampung naga 040506 02

Untuk memasuki wilayah Kampung Naga, sekitar ratusan anak tangga terhampar kokoh bagai jembatan penghubung antara dunia yang penuh dengan modernitas dengan dunia yang asri dan tenang yang jauh dari keriuhan kehidupan perkotaan. Tangga semen yang berliku sepanjang hampir 500 meter ini memiliki kemiringan sekitar 45 derajat. Continue reading

Jalan-jalan ke Gunung Lalakon (Soreang) dan Gunung Sadahurip (Garut)

Daripada hilang di rimba facebook, baik juga catatan ini dihadirkan lagi di sini buat panduan yang ingin jalan-jalan ngabuburit atau cari jodoh 🙂

Nama pasangan Hans Berekoven dan Rozeline Berekoven, mulai mencuat saat diselenggarakannya Konferensi Internasional Alam, Falsafah, dan Budaya Sunda Kuno di Hotel Salak, Bogor, pada 25-27 Oktober 2011 lalu. Kehadiran pasangan berkebangsaan Australia ini dalam konferensi tersebut tentu saja mempunyai alasan. Beberapa tahun lalu, Hans & Roz memboyong keluarganya berlayar dari Fremantle ke Bali dengan membawa mimpi besar, menguak sejarah purba peradaban Nusantara melalui sebuah ekspedisi kelautan.

Hans menyimpan sebuah dugaan besar tentang masa lalu, terutama pada Zaman Es. Pada puncak zaman itu sebagian besar Eropa Utara tertutup lapisan es tebal, sebagian di antaranya mencapai ketebalan hingga 2000 meter. Level air di dunia saat itu berada hingga 150 meter lebih rendah daripada keadaan sekarang. Artinya, wilayah Laut Cina Selatan dan Laut Jawa pada masa itu terekspos menjadi lahan kering yang datar dan luas. Pada saat itu terjadi migrasi manusia yang sebelumnya meninggali Benua Asia menuju Zona Tropis di bagian selatan, yaitu di wilayah Indonesia sekarang.

Hans beranggapan, saat itu, wilayah Paparan Sunda merupakan permukiman terbaik yang ada di dunia. Dengan begitu, sekaligus juga merupakan lokasi utama bagi akar peradaban. Walaupun Hans tidak menolak kepercayaan umum bahwa budaya pertanian dan peternakan dimulai sekitar 8000-10,000 tahun yang lalu, namun dia juga mengajukan pertimbangan bahwa bisa saja hal itu sudah terjadi 6000 tahun sebelumnya. Para pengumpul dan pemburu yang bermigrasi ke wilayah selatan memicu tumbuhnya budaya pertanian dan peternakan di sini. Sekarang memang sulit untuk mendapatkan buktinya, tapi hans memiliki alasan, katanya, “Kita tidak menemukan buktinya karena kita hanya mencari buktinya di daratan. Padahal bukti itu kini berada di bawah air.”

Hans yakin bahwa pencarian jejak-jejak peradaban kuno mesti dilakukan di lembah-lembah dan delta-delta sungai kuno yang kini terkubur di bawah lapisan lumpur di kedalaman 40 sampai 60 meter di Laut Jawa. Untuk mencarinya diperlukan pemindai sonar dan kapal selam mini yang dapat dioperasikan dengan remote control, dan tentunya peralatan selam. Hans yakin di bawah sana akan ada gundukan-gundukan yang tidak alamiah sisa peradaban purba tersebut.

Ridwan Gunung Lalakon & Sadahurip-1    Ridwan Gunung Lalakon & Sadahurip-2

Hans adalah seorang mantan kapten kapal survey kelautan di Australia. Ia bersama istrinya memiliki sebuah properti seluas 1200 hektare bernama Kangaroo Camp di Bombala. Di sini mereka membangun rumah tinggal dan kompleks perkebunan anggur tertinggi di Australia. Produksi wol halus mereka termasuk yang terbaik di Australia. Hingga 2005 pasangan ini telah mendapatkan 3 buah penghargaan untuk keunggulan di bidang pariwisata.

Namun demi mewujudkan mimpi mereka, semua properti itu mereka sewakan kepada pihak lain, serta menjual 2000 wol halus agar dapat membeli kapal laut kecil berukuran panjang 19 meter yang dinamai Southern Sun. Biaya ini juga mereka perlukan untuk mengawali ekspedisi arkeologi kelautan Paparan Sunda yang sudah memenuhi benak mereka. Maka pada tahun 2005 berangkatlah keluarga ini menuju Bali sebagai basecamp pertama mereka.

Selanjutnya adalah mengurus perizinan penelitian kelautan kepada pemerintah Indonesia. Upaya ini rupanya tidak berjalan mulus. Proses perizinan berlangsung hingga dua tahun dan tampaknya jalan sukar sudah di depan mata, pemerintah Indonesia menerapkan persyaratan yang terlalu besar untuk dapat mereka biayai, sehingga akhirnya ekspedisi ini mereka tangguhkan dulu untuk sementara.

Sementara itu, Hans & Roz sudah membawa Southern Sun untuk bermarkas di Miri, Sarawak. Di sini mereka menggunakan sebagian besar waktu untuk mencari sejumlah sisa kapal perang yang tenggelam saat Perang Dunia II. Di lepas pantai Kalimantan mereka menemukan kembali kapal penghancur Sagiri, milik Jepang, yang tenggelam karena kecelakaan di dekat kota Kuching. Dengan pemindai sonar, mereka mengenali bentuk kapal ini. Hans menyelam dan menemukan bangkai kapal lengkap dengan torpedonya dalam tabung.

Ridwan Gunung Lalakon & Sadahurip-3

Gunung Lalakon
Dua hari penuh (13-14 November 2011) bersama pasangan Hans & Roz, saya tidak terlalu banyak mendengarkan perbincangan mereka tentang Atlantis. Hanya sesekali saja Roz terdengar mengucapkan sesuatu tentang Atlantis atau Lemuria. Dua hari ini, melalui permintaan seorang teman, saya bertugas menemani Hans & Roz untuk kunjungan ke Gunung Lalakon di Soreang, dan Gunung Sadahurip di Wanaraja, Garut. Kedua gunung ini, terutama Gunung Lalakon, belakangan ini memang santer diberitakan berkait dengan dugaan sementara orang tentang kemungkinan hubungannya dengan Atlantis.

Awalnya adalah kelompok peminat peradaban kuno, Turangga Seta, yang membuat dugaan ini. Entah bagaimana kelompok ini bisa menemukan kedua gunung tersebut, namun tim dari kelompok ini sempat mengadakan penelitian ilmiah ke Gunung Lalakon dan melakukan uji geolistrik dibantu beberapa ilmuwan dari LIPI dan BPPT. Dari hasil uji itu, mereka lalu mengadakan penggalian dan menemukan struktur bebatuan yang tersusun rapi dengan kemiringan 30 derajat di kedalaman 1-4 meter. Bebatuan membrojong ini dianggap sebagai bagian dari piramida yang sekarang sudah terkubur menjadi gunung.

Penemuan Gunung Lalakon dengan cerita Atlantisnya memang menimbulkan kontroversi cukup hangat di media massa maupun jaringan dunia maya atau internet. Tak kurang dari HU Pikiran Rakyat hingga VIVANews turut memberitakannya. Berdasarkan pengalaman saya mencari tahu fenomena ini melalui internet, ternyata lebih banyak tulisan yang lebih bersifat mendukung daripada membantah fenomena piramida di Gunung Lalakon. Tentu saja fakta ini tidak lantas menjadi ukuran kebenaran bagi salah satu pihak, namun paling tidak, bagi saya, dapat menunjukkan kecenderungan tertentu yang sedang berlangsung di dalam masyarakat.

Hans dan Roz yang awalnya lebih tertarik pada fenomena bawah air, akhirnya merasa tidak ada salahnya juga untuk turut melihat dan memeriksa kontroversi piramida di balik Gunung Lalakon dan Sadahurip secara langsung. Pergeseran minat ini disebabkan juga oleh ketidakpastian kelanjutan ekspedisi kelautannya yang terus tertunda karena ketiadaan biaya. Karena itulah dalam kunjungan singkatnya ke Indonesia kali ini mereka meluangkan waktu untuk mendatangi langsung gunung-gunung tersebut.

Sejak mula berada di lokasi Gunung Lalakon, Hans sudah meragukan kaitan piramida dengan gunung ini. Kesuburan daerah yang mengelilingi gunung ini membuatnya mengambil kesimpulan bahwa Gunung Lalakon adalah gunung alami dan tidak menyimpan karya manusia di dalamnya. Kesuburan tanah di sekeliling gunung sangat berhubungan dengan gunung itu sendiri, sebuah gunungapi yang sudah sangat lama mati. Pengambilan kesimpulan seperti ini akan sangat jelas saat mengunjungi Gunung Sadahurip di Wanaraja keesokan harinya. Wilayah di sekitar Gunung Sadahurip memang sangat subur dan karena itu sepanjang mata memandangi wilayah ini, kita hanya akan lihat ladang-ladang saja.

Ridwan Gunung Lalakon & Sadahurip-4

Gunung Sadahurip
 Kunjungan ke Sadahurip sudah dimulai sejak pagi sekali. Jam 8 pagi kami sudah berada di dekat Limbangan untuk menikmati secangkir kopi. Hans memilih air kelapa muda, langsung dari butirnya. Melalui Pak Oman Abdurahman, kami mendapatkan kontak di Wanaraja, seorang teman yang bernama Euis Keukeu Maryam, yang akan mengantarkan kami ke Sadahurip. Sepanjang perjalanan ini nyata sekali pasangan Hans & Roz menikmati seluruh pemandangan yang hadir di depan mereka, tak terkecuali jajaran delman yang memenuhi jalur jalan Karangpawitan hingga Wanaraja. Roz sedapatnya merekam kereta-kereta kuda itu dengan handycamnya untuk oleh-oleh bagi anaknya.

Tidak sulit menemukan rumah Ibu Keukeu, namun untuk menyingkat waktu, pertemuan kami langsungkan di sebuah rumah makan sekalian menyiapkan energi untuk pendakian. Sayang, karena pekerjaan rumahnya, Ibu Keukeu tidak dapat serta dan sebagai gantinya adalah suaminya yang akan mengantarkan kami ke puncak Sadahurip. Usai makan, kami berlima langsung menuju lokasi gunung melalui jalur-jalur jalan sempit di sepanjang Kecamatan Pangatikan. Sejak meninggalkan jalan raya Pangatikan, sepanjang beberapa kilometer jalur jalan terus menanjak landai.

Banyak pemandangan menarik dalam perjalanan ini. Kelompok gunung-gunung di sekitar kami tidak ada habisnya. Susahnya, tidak ada warga yang dapat mengenal baik nama-nama pegunungan yang kami lewati. Mungkin karena letaknya yang memang cukup jauh juga, sehingga tidak menjadi keseharian mereka. Namun dalam peta, dapat saya lihat kemungkinan nama beberapa gunung ini, di antaranya Gn. Cakrabuana, Gn. Karacak, Gn. Talagabodas, dan Gn. Sadakeling. Gunung-gunung yang lebih dekat kami tanyakan kepada para petani, namun jawabannya tidak terlalu meyakinkan, di antaranya, Gn. Kaboh, Gn. Karaha, Gn. Gerosi, dan Gn. Putri.

Setelah melalui jalan kaki yang panjang di antara ladang yang terus menanjak, kami tiba di lereng Sadahurip dan menemukan sebuah pemandangan spektakuler (bagi saya), yaitu sebuah cekungan mirip bekas kepundan gunungapi seperti yang saya lihat di Sumur Jalatunda, Dieng. Namun saya tidak dapat melihat dasarnya karena jauhnya. Di depan cekungan ini adalah lembah sempit yang memanjang dan terdengar cukup keras suara aliran sungai di bawahnya. Tampak dua tebing tinggi dengan bagian puncak yang mengingatkan saya pada Gunung Batu di Lembang. Dari warga kami dengar bahwa pada tahun 1980-an sebuah pesawat kecil pernah terjatuh di wilayah ini. Hingga beberapa lama bangkai pesawat masih terserak di situ.

Kondisi lingkungan selama perjalanan dan pendakian Gunung Sadahurip ternyata telah membuat Hans meragukan kisah piramida di balik gunung itu. Menurutnya semua yang ada di wilayah ini adalah hasil kerja alam karena keberadaan gunungapi. Kesuburan tanah akibat debu vulkanik, jalur-jalur aliran lava, dan beberapa amatan lain telah membuatnya mengambil kesimpulan bahwa Gunung Sadahurip adalah murni karya alam, sebuah gunungapi yang telah lama mati. Selewatan saya mendengarkan obrolan mereka, Roz yang mengatakan bahwa Hans adalah seorang pesimistis, dan sangkalan Hans yang menyatakan bahwa dirinya adalah seorang skeptis dan bukan pesimis. Sepanjang jalan pasangan ini mendiskusikan amatan mereka masing-masing. Saya tidak terlalu mengikuti obrolan serius ini, mencatat kesimpulan yang akhirnya diambil oleh Hans, baik Lalakon maupun Sadahurip, keduanya adalah murni karya alam dan samasekali tidak menyimpan campur tangan manusia di baliknya.

Walaupun merasa gagal menemukan piramida, namun Hans dan Roz samasekali tidak menyesali perjalanan mereka ke dua lokasi gunung ini. Pertama, karena mereka memang tidak menginginkan apa pun kecuali memuaskan rasa kepenasaran mereka tentang peradaban kuno yang hilang, dan kedua, mereka menemukan gantinya yang tak tertandingi dan di luar bayangan mereka sendiri, yaitu pemandangan luar biasa sepanjang perjalanan antara Bandung – Soreang – Garut. Pengalaman mereka dengan Pulau Jawa selama ini hanyalah Jakarta – Bogor, dan sungguh tidak menyangka bahwa di wilayah yang lebih ke dalam dapat menemukan pemandangan pegunungan hijau yang spektakuler. Sepanjang jalan menemani pasangan ini, itulah yang saya dengar; spectacular, amazing, wonderful, what an adventure, dan seterusnya dan seterusnya.

Bagi saya sendiri yang tidak terlampau terlibat dengan misteri peradaban kuno dengan segala kontroversinya, mendengarkan decak kagum tak henti dari pasangan petualang ini sudahlah cukup membahagiakan, mungkin rasanya seperti menemukan piramida itu sendiri.

Bandung, 18 November 2011

Nb. Sumber informasi utama untuk data-data di atas adalah buku “Peradaban Atlantis Nusantara” (Ufuk, 2011) suntingan Ahmad Y. Samantho & Oman Abdurahman.

Nganjang ka Dayeuhkolot-Banjaran

Ini catatan dari dua tahun lalu setelah ngaleut bareng @KomunitasAleut. Daripada hilang ditelan multiply, saya unggah lagi di sini, lumayan buat bahan ngabuburit atau yang ingin jalan-jalan ke daerah sana..

Ngaleut Dayeuhkolot-Banjaran Bagian 1
MONUMEN MOHAMMAD TOHA
Pada hari Minggu lalu, 20 Maret 2011, Komunitas Aleut! mengadakan kunjungan ke daerah Dayeuhkolot dengan tema utamanya mengenang peristiwa Bandung Lautan Api (BLA – 1946). Sebagian kita mungkin sudah mengetahui kaitan Dayeuhkolot dengan BLA. Di sinilah seorang tokoh kontroversial , Mohammad Toha, meledakkan gudang mesiu Belanda. Bukan hanya ketokohan Moh. Toha yang kontroversial, namun kronologi peristiwanya pun lumayan simpang-siur, maklum tak ada seorang pun yang secara langsung menyaksikan atau mengetahui secara persis peristiwa itu. Koran Pikiran Rakyat pernah mengadakan investigasi intensif pada tahun 2007 dengan mewawancarai sejumlah tokoh yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang mungkin berkaitan. Di antara mereka ada yang juga mengenali Moh. Toha secara pribadi.

Hasil investigasi Pikiran Rakyat kemudian dimuat secara berturut selama seminggu penuh. Termasuk di antaranya adalah tulisan dari kalangan akademisi serta laporan masyarakat pembaca. Tidak semua hal menjadi terang-benderang setelah peliputan itu, bahkan sempat pula ada keraguan tentang wajah Moh. Toha yang beberapa fotonya ditampilkan dalam liputan koran itu.

P1630607B

Kunjungan Komunitas Aleut! hari itu tidak hendak ikut nimbrung dalam kontroversi ini melainkan sekadar mengenalkan saja secara selintas peristiwa bersejarah yang hampir terlupakan itu. Di Dayeuhkolot kami dapat kunjungi lokasi peledakan gudang mesiu yang sekarang sudah menjadi kolam. Sebuah laporan berdasarkan ingatan, dari Misbah Sudarman, menyebutkan tentang sebuah lubang yang menganga dan dalam, sementara di sekitarnya tanah menggunung dalam radius 25 meter. Rumah-rumah Belanda dan warga di sekitar lokasi itu hancur berantakan. Saat diwawancarai pada tahun 2007, Misbah Sudarman berusian 72 tahun.

Sekarang lokasi bekas ledakan itu sudah menjadi kolam dengan air berwarna coklat. Di salah satu sisinya terdapat sebuah karamba besar. Beberapa orang tua tampak memancing di pinggiran kolam. Di depan kolam didirikan dua buah monumen, satu monumen berupa patung dada Moh. Toha dan di belakangnya sebuah monumen yang menjulang tinggi berbentuk lidah-lidah api dengan tentara yang terperangkap dalam kobarannya. Di sebelah kiri monumen ini terdapat tembok prasasti berisi 15 kotak marmer. Pada 13 kotak di antaranya terpahatkan daftar nama pejuang yang gugur dalam peristiwa Bandung Lautan Api. Dua kotak di sudut kanan bawah masih tampak kosong. Di bagian atas tembok prasasti ini terdapat ornamen kobaran api.

P1630629B

Di seberang kolam, agak kurang menonjol, tampak tembok memanjang dengan relief cerita seputar BLA. Agak sulit untuk menangkap isi relief ini karena selain letaknya yang jauh di seberang kolam, tidak terdapat warna-warna yang dapat membantu penglihatan selain sedikit warna emas yang tampaknya sudah luntur dan kusam. Warna yang mendominasi hanyalah warna batu andesit yang menjadi bahan tembok ini. Dengan zoom kamera saya dapat lihat gambaran umum relief yang berisi hal-hal seputar BLA. Ada gambaran umum pertempuran, Soekarno-Hatta, truk-truk militer, tulisan-tulisan “Merdeka”, “Bengkel Sepeda Motor Cikudapateuh”, dan “Dengki Amunition”. Paling kanan adalah relief ledakan gudang mesiu.

P1630598B

Di depan Patung dada Moh. Toha terletak kompleks Batalyon Zeni Tempur 3/YW. Dalam dua kali kunjungan ke monumen ini ternyata selalu ada tentara yang menghampiri menanyakan tujuan kedatangan dan izin kunjungan. Mungkin kedatangan rombongan Aleut! ke tempat ini terlihat tak lazim, apalagi dengan begitu banyak kegiatan pengamatan dan foto-foto. Sementara itu di belakang monumen terletak gedung Komando Daerah Militer 0609 – Komando Rayon Militer 0908 Dayeuhkolot. Kompleks monumen ini memang terletak di tengah-tengah kawasan militer Dayeuhkolot, jadi bila ingin berkunjung sebaiknya persiapkanlah berbagai hal yang diperlukan terutama yang berkaitan dengan perizinan.

Dengan menggunakan angkutan kota baik dari arah Buahbatu/Bale Endah atau dari arah Kebon Kalapa dan Tegalega, jarak tempuh ke lokasi ini tidak akan lebih dari 30 menit saja, kecuali di hari-hari biasa yang umumnya selalu macet. Markas militer dan monumen ini dengan mudah terlihat di sisi jalan. Selain itu jalur angkutan kota dari kedua arah itu juga mewakili peristiwa BLA karena merupakan jalur-jalur utama pengungsian masyarakat Kota Bandung ke daerah selatan setelah Bandung dijadikan lautan api.

 

Ngaleut Dayeuhkolot-Banjaran Bagian 2
MAKAM LELUHUR BANDUNG
Dari Monumen Moh. Toha, rombongan Aleut! melanjutkan kunjungan ke kompleks makam bupati di Kampung Kaum.
Kompleks makam ini terletak agak tersembunyi di tengah kampung. Di ujung gang sudah tampak sebuah gapura putih dengan pintu besi yang masih terkunci. Kompleks makam seluas satu hektare ini dibentengi oleh tembok yang juga berwarna putih. Tanah ini adalah tanah wakaf dari keluarga Dewi Sartika.
Pada tembok depan terpasang sebuah prasasti marmer bertuliskan nama-nama tokoh yang dimakamkan di situ :
– Ratu Wiranatakusumah (Raja Timbanganten ke-7)
– R. Tmg. Wira Angun-Angun (Bupati Bandung ke-1)
– R. Tmg. Anggadiredja II (Bupati Bandung ke-4)
– R. Adipati Wiranatakusumah I (Bupati Bandung ke-5)
– R. Dmg. Sastranegara (Patih Bandung)
– R. Rg. Somanegara (Patih Bandung)
– R. Dmg. Suriadipradja (Hoofd Jaksa Bandung)
Selain nama-nama yang tercantum di atas, masih banyak nama tokoh lain yang dimakamkan di sini yang mungkin menarik untuk ditelusuri karena sedikit-banyak mungkin menyimpan cerita tentang sejarah Bandung.

P1630645B

Di tengah kompleks terdapat empat buah makam bercungkup yang seluruhnya adalah makam pindahan. Masing-masing adalah makam R. Tmg. Wira Angun-Angun, Bupati Bandung pertama (1641-1681), yang dipindahkan dari Pasirmalang, Bale Endah, pada tahun 1984; Ratu Wiranatakusumah yang dipindahkan dari tempat asalnya di Cangkuang, Leles, pada tahun 1989; Makam R. Rg. Somanegara yang dipindahkan dari tempat pembuangannya di Ternate; dan R. Dmg. Suriadipradja yang dipindahkan dari tempat pembuangannya di Pontianak. R. Dmg. Suriadipradja adalah ayahanda Dewi Sartika. Dua tokoh terakhir ini dipindahkan pada tahun 1993. Seluruh pemindahan dilakukan oleh Yayasan Komisi Sejarah Timbanganten-Bandung.

Peristiwa apakah yang melatari pembuangan Somanegara dan Suriadipradja? Pada tanggal 14 dan 17 Juli 1893 telah terjadi suatu keriuhan yang dikenal dengan sebutan “Peritiwa Dinamit Bandung”. Saat itu di Pendopo Bandung tengah berlangsung perayaan pengangkatan R. Aria Martanegara sebagai Bupati Bandung. Beliau yang keturunan Sumedang, sebelumnya menjabat sebagai Patih Onderafdeling Mangunreja (Sukapurakolot) dan diminta oleh pemerintah Hindia-Belanda untuk menggantikan Bupati Bandung R. Adipati Kusumadilaga yang wafat pada 11 April 1893. Saat itu putera Kusumadilaga, R. Muharam baru berusia empat tahun, sehingga tidak bisa menggantikan ayahnya. Pejabat sementara dipegang oleh Patih Bandung, R. Rg. Somanegara.

P1630274

Pengangkatan Martanegara sebagai bupati ternyata diterima dengan kekecewaan mendalam oleh Somanegara. Menurut tradisi yang berlaku, pengganti pejabat pribumi yang wafat adalah putra sulungnya. Hak ini tidak dapat diganggu-gugat, namun dengan syarat tambahan yang pelanjut harus cakap untuk jabatan tersebut. Dalam kasus tertentu, dapat juga menantu melanjutkan jabatan mertuanya seperti yang terjadi pada Bupati Bandung pertama, Wira Angun-Angun, yang menyerahkan jabatan kepada menantunya. Kasus lain terjadi juga pada Bupati Tanggerang di tahun 1739. Walaupun bupati tersebut memiliki tiga orang putera, namun pemerintah memilih untuk mengangkat menantunya sebagai pengganti jabatan Bupati Tangerang.

P1630277

R. Rg. Somanegara adalah menantu Dalem Bintang atau Adipati Wiranatakusumah IV, Bupati Bandung sebelum R. Kusumadilaga. Kesempatannya untuk menjadi Bupati Bandung telah dua kali diabaikan oleh pemerintah Hindia-Belanda. Pertama, saat mertuanya, R. Adipati Wiranatakusumah IV, wafat pada 1874, ia harus menerima keputusan pemerintah yang memilih untuk mengangkat saudara Wiranatakusumah IV yaitu R. Kusumadilaga. Yang kedua, saat pemerintah memilih mengangkat seorang keturunan Sumedang, R. Aria Martanegara, sebagai pengganti Bupati Bandung, R. Kusumadilaga.

Karena itulah mungkin Somanegara merasa kecewa sehingga merencakan pembunuhan terhadap Residen, Asisten Residen, Bupati Bandung dan Sekretarisnya. Caranya adalah dengan melakukan pendinamitan di beberapa lokasi. Di antaranya di sebuah jembatan di atas Ci Kapundung dekat Pendopo dan di panggung direksi pacuan kuda di Tegallega. Hasil pengusutan polisi mendapatkan 8 orang tertuduh yang berada dalam pimpinan R. Rg. Somanegara dan ayahanda Dewi Sartika, R. Dmg. Suriadipradja. Pemerintah memutuskan untuk membuang kedua tokoh ini masing-masing ke Ternate dan Pontianak.

Kembali ke kompleks makam. Dulu, wilayah kompleks makam ini adalah bekas pusat pemerintahan Kabupaten Bandung saat masih berada di Krapyak. Di sinilah terletak Pendopo Kabupaten. Mengelilingi Pendopo ini terdapat bangunan-bangunan seperti tajug (sekarang sudah menjadi mesjid) dan kantor kabupaten yang lahannya sekarang sudah habis menjadi permukiman. Bale pertemuan terletak di wilayah Bale Endah sekarang. Dekat dengan pusat pemerintahan ini terletak titik pertemuan sungai Ci Kapundung dengan Ci Tarum, yaitu di Cieunteung yang sekarang bernama Mekarsari.

P1630818B

Semestinya setelah dari kompleks Makam Leluhur Bandung, perjalanan akan dilanjutkan ke Cieunteung, namun karena juru kunci selintas menyebutkan sebuah kabuyutan di Batu Karut, maka saya secara spontan mengajukan usul untuk sekalian menyambangi tempat itu. Sebelumnya saya sudah pernah dua kali mengunjungi tempat itu, namun kali ini suasana yang saya temui agak berbeda.

 

Ngaleut Dayeuhkolot-Banjaran Bagian 3
BUMI ALIT KABUYUTAN, BATU KARUT
Perjalanan ke lokasi ini kami tempuh dengan dua buah angkot borongan. Lama perjalanan sekitar 15-20 menit. Tiba di lokasi, kami masih harus mencari juru kunci dulu karena kompleks situs ternyata terkunci. Dari luar tampak plang bertuliskan “Situs Rumah Adat Sunda (Bumi Alit Kabuyutan) – Lebakwangi Batu Karut – Kec. Arjasari Kab. Bandung”.

P1630744B

Juru kunci, Bapak Enggin, segera membukakan gerbang dan mengajak semua peserta untuk berkumpul di bale. Pertanyaan utama dari beliau adalah “Apa tujuan kunjungan ini?.” Usia sepuh membuatnya berbicara sangat perlahan dengan artikulasi yang kurang tegas, karena itu semua Aleutians merapat sangat dekat agar dapat menyimak dengan baik. Bagi beberapa teman, usaha ini cukup sia-sia, karena Pak Enggin menggunakan bahasa Sunda dengan banyak kata yang tidak terlalu biasa terdengar dalam percakapan sehari-hari di kota.

Inti cerita, Pak Enggin menyampaikan berbagai simbol yang terdapat dalam Bumi Alit Kabuyutan. Semua simbol ini berkaitan dengan filosofi kehidupan dan keagamaan yang menjadi pedoman hidup masyarakat penganutnya. Menurutnya, Batu Karut adalah pusat penyebaran agama Islam dengan menggunakan siloka. Misalnya saja ukuran rumah yang 5×6 meter dikaitkan dengan rukun Islam dan rukun Iman. Perkalian dari ukuran itu adalah jumlah juz dalam Quran. Angka-angka yang sama terulang lagi dalam menceritakan isi Bumi Alit. Di dalamnya terdapat 5 buah pusaka, yaitu lantingan, pedang, keris, badi, dan tumbak. Kelima pusaka ini ditempatkan dalam sumbul yang sekaligus menjadi pusaka keenam. Semua pusaka dibungkus oleh 5 lapis boeh.

Penceritaan dan diskusi soal filosofi ini berlangsung cukup lama dan intensif. Namun yang seringkali terjadi dalam kunjungan ke situs-situs keramat seperti ini adalah tidak ada keterangan sejarah yang memadai. Kebanyakan pertanyaan akan dijawab dengan agak kabur atau tidak tahu. Misalnya saja pertanyaan asal mula rumah adat ini, siapa pembangunnya,siapa yang menghuni, bagaimana kisahnya hingga menjadi tempat penyimpanan benda pusaka, dst. Bapak Enggin hanya selintas saja bercerita tentang situs Gunung Alit yang berada dekat dengan Bumi Alit. Di Gunung Alit terdapat beberapa makam tokoh dengan fungsi pemerintahan dan sosial di Batu Karut dahulu.

Masing-masing makam tersebut adalah Mbah Lurah yang memegang urusan pemerintahan, Mbah Wirakusumah sebagai panglima, Mbah Patrakusumah urusan seni-budaya, Mbah Ajilayang Suwitadikusumah bagian keagamaan, dan Mbah Manggung Jayadikusumah. Nama terakhir ini tak saya temukan fungsinya dalam catatan yang saya buat, tampaknya terlewatkan.

Selain itu Bapak Enggin juga bercerita tentang upacara adat dan tata cara berziarah. Pada bagian ini saya kesulitan mencatat detail sesajian yang semuanya juga dihubungkan dengan filosofi kehidupan. Secara sepintas saya juga bertanya tentang sertifikat yang sebelumnya saya lihat terpajang di rumah Bapak Enggin. Sertifikat itu dikeluarkan oleh Depdikbud Dirjen Kebudayaan Direktorat Kesenian, Jakarta, tahun 1993 bagi peserta Festival Musik Tradisional Tingkat Nasional 1993 di Jakarta. Obrolan pun berlanjut ke kesenian yang dianggap asli Batu Karut, yaitu goong renteng atau sering juga disebut goong renteng Mbah Bandong dengan istilah bandong yang dikaitkan dengan asal-usul nama kota Bandung. Maksudnya adalah bahwa dalam kesenian gamelan ini terdapat dua buah goong yang ngabandong atau berpasangan, berhadapan.

Laras dalam gamelan goong renteng berbeda dengan yang umumnya dikenal, mereka menyebutnya laras bandong. Instrumen lain yang dipergunakan dalam gamelan ini adalah sejenis bonang yang disebut kongkoang, gangsa (sejenis saron), paneteg (sejenis kendang), dan beri yang mirip gong namun tidak berpenclon. Penggunaan gangsa dapat menunjukkan ketuaan kesenian ini karena biasanya tidak digunakan lagi dalam gamelan umumnya. Demikian juga dengan gong beri yang biasanya digunakan dalam peperangan dengan fungsi sebagai penanda. Gong beri tidak lazim digunakan dalam gamelan namun masih dapat ditemui digunakan dalam iringan seni bela diri tradisional.

Selain goong renteng, di daerah ini juga dapat ditemukan seni terebangan (sejenis rebana), reog, barongan, dan beluk. Beberapa tahun lalu, seorang teman peneliti musik dari Perancis pernah mengajak untuk menyaksikan dia merekam kesenian beluk di beberapa tempat, di antaranya di Banjaran. Saya masih selalu menyesal karena saat itu berhalangan untuk memenuhi undangan-undangannya. Namun akhirnya saya sempat juga beberapa kali menyaksikan kesenian ini diperagakan di Sumedang.

P1630714B

 

Ngaleut Dayeuhkolot-Banjaran Bagian 4
SEKILAS SENI BELUK
Seni beluk adalah seni vokal tanpa iringan instrumen khas masyarakat Sunda yang sekarang ini sudah langka sekali ditemui. Sebarannya adalah wilayah agraris dan terutama di dataran-dataran tinggi, mulai dari Banten hingga Sumedang dan Tasikmalaya. Namun sayangnya sebaran yang luas ini tidak berarti bahwa seni beluk (mungkin juga seni tradisional lainnya) memiliki daya tahan yang kuat dalam menghadapi perubahan zaman. Salah satu yang masih bertahan adalah beluk dari Batu Karut, Desa Lebakwangi, Banjaran.

Di Lebakwangi seni beluk masih cukup sering ditampilkan dalam upacara-upacara seperti yang berhubungan dengan kelahiran bayi. Penyajiannya biasa dilakukan di ruang tengah rumah dengan alas tikar. Penyaji beluk yang biasanya terdiri dari empat orang duduk bersila diapit keluarga tuan rumah dan membentuk pola lingkaran. Penyajian seperti ini terasa agak aneh buat saya mengingat “nyanyian” beluk yang banyak berbentuk lengkingan vokal. Lengkingan seperti ini memang akan terasa ingar-bingar bila dikumandangkan dalam ruangan tertutup seperti di rumah. Namun tampaknya sekarang hal ini sudah menjadi kelaziman pula.

Sampul album Beluk-Dzikir produksi STSI Surakarta.

Sampul album Beluk-Dzikir produksi STSI Surakarta.

Seni lengking vokal ini diperkirakan berasal dari tradisi bersawah-ladang sebagai media komunikasi antarpetani. Masyarakat Baduy dulu sering berteriak dengan nada mengesankan bila sedang berada dalam hutan atau ladang sorang diri. Teriakan yang bisa dilakukan sebagai pengusir sepi atau juga memberitahukan keberadaannya di dalam hutan. Konon bentuk nyanyian dengan nada-nada tinggi, mengalun dan meliuk-liuk adalah bagian dari ekspresi masyarakat ladang saat berkomunikasi dengan sesama komunitasnya yang mempunyai pola tinggal menetap namun saling berjauhan.

Seni beluk mirip dengan karinding dalam hal tidak termasuk kategori seni pertunjukan dan lebih bersifat hiburan personal, sarana menghibur diri, dan pengusir rasa sepi. Belakangan, kesenian ini lebih banyak dipakai untuk keperluan ritual seperti dalam syukuran 40 hari kelahiran bayi. Ada empat orang penyaji utama dengan peranan yang berbeda. Disebut penyaji utama karena sebetulnya hadirin juga diperbolehkan untuk turut serta menyajikannya. Empat peranan tersebut adalah 1) tukang ngilo atau juru ilo, 2) tukang ngajual, 3) tukang meuli, dan 4) tukang naekeun.

Tukang ngilo adalah pembaca syair secara naratif. Pembacaan dilakukan dalam tempo sedang dengan artikulasi yang jelas dan dibacakan per padalisan (baris). Syair-syair beluk berasal dari naskah-naskah cerita babad atau wawacan dan disajikan dalam bentuk pupuh yang berjumlah 17, yaitu asmarandana, balakbak, dandanggula, durma, gambuh, gurisa, juru demung, kinanti, ladrang, lambang, magatru, maskumambang, mijil, pangkur, pucung, sinom, dan wirangrong.

Tukang ngajual menyanyikan syair yang dibacakan tukang ngilo sesuai dengan pupuhnya, namun cara menyanyikannya tanpa ornamen. Tukang meuli melanjutkan sajian tukang ngajual dengan tambahan ornamen pelengkap. Sedangkan tukang naekeun melanjutkan sajian tukang meuli dengan nada-nada tinggi dan meliuk-liuk. Di bagian ini ornamentasi vokal sangat dominan sehingga artikulasi tidak diutamakan dan bisa menjadi sangat kabur. Setiap tukang naekeun menyelesaikan satu bait, seluruh hadirin dan para penyaji lainnya memungkas lagu secara secara bersama (koor).

Dalam penyajian beluk dikenal beberapa teknik, seperti nyurup yaitu kesesuaian dengan laras yang dibawakan; jentre artikulasi yang jelas; eureur kesesuaian vibrasi dengan kalimat lagu; senggol ketepatan ornamentasi; leotan ketepatan nada yang digunakan; embat walaupun musik vokal ini bertempo bebas, namun tetap ada acuan metris-melodis kendati sangat samar; pedotan ketepatan waktu untuk mengambil nafas; renggep atau saregep keseriusan dalam penyajian; cacap kata demi kata harus disajikan sampai tuntas; bawarasa ekspresi dalam penyajian; dan bawaraga penegasan suasana dengan gestur yang dianggap menarik.

Sebagai bentuk kesenian yang lahir dari keseharian masyarakat agraris yang sederhana, dalam penyajiannya seni beluk tidak menerapkan aturan berpakaian tertentu. Yang paling umum ditemui menggunakan baju takwa, sarung, kopiah, dan celana panjang saja. Pembagian peranan dalam penyajian beluk juga memberi ciri masyarakat agraris yang senang bergotong-royong, bekerja-sama dan berkomunikasi secara harmonis.

 

Cibuni, Kampung di Tengah Kawah

Repost

SONY DSC

Cerita unik tentang kawasan di sekitar Bandung memang seperti tak akan pernah habis. Ada kompleks-kompleks pemakamaman kuno dengan ciri-ciri kebudayaan Hindu di sekitar perbukitan Bandung utara dan timur. Peninggalan kebudayaan megalitik yang masih dapat disaksikan in situ juga tersebar di banyak tempat di seputaran Bandung seperti di Gunung Padang, Soreang, di Pasir Panyandakan, Ujungberung, Cililin, dll.

Selain objek wisata alam atau sejarah, berbagai keunikan objek lainnya di Bandung masih dapat terus ditemui dan digali, seperti  kebiasaan-kebiasaan dan pola hidup masyarakat yang mungkin bagi sebagian orang terasa tidak biasa. Misalnya saja kelompok masyarakat penambang urat emas di Cibaliung, Pangalengan, daerah perbatasan antara Kabupaten Bandung dan Cianjur. Kelompok masyarakat yang sebagian besar memiliki pertalian keluarga ini tinggal di dasar lembah vertikal yang sempit. Puluhan keluarga membangun rumah kayu dan bilik mereka di tepi aliran sungai Ci Baliung secara vertikal mengikuti kontur bukit yang curam. Dari sisi jalan perkebunan Cukul, perlu waktu berjalan kaki menuruni lembah sekitar satu jam untuk dapat mencapai perkampungan ini dan tentunya lebih lama lagi untuk naik dan kembali ke jalan utama perkebunan. Dari Situ Cileunca, Pangalengan, dengan memakai kendaraan off-road perlu waktu satu jam menempuh jalan perkebunan yang berbatu menuju bibir lembah Kampung Cibaliung.

Warga Cibaliung membangun turbin-turbin untuk pembangkit listrik secara sederhana sebagai sarana penerangan rumah masing-masing. Selain itu di setiap jeram dibangun pula turbin yang membantu mereka dalam proses pengolahan biji emas yang berhasil didapatkan dari perut bukit yang mereka gali hingga berpuluh-puluh meter panjangnya. Kelompok masyarakat ini tinggal di keterpencilan lembah Cibaliung selama bertahun-tahun dan hanya sesekali saja keluar kawasan untuk berbelanja memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Cibuni, Rancabali
Sebuah kampung unik lain yang tak kalah menarik untuk dikunjungi terdapat di kawasan Perkebunan Rancabali, afdeeling Rancabali II. Daerah ini juga disebut Cibuni karena berada di dalam kawasan Perkebunan Teh Cibuni, Ciwidey. Jaraknya dari Bandung sekitar 50 kilometer dan terletak tidak jauh dari kompleks Cagar Alam Talaga Patengan. Perkampungan pegawai perkebunan dengan rumah-rumah berwarna biru cerah memberikan pemandangan yang segar di tengah hamparan perkebunan teh yang hijau. Ada beberapa kelompok perkampungan seperti ini di tengah luasnya kompleks perkebunan Cibuni.

Yang cukup menarik, di kawasan perkebunan ini terdapat beberapa kawah aktif yang dapat dikunjungi. Kawah-kawah ini terletak cukup terpencil sehingga sering luput dari perhatian para pengguna jalur jalan Ciwidey-Cianjur, walaupun ada beberapa papan petunjuk menuju kawah yang terpasang di sisi jalan. Yang paling unik dari semua kawah ini adalah kawah Cibuni yang berada sekitar satu kilometer dari jalan raya atau Jembatan Ciorok. Untuk menuju kawah, pengunjung harus mendaki jalan setapak yang sudah pernah diperlebar hingga tiga meter sepanjang kurang lebih satu kilometer.

Kondisi kawah di perkebunan ini secara umum mirip dengan Kawah Domas di Tangkuban Parahu atau Kawah Sikidang dan Kawah Sileri di daerah Dieng. Kita dapat melihat kepulan asap tebal yang keluar dari sela-sela bebatuan yang tersebar di area ini. Selain puluhan sumber asap tebal, puluhan mata air panas berbelerang juga mudah ditemukan tersebar di sekitar kawasan ini. Uniknya di atas area kawah ini dibangun beberapa rumah tinggal yang juga berfungsi sebagai warung dan sebuah musholla yang terbuat dari kayu dan bilik. Rumah-rumah ini juga biasa diinapi oleh para pengunjung yang bermalam di sini. Untuk menginap tidak dikenakan biaya tertentu, para pemilik rumah ikhlas menerima seadanya saja dari para pemakai jasa rumahnya.

Kebanyakan pengunjung yang datang menginap bertujuan untuk melalukan pengobatan dengan memanfaatkan aliran sungai berair panas. Di sebuah kolam kecil tampak sejumlah orang sedang berendam dan mandi di pancuran bambu air panas. Seorang bapak berusia sekitar 70 tahun mengakui sudah dua kali mengunjungi tempat itu. Kedatangannya adalah untuk mengobati penyakit rematik yang sudah cukup lama dideritanya. Bapak ini berencana tinggal beberapa hari di Kampung Kawah Cibuni. Dalam kunjungan pertamanya sekitar 10 tahun lalu, bapak yang berasal dari Naringgul ini mengakui berhasil sembuh dari penyakit rematiknya, namun kambuh lagi dalam dua minggu terakhir ini. Serombongan pengunjung yang terdiri dari dua keluarga juga memilih berbagai tempat untuk bersantai berendam menikmati air panas yang mengalir.

Hingga sekitar setahun lalu, kawah di Cibuni ini lebih dikenal dengan nama Kawah Cibuni saja, namun belakangan sehubungan dengan rencana pengelolaan area menjadi Kawasan Wisata Agro dari Kebun Rancabali, PTP Nusantara VIII, nama kawah diubah menjadi Kawah Rengganis. Sebuah plang penunjuk didirikan di jalan masuknya, di sisi jalan raya Ciwidey-Cianjur. Namun sayang, entah sebab apa, rupanya rencana ini batal diwujudkan.

Sekarang kawasan wisata agro yang direncanakan terlihat agak terbengkalai tanpa pengelolaan yang cukup baik. Menurut warga setempat kunjungan wisatawan ke lokasi tersebut juga tidak terlalu banyak walaupun setiap harinya ada saja yang datang. Turis asing pun cukup sering mengunjungi tempat ini walaupun dalam kelompok-kelompok kecil atau perseorangan saja. Pada hari Minggu dan hari-hari libur saja biasanya jumlah pengunjung agak meningkat. Selain sekadar berjalan-jalan saja, kebanyakan pengunjung bermaksud melakukan pengobatan berbagai penyakit dengan memanfaatkan aliran air panas di sana. Atau yang juga cukup sering ditemui adalah kelompok pengunjung dengan tujuan berziarah ke sebuah makam tua di dekat kawah.

Abah Jaka Lalana
Pada umumnya warga tidak dapat bercerita banyak tentang masa lalu Kampung Kawah Cibuni. Kebanyakan mereka sendiri adalah keluarga pendatang dari wilayah di sekitarnya. Namun konon perkampungan di kawah ini sudah ada sejak zaman Hindia Belanda dan biasa dikunjungi oleh para pegawai perkebunan di sekitarnya. Pak Maman, salah satu warga sekitar yang berasal dari Rancasuni hanya dapat mengatakan bahwa dahulu kawasan ini dibuka oleh seorang yang sekarang dikenal dengan nama Abah Jaka Lalana. Makam tokoh perintis inilah yang kemudian hari banyak diziarahi orang. Keluarga penerus Abah Jaka Lalana juga tidak banyak menyimpan cerita masa lalu sehingga tidak banyak informasi sejarah yang dapat digali lebih jauh dari warga Kampung Cibuni.

Di kompleks kawah ini terdapat tujuh keluarga yang tinggal dan mendirikan rumah-rumah mereka di area kawah dan di bibir tebing di sisi kawah. Hampir semua keluarga ini menghidupi diri dengan bertani palawija. Mereka membuka dan mengelola lahan tidur di sekitar kampung dan di sisi hutan menjadi ladang-ladang. Usaha warung hanya dijalankan oleh dua keluarga saja. Untuk sarana penerangan, setiap keluarga membangung turbin-turbin penggerak dinamo di aliran sungai Ci Buni. Ada empat buah turbin berkekuatan masing-masing sekitar 70 watt yang memenuhi kebutuhan listrik tujuh keluarga kampung.

Objek lainnya
Dari Kawah Cibuni atau sekarang Kawah Rengganis, wisatawan dapat juga bertualang mendaki bukit dan menempuh hutan menuju puncak Gunung Patuha. Diperlukan waktu sekitar tiga jam untuk mencapai puncaknya. Bila berminat bertualang seperti ini sebaiknya menyertakan seorang warga sekitar sebagai pemandu agar tidak tersesat karena hutan di sekitar ini masih cukup lebat dan tidak memiliki jalan setapak. Di ketinggian bukit, juga terdapat kawah lain yang dinamakan Kawah Saat. Di dekat Kawah Saat juga terdapat sebuah makam tua lainnya yang biasa didatangi para peziarah. Bila dapat mencapai Kawah Saat maka tidak diperlukan waktu terlalu lama untuk dapat mengunjungi sebuah kawah lain yang lebih populer, yaitu Kawah Putih. Kawah lain dengan nama Kawah Saat juga terdapat di kawasan lain di Cibuni, yaitu di Kampung Pangisikan. Di kampung ini mengalir sungai Ci Pangisikan yang berair jernih.

Bertualang dengan berjalan kaki atau bersepeda dapat juga dilakukan di kawasan Cagar Alam Talaga Patengan dengan menyusuri jalur perkebunan teh yang terhampar dengan indahnya, atau menerobos hutan hingga mencapai Situ Patengan melalui jalan aspal yang cukup baik. Bila memiliki cukup banyak waktu dan energi, menyusuri jalan raya penghubung Ciwidey-Cianjur adalah alternatif yang sangat menarik karena sepanjang perjalanan akan menemui kompleks-kompleks perkebunan yang memanjakan mata serta kampung-kampung kecil yang asri yang sangat sayang untuk dilewatkan begitu saja. Sekadar minum kopi atau teh di pinggir jalan raya yang tidak ramai ini pasti akan memberikan suasana segar yang tidak akan Anda dapatkan di perkotaan.

DSC07444B

IMG_5107

DSC07635B

DSC07516B

DSC07424B

DSC07427B

Thilly Weissenborn, Perempuan Fotografer Pertama di Hindia Belanda

Tjipanas, Garoet. Tropen Museum.

Tjipanas, Garoet. Tropen Museum.

Hingga saat ini rasanya informasi tentang Thilly Weissenborn, perempuan fotografer pertama di Hindia Belanda ini, masih sangat sedikit tersedia. Di media internet pun tidak mudah mencari informasinya. Karya-karya fotonya memang banyak beredar, terutama di situs Tropen Museum, tapi tidak informasi yang berkaitan dengan manusianya.

Dari yang sedikit itu, mungkin hanya halaman ini saja yang cukup banyak bercerita tentang Thilly: http://collectie.tropenmuseum.nl/default.aspx?ccid=P8095. Berikut ini saya tulis ulang berdasarkan terjemahan oleh @yoyen.

Thilly dilahirkan tahun 1889 di Kediri, Jawa Timur, dengan nama Margarethe Mathilde Weissenborn. Tentang tahun kelahirannya ini, ada juga yang mengatakan ia dilahirkan di Surabaya pada 22 Maret 1883. Pasangan orang tuanya, Herman Weissenborn dan Paula Roessner, adalah keturunan Jerman yang sudah menjadi warga negara Belanda. Mereka mempunyai perkebunan kopi di Kediri.

Pada tahun 1892, Paula Roessner kembali ke Den Haag, Belanda, membawa serta Thilly dan kakak-kakaknya, dua perempuan dan dua laki-laki. Ayahnya menyusul setahun kemudian. Pada tahun 1897 ayah Thilly dan kakak tertuanya pindah ke Tanganyika dan menjadi pengusaha perkebunan di sana.

Selama di Den Haag, Thilly belajar fotografi kepada kakaknya, Else, yang membuka studio fotografi di Den Haag pada tahun 1903. Thilly dan kakaknya, Theo, kembali ke Hindia Belanda dan tinggal bersama kakaknya yang lain, Oscar, di Bandung. Kemudian Thilly ke Surabaya mengikuti Theo yang mendapatkan pekerjaan di sana.

Thilly juga mendapatkan pekerjaan di sebuah studio foto, Atelier Kurkdjian. Di sini Thilly bekerja di bawah pengawasan fotografer Inggris yang berbakat, G.P. Lewis. Atelier Kurkdjian dimiliki oleh seorang fotografer keturunan Armenia, Onnes Kurkdjian. Studio ini mempekerjakan 30 orang pegawai dan Thilly adalah satu dari dua perempuan yang bekerja di sana.

Atelier Kurkdjian banyak membuat karya fotografi yang sekarang menjadi sangat berharga karena menyimpan informasi masa lalu yang dianggap penting. Sejumlah koleksi studio foto ini diterbitkan sebagai bagian panduan wisata oleh biro pariwisata Hindia Belanda pada tahun 1922 dengan judul Come to Java.

Pada tahun 1917, Thilly pindah dan menetap di Garut, di tengah-tengah wilayah pergunungan yang beriklim sejuk. Di kota ini, Thilly dipercaya untuk mengelola G.A.H. Foto Atelier Lux milik pendiri N.V. Garoetsche Apotheek en Handelsonderneming yang juga fotografer amatir yang fanatik, Dr. Denis G. Mulder. Pada tahun 1920, Mulder pindah ke Bandung dan Thilly secara resmi mengambil alih Foto Atelier Lux serta mengganti namanya menjadi hanya Foto Lux dengan alamat di Societeitstraat 15 (sekarang Jl. Ahmad Yani). Pada tahun 1930 Thilly meresmikan perusahaannya sebagai N.V. Lux Fotograaf Atelier.

Thilly Weissenborn mengembangkan kemampuan tekniknya dalam bidang fotografi potret dan arsitektur-interior. Foto-foto lansekap serta human interest-nya menarik perhatian banyak orang. Selama lebih dari 20 tahun Thilly tinggal di Garut sampai kedatangan Jepang membuatnya harus mendekam dalam kamp interniran di Karees, Bandung, sejak tahun 1943.

Setelah Perang Dunia II dan Kemerdekaan RI, kota Garut termasuk yang cukup banyak mengalami kerusakan. Pada tahun 1947, Foto Lux milik Thilly sudah dalam keadaan rata dengan tanah. Semua koleksi foto dan studionya ikut hilang dan rusak.

Pada tahun 1947 itu pula Thilly menikah dengan Nico Wijnmalen dan menetap di Bandung. Kedua kawan sejak lama ini menikah dalam usia tua, masing-masing 58 tahun dan 60 tahun. Belum ada informasi di mana ia tinggal bersama suaminya dan bagaimana kelanjutan pekerjaannya sebagai fotografer. Tahun 1956, Thilly Weissenborn kembali ke Belanda hingga meninggal di Baarn, pada 28 Oktober 1964.

Koninklijk Indische Tropenmuseum mempunyai foto album (koleksi nomor 270) yang menurut perkiraan kurator adalah album utamanya di Foto Lux. Di album utama ini foto-foto Weissenborn ditempel supaya calon pembeli dapat melihat dan memesan. Masa itu hal yang biasa untuk membuat album utama dengan bahan yang profesional. Semua fotonya dicetak menurut proses gelatin perak dengan sinar alami. Dan di atas foto-foto itu terdapat tanda: Foto Lux, Garut.

Selama berkarya sebagai fotografer, Thilly telah membuat rekaman foto di banyak tempat di Hindia Belanda, di antaranya Sukabumi, Tasikmalaya, Bogor, dan Bandung. Karya-karya fotonya di Bali termasuk yang mendapatkan apresiasi tinggi. Selain itu, Thilly juga membuat foto di Pasuruan dan daerah-daerah lain di Jawa Timur hingga Bali dan Flores. Sejak tinggal di Garut, banyak sekali foto pemandangan dan suasana sekitar Garut yang telah dibuatnya.

Kumpulan foto-foto karya Thilly Weissenborn diterbitkan dalam buku Vastgelegd voor Later. Indische Foto’s (1917-1942) van Thilly Weissenborn. Thilly Weissenborn (photographer) ; Ernst Drissen (compiler), 151 hlm, thn terbit 1983 , penerbit Sijthoff, Amsterdam.[1]

Thilly Weissenborn book


[1] Informasi dan foto buku ditambahkan oleh @htanzil

 

Di bawah ini beberapa karya Thilly Weissenborn yang diambil dari situs Tropen Museum.

COLLECTIE_TROPENMUSEUM_De_pottenbakkerij_van_Tjiboejoetan_bij_het_meer_van_Bagendit._TMnr_60002516

COLLECTIE_TROPENMUSEUM_De_rivier_de_Tjimanoek_bij_Garoet._TMnr_60002545

COLLECTIE_TROPENMUSEUM_De_tempel_Pura_Beji_bij_Sangsit_in_Noord-Bali_gewijd_aan_Dewi_Sri_godin_van_de_landbouw_TMnr_60018434

COLLECTIE_TROPENMUSEUM_De_weg_naar_Pameunkpeuk_aan_de_zuidkust._TMnr_60002544

COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Een_Balinees_mannenbad_TMnr_60022923

COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Een_tempelcomplex_in_Zuid-Bali_TMnr_60022930

COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Fragment_van_een_reliëf_op_een_tempelwand_van_Tjandi_Mendoet._TMnr_60002515

COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Grot_met_altaren_TMnr_60022927

Terima kasih @yoyen (Lorraine Riva) yang sudah membantu menerjemahkan sebagian artikel dari bahasa Belanda.

Kejanggalan dalam Biografi Bung Karno; Penyambung Lidah Rakyat Indonesia

Bacaan ini perlu dibagikan terus nih..

7962310

Saya baru saja membaca tulisan Asvi Warman Adam, “Kasus Biografi Sukarno”, ternyata ada beberapa masalah dalam terjemahan buku biografi Bung Karno; Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams yang diterbitkan sejak tahun 1966 oleh penerbit Gunung Agung. Salah satu yang dibahas adalah penghilangan sebuah kalimat dan penambahan dua paragraf yang belum jelas siapa yang melakukannya.

Biografi Sukarno ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris dengan judul Sukarno, Autobiography as told to Cindy Adams pada tahun 1965. Versi terjemahan bahasa Indonesia terbit tahun 1966 dengan penerjemah Mayor Abdul Bar Salim. Dalam pengantar edisi pertama itu, disebutkan bahwa tugas sang penerjemah sudah direstui oleh Panglima Angkatan Darat, Letnan Jendral Soeharto, yang juga memberikan kata sambutan.

Bagian yang dipermasalahkan terdapat pada bab Proklamasi. Asvi Warman Adam menyebutkan terdapat di halaman 341[1]. Kebetulan saya memiliki edisi pertama buku Bung Karno; Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Lalu saya buka halaman yang dimaksud. Berikut ini saya kutipkan saja seluruh bagiannya sesuai yang tercetak dalam buku:

“Sekarang, Bung, sekarang…..!” rakjat berteriak. “Njatakanlah sekarang…..” Setiap orang berteriak padaku. “Sekarang, Bung….. utjapkanlah pernjataan kemerdekaan sekarang, ….hajo, Bung Karno, hari sudah tinggi….. hari sudah mulai panas….. rakjat sudah tidak sabar lagi. Rakjat sudah gelisah. Rakjat sudah berkumpul. Utjapkanlah Proklamasi.” Badanku masih panas, akan tetapi aku masih dapat mengendalikan diriku. Dalam suasana dimana setiap orang mendesakku, anehnja aku masih dapat berpikir dengan tenang.

“Hatta tidak ada,” kataku. “Saja tidak mau mengutjapkan proklamasi kalau Hatta tidak ada.”

Tidak ada orang jang berteriak “Kami menghendaki Bung Hatta”. Aku tidak memerlukannja. Sama seperti djuga aku tidak memerlukan Sjahrir jang menolak memperlihatkan diri disaat  pembatjaan Proklamasi. Sebenarnja aku dapat melakukannya seorang diri, dan memang aku melakukannja sendirian. Didalam dua hari jang memetjah uratsjaraf itu  maka peranan Hatta dalam sedjarah tidak ada.

Peranannja jang tersendiri selama masa perdjoangan kami tidak ada. Hanja Sukarnolah jang tetap mendorongnja kedepan. Aku memerlukan orang jang dinamakan “pemimpin” ini karena satu pertimbangan. Aku memerlukannja oleh karena aku orang Djawa dan dia orang Sumatra dan dihari-hari jang demikian itu aku memerlukan setiap orang denganku. Demi persatuan aku memerlukan seorang dari Sumatra. Dia adalah djalan jang paling baik untuk mendjamin sokongan dari rakjat pulau jang nomor dua terbesar di Indonesia.

Dalam detik jang gawat dalam sedjarah inilah Sukarno dan tanah air Indonesia menunggu kedatangan Hatta.

Buku-Bung-Karno-by-Cindy-Adams

Dengan membandingkan tulisan ini dengan versi aslinya dalam bahasa Inggris, ditemukanlah bahwa telah ada penambahan dua paragraf di antara dua kalimat bercetak tebal di atas. Kalimat-kalimat yang menyakatan bahwa Sukarno tidak membutuhkan Hatta (dan Syahrir) dan bahwa selama ini ia berjuang sendiri serta tidak ada peranan Hatta dalam sejarah ternyata telah ditambahkan oleh seseorang sejak edisi pertama terjemahan buku ini terbit. Apakah penerjemah yang menambahkan kalimat-kalimat itu? Atau ada pesanan dari pihak lain? Belum ada keterangan tentang ini.

Yang jelas, Yayasan Bung Karno kemudian menerbitkan ulang buku Bung Karno; Penyambung Lidah Rakyat Indonesia pada bulan Agustus 2007 dan menyebutnya sebagai edisi Revisi. Terbitan revisi ini diterjemahkan dengan mengacu secara ketat kepada buku aslinya, Sukarno, Autobiography as told to Cindy Adams. Penerjemahan dikerjakan oleh Syamsul Hadi. Pada bagian depan terdapat sambutan dari Ketua Yayasan Bung Karno, Guruh Sukarno Putra, dan pengantar dari sejarahwan Asvi Warman Adam dengan judul “Kesaksian Bung Karno”.

Pada bagian sambutannya, Guruh Sukarno mengutip cerita Guntur Sukarno dalam buku Bung Hatta, Pribadinya dalam Kenangan karangan Meutia Farida Swasono (Sinar Harapan, 1980): “Aku kadang-kadang saling gebug dengan Hatta!! Tapi, menghilangkan Hatta dari teks Proklamasi itu perbuatan pengecut!!”

penyambung lidah rakyat (1)

[1] Sepertinya Asvi Warman Adam salah menulis halaman (341) karena dalam buku saya bagian yang dimaksud itu ada di halaman 331. Tapi pengantar edisi revisi juga menyebut nomor halaman yang sama (341), apakah mungkin buku edisi pertama ini ada yang berbeda format?

Bioskop di Bandung

Awal Kedatangan

Walaupun popularitasnya sudah tidak seperti 30 tahun lalu, namun bioskop ternyata masih menjadi salah satu media hiburan anak muda masa kini. Saat ini sepertinya sudah tidak ada gedung bioskop yang berdiri sendiri karena umumnya menjadi bagian dari mal atau pusat pertokoan. Satu bioskop bisa punya beberapa ruang sehingga namanya menjadi serial menggunakan nomor urut sesuai jumlah ruang putar film yang dimiliki.

Lain sekarang, lain dulu. Di Bandung baheula terdapat puluhan gedung bioskop yang berdiri sendiri. Bioskop2 ini terdiri dari berbagai kelas, mulai dari yang mewah sampai yang merakyat tanpa gedung alias misbar (gerimis bubar). Semakin mewah sebuah gedung bioskop, semakin tinggi juga kelas sosial pengunjungnya. Sebagian bioskop punya spesialisasi pemutaran film dari kategori tertentu. Selain itu, ada juga bioskop yang hanya memutarkan film dari distributor tertentu saja.

Pemutaran film dalam ruang bernama bioskop di wilayah Indonesia dimulai di Batavia. Waktunya hanya terpaut lima tahun dari saat pertama teknologi ini diperkenalkan di sebuah kedai kopi, Grand Cafe, Boulevard des Capucines, Paris oleh Lumiere bersaudara pada 28 Desember 1895. Kedatangannya di wilayah Indonesia bahkan mendahului ke Korea (1903) dan Italia (1905).

Pada tanggal 30 November 1900, koran Bintang Betawi memuat iklan persiapan pertunjukan perdana ini: De Nerdelandsche Bioscope Maatschappij (Maatschappij Gambar Idoep)nmemberi tahoe bahoewa lagi sedikit hari ija nanti kasi liat tontonan amat bagoes, jaitoe gambar-gambar idoep dari banjak hal jang belon lama telah kedjadian di Europa dan di Africa Selatan.

Beberapa hari berikutnya, 4 Desember 1900, Bintang Betawi memuat lagi iklan bahwa mulai keesokan harinya akan diselenggarakan pertunjukan besar pertama yang akan berlangsung setiap malam. Waktu pemutarannya setiap jam 19.00 bertempat di sebuah rumah di Tanah Abang Kebondjae, bersebelahan dengan bengkel mobil Maatschappij Fuschss. Kelak rumah ini akan menjadi The Rojal Bioscope.

Film pertama yang diputar adalah kompilasi film dokumenter yang berisi: Masoeknja Sribaginda Maharatoe Olanda bersama-sama jang moelja Hertog Hendrik kedalem kota Den Haag, roepa-roepa hal jang telah terdjadi didalem peperangan Transvaal. Lebih djaoeh ditontonkan djoega  gambarnja barang-barang matjem baroe jang telah ada di tentoonstelling di kota Parijs (Bintang Betawi, 30 November 1900).

Continue reading

Verboden voor Honden en Inlander

Schouwburg Concordia koleksi Tropen Museum.

Schouwburg Concordia koleksi Tropen Museum.

Kemarin, seorang teman menelepon karena membutuhkan foto lama plakat yang bertuliskan “Verboden voor honden en inlander” atau “Anjing dan Pribumi dilarang masuk.”

Saya bingung juga, karena walaupun selama ini cerita tentang plakat semacam itu yang konon terdapat di beberapa gedung di Bandung tempo dulu, ternyata saya belum pernah melihat fotonya dan malah belum menemukan catatan dari masa Indies yang menyatakan keberadaan plakat tersebut.

Beberapa buku menyatakan ada dua lokasi di Bandung yang memajang plakat seperti itu di depan gedungnya. Dua lokasi ini anehnya, selalu bervariasi, di antaranya yang paling sering disebut adalah gedung-gedung: Societeit Concordia, Bioskop Majestic, kolam renang Centrum, dan Pemandian Tjihampelas.

Sayangnya, dari banyak foto dan kartu pos lama yang beredar yang dapat diperiksa, saya tidak terjumpai keberadaan plakat semacam itu. Bahkan cerita tentang keberadaan plakat itu, baik dari sumber-sumber Belanda maupun sumber lokal, tidak berhasil saya temukan . Entah dari mana sumber cerita yang selama ini beredar dalam masyarakat Bandung. Lalu bila memang benar pernah ada plakat yang semacam itu, kenapa tidak ada cerita keberadaannya yang dikaitkan dengan Maison Bogerijen, Hotel Preanger, atau Villa Isola yang pernah benar-benar hanya untuk kalangan elite Bandung saja?

Walaupun begitu, dari sebuah buku catatan perjalanan tahun 1918, Across the Equator; A Holiday Trip in Java karangan Thomas H. Reid, saya temukan keterangan lain, yaitu keberadaan plakat yang bertuliskan “Verbodden Toegang” yang terdapat di depan kompleks istana gubernur jendral di Tjipanas, Tjiandjoer. Menurut Reid, pengumuman seperti itu banyak terdapat di tempat-tempat lain di Pulau Jawa. Ya, hanya itu saja yang tercatat, “verboden toegang” dan bukan “verboden voor honden en inlander”.

Satu-satunya plakat “verboden toegang” yang pernah saya temui hanyalah yang berada di sebuah gerbang kompleks gedung di daerah Jl. Sangkuriang. Itu pun kondisinya sudah sebagian tertutupi oleh tembok baru.

Nah mungkin ada temans yang punya informasi lain tentang plakat-plakat verboden ini?

 

Verboden Toegang di Bandung.

Plakat Verboden Toegang di Bandung.

Verboden Toegang di Bandung.

Plakat Verboden Toegang di Bandung.

Schouwburg Concordia koleksi Tropen Museum.

Schouwburg Concordia koleksi Tropen Museum.

Eks Bioskop Majestic koleksi @mooibandoeng

Eks Bioskop Majestic koleksi @mooibandoeng

Kolam renang Centrum koleksi Tropen Museum.

Kolam renang Centrum koleksi Tropen Museum.

Pemandian Tjihampelas koleksi Tropen Museum.

Pemandian Tjihampelas koleksi Tropen Museum.

Pemandian Tjihampelas koleksi Tropen Museum.

Pemandian Tjihampelas koleksi Tropen Museum.

Iklan Badplaats Tjihampelas Bandoeng koleksi @mooibandoeng

Iklan Badplaats Tjihampelas Bandoeng koleksi @mooibandoeng

Iklan The strictly first class Grand Hotel Preanger dari buku Batavia Jaarboek 1927.

Iklan The strictly first class Grand Hotel Preanger dari buku Batavia Jaarboek 1927.

Riwayat Pastor Verbraak yang Tak Pernah ke Bandung

P1060755

Di Salah satu sudut taman kota di Bandung terletak patung seorang pastor. Banyak cerita tidak jelas berkaitan dengan patung ini, mulai dari cerita hantu sampai cerita tentang kecelakaan pesawat yang dialami oleh sang pastor di lokasi tersebut, dan konon karena itulah patungnya diletakkan di situ.

Itulah patung Pastor Verbraak di Taman Maluku.

Namun sebenarnya Pastor Verbraak tidak mengalami kecelakaan pesawat, dan tidak jelas bagaimana berita itu bisa muncul. Bahkan sebenarnya Pastor Verbraak sama sekali tidak pernah menginjakkan kakinya di tanah Priangan ini. Ini ringkasan riwayatnya.

Henricus Christiaan Verbraak dilahirkan di Rotterdam pada 24 Maret 1835. Pada mulanya ia ingin menjadi pedagang, tetapi pada umurnya yang ke 27 ia mengikuti panggilan hatinya: belajar teologi. Tahun 1869 Verbraak ditahbiskan sebagai pendeta oleh Monseigneur Les Meurin, uskup dari Ascalon & Bomberg. Verbraak menetapkan hati untuk mengabdikan hidupnya dalam pekerjaan misionaris di Indië. Tugas pertamanya adalah menjadi misionaris di Padang. Verbraak berlabuh di kota itu pada tanggal 15 Oktober 1872.

Dari Padang, Verbraak diutus ke Tanah Aceh. Pada tanggal 29 Juni 1874, ia menginjakkan kaki di pantai Pantai Ulee Lheue, Aceh, dan akan tinggal di Tanah Aceh hingga 23 Mei 1907. Hari itu adalah terakhir kalinya Verbraak merayakan Ekaristi bersama umat di Gereja Hati Kudus Yesus Banda Aceh yang sekaligus menjadi acara perpisahannya. Verbraak berangkat menggunakan kereta api dari Ulee Lheue menuju Padang. Sepeninggal Verbraak, umat yang terkenang mendirikan patung Pastor Verbraak di Simpang Pante Pirak dan Peunayong, dekat gerejanya. Simpang itu sekarang dikenal dengan nama Simpang Lima dan patungnya sudah tidak ada lagi.

Selama bertugas di Aceh 33 tahun, Verbraak melaksanakan tugasnya sebagai pendeta dengan penuh pengabdian walaupun berada di tengah kancah pertempuran sengit waktu itu. Sampai tahun 1877 Verbraak harus tinggal di sebuah gubuk sederhana yang sekaligus menjadi tempat pelayanannya. Gubug tersebut merupakan sebuah bagian keraton yang telah dikuasai tentara Belanda. Dari sana Verbraak melayani 2000 orang, 1500 di antaranya adalah tentara.

Tahun 1877, pemerintah Belanda memberikan tanah di pinggir Sungai Atjeh yang juga disebut Pante Pirak. Di situlah para tentara membangun sebuah kapel dan pastoran sederhana dari kayu dan bambu. Namun, daerah tersebut sering dilanda banjir sehingga bangunan itu tidak tahan lama. Penguasa militer saat itu, Van der Heyden, yang mengetahuinya masalah ini memberikan izin untuk mendirikan bangunan yang lebih layak. Dimulailah pembangunan gereja dan pastoran baru yang mulai dilaksanakan pada 5 Februari 1884. Gereja dengan menara tersebut dibangun dari kayu yang berkualitas bagus dan lebih kuat dari sebelumnya. Satu tahun kemudian, pada Hari Raya Paskah, gereja tersebut mulai digunakan dan dipersembahkan kepada Hati Kudus Yesus. Gereja ini menjadi Gereja Katolik pertama di Aceh dan setelah mengalami perombakan pada tahun 1924, masih tetap berdiri hingga saat ini.

verbraak

Tahun 1896-1897 adalah tahun yang paling sibuk untuk Pastur Verbraak. Tiap malam kereta tiba di Kutaraja, mengangkut korban-korban luka dan meninggal. Jika satu kereta memasuki Kutaraja, pastor Verbraak menunggu di depan. Setelah semua korban masuk kerumah sakit, Verbraak siap di samping tempat tidur mereka untuk menghibur dan menguatkan mereka. Bahkan pasien kolera pun ia jenguk. Verbraak tidak menghiraukan risiko tertular kolera di barak ini. Ia juga berani di tengah hujan peluru tetap menghibur dan menenangkan para tentara di medan perang.

Pastor Verbraak, layaknya seorang bapak yang penuh kasih, mencari panti asuhan atau orang tua angkat untuk anak-anak yang tertinggal dan tidak terurus. Semua instansi di Aceh dihimbau Verbraak untuk memenuhi kewajiban mereka sebagai umat Tuhan supaya membantu anak-anak yatim piatu ini. Kepedulian pastor Verbraak kepada anak-anak ini membuatnya dicintai semua orang.

Jika ada berita pastor Verbraak tercinta dari Ulee Lheue akan datang berkunjung ke satu tempat, satu batalyon dengan 30 bayonet dipimpin oleh seorang sersan keluar dari benteng untuk menjemputnya. Setibanya Verbraak di benteng, ia akan disambut seperti kawan lama.

Untuk peringatan 25 tahun bekerja sebagai pendeta dan bersamaan dengan peringatan ia tinggal 20 tahun di Aceh, pemerintah menganugerahkan gelar Ridder in de Orde van den Nederlandsche Leeuw (Ksatria dalam orde Singa Belanda) untuk Verbraak. Gelar ini ia terima disamping Medali Aceh dan bintang Ekspedisi yang telah dimilikinya. Van Heutsz menjadikan Verbraak, pendeta Jesuit ini, sebagai teladan untuk anak buahnya sebelum berangkat bertugas.

Tahun 1907 Pastor Verbraak memutuskan untuk berhenti bekerja setelah 33 tahun bekerja tanpa henti di daerah tropis. Usianya saat itu telah 77 tahun dan ia siap menyerahkan pekerjaannya kepada kaum muda. Walaupun fisiknya masih kuat dan sehat, tetapi penglihatannya saat itu sudah sangat memburuk. Setelah pensiun Verbraak bermukim di Magelang, kota militer di Jawa Tengah.

Di Magelang kesehatan Pater Verbraak terus menurun, banyak orang telah menawarkan pengobatan untuk penyakitnya, namun Verbraak menjawab, “It is old of age. I have lived in good health for 80 years and in the Holy Scripture is written ‘labor et dolor est’ … My old body does not need a nurse; that is too costly”. Pada tahun itu, 1915, ia merayakan ulang tahunnya ke-80. Perayaan ini mendapat perhatian besar dari penduduk Magelang. Pendeta C.W. Wormser yang mengasuh majalah mingguan Tong-tong[1] dan yang menulis bagian artikel yang diterjemahkan ini[2] mengatakan: Saya sangat beruntung waktu itu dapat berjabat tangan dengannya.”

Tiga tahun kemudian Verbraak meninggal dunia. Jasadnya dikubur dengan upacara kehormatan militer. Musik duka terdengar di hati ribuan masyarakat yang berkabung. Verbraak telah mengabdikan hidupnya untuk orang lain, ia hidup di antara militer di Indië, pekerjaannya mengikuti dia. Mottonya menjadi kenyataan: ‘ad majora natus sum‘, ‘Saya dilahirkan untuk mengerjakan hal-hal yang besar’.

Menurut catatan P. van Hoeck, seorang pengajar di Canisius College, Nijmegen, Verbraak wafat pada 1 Juni 1918 dan dimakamkan di Molukkenplein, Magelang. Pada upacara pemakaman yang sederhana, Pastor van Hout SJ menyatakan: “God loved this man who loved his fellow human beings, he was our great example of human endurance and virtue. Dilectus Deo et hominibus cuius memoria in benedictione est. We will never forget you. Farewell and until we meet again in heaven. Amen.”

Pemerintah Kota Rotterdam pada tahun 1922 memberikan penghargaan untuk Pastor Verbraak sebagai warga kota teladan atas segala pengabdiannya bagi kemanusiaan. Di Bandung, lembaga The Dutch East Indian Army mengumpulkan dana dan mendirikan patung Pastor Verbraak pada tanggal 27 Januari 1922 di sebuah taman yang pernah berjuluk ”Paradisi in Sole Paradisus Terrestris” (tanah surga di bawah cahaya matahari). Patung ini dirancang di Belanda oleh seniman G.J.W. Rueb.

Patung badan utuh Verbraak dipasang di salah satu sudut utara Taman Maluku. Letaknya menghadap Jalan Seram. Di sebelah kirinya adalah kompleks gedung militer yang dulu ditujukan untuk Istana Komanda Militer (Paleis van den Legercommandant) di Bandung. Jadi tidak benar juga pendapat yang mengatakan bahwa patung ini dipasang menghadap ke istana komandan militer.[3]

Pada bagian bawah patung terdapat prasasti dengan tulisan:
PASTOOR
H.C. VERBRAAK
1835 – 1918
AALMOEZENIER[4]
1874 – 1881
ATJEH
1874 – 1907

Dalam “The Chaplain: P. Henricus Verbraak S.J.” tulisan F. Van Hoeck S.J., yang dimuat dalam majalah Claverbond tahun 1918, terdapat biografi Verbraak dengan pengantar oleh Gubernur Jendral J.B. van Heutz yang pernah berjumpa langsung dengan sang Pastor: “… I had the privilege to know this great man of whom the Roman Catholic Church can be proud of, during the years of my assignment to Atjeh. I have seen him carry out his duties from close distance. How he administered the means of grace of the Church to the wounded, the sick and the dying, without fear for his own personal safety and not at all concerned about being infected by cholera and other diseases. He was respected and loved by people of all faiths, by officers and minors alike, because for him everybody was the same: everyone was God’s child. He was there to soothe the grief and the pain. And he worked for 33 years as long as his strength did not fail him. A true servant of God, his whole life devoted to his fellow human beings with complete self-denial, without ever asking something for himself.

Foto koleksi Tropen Museum.

Foto koleksi Tropen Museum.

Verbraak-1

Foto koleksi Tropen Museum.

Foto koleksi Tropen Museum.

 

Terima kasih untuk @yoyen yang membantu menerjemahkan sebagian artikel berbahasa Belanda yang saya gunakan di sini.

 


[1] Majalah mingguan Departemen Penerangan Batalyon Indië di bawah pimpinan Biro Institut Kolonial.
[2] Tahun Pertama Nr. 12 28 September 1945.
[3] Sekaligus menambahkan pendapat umum lainnya, tidak benar pula bahwa patung Pastor Verbraak adalah satu-satunya patung dari masa Hindia Belanda yang masih berdiri di Bandung. Di Jl. Pajajaran dan di Lembang masih terdapat patung tokoh lainnya.
[4] Kata bahasa Belanda yang sudah jarang dipakai, artinya: Pembimbing lahir dan batin. Info dari @yoyen.

Snouck Hurgronje dan Pernikahan Sundanya

Ini ringkasan cerita penelusuran keluarga Snouck Hurgronje oleh Dr. P. Sj. Van Koeningsveld yang aslinya berupa artikel berjudul “Perkawinan, Status, dan Politik Kolonial di Hindia Belanda”. Artikel ini dimuat dalam Snouck Hurgronje dan Islam (Girimukti Pasaka, Bandung, 1989).

Sebelum meneruskan, ada baiknya membaca dulu tulisan Pak Awang H. Satyana, “Sosok Lain dan Wasiat Snouck Hurgronje untuk Tahun 2036” di sini.

Snouck Hurgronje, seperti yang sudah diceritakan di sini, adalah seorang pakar Islam yang menjadi penasihat pemerintah Hindia Belanda pada masa sebelum PD II. Snouck juga menjadi peletak dasar politik Islam di Hindia Belanda, termasuk dalam penaklukan Aceh. Sudah diketahui, Snouck telah menjadi seorang penganut Islam pada tahun 1884 di negri Arab dengan nama Abdul Ghaffar. Sepulangnya ke Belanda, Snouck menjadi populer sebagai Haji Belanda atau Mufti Abdul Ghaffar. Pada rentang tahun 1889-1906, kepakaran Snouck tentang Islam membuatnya menjadi penasihat Gubernur Jendral Hindia Belanda untuk hal-hal yang terkait dengan Islam.

Saat tinggal di Mekkah, Snouck memiliki banyak hubungan dengan para pelajar dan ulama yang berasal dari Hindia Belanda. Snouck diterima dengan baik di kalangan ini, termasuk ketika dia mulai tinggal di Hindia Belanda. Di negri jajahan ini, Snouck masuk lebih jauh ke kalangan Muslim dengan menikahi anak-anak perempuan penghulu.

Sebuah artikel di Soerabaja Courant, bertanggal 9 dan 13 Januari 1890 memuat berita tentang perkawinan Snouck dengan putri penghulu besar Ciamis. Perkawinan ini dilangsungkan di Mesjid Ciamis. Dalam berita itu disebutkan bahwa Mentri Urusan Jajahan, Keuchenius,  meminta penjelasan resmi tentang kebenaran berita tersebut. Gubernur Jendral menyangkalnya dengan mengatakan bahwa memang ada peristiwa perkawinan, tapi itu hanya rekayasa untuk keperluan studi Snouck tentang upacara perkawinan Islam.

Snouck turut menyangkal berita koran tersebut dengan mengatakan bahwa “orang-orang koran” tersebut tidak memiliki keinsyafan batin. Dalam sebuah surat bertanggal 16 Juli 1890 kepada sahabatnya, Herman Bavinck, Snouck mengatakan bahwa penghulu Ciamis itu telah membantunya menghadirkan jurutulis yang menikah dengan putri bungsunya: “Karena merasa bebas, maka para wartawan mengawinkan saya dengan dia.”

Van Koeningsveld lalu bertemu dengan mantan pegawai pangrehpraja[1] Palembang, Daniel van der Meulen, yang bercerita bahwa di kantornya pernah bekerja seorang kerani[2] yang mengaku sebagai putra Snouck Hurgronje. Diceritakannya bahwa Snouck melarang dia dan kakak perempuannya datang ke Belanda karena akan menyeret Snouck ke dalam kesulitan-kesulitan.

Di Amsterdam, van Koeningsveld bertemu dengan Harry Jusuf. Harry adalah putra Raden Jusuf yang ternyata adalah anak laki-laki Snouck Hurgronje dari Siti Sadijah. Koeningsveld berhasil menemui Raden Jusuf di Bandung. Saat itu usianya sudah 78 tahun berstatus pensiunan komisaris besar polisi RI (setingkat kolonel).

Raden Jusuf dilahirkan pada tahun 1905 dari perkawinan kedua Snouck Hurgronje dengan Siti Sadijah, anak wakil penghulu Bandung, Muhammad Su’eb yang lebih populer dengan julukan Penghulu Apo atau Kalipah Apo. Perkawinan Snouck dengan Sadijah berlangsung tahun 1898 saat Snouck berusia 41 tahun dan Sadijah berusia 13 tahun. Karena pernikahan ini Snouck mendapatkan hubungan kekerabatan dengan para pejabat tinggi keagamaan dan kaum bangsawan di Bandung. Garis keturunan Sadijah memang berasal dari keluarga penghulu, bupati, dan raja di Priangan.

Koeningsveld juga mendapatkan silsilah keluarga Raden Jusuf yang disusun oleh Raden Tachiah, yaitu kepala keluarga Raden Jusuf dari pihak ibunya dan pensiunan kepala polisi Jawa Barat. Selanjutkan Raden Jusuf menceritakan bahwa apa yang pernah diberitakan oleh Soerabaja Courant tahun 1890 tentang perkawinan ayahnya itu adalah benar.

Ayahnya, Snouck Hurgronje, memang menikah dengan Sangkana, putri penghulu besar Ciamis, Raden Haji Muhammad Ta’ib. Snouck bertemu dengan Sangkana di Pendopo Kabupaten Ciamis. Di bawah tekanan istri Bupati Ciamis, Lasmitakusuma, terjadilah perkawinan Snouck dengan satu-satunya anak perempuan Muhammad Ta’ib itu. Dari perkawinan ini Snouck mendapatkan empat orang anak, masing-masing Emah, Umar, Aminah, dan Ibrahim. Sangkana kemudian meninggal karena keguguran kandungan anak kelima pada tahun 1895.

Ibrahim, Aminah, Salmah Emah, dan Umar bersama Lasmitakusuma yang mengurus anak-anak Sangkana setelah sang ibu wafat. Di depan ada Siti Sadijah yang sedang menggendong bayi Raden Jusuf.

Ibrahim, Aminah, Salmah Emah, dan Umar bersama Lasmitakusuma yang mengurus anak-anak Sangkana setelah sang ibu wafat. Di depan ada Siti Sadijah yang sedang menggendong bayi Raden Jusuf.

Raden Jusuf juga mengonfirmasi anak laki-laki yang diceritakan oleh van der Meulen itu sebagai Ibrahim, saudaranya satu ayah. Ibrahim bekerja sebagai pengatur tata usaha asisten residen di Palembang pada masa sebelum Perang Dunia II. Raden Jusuf menunjukkan fotokopi sebuah surat dari notaris Coeberg dari Leiden yang ditujukan kepada Ibrahim di Palembang. Surat itu berisi pemberitahuan bahwa Snouck Hurgronje telah wafat pada tanggal 26 Juni 1936 dan di dalam wasiatnya Snouck menghibahkan uang sejumlah 5000 gulden kepada semua anaknya di Hindia Belanda. Dengan bantuan saudara seayah lainnya, Umar, Raden Jusuf menggunakan uangnya untuk membangun sebuah rumah tembok di Jalan Kalipah Apo, sesuai dengan nama panggilan kakeknya.

Raden Jusuf juga membenarkan bahwa ayahnya memang merahasiakan hubungan-hubungan kekeluargaannya di Hindia Belanda. Sadijah mengatakan bahwa menjelang kepulangannya ke Belanda tahun 1906, Snouck secara tegas melarang anak-anaknya menggunakan nama Snouck Hurgronje. Karena itu bila ditanya tentang siapa ayahnya, maka Raden Jusuf hanya akan mengatakan bahwa ia cucu Muhammad Su’eb. Selulus dari sekolah HBS, Raden Jusuf juga dilarang pergi ke Belanda melanjutkan sekolah kedokteran walaupun sebenarnya ia sudah resmi diterima sebagai mahasiswa di sana. Ibrahim juga mengalami hal yang sama.

Walaupun begitu, Raden Jusuf mengatakan bahwa ibunya sangat mencintai Snouck Hurgronje. Ia mencintai Snouck sebagai seorang Muslim yang alim, taat beribadah, serta menjalankan puasa. Ibunya tidak pernah ingin bercerai dari Snouck walaupun sepeninggal Snouck tahun 1906, ia mendapat banyak pinangan. Sadijah setia hingga wafatnya pada tahun 1974.

Siti Sadijah dan Raden Jusuf.

Siti Sadijah dan Raden Jusuf.

Menurut anak-anak Raden Jusuf, nenek Sadijah yang mereka panggil dengan nama Buah, sangat lekat dengan surat-surat yang ditulis dan dikirimkan Snouck dari Belanda hingga wafatnya tahun 1936. Surat-surat itu selalu ditujukan “Kepada Putri Sundaku yang Tercinta…” Sayang, menurut Raden Jusuf surat-surat ini hilang setelah masa Perang Dunia II.

Menurut Raden Jusuf, menjelang kepulangan Snouck ke Belanda, Snouck Hurgronje telah mengatur seluruh pembiayaan istri dan anak-anaknya melalui pembayaran bunga seumur hidup. Baginya Snouck telah berusaha menghindari berbagai kemungkinan penilaian buruk terhadapnya berkaitan dengan keluarga Sundanya. Di sisi lain, Raden Jusuf juga dapat menerima bila ada anggapan bahwa akad-akad nikah Snouck di Hindia Belanda lebih diabdikan karena telaah-telaah kemasyarakatan berkaitan dengan jabatannya sebagai penasihat Hindia Belanda.

Van Koeningsveld melihat bahwa dengan melakukan perkawingan dengan keluarga pejabat tinggi ini, Snouck dapat masuk jauh lebih dalam di kalangan atas Priangan. Dalam sebuah nasihat bertanggal 23 November 1895 (tiga tahun sebelum menikah dengan Siti Sadijah) Snouck menulis: “Ia termasuk keluarga Priangan terkemuka baik melalui kekerabatan darah atau kekerabatan semenda[3] yang bekerja di dinas pemerintah.” Muhammad Su’eb, ayah Sadijah memang bersaudara dengan Raden Haji Muhammad Rusjdi dan Raden Haji Abdulkadir.

Atas anjuran Snouck, Muhammad Rusjdi diangkat sebagai penghulu besar di Kutaraja, Aceh, pada tahun 1895, menggantikan penghulu Haji Hasan Mustapa yang dipindahkan ke Bandung. Hasan Mustapa adalah yang mengatur perkawinan Snouck dengan Sadijah, ia atasan Muhammad Su’eb. Berdasarkan fakta-fakta ini, van Koeningsveld menganjurkan agar sejarah Hindia Belanda dikaji ulang dengan menyorot hubungan-hubungan kekeluargaan ini.

Raden Jusuf dan salah satu anaknya, Harry.

Raden Jusuf dan salah satu anaknya, Harry.


[1] Penguasa yang menangani wilayah lokal pada masa Hindia Belanda

[2] Pegawai yang mengurusi administrasi sederhana seperti mencatat, mengetik, menerima dan mengirimkan surat. Sama dengan jurutulis atau kelerek.

[3] Kekerabatan atau hubungan kekeluargaan karena hubungan perkawinan.

– Foto-foto repro van Koeningsveld dari koleksi keluarga Raden Jusuf di Bandung.

Sepenggal Kisah Awal Abad Ke-18: Haji Prawatasari Versus Kompeni

Nemu artikel lama yang topiknya jarang dibicarakan.
Saya pajang di sini saja buat menambah pengetahuan pembaca.
Bila pemilik artikel berkeberatan dengan pemajangan ini, silakan mengabari, saya akan segera hapus.
Terima kasih.

 

Kisah para pahlawan seperti Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Umar, Hasanudin, Cut Nyak Din, dan Iain-lain sudah banyak diketahui orang. Mereka adalah tokoh-tokoh sejarah yang memiliki peranan penting dalam percaturan perjuangan melawan penjajah di Indonesia. Di samping tokoh-tokoh sejarah yang sudah dikenal dalam skala nasional, agaknya masih banyak tokoh-tokoh sejarah lokal, yang belum begitu dikenal masyarakat luas, yang sebenarnya mempunyai peranan segaris dengan tokoh nasional. Sekalipun tokoh-tokoh sejarah lokal tidaklah sama bobotnya atau “kehebatan”-nya dengan tokoh-tokoh nasional, gejala historisnya bisa dianggap penting apabila dipandang dalam perspektif nasional. Bagaimana reaksi rakyat yang sesungguhnya dalam menghadapi penindasan penjajah, hanya dapat dilihat dalam mikrohistori yang aspek spasial dan temporalnya lebih terbatas. Salah seorang tokoh yang kiranya penting untuk ditampilkan adalah Haji Prawatasari, seorang ulama pejuang dari daerah Jampang. Siapakah dia sebenarnya?

Perintah Gubernur Jenderal Joan van Hoorn
“Zij (de regenten) zullen vooral de quade menschen en roovers of oproermakers als den Paap Prawata en alle vijanden van de Comp. en ‘t Cheribonsche rijk uit haar landen moeten weeren, en alle dezelve, ‘it zij heevende of doot san den Pangerang Aria Cheribon of te de Comp. Gezaghebber op Cheribon overleeveren. Op poepe van andere selven daar over te sullen worden gestraft en uit haar gezaggezet”(F. de Haan: 1911-25a).

Demikianlah bunyi sebagian instruksi yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal VOC, Joan van Hoorn, pada tanggal 22 Maret 1706, yang terjemahan bebasnya adalah: “Para bupati harus melarang masuk para penjahat atau perampok seperti Prawata serta semua musuh Kompeni dan Kerajaan Cirebon ke daerahnya, atau menyerahkan mereka hidup atau mati kepada Pangeran Aria Cirebon atau penguasa Kompeni di Cirebon, jika tidak demikian maka para bupati itu akan dihukum dan dipecat”.

Siapakah sebenarnya Prawata yang disebut-sebut dalam instruksi di atas? Mengapa Joan van Hoorn begitu menggebu-gebu ingin menangkapnya baik dalam keadaan hidup maupun mati? Agaknya Prawata ini orang yang cukup penting, sehingga seorang Gubernur Jenderal VOC, sebagai penguasa tertinggi di Hindia Belanda perlu turun tangan.

Untuk mengetahui apa dan siapa Prawata, kita mundur menapaki jejak sejarah ke masa silam sebelum instruksi itu dikeluarkan.

Penguasaan Kompeni atas Wilayah Jampang
Akibat perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 19-20 Oktober 1677, oleh penguasa Kompeni dan Kerajaan Mataram, sebagian besar wilayah Priangan yang tadinya ada di bawah “penguasaan” Mataram, jatuh ke tangan Kompeni; dalam hal ini termasuk antara lain wilayah Jampang, Cianjur, Kampung Baru (Bogor), Tangerang, dan Cikalong.

Dalam penguasaan Kompeni inilah rakyat Jampang diwajibkan menyerahkan sejumlah belerang (yang sumbernya antara lain di Gunung Gede) dalam batas waktu tertentu. Di samping itu mereka diwajibkan menanam nila/indigo dan menyerahkan hasilnya kepada Kompeni. Kompeni yang lebih mementingkan usaha perdagangannya, lebih suka memanfaatkan elite pribumi untuk mengurus masalah ini.

Oleh karena itu pelaksanaannya diserahkan kepada Bupati Cianjur, sebagai penguasa wilayah Jampang. Dalam pelaksanaan di lapangan, Bupati Cianjur menyerahkannya kepada Raden Alit, seorang pemimpin informal yang mempunyai pengaruh besar di kalangan rakyat Jampang.

Raden Alit ini kemudian lebih dikenal dengan nama Haji Prawatasari, orang yang disebut-sebut sebagai Paap Prawata dalam Instruksi 22 Maret 1706 di atas. Paap atau paep adalah istilah yang digunakan oleh penguasa Belanda untuk menyebut kaum ulama dalam konotasi yang negatif, yang berkedudukan sebagai counter-elite (sang penantang penguasa yang sah). Haji Prawatasari, agaknya tergolong pemimpin informal tipe tersebut; seorang ulama yang mempunyai kewibawaan sosial yang tinggi dikalangan rakyat Jampang. Bupati Cianjur cukup jeli melihat hal ini, sehingga untuk dapat melaksanakan kewajibannya terhadap Kompeni, Raden Alit alias Haji Prawatasari inilah dijadikan ujung tombak di lapangan. Haji Prawatasari sebenarnya agak enggan menerima tugas dari bupati tersebut; tetapi daripada tugas itu dijalankan oleh orang lain yang belum tentu dapat memahami aspirasi rakyat, maka diterimanya juga tugas itu, dengan harapan ia dapat menjadi bufer (penyangga) antara penguasa dengan rakyat.

Pada mulanya rakyat Jampang tanpa mengeluh melaksanakan penanaman nila dan menyerahkan belerang di atas sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditentukan. Dalam hal ini peranan Haji Prawatasari sebagai seorang ulama sangat besar. Menurut tradisi Islam, para ulama mempunyai kedudukan amat terpandang dan karena pengetahuannya yang luas di bidang agama dan moralitasnya yang tinggi, mereka memiliki otoritas karismatis tidak hanya-,di lingkungan murid-muridnya tetapi juga di kalangan rakyat luas; sehingga tak ada kesulitan bagi Haji Prawatasari untuk memerintahkan rakyat untuk berbuat sesuatu.

Seiring dengan berputarnya roda sejarah, rakyat Jampang mulai merasakan betapa waktu dan tenaganya habis terkuras untuk melaksanakan kewajiban kepada kompeni; sedangkan mata pencaharian pokok terbengkalai. Dapatlah dibayangkan akibatnya. Haji Prawatasari sebagai pemimpin counter-elite yang dekat dengan rakyatnya, dapat merasakan penderitaan mereka. Ia mengutus beberapa orang menghadap Bupati Cianjur, untuk mengusulkan dihentikannya tanam paksa dan penyerahan paksa tersebut. Jelas usul itu ditolak mentah-mentah oleh Bupati, karena bisa-bisa ia dituduh tidak loyal kepada Kompeni, bahkan ia bisa dicopot dari jabatannya (sejak dikeluarkannya Undangundang Van Couper tahun 1684, para bupati Priangan diangkat oleh Kompeni). Haji Prawatasari akhirnya nekad: tanaman nila dimusnahkan dan penyerahan belerang dihentikan. Bupati berang. Dikirimlah Cakrayuda untuk membereskan urusan itu. Pertemuan utusan bupati dengan Haji Prawatasari berakhir dengan bentrokan fisik. Beberapa hari setelah kejadian, dikirimlah pasukan untuk menangkap Prawatasari, tetapi mereka harus berhadapan dengan rakyat Cikalong pendukung Prawatasari, sehingga penangkapan gagal.

Peristiwa yang terjadi pada awal tahun 1702 itulah yang mengantarkan Haji Prawatasari kepada perjuangan fisik, perang gerilya selama lima tahun melawan Kompeni dan penguasa pribumi pendukungnya, sejak dari Jampang, wilayah Priangan Tengah dan Timur sampai akhirnya ke Banyumas. Penderitaan rakyat Jampang telah meletup menjadi kebencian kepada sang penindas. Tak dapat disangkal lagi bahwa elite birokrasi pribumi (dalam hal ini bupati dan aparatnya) yang bekerja sama dengan penjajah juga menjadi sasaran kebencian rakyat atau paling sedikit merupakan golongan yang sangat hina di mata rakyat. Akibatnya Haji Prawatasari bukan saja harus berhadapan dengan kompeni tetapi juga dengan para bupati Priangan.

Ulama sebagai counter-elite yang dekat dengan rakyat, mudah mengumpulkan massa. Demikian juga dengan Haji Prawatasari. Dalam waktu singkat, ia berhasil mengumpulkan pasukan sejumlah tiga ribu orang, baik yang berasal dari kalangan rakyat Jampang maupun simpatisan dari luar Jampang. Jumlah tersebut relatif besar bila dibandingkan dengan jumlah penduduk pada masa itu. Misalnya Kabupaten Bandung berpenduduk seribu keluarga, Sumedang juga seribu keluarga (demikian F. de Haan dalam bukunya Priangan, de Preanger Regentschappen Onder het Nederlandsch Bestuur tot 1811).

Bulan Maret 1703, pasukan Kompeni di bawah pimpinan Pieter Scipio, menyerang langsung Jampang, dengan maksud menghancurkan basis kekuatan Prawatasari. Pasukan pribumi dengan persenjataan sederhana berupa golok, pedang, keris dan tombak melawan dengan taktik “pukul dan lari”. Dalam pertempuran ini, Haji Prawatasari dikabarkan tewas oleh Kompeni. Tetapi sebenarnya, ulama pejuang itu berhasil menyembunyikan diri.

Untuk menekan Prawatasari, Kompeni memindahkan sisa penduduk Jampang sebanyak 1354 orang ke Bayabang di tepi Sungai Citarum. Dalam proses pemindahan ini banyak penduduk yang mati karena kelelahan, kelaparan dan penyakit sebelum tiba di tempat tujuan.

Peristiwa ini tidak menggoyahkan semangat Haji Prawatasari, ia terus bergerilya. Karena serangan Kompeni pada bulan Juni 1704 ia pindah dan bertahan di muara Sungai Citanduy dan setelah mendapat serangan Kompeni lagi, dalam bulan Oktober tahun itu juga terpaksa bergerak dan membuat kekacauan di daerah Utama, Bojonglopang, dan Kawasen di daerah Priangan Timur. Pada akhir tahun 1704 Prawatasari kembali ke Jampang, lalu menyusup ke Batavia dan pada tahun 1705 ia kembali bergerilya di sekitar Bogor.

Kompeni yang merasa kewalahan, mengeluarkan ancaman kepada penduduk, bahwa barangsiapa yang berani membantu Prawatasari akan dibunuh, dan siapa saja yang dapat menangkapnya, akan diberi hadiah tiga ratus ringgit. Akan tetapi tak ada seorang pun yang mau menangkap Prawatasari, bahkan secara diam-diam banyak yang memberi bantuan.

Tiga orang penduduk yang dituduh membantu ulama itu, dibunuh Kompeni. Sementara itu Prawatasari terus mengadakan kekacauan di Sumedang dan pada bulan Agustus 1705 berhasil menghancurkan pasukan Kompeni di daerah tersebut.

Perlawanan Prawatasari yang telah berlangsung lebih dari tiga tahun itu, ternyata menimbulkan kekacauan dan kerusakan yang tidak sedikit di wilayah penguasaan Kompeni. Karena itu, para bupati dari seluruh wilayah Jawa bagian Barat dikumpulkan dan dalam rapat tersebut, para bupati ditugasi untuk menangkap Prawatasari dalam tempo enam bulan. Ternyata perintah itu tak menghasilkan apa-apa. Akhirnya Gubernur Jenderal Joan van Hoorn terpaksa mengeluarkan instruksi susulan, di mana sebagiannya berbunyi seperti dikutip pada awal tulisan ini.

Akibat instruksi tersebut, kedudukan Prawatasari semakin terjepit, sementara pasukan semakin berkurang jumlahnya. Logistik juga semakin sulit, sedangkan di mana-mana ada pasukan Kompeni. Sesudah mengacau di Tangerang pada tahun 1706, maka Prawatasari hijrah ke daerah Banyumas. Celakanya, di sana ia berhadapan pula dengan pasukan Kompeni yang cukup kuat. Terpaksa ulama pejuang yang tangguh itu menyingkir ke daerah Bagelen.

Karena terjepit dari sana-sini, dan perjuangan yang telah berlangsung 5 tahun lebih (seperti juga perjuangan Pangeran Diponegoro), Raden Alit alias Haji Prawatasari, seorangbangsawan yang merakyat, ulama pejuang yang gagah berani itu akhirnya kehabisan daya. Dan pada tanggal 12 Juli 1707, ia tertangkap Kompeni dan menjalani hukuman mati di Kartasura.

Itulah sepenggal kisah tentang seorang pahlawan dari daerah Jampang yang agaknya dapat mewakili bukan saja aspirasi rakyat Jampang tetapi juga Priangan umumnya. Sekalipun perjuangannya lebih bersifat lokal, kiranya cukup relevan untuk dikedepankan dalam perspektif sejarah nasional, dalam rangka sumbangan sejarah lokal terhadap sejarah nasional.

Nina Herlina
Nina Herlina pengajar pada Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UNPAD.

 

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohamad, et. al. 1972. Sedjarah Djawa-Barat; Suatu Tanggapan. Bandung: Pemerintah Daerah Djawa-Barat.
Dagh-register Batavia Anno 1706.
Day, Clive, 1904. The Policy and Administration of the Dutch in Java. London: The Macmillan Company.
Ekadjati, Edi S. et.al. 1982. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Barat. Bandung: Departemen P & K, Pusat Pendidikan Sejarah Budaya Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Jawa Barat.
Haan, F. de. 1911 -1912. Priangan; de Preanger Regentschappen Onder het Nederlandsche Bestuur tot 1811, deel II & IV. Batavia: BGKW.
Hageman, J.CzJ. ‘1867. Geschiedenis der Soenda-landen. Batavia: TBG.XVI.
Hoadley, Mason Claude. 1975. Javanese Procedural Law; History of the Cirebon Priangan Jaksa College 1706-1735. Thesis. New York: Cornell University.
Kartodirdjo, Sartono. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Klein, Jacob Wouter. 1931. Het Preangerstelsel (1677-1871) en Zijn Nawerking.
Proefschrift. Delft: NV Technische Boekhandel en Drukkerij J.Waltman Jr.
Herlina, Nina. 1984. Peranan Pangeran Aria Cirebon Sebagai Perantara Kompeni dengan Para Bupati Priangan Pada Awal Abad ke-18. Skripsi. Bandung: Fakultas Sastra Unpad.

Cerita Munada – Bagian 2

Melanjutkan Cerita Munada – Bagian 1, maka yang berikut ini agak berbeda pada beberapa nama tokoh, detil tanggal, dan peristiwa.

Ini kisahnya:

Raden Naranata adalah seorang Jaksa Kepala di Bandung. Ia memendam dendam kepada Asisten Residen Nagel karena saudaranya, Mas Soeraredja, pernah dipenjarakan oleh Nagel dan Bupati Bandung dengan tuduhan telah meracuni orang. Naranata juga menyimpan kebencian terhadap Bupati Bandung, Raden Wiranatakoesoemah,yang pernah menolak lamarannya untuk menikahi putrinya.

Dikuasai oleh kebencian, Naranata membuat rencana untuk membunuh Nagel dan bupati. Dikumpulkannya beberapa kawan, di antaranya ada Raden Wirakoesoemah, Rana Djibja, Ba Kento, Raden Padma, Raden Sasmita, dan seorang pedagang Tionghoa-Muslim yang bernama Moenada. Hampir setiap malam komplotan ini berkumpul di rumah Raden Naranata.

Pada tanggal 25 Desember 1845, komplotan ini memutuskan untuk membunuh asisten residen pada malam itu juga. Mereka bersepakat menunjuk Moenada sebagai pelaksananya. Komplotan ini tahu betul bahwa Moenada juga menyimpan dendam kepada Nagel yang pernah memarahi dan memukulnya. Pemukulan oleh Nagel disebabkan oleh sikap Moenada pada saat Nagel menagih hutang-hutang Moenada yang belum dibayarnya.

Continue reading

« Older posts

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑