Month: May 2013 (Page 1 of 2)

Sekilas Mesjid Agung Bandung.

Repost

Sekarang bila hendak memastikan jadwal berbuka puasa, tak jarang orang menunggui televisi atau radio untuk mendengarkan kumandang suara adzan. Mesjid dengan speaker yang cukup keras memang banyak di Bandung, tapi seringkali suaranya kalah oleh kebisingan suasana kota. Namun di Bandung tempo dulu yang sunyi, bunyi bedug, tanpa harus menggunakan peralatan pengeras suara, sudah cukup membahana sampai ke Ancol, Andir, Tegalega, bahkan sampai Kampung Balubur. Menjelang subuh, bebunyian dari kohkol (kentongan) malah bisa terdengar sampai ke Simpang Dago, Torpedo (Wastukancana), dan Cibarengkok (Sukajadi).

Setiap bulan Ramadhan, Mesjid Agung ramai kunjungan masyarakat Bandung, termasuk oleh warga dari wilayah utara. Ya maklum saja, di utara Bandung masih cukup langka keberadaan mesjid selain Mesjid Kaum Cipaganti. Lagi pula mesjid legendaris ini berada di titik pusat keramaian kota. Orang beramai-ramai berbuka puasa di sekitar Pasar Baru dan Alun-alun. Di sana banyak warung, restoran, atau tukang dagang keliling yang bisa didatangi. Setelah shalat Maghrib, orang biasanya bersantai-santai sambil menunggu saatnya shalat Isya dan Taraweh di Mesjid Agung.

COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Moskee_en_alun-alun_TMnr_10016554B

Continue reading

Kunjungan Raja Rama V ke Bandung

Perjalanan ke Jawa I

Seperti sudah diceritakan sebelumnya, Chulalongkorn atau Raja Rama V dari Kerajaan Siam pernah tiga kali mengunjungi Pulau Jawa. Masing2 tahun 1871, 1896, dan 1901. Berikut ini ringkasan kisah kunjungannya, terutama di bagian Bandung dan Priangan.

Chulalongkorn2

Perjalanan luar negri Chulalongkorn yang pertama berlangsung dari tanggal 9 Maret 1871 sampai 15 April 1871. Saat itu usia Chulalongkorn masih 18 tahun. Tujuan perjalanannya adalah semacam study-tour, ingin menyaksikan langsung kehidupan masyarakat di negri lain sambil belajar tata pemerintahan negri2 tetangganya. Detil seluruh perjalanan biasanya diceritakan oleh Rama V kepada asistennya yang selalu mengikuti dan diberi tugas mencatat.[1]

Dalam perjalanan pertama ini Rama V menggunakan kapal kerajaan, Pitthayamronnayuth yang bertolak dari Bangkok dan membawa 208 orang penumpang. Kapten kapal, John Bush, yang saat itu menjabat Kepala Pelabuhan Bangkok, adalah satu2nya orang asing dalam kapal itu. Rute perjalanan melewati dan mampir ke Singapura lalu menyusuri pantai timur Sumatra sampai masuk wilayah Kepulauan Seribu dan akhirnya, Batavia. Di Batavia, Rama V disambut oleh banyak pejabat pemerintahan Hindia Belanda. Gubernur Jendral membuat dua surat edaran, “Apa yang Harus Dilakukan Saat Kedatangan Raja Siam” dan “Rangkaian Perjalanan Raja Siam Selama 5 Hari di Batavia”. [2]

Continue reading

Pangeran Paribatra di Bandung

Pada bagian ini, saya kembali lagi ke buku Wisata Bumi Cekungan Bandung seperti yang sudah saya kutip dalam tulisan sebelumnya. Pada halaman 119 ada tulisan sebagai berikut:

“Di tahun-tahun itulah, tepatnya pada tahun 1902, Rama V berkunjung ke Indonesia dan mampir ke Bandung. Mungkin pada saat itu, Rama V mendapat informasi mengenai keindahan alam tatar Priangan, sehingga menyempatkan datang ke Bandung yang saat itu pastinya masih sangat lengang. Rama V mungkin juga bercerita pada cucunya mengenai keindahan Bandung sehingga kemudian sang cucu, Rama VII, menapaktilasi kunjungan kakeknya itu. Bahkan Rama VII sempat membuat taman di kawasan Jl. Cipaganti berikut villanya. Jika kemudian mengunjungi Curug Dago, bisa jadi karena air terjun ini merupakan obyek alam terdekat di sekitaran Bandung, yang tentunya saat itu masih berair bening dan berpanorama indah.”

Di sebelah utara Bandung ada satu tempat yang dinamai Bunderan Siam (biasa dibaca Siem). Lokasi ini persisnya berada di perpotongan antara Jl. Cipaganti dengan Jl. Lamping (sekarang ditempati oleh pom bensin). Bunderan Siam memang cukup unik, selain namanya yang mengingatkan kepada kerajaan Thailand yang memang bernama lama Siam, juga karena di situ dahulu terdapat sebuah taman yang sangat indah.

Continue reading

Prasasti Raja Thailand di Curug Dago

Melanjutkan kisah tentang Chulalongkorn, pada bagian ini saya akan ringkaskan perjalanannya ke Pulau Jawa, terutama pada bagian kunjungan ke Priangan. Sebelumnya, saya kutipkan beberapa paragraf dari buku Wisata Bumi Cekungan Bandung (Budi Brahmantyo & T. Bachtiar, Truedee Pustaka Sejati, Bandung, 2009) yang berkaitan dengan jejak Raja Thailand tersebut di Bandung. Bagian ini dari halaman 116-117 di bagian dengan judul tulisan “Artefak di Ci Kapundung: Dago Pakar dan Prasasti Thai di Curug Dago”. Di situ tertulis:

Inskripsinya berbunyi: Coporo 34 Ra Sok 120, jika dipanjangkan berarti, Chalacomklao Paramintara = Chulalongkorn (gelar paduka raja), 34, Zaman Ratanakosin 120. Prasasti ini kemudian diinterpretasikan sebagai berikut: “Raja Rama V berkunjung ke Bandung saat berumur 34 tahun, sebagai peringatan ibukota Kerajaan Thai Ratanakosin ke-120”. Kerajaan Thai diketahui berdiri pada tahun 1782. Jika demikian, kunjungannya ke Curug Dago adalah pada tahun 1902. Ukiran lain pada batu itu adalah berupa bintang segilima dengan inskripsi berbunyi: Vachira Wudha.

Namun jika melihat biografi singkat Raja Rama V, penafsiran 34 sebagai umur sang raja saat berkunjung ke Bandung, ternyata tidak tepat. Dengan asumsi dia lahir pada 20 September 1853 (wafat pada 23 Oktober 1910 di usia 57), maka pada 1902, usia sang raja seharusnya adalah 49.

Sementara itu pada batu kedua, terdapat tulisan dalam huruf Thailand juga, yang diukir oleh sang penerus, yaitu Raja Rama VII. Inskripsinya berbunyi: Poporo Bu Sok 2472. Artinya: Prajatipok Paramintara, Tahun Budha 2472 (atau tahun 1929 M). Prasasti tersebut menjadi acara napak tilas sang cucu terhadap kakeknya ke Curug Dago, 27 tahun kemudian.

Cuplikan halaman buku Wisata Bumi Cekungan Bandung.

Cuplikan halaman buku Wisata Bumi Cekungan Bandung.

Lalu, pada halaman 119 ada tulisan sebagai berikut:

Di tahun-tahun itulah, tepatnya pada tahun 1902, Rama V berkunjung ke Indonesia dan mampir ke Bandung. Mungkin pada saat itu, Rama V mendapat informasi mengenai keindahan alam tatar Priangan, sehingga menyempatkan datang ke Bandung yang saat itu pastinya masih sangat lengang. Rama V mungkin juga bercerita pada cucunya mengenai keindahan Bandung sehingga kemudian sang cucu, Rama VII, menapaktilasi kunjungan kakeknya itu. Bahkan Rama VII sempat membuat taman di kawasan Jl. Cipaganti berikut villanya. Jika kemudian mengunjungi Curug Dago, bisa jadi karena air terjun ini merupakan obyek alam terdekat di sekitaran Bandung, yang tentunya saat itu masih berair bening dan berpanorama indah.

P1310113

Dari tulisan bagian pertama dibuat sebuah hitungan berdasarkan inskripsi pada batu di Curug Dago. Hasilnya menyimpulkan angka tahun 1902 sebagai tahun kunjungan Raja Rama V ke Bandung. Dalam buku karya Imtip Pattajoti[1] diceritakan bahwa sama seperti kunjungan2 tedahulu, perjalanan Raja Rama V selalu dicatat dan kemudian dibukukan. Seperti sudah dikemukakan dalam tulisan sebelumnya, Rama V dua kali mampir ke kota Bandung dalam perjalanannya ke Pulau Jawa, masing2 tahun 1896 dan 1901.

Chulalongkorn_crowned

Perjalanan tahun 1901 dicatat oleh putrinya yang juga ditugasi sebagai sekretaris pribadi sang raja, yaitu Putri Suddhadibya Ratana (1877-1922). Catatan2 ini kemudian dibuat menjadi dua buku yang diterbitkan pada tahun 1923. Masing2 buku itu: 1) A Diary of the Last Journey to Java in 1901 by H.M. King Chulalongkorn, dan 2) The Official Dispatches of His Majesty’s Daily Activities to the Public of Bangkok, Recorded by Prince Sommot Amornpan and Printed in the Government Gazette.

Dari judul buku itu sudah dijelaskan bahwa tahun kunjungan terakhirnya ke Bandung adalah 1901. Keseluruhan perjalanan berlangsung dari 5 Mei 1901 sampai 24 Juli 1901. Saya tidak tahu bagaimana menginterpretasikan angka 120 dan 34 pada prasasti pertama, namun bila angka tahunnya adalah 1902, memang akan lebih mudah, misalnya tahun Rattanakosin ke-120 yang bila dihitung sejak 1782 akan mendapatkan angka tahun 1902. Begitu pula angka 34 bisa mendapatkan keterangan masa kepemimpinannya sebagai Raja Siam sejak dinobatkan pada tahun 1868, hasilnya akan sama, angka tahun 1902.

Piagam yang dipajang dalam cungkup prasasti. Tertulis: Raja Chulalongkorn (Rama V) dari Thailand mengunjungi Curug Dago pertama kali pada tanggal 19 Juni B.E. 2439 (A.D. 1896). Dalam kunjungannya yang kedua kali pada tanggal 6 Juni B.E. 2444 (A.D. 1901), Baginda menorehkan parafnya yang dilengkapi dengan tahun Rattanakosin (Bangkok) Era 120 di atas batu.

Piagam yang dipajang dalam cungkup prasasti.
Tertulis: Raja Chulalongkorn (Rama V) dari Thailand mengunjungi Curug Dago pertama kali pada tanggal 19 Juni B.E. 2439 (A.D. 1896).
Dalam kunjungannya yang kedua kali pada tanggal 6 Juni B.E. 2444 (A.D. 1901), Baginda menorehkan parafnya yang dilengkapi dengan tahun Rattanakosin (Bangkok) Era 120 di atas batu.

Yang cukup jelas, ada kesalahan keterangan dalam paragraf berikutnya yang mengatakan bahwa Rama VII adalah cucu Raja Rama V. Setelah meninggalnya Rama V dan tahta kerajaan dilanjutkan oleh Rama VI atau Vajiravudh (1910-1925). Vajiravudh adalah anak Chulalongkorn dari istrinya yang bernama Saovabha. Vajiravudh memerintah Siam sebagai pemuda lajang. Dia baru menemukan calon permaisurinya, Indrasakdi Sachi, pada tahun 1920. Bahkan, Vajiravudh baru mendapatkan seorang anak perempuan dari selirnya, Consort Suvadhana, hanya dua jam sebelum kematiannya karena sakit pada tanggal 24 November 1925.

Prajadhipok's_coronation_records_-_001

Sebelum kematiannya, Vajiravudh sempat mengumumkan bahwa bila anak yang dikandung istrinya laki2, maka tahta kerajaan akan jatuh kepada sang anak, namun bila perempuan, maka tahta kerajaan akan diberikan kepada Prajadiphok, saudara laki2nya. Kemudian ternyata anaknya perempuan dan Prajadiphok akhirnya menerima tahta kerajaan sebagai Rama VII. Prajadiphok memerintah di Kerajaan Siam antara 1925 sampai 1935.

Vajiravudh memiliki empat orang istri, dan seorang putri. Sementara Prajadiphok yang menghapuskan sistem poligami hanya memiliki seorang istri tanpa membuahkan keturunan.


[1] “Journeys to Java by a Siamese King” – Imtip Pattajoti Suharto (2001)

Chulalongkorn atau Rama V

Lagi buka2 cerita tentang dua Prasasti Raja Thailand di Curug Dago, jadi teringat sebuah buku berjudul Journeys to Java by a Siamese King karangan Imtip Pattajoti Suharto. Buku ini mengkompilasi tiga catatan perjalanan yang dilakukan oleh Raja Thailand, Chulalongkorn atau Raja Rama V ke Pulau Jawa pada tahun 1871, 1896, dan 1901.

Nah, siapakah Raja Rama V?

King_Mongkut_and_Prince_Chulalongkorn

Rama V atau Chulalongkorn adalah anak tertua Raja Mongkut (Rama IV) dan Ratu Debsirindra. Dilahirkan pada 20 September 1853. Dalam usia 15 tahun (1868) Rama V dinobatkan sebagai raja Siam menggantikan ayahnya yang baru wafat. Chulalongkorn mendapat gelar Phra Bat Somdet Phra Poraminthra Maha Chulalongkorn Phra Chunla Chom Klao Chao Yu Hua. Walaupun masih sangat muda, tetapi rakyat akan segera mengenalnya sebagai salah satu raja Siam terbesar. Raja yang akan membawa banyak perubahan dan memberikan kesejahteraan bagi bangsanya. Di masa puncak kolonialisme negara2 Asia, Chulalongkorn berhasil menghindarkan negrinya dari penjajahan bangsa barat.

Continue reading

Tahura Ir. H. Djuanda dan PLTA Bengkok

Pada masa kolonial Kota Bandung dikenal sebagai kota yang asri karena memiliki sangat banyak taman sebagai penghias kotanya. Tak aneh bila saat itu Bandung populer sebagai kota taman. Di tengah kesibukan pembangunan berbagai sarana perkotaan, taman juga menjadi perhatian penting bagi pemerintah saat itu sehingga di sudut- sudut kota dibangun berbagai taman yang dirancang dengan indah. Kondisi seperti ini melahirkan banyak sebutan yang memuji keadaan Kota Bandung waktu itu, de bloem van bergsteden (bunganya kota pegunungan), Europa in de tropen (Eropa di wilayah tropis), sampai The Garden of Allah.

Taman-taman yang asri seperti ini sangat menyejukkan dan menyegarkan bagi warga kota sehingga menjadi tujuan rekreasi yang mudah dan sangat murah bagi siapapun. Setiap saat warga kota dapat melakukan rekreasi ke taman-taman ini, sejak pagi hingga malam hari. Sangat menyenangkan…

Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda
Taman terbesar yang pernah dibangun oleh pemerintah Hindia-Belanda berbentuk hutan lindung dengan nama Hutan Lindung Gunung Pulosari. Perintisan taman ini mungkin sudah dilakukan sejak tahun 1912 berbarengan dengan pembangunan terowongan penyadapan aliran sungai Ci Kapundung (kemudian hari disebut sebagai Gua Belanda), namun peresmiannya sebagai hutan lindung baru dilakukan pada tahun 1922.

Continue reading

Ngaleut dan Piknik di PLTA Bengkok, Minggu, 26 Mei 2013

Ini catatan ringkas saja tentang perjalanan ngaleut kemarin bersama @KomunitasAleut. Untuk ngaleut hari ini sudah dirancang sebuah rute pendek dengan beberapa objek berbeda yang berada di jalur jalan kampung antara Kolam Pakar dengan kompleks PLTA Bengkok di Dago.

Peta Pakar Bengkokb       1369671264575
Peta dan rute perjalanan ngaleut kemarin. Rekaman rute oleh @adam_taufik.

Kegiatan dimulai dengan pembagian kelompok untuk berbelanja bahan masakan di Pasar Elos, Terminal Dago. Ada yang bertugas berbelanja bahan sayuran, bahan beberapa macam sambal, bahan lauk, dan lain-lain. Setiap kelompok ini nanti akan bertanggungjawab juga untuk mengolah setiap bahan yang ditentukan. Ternyatalah ada peserta yang belum pernah ke pasar, tidak tahu nama dan bentuk bahan makanan atau masakan tertentu, tidak tahu bahan2 yang diperlukan untuk membuat masakan tertentu, tidak berani menawar, dan sebagainya. Tentu saja ini menjadi pengalaman menarik..

Dari Pasar Elos, rombongan @KomunitasAleut menuju Kolam Pakar sebagai titik awal perjalanan. Dari sini perjalanan tidak terlalu jauh dan melulu akan melalui jalanan menurun. Sebelum mencapai titik tertinggi pipa pesat PLTA Bengkok (Tangga Seribu), rombongan mampir dulu ke suatu kawasan yang oleh masyarakat dulu dikeramatkan, yaitu Kampung Cibitung. Di kawasan lembah curam ini terdapat beberapa mata air yang menjadi sumber kebutuhan air warga sekitar. Terdapat beberapa bak penampungan dengan jalur2 pipa.

Continue reading

Catatan Seputar Penemuan Gunung Padang, Cianjur

Banner 1

Pada bagian Pendahuluan dalam buku Peninggalan Tradisi Megalitik di Daerah Cianjur, Jawa Barat {1}, susunan Haris Sukendar, tertulis seperti ini:
“Penemuan kembali bangunan berundak oleh para petani Endi, Soma, dan Abidin di Gunung Padang yang dilaporkan kepada Kepala Seksi Kebudayaan Kabupaten Cianjur R. Adang Suwanda pada tahun 1979 telah menggugah para arkeolog untuk mengadakan penelitian. Bangunan ini telah dicatat oleh N.J. Krom pada tahun 1914, tetapi penelitian yang intensif belum pernah dilaksanakan. Pada tahun 1979 tim Puspan yang dipimpin oleh D.D. Bintarti mengadakan penelitian  di daerah tersebut. Selajutnya pada tahun 1980 diadakan pula penelitian ulang yang dipimpin oleh R.P. Soejono.

Dr. N.J. Krom dalam Rapporten Oudheidkundige Dienst tahun 1914 menyebutkan sebagai berikut: op dezen bergtop nabij Goenoeng Melati vier door trappen van ruwe steenen verbonden terrassen, ruw bevloerd en met scherpe opstaande zuilvormige andesict steenen versierd. Op elk terras een heuveltje (graf), met steenen omzet en bedekt en voorzien van twee spitse steenen. Rupanya setelah tahun 1914, yaitu setelah N.J. Krom menulis tentang bangunan berundak Gunung Padang ini, bangunan tersebut tertutup oleh hutan dan semak belukar, dan baru ditemukan kembali sesudah tahun 1979”.

Continue reading

Tangkuban Perahu dan Kopi di Priangan

Konon pendakian pertama Gn. Tangkuban Parahu dilakukan oleh Abraham van Riebeeck pada tahun 1713. Pendakian ini merupakan misi pencarian belerang sebagai bahan campuran pembuatan bubuk mesiu untuk meriam dan bedil. Saat itu tentu saja belum ada jalur jalan seperti sekarang, sehingga pendakian ke puncak gunung dengan ketinggian 2.076 mdpl itu bisa sangat melelahkan.

Akibatnya memang fatal bagi van Riebeeck, beliau meninggal dalam perjalanan pulang dari puncak Tangkuban Parahu tanggal 13 November 1713 karena tenaga yang habis terkuras. Sebelumnya van Riebeeck juga sudah mendaki Gn. Papandayan di sebelah selatan. Beruntung van Riebeeck sempat meninggalkan catatan-catatan yang kemudian menyadarkan Kompeni Belanda tentang potensi alam Tatar Ukur (Priangan) waktu itu. {1}

Ridwan Tangkuban Parahu 2
Peta kawah dan trekking dari masa Hindia Belanda.

Abraham van Riebeeck adalah putra Joan van Riebeeck, pendiri Capetown di Afrika Selatan. Pada tahun 1712 ia mendarat di Wijnkoopsbaai (sekarang Pelabuhan Ratu) sebagai salah satu orang pertama yang memperkenalkan tanaman kopi ke Pulau Jawa.{2} Kelak penanaman kopi ini akan menjadi salah satu andalan hasil bumi Priangan hingga dipaksakan penanamannya mulai tahun 1831
melalui kebijakan cultuurstelsel atau sistem tanam paksa sebagai upaya pemulihan kas Hindia Belanda yang tersedot akibat Perang Diponegoro (atau Perang Jawa, 1825-1830).{3}

Continue reading

Beberapa Tinggalan Sejarah di Sekitar Majalaya

IMG_6221

  1. Di Kampung Kadatuan, Desa Bojong, ada gundukan batuan di tepi jalan yang tidak terlalu diperhatikan orang. Dari cerita mulut ke mulut, batuan itu dipercaya sebagai bekas lokasi pusat Kerajaan Sawung Galah.
  2. Di jalur jalan Sapan-Bojongemas, Desa Bojongemas, Kecamatan Solokanjeruk, di tepi Ci Tarum ditemukan tumpukan batuan yang dipercaya sebagai reruntuhan sebuah candi. Di dekatnya, di bawah pohon kimunding, pernah ditemukan sebuah arca, Durga Mahesasuramardhini, yang oleh warga sekitar disebut Arca Putri. Di lokasi ini juga ada satu bangunan tanah berundak yang disebut Pasaduan. Ada dugaan itu tempat ritual atau situs pemujaan dari masa Rajaresiguru Manikmaya (Kerajaan Kendan).
  3. Di Desa Tangulun, Kec. Ibun, ditemukan juga tumpukan batu yang dipercaya sebagai sisa-sisa sebuah candi. Tumpukan batuan serupa juga ditemukan di sebuah kampung bernama Kampung Candi.
  4. Di Kampung Ciwangi, Ds. Cipaku, Kec. Paseh, terdapat sebuah makam kuno yang dipercaya sebagai makam Eyang Kalijaga atau Eyang Paku Jaya. Itulah makam Ratu Cakrawati Wiranatakusumah yang memerintah di Tatar Ukur pada masa Dipati Ukur bergerilya memberontak terhadap Mataram.
  5. Di kaki Gunung Manik, Desa Nagrak, terdapat dua makam kuno dari abad 16. Masing-masing makam Prabu Raga Mulya Suryakencana (Prabu Seda), raja Pajajaran terakhir, dan makam istrinya, Parahitrasuli-yasahri, putri dari raja Parung Kuyah, Prabu Surgia Dandang. Setelah wafatnya raja Parung Kuyah, Prabu Suryakencana menikahi Putri Parahitrasuliyasahri sebagai selir keempat sekaligus melanjutkan pemerintahan Parung Kuyah.  Continue reading

Terowongan Lampegan 1879-1882

lampegan

Antara tahun 1881 sampai 1884, perusahaan Staatspoorwegen Westerlijnen menyelesaikan pembangunan jalur lintasan kereta api mulai dari Bogor melalui Sukabumi sampai Bandung dan Cicalengka sepanjang 184 kilometer. Jalur kereta ini mencapai Bandung pada tanggal 17 Mei 1884 dan peresmian stasiunnya dilaksanakan pada tanggal 16 Juni 1884.

Pada lintasan Sukabumi-Cianjur sepanjang 39 kilometer terdapat sebuah terowongan yang dibuat dengan membobol badan Bukit Kancana (ada juga yang menyebutkan Gunung Keneng) di Desa Cibokor. Panjang terowongan ini 415 meter. Terowongan ini adalah yang pertama dibuat di wilayah Priangan. Baru pada tahun 1902 dibuat terowongan lain di Sasaksaat pada lintasan Batavia-Bandung via Cikampek, dan buah 3 terowongan di Ciamis selatan dibangun tahun 1918.

Continue reading

Kampung Apandi, Braga

Repost

P1630109B

Ruas Jl. Braga di Bandung tentulah sudah dikenal baik oleh masyarakat, baik sebagai objek wisata berwawasan sejarah atau arsitektur. Sejumlah bangunan tua di Jl. Braga belakangan ini menjadi lebih populer sebagai tempat berfoto-ria yang dilakukan baik oleh kalangan wisatawan atau pun para pelajar dan remaja Kota Bandung. Belakangan Jl. Braga agak mengundang kegaduhan dalam masyarakat sehubungan dengan program revitalisasi yang menggantikan bahan jalan dari aspal dengan batu andesit. Jalan berbatu andesit ini ternyata tak pernah mampu bertahan cukup lama dalam kondisi baik.

Tapi dari pada membicarakan masalah revitalisasi yang tidak vital itu, saya langsung saja ke perhatian utama saat ini, yaitu Kampung Apandi. Ruas Jl. Braga sebetulnya diapit oleh dua kawasan di kiri-kanannya, masing-masing Kampung Apandi di sebelah barat dan sebuah Europeschewijk di sisi timurnya. Europeschewijk yang dulu dikepalai oleh Coorde sekarang menjadi kawasan Kejaksaan Atas dan nama Gang Coorde menjadi Jl. Kejaksaan. Istilah Kejaksaan Atas dan Kejaksaan Bawah adalah istilah tidak resmi dari warga untuk membedakan potongan Jl. Kejaksaan antara Tamblong-Braga dengan Tamblong-Saad.

Continue reading

Prof. Kemal Charles Prosper Wolff Schoemaker

Repost
48a
Para peminat sejarah kolonialisme di Hindia Belanda dan terutama Bandung, tentunya tak asing dengan nama Wolff Schoemaker. Beliau adalah arsitek yang banyak merancang gedung-gedung monumental di Bandung. Dapat disebutkan beberapa karyanya yang terkemuka seperti Villa Isola, Hotel Preanger, Gedung Merdeka, Peneropongan Bintang Bosscha, Bioskop Majestic, Landmark Building, Gedung Jaarbeurs, Penjara Sukamiskin, Gereja Bethel, Katedral St. Petrus, Mesjid Raya Cipaganti, dan banyak lagi yang lainnya. Demikian banyak karyanya diBandungsehingga seorang pakar arsitektur dari Belanda, H.P. Berlage, pernah mengatakan bahwa Bandung adalah “kotanya Schoemaker bersaudara”. Ya, Wolff Schoemaker memang memiliki seorang kakak yang juga terpandang dalam dunia arsitektur masa kolonial, yaitu Richard Schoemaker.

Continue reading

Sekilas Geusan Ulun (1558-1601)

Image

Repost

Gara2 diingatkan pengalaman beberapa waktu lalu berkunjung ke situs makam Dayeuhluhur di Sumedang, jadi ingat postingan ini. Pada publikasi lama cerita ini pernah diprotes oleh mereka yang punya versi cerita berbeda. Tapi saya memang tidak mempunyai pendapat apa pun dan tidak menambahkan apa pun dalam/tentang cerita ini, sepenuhnya hanya mencoba mengenalkan ulang satu tokoh sejarah yang namanya dipakai sebagai salah satu nama jalan di pusat kota Bandung.

Pangeran Angkawijaya bergelar Prabu Geusan Ulun (1558-1601 M) adalah raja Sumedanglarang ke-9 yang bertahta pada 1578-1601 M. Ibunya, Satyasih atau Ratu Inten Dewata (lebih populer dengan gekar Ratu Pucuk Umun) adalah raja Sumedanglarang ke-8. Ratu Pucuk Umun menikah dengan Raden Solih (Ki Gedeng Sumedang atau lebih populer dengan gelar Pangeran Santri), cucu dari Pangeran Panjunan. Pangeran Santri kemudian menggantikan Ratu Pucuk Umun sebagai Raja Sumedanglarang dengan gelar Pangeran Kusumahdinata I dan memerintah pada 1530-1578 M.

Continue reading

P.F. Dahler dan Oeroesan Peranakan

Dahler0

Oleh : R. Indra Pratama

Kepada  gundukan tanah baru di Pemakaman Mrican, Jogjakarta itu, Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara berucap, “Walau masih banyak kekurangan, tetapi jangan hendaknya saudara berkecil hati meninggalkan kita, karena kita tentu akan menyelesaikan usaha yang masih belum sudah ini, dan percayalah saudara bahwa kita tentu akan dapat mencapai apa yang kita idamkan bersama”. Bersamaan dengan ucapan itu, menunduklah orang-orang nomor penting Republik Indonesia, Wakil Presiden Mohammad Hatta beserta beberapa menteri, Guru-guru besar Universitas Gajah mada, hingga  wakil-wakil partai lintas ideologi; Partai Komunis Indonesia, Partai Nasionalisme Indonesia, dan Masyumi.[1]

Sebelum genap tiga tahun Republik Indonesia diproklamirkan, telah berpulang seorang pejuang tangguh, dengan curiculum vitae perjuangan yang mengagumkan dan berpengaruh bagi berdirinya republik ini. Pejuang yang mulanya aktif memperjuangkan nasionalisme golongan Indo (Eurasia), lalu meleburkan nasionalisme Indo tersebut kedalam nasionalisme Indonesia yang mulai berkembang. Jurnalis media berbahasa Melayu, anggota Volksraad, juga anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Juga berperan besar terhadap perumusan dan pengajaran bahasa persatuan, Bahasa Indonesia, hingga ditunjuk sebagai kepala Balai Bahasa yang pertama.

Pieter Frederich Dahler, atau umumnya dikenal sebagai P.F. Dahler, atau Frits Dahler (nantinya berganti nama menjadi Amir Dachlan), lahir di Semarang pada 21 Februari 1883 dari Ayah seorang Belanda, dan Ibu seorang Indo Eurasia. Sejauh ini tidak ditemukan sumber latar belakang keluarga Dahler, juga mengenai kisah masa kecil dan sejarah pendidikan Dahler. Dahler meniti karir sebagai pegawai pemerintahan, yang mengantarnya hingga jabatan Controleur di Volkslectuur/Balai Poestaka[2]. Ketika Balai Poestaka mendirikan Divisi Penerjemahan tahun 1919 untuk keperluan penerjemahan karya tulis kedalam bahasa Melayu, Dahler dipilih untuk mengepalai bagian tersebut. [3]Dahler masih tercatat sebagai pegawai di Balai Pustaka hingga tahun 1935. [4]

Dahler mulai masuk ke dunia pergerakan nasionalisme Hindia ketika berkenalan dengan aktivis pergerakan nasionalisme Indo E.F.E Douwes Dekker pada tahun 1918, yang kelak dikenal dengan nama Danudirja Setiabudhi. Ia pun bergabung dengan Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo di Insulinde, organisasi lanjutan dari Indische Partij yang terkena represi. Insulinde aktif meneruskan perjuangan Indische Partij, meskipun pada ideologinya makin bergeser kepada konsep nasionalisme Hindia (termasuk didalamnya asimilasi kaum Indo dengan pribumi, sejalan dengan pemikiran Dahler). Meskipun begitu, Insulinde tidak sepenuhnya mengambil jalan non-kooperasi dengan masih terdapatnya wakil di Volksraad. Kepulangan Dekker dan Tjipto menambah lagi kekuatan radikal Insulinde.

Insulinde mulai berbenah merapikan gerakan organisasi, mengkoordinir afdeling-afdeling di berbagai tempat di Jawa. Lalu Insulinde pun mulai mengkoordinir gerakan-gerakan mogok di berbagai daerah, terutama di Jawa Tengah, yang dipimpin seorang haji radikal eks anggota Sarikat Islam, Haji Misbach. Misbach sanggup menggerakan serangkaian pemogokan buruh di Jawa Tengah, yang berujung dengan penangkapannya Misbach di Surakarta tahun 1919.

Paralel dengan peristiwa diciduknya Misbach, Dahler membantu Dekker untuk membuat reformasi Insulinde.  Dekker menggelar Kongres Kaum Hindia di Semarang tanggal 7-9 Juni 1919, yang mana ia mengungkapkan seruan “revolusi spiritual” dan membentuk front persatuan dengan basis “cita-cita dan ideologi nasional”. Sebagai kendaraan dari cita-cita dan ideologi ini, dibentuklah National Indische Partij – Sarikat Hindia (NIP-SH), yang masih berhaluan keras seperti Indische Partij, yang seperti dikatakan Dekker, adalah sebuah “pernyataan perang”, “sinar yang terang ,melawan kegelapan, kebaikan melawan kejahatan, peradaban melawan tirani, budak pembayar pajak kolonial melawan negara pemungut pajak Belanda”. [5] Namun dua bulan setelah Misbach, giliran Douwes Dekker kembali ditangkap setelah dituduh mengompori aksi mogok di Polanharjo, Klaten.

Di sisi lain, kaum Indo anggota NIP-SH banyak yang merasa kurang nyaman dengan radikalitas dari partai. Para anggota Indo banyak yang beralih kepada gerakan Indo Europeesch Verbond (IEV), yang dibentuk oleh karib lama Dekker, Karel Zaalberg. Jika Dahler dan Dekker mempunyai cita-cita asimilasi kaum Indo dan Pribumi dalam satu nasionalisme Hindia, cita-cita IEV adalah mempertahankan status kaum Indo andaikata kelak Hindia bisa lepas dari Belanda. Namun demikian, kontrol yang baik dari Tjipto, Suwardi (yang baru kembali dari pengasingan), dan Dahler membuat NIP-SH masih mampu bertahan baik. Tercatat tahun 1922 Dahler menjadi wakil dari NIP-SH di Volksraad hingga NIP-SH bubar tahun 1923.[9]

Di Volksraad, Dahler berkenalan dengan politisi asal Minahasa, Sam Ratulangie. Sembari menjadi editor di Bintang Timoer, bersama psikolog M.Amir dan Ratulangie, Dahler bersepakat membentuk majalah mingguan Penindjauan di Batavia. Mingguan ini kemudian mengambil filosofi sebagai “peninjau” kebijakan-kebijakan kolonial Pemerintah Hindia-Belanda. Sudut pandang ini ternyata menghasilkan sudut pandang oposisi bagi Penindjauan. Tulisan-tulisan kritis bernada keras yang ditujukan pada pemerintah satu persatu mulai diterbitkan Penindjauan. Mingguan ini kemudian diperkuat oleh penulis-penulis muda yang kemudian hari akan menjadi tokoh dalam dunia penulisan Indonesia, seperti Armijn Pane, Sanoesi Pane, dan Achdiat K. Mihardja.[6] Armijn, Sanoesi, dan Achdiat kemudian kelak juga bekerja bersama lagi di Balai Poestaka.

Kebijakan tulisan di Penindjauan membuat pemerintah bersikap represif terhadap media ini, terutama pada Sam Ratulangie, yang tulisan-tulisannya menjadi corong media ini. Sam Ratulangie dikenakan dugaan telah mengkorupsi uang perjalanan dinasnya sebagai anggota Volksraad sebesar 100 Gulden. Tuduhan dan proses hukum yang dikenakan pada Ratulangie menjadi bahan polemik cukup seru antara media-media pro pergerakan dengan media-media pro pemerintah. Ratulangie akhirnya dijatuhi hukuman 4 bulan penjara di Sukamiskin, Bandung pada 1936. Di dalam Penjara Sukamiskin ini Ratulangie berhasil membuat sebuah karya geopolitik yang cukup visioner pada masa itu, Indonesia in den Pasific. Dimana didalam salah satu bagian Ratulangie menulis tentang keberadaan Jepang dan kemungkinan invasi Jepang ke Hindia Belanda, juga tentang kemungkinan geo-strategi Hindia di masa depan.[7]

Dahler juga disebut pernah mengajar di Ksatriaan Instituut, dan Pergoeroean Rakjat. Ajip Rosidi menulis bahwa Dahler juga pernah mengajar Achdiat K.Mihardja saat duduk di bangku AMS, meskipun belum jelas AMS Bandung ataukah Solo, karena Achdiat pernah berpindah duduk di bangku AMS di kedua kota tersebut. Pada Oktober 1941 Dahler bekerja di Regeeringpubliciteitsdients (Dinas Penyiaran Pemerintah) di bagian penerangan penyiaran bahasa  pribumi dan Melayu-China, serta biro penterjemahan dan penyusunan rekaman pers pribumi dan Melayu China.

Saat Jepang masuk ke Indonesia, mereka menerapkan kebijakan yang tegas untuk menginternir orang Eropa ke kamp-kamp, dan memilih berusaha menjalin kerjasama dengan pribumi. Dibalik itu Jepang juga menerapkan standar ganda untuk kaum Indo. Banyak diantara kaum Indo yang turut dimasukkan kedalam kamp konsentrasi, namun disisi lain juga Jepang menginginkan kaum Indo untuk bersama pribumi mensukseskan propaganda Jepang sepanjang Perang Dunia II di Pasifik.

Akhirnya Jepang berusaha merangkul kaum Indo dengan menganggap mereka sebagai pribumi, dan dengan sendirinya harus menjadi bagian dari Asia Raja yang dipropagandakan Jepang. Dahler pun dipilih untuk menjadi salah satu juru bicara kaum Indo bersama A.Th.Bogaart. Pada Agustus 1943 Jepang mendirikan Kantor Oeroesan Peranakan sebagai pusat usaha pengintegrasian kaum Indo untuk bersama kaum pribumi membentuk Asia Timoer Raja. Dikepalai oleh Hamaguchi Shinpei, lembaga ini antara lain beranggotakan Dahler.

Dahler, yang dianggap tokoh golongan Indo yang pro Indonesia, bertugas sebagai penghubung antara kaum Indo dengan pemerintah Jepang. Tugas yang sulit, mengingat masih banyak kaum Indo yang lebih merasa terkait dengan kaum Eropa totok di lapisan atas masyarakat, dibandingkan dengan kaum pribumi. Suratkabar Tjahaja tanggal 27 Januari 1943 memuat pernyataan Dahler yang menganjurkan pilihan kaum Indo untuk bekerjasama dengan Jepang. Namun hal tersebut tidaklah mudah, karena tidak seperti Boogarts yang dihargai di mayoritas kalangan Indo (yang merasa lebih sebagai Eropa daripada pribumi), pro-Indonesianis seperti Dahler tidak begitu dihargai.

Kantor Urusan Peranakan

Salah satu cara Jepang membujuk kaum Indo adalah dengan menyuruh mereka memilih, mengidentikkan diri dengan kaum pribumi dan bekerjasama dengan Jepang, atau tetap menjadi tahanan kamp konsentrasi. Kebijakan tersebut diputuskan dalam rapat Jepang dengan Dahler bulan Januari 1944. Kebutuhan akan sumber daya manusia membuat Jepang berusaha membujuk kaum Indo dengan iming-iming bahwa keluarga mereka akan ikut dibebaskan pada momen ulang tahun kaisar pada bulan April jika mereka (lelaki kaum Indo) bekerjasama dengan Jepang.[8]

Bujukan Jepang ternyata tidak berjalan efektif untuk membujuk kaum Indo bergabung. Jepang pun memulai gaya represif dalam menangani kaum Indo dengan menahan lebih banyak lagi kaum Indo yang enggan bergabung. Jepang, yang menganggap Dahler kurang tegas dalam membujuk kaum Indo untuk bergabung, tahun 1944 akhirnya mengutus seorang pro asimilasi yang lebih radikal, yaitu P. H. van den Eeckhout. Dahler sebenarnya tidak menyukai gaya militan Eeckhout, namun tidak bisa berbuat apa-apa karena Eeckhout diutus langsung oleh Jepang.

Pada saat Jepang membentuk Badan Penyelidik Urusan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), nama Dahler masuk menjadi salah satu anggota. Ia hadir dalam kedua rapat BPUPKI (29 Mei – 1 Juni dan 10 Juni – 17 Juli 1945). Dalam rapat 10 Juni, Dahler terlibat aktif dalam beberapa isu, yang paling penting dan pelik adalah isu mengenai siapa-siapa saja warganegara Indonesia kelak. Dahler, yang hadir sebagai perwakilan warga peranakan, bersama A.R Baswedan (mewakili warga keturunan Timur Tengah) dan Liem Koen Hian (mewakli warga keturunan China), menanggapi usulan M.Yamin bahwa untuk warga non pribumi dapat diberikan hak repudiatie (penolakan) terhadap status kewarganegaraan Republik Indonesia. Dahler berpendapat bahwa hak repudiatie dapat memicu masalah kewarganegaraan ganda, dan oleh sebab itu, harus dibuat sebuah Undang-undang khusus yang mengatur masalah kewarganegaraan kaum peranakan tersebut. Undang-undang khusus ini kemudian berhasil dibuat namun pada perjalanannya berubah-ubah sesuai kondisi politik Indonesia, dan undang-undang terkini yang mengatur masalah kewarganegaraan bagi non pribumi ada di UU no. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Setelah proklamasi Dahler makin gencar mengusahakan asimilisasi kaum Indo kedalam republik. Dahler pun bergabung dengan Partai Nasional Indonesia yang dipimpin Soekarno. Namun kondisi keamanan dan euforia revolusi berdampak besar (dan negatif) bagi perjuangan Dahler. Dalam masa yang sering disebut masa “Bersiap” ini (1945-1949) telah terjadi banyak kasus kekerasan berdarah terhadap kaum Indo yang dilakukan oleh para revolusioner republik dari kaum pribumi. Robert Cribb dalam Gangsters and revolutionaries, the Jakarta peoples militia and the Indonesian revolution 1945-1949 melukiskan masa Bersiap di Jakarta sebagai ” terrifying time of regular looting, robbery, kidnapping and random murders were Europeans and Indo-Europeans disappeared even from the heart of the city, to be found floating in the ‘kali’ (canals) days later“. Pembunuhan dan seringkali penyiksaan acak kepada kaum Indo Eurasia terjadi dalam skala besar di beberapa tempat.  Pada 12 Oktober 1945 tercatat 42 pemuda Indo dibunuh di Simpang Club Surabaya, dan ratusan lainnya ditangkap dan disiksa di Penjara Kalisosok. Sepanjang 1945-1946, di Bandung tercatat sekitar 1.200 orang sipil yang dicurigai pro Belanda oleh pada pejuang revolusi tewas dibunuh.

Kekacauan dan kekejaman yang terjadi tersebut menambah sulit upaya asimilasi yang berpuluh-puluh tahun telah diperjuangkan Dahler. Gelombang repatriasi (migrasi kaum Indo yang tak pernah menginjak Belanda sebelumnya, ke Belanda) yang terjadi menyusul kejadian-kejadian tersebut, akhirnya membuat Dahler tidak akan pernah melihat cita-cita asimiliasinya tercapai.

Pada 12 April 1946 Dahler ditangkap oleh pasukan Belanda, karena dianggap pernah bekerjasama dengan Jepang. Ia ditahan berpindah mulai dari Penjara Glodok, Gang Tengah, dan Pulau Onrust. Pada 15 April 1947, karena dianggap hanya berkolaborasi secara moral dengan Jepang, dan tidak ada kejahatan yang dilakukan terhadap warga Belanda di masa Jepang,  Dahler diberi amnesti dan dibebaskan. Hari itu juga Dahler langsung bergabung ke Yogyakarta, yang saat itu menjadi Ibukota Republik.

Setelah kemerdekaan, pemerintah memandang perlu untuk mendirikan sebuah lembaga yang bertugas menangani masalah bahasa persatuan, bahasa Indonesia, yang belum terlalu umum dan dikenal sebagai sebuah konsep utuh, bahkan di wilayah republik sekalipun. Maka pada Juni 1947 pemerintah memutuskan untuk membentuk Panitia Pekerja Bahasa Indonesia, yang diketuai K.R.T. Amin Singgih (kelak menjadi penulis beberapa buku penting dalam studi Bahasa Indonesia). Tim Panitia Pekerja Bahasa Indonesia kemudian pada Februari 1948 mencetuskan lembaga yang berkewajiban mempelajari bahasa persatuan Indonesia dan bahasa-bahasa daerah, serta memberikan petunjuk kepada masyarakat tentang hal-hal yang berkenaan dengan bahasa-bahasa tersebut, bernama Balai Bahasa. Dahler dipilih sebagai pemimpin Balai Bahasa, karena pengetahuan dan pengalamannya yang luas akan literatur dalam bahasa Melayu, yang menjadi dasar Bahasa Indonesia, juga kemampuan multilingualnya. Kantor pertama Balai Bahasa sendiri terletak di gedung Sekolah Guru Puteri, Jalan Jati 2, Yogyakarta.

Namun medio April 1948 Dahler tua mendadak jatuh sakit. Berita rilisan Antara tanggal 7 Juni 1948 menyebutkan Dahler sudah dua bulan berada di Rumah Sakit Pusat Yogyakarta karena terkena infeksi. Pukul sembilan malam tanggal 7 Juni itu pula Dahler akhirnya meninggal dunia di usianya yang ke 67. Jenazahnya disemayamkan sehari sebelum dikebumikan di Pemakaman Mrican pukul empat sore keesokan harinya. Tercatat yang hadir di pemakamannya untuk menghormati Dahler adalah Wakil Presiden merangkap perdana Menteri Moh.Hatta, Ketua Delegasi Republik, Menteri pendidikan Ali Sastroamidjoyo, Menteri keuangan A.A Maramis, Menteri penerangan M.Natsir, Menteri Luar Negeri Agus Salim, Menteri kemakmuran Sjafruddin Prawiranagara, Jaksa Agung Tirtawinata,  ketua Dewan Pertimbangan Agung Margono Djojohadikusumo, guru-guru besar lembaga-lembaga pendidikan tinggi, serta Wakil-wakil partai, PKI, PNI, dan Masyumi. Pemakaman Dahler sendiri dilakukan secara Protestan dipimpin oleh Domine Harahap dari BOPKRI.

 


[1] Antara 9 Juni 1948 dikutip dari Toer, Pramudya Ananta, dkk. 1999. Kronik Revolusi Indonesia Bagian II (1946). Kepustakaan Populer Gramedia.
[2] Touwen-Bouwsma, E. 1996.  Japanese minority policy; The Eurasians on Java and the dilemma of ethnic loyalty. 152, no.4. (Publisher: KITLV, Leiden) Hlm.39
[3] Jedamski, Doris. 1999. Kebijakan Kolonial di Hindia Belanda. Leiden. Dikutip dari https://openaccess.leidenuniv.nl/bitstream/handle/1887/15116/Microsoft%20Word%20-%20jedamski-bijak%20I%20030408.pdf?sequence=5
[4] Touwen-Bouwsma, E. Op.cit. Hlm.39
[5] Van Der Veur. Introduction to a Socio Political Study of the Eurasians of Indonesia. Hlm 163.
[6] Rosidi, Ajip. 2010. Kita Benar-Benar kehilangan. Achdiat K. Mihardja (1911-2010).
[7] Raditya, Iswara.N. 2011. Paman Sam Melayu dari Minahasa. http://melayuonline.com/ind/opinion/read/468/paman-sam-melayu-dari-minahasa
[8] Fields, D. Of, the Japanese civilian camps. Hlm. 446.
[9] Siraishi, Takashi. 1997. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Di Jawa 1912 – 1926. Pustaka Utama Graffiti.
« Older posts

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑