Month: April 2013

Inggit Garnasih – kekasih, kawan dan ibu yang hanya memberi tanpa menuntut balas

Oleh : Natasha Bellania Pertiwi (@achabp)

Jika ditanya siapa perempuan indonesia inspiratif bagi saya, salah satunya adalah Ibu Inggit Garnasih.

Ia sangat mengagumkan bagi saya, dalam banyak hal.
Tak hanya inspiratif, sosoknya yang sederhana, penyayang, keibuan dan memiliki pendirian menjadikannya simbol wanita mandiri.

Garnasih lahir di Desa Kamasan, Banjaran, Kab.Bandung, 17 Februari 1888,dari pasangan Ardjipan dan Amsi. Nama itu diberikan dengan penuh makna dan harapan, kelak menjadi anak yang hegar, segar, menghidupkan, dan penuh kasih sayang.

Menginjak dewasa Garnasih menjadi gadis cantik sehingga ke mana pun ia pergi selalu menjadi perhatian pemuda. Di antara mereka sering melontarkan kata-kata, “Mendapat senyuman dari Garnasih sama dengan mendapat uang seringgit.” (Pada saat itu 1 ringgit sama dengan 2,5 gulden dan nilainya tinggi.) Akhirnya, julukan inilah yang merangkai namanya menjadi Inggit Garnasih.

Ya, Inggit adalah istri kedua Soekarno. Bisa dikatakan beliau adalah sosok perempuan dibalik kesuksesan sang proklamator. Perannya sanggat penting, dimana ia membentuk, menampung, dan mengayomi Soekarno muda yang kala itu tengah berapi-api menjadi seorang pemimpin dan pejuang tangguh, dan Inggit pula yang serta merta mengantarkannya ke gerbang kejayaan.

“Laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung. Jika dua sayap sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya; jika patah satu dari pada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali.” ( Sarinah, hlm 17/18 Bung Karno)

Berikut saya simpulkan beberapa peranan Inggit ketika mendampingi Soekarno saat memasuki dunia politik dan pergerakan Kemerdekaan Indonesia, di antaranya:  :

  • Inggit merelakan mengakhiri hubungan rumah tangga nya yang terlanjur hampa dengan seorang pedagang kaya dan juga salah satu tokoh Sarekat Islam, Bernama H.Sanusi.
  • Setelah terjalin ikatan pernikahan dengan Soekarno, Inggitlah yang menjadi tulang punggung keluarga. Ia membiayai rumah tangga dan juga uang kuliah, dengan cara meracik jamu, bedak, membuat Rokok Berlabel “Ratna Djuami” , menjahit kutang, dan menjadi agen sabun dan cangkul meskipun kecil-kecilan. Karena saat itu Soekarno masih menjadi Studen di THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Teknik Tinggi yang sekarang menjadi ITB).
  • Membiayai segala bentuk kegiatan politik Soekarno, termasuk menjamu semua tamu Soekarno yang setiap hari datang berkunjung untuk diskusi.
  • Pengabdian Inggit sebagai istri tercermin saat ia menghapus keringat saat Soekarno kelelahan, menemani dan menghibur Soekarno yang tengah kesepian. inggit mampu memerankan 3 sosok sekaligus, yaitu sebagai kekasih, kawan dan ibu yang hanya memberi tanpa menuntut balas.
  • Ia selalu setia mengantarkan makanan, koran, dan uang ketika Soekarno menjalani hukuman di Penjara Banceuy dan Sukamiskin. Meskipun Jarak jauh harus dilewati dengan berjalan kaki bersama Ratna Djuami (anak angkat Inggit dan Soekarno).
  • Inggit juga tabah mendampingi Sukarno hidup di pengasingan, baik selama di Ende maupun Bengkulu. Ia menjadi sumber kekuatan bagi kehidupan Soekarno yang penuh ujian keras.
  • Ia berusaha keras untuk yang menyelundupkan buku-buku untuk Soekarno di dalam penjara. Lewat buku-buku itu Soekarno bisa menyusun pledoi master piece berjudul ‘Indonesia Menggugat’.

Adilkah Jika Masih saja ada orang yang tak mengenalnya ? 🙁

Namun takdir berkata lain. Inggit tak bisa selamanya mendampingi Soekarno. Di tahun 1943 itu, saat Sukarno hampir mencapai puncak kejayaannya. Ia berusia 40 tahun sedang Inggit 53 tahun, terguncang oleh keinginan Soekarno yang beralibi menginginkan keturunan langsung darinya. Inggit memang wanita mandul, ia hanya mampu merawat dan mendidik kedua anak angkatnya, Ratna Djuami dan Kartika, bukan dari rahimnya sendiri.

Sampai suatu saat, terucaplah keinginan Soekarno untuk memperistri sesosok wanita muda bernama Fatimah yang kemudian dikenal Fatmawati. Fatmawati sudah dinggap sebagai anak sendiri ketika mereka berada di pengasingan di Bengkulu.

Dengan tegas Inggit mengucapkan, “Itu mah pamali, ari di candung mah cadu”(itu pantang, kalau dimadu pantang). Setelah melewati berbagai pembicaraan dan pertengkaran, sampailah inggit pada keputusannya, ia enggan dimadu dan memilih untuk bercerai dari seorang Soekarno dan dipulangkan kembali ke Bandung.

Itulah Inggit. Dia berbeda dia mampu menentukan keputusan dan memiliki pendirian. Kesedihan dan kesengsaraan yang di arungi bersama selama hampir 20 tahun tidak dirasakan buahnya saat Sukarno mencapai gemilang. Ia telah menuntun Soekarno menuju gerbang. Sampai disitulah tugasnya, kemudian ia memilih membalikan badan menerima kenyataan tak ada lagi Soekarno sebagai pendampingnya, dan mencoba melanjutkan hidup dengan menjual bedak dan meramu jamu.

Soekarno pun akhirnya menikahi Fatmawati, yang setelah mencapai kemeredekaan pada tahun 1945 menjadi First Lady.
Namun sampai akhir hayat pun bisa dipastikan inggit masih menyimpan cintanya yang begitu besar terhadap Soekarno, termasuk melayat saat Soekarno meninggal dunia. Ia sungguh perempuan berhati tulus, memberi tanpa meminta dan memberi tanpa pamrih.

Sumber dan Referensi :

– Ramadhan KH, Kuantar Ke Gerbang

– Obrolan dengan Pak Tito Zeni Asmarahadi (cucu Inggit Garnasih) pada acara lacak jejak – 13 April 2013

– Naskah Lacak Jejak Inggit Garnasih oleh @mooibandoeng dan @KomunitasAleut

– Monolog Inggit Garnasih oleh Happy Salma – Bale Rumawat Unpad

Ca-Bau-Kan

Oleh : Reza Ramadhan Kurniawan (@kobopop)

Sutradara: Nia Di Nata
Pemain: Ferry Salim, Lola Amaria, Niniek L. Karim, Irgi A. Fahrenzi, Alex Komang, Robby Tumewu, Tutie Kirana, Henky Solaiman, Alvin Adam, Maria Oentoe.
Tahun Rilis: 2002
Judul Internasional:The Courtesan

Diadaptasi dari novel berjudul Ca-Bau-Kan (Hanya Sebuah Dosa) karya Remy Sylado, Ca-Bau-Kan menjadi film yang pertama mengangkat tema budaya dan bahasa Tionghoa di Indonesia pada zaman kolonial Belanda.

Film debutan Nia Di Nata sebagai sutradara, produser dan merangkap penulis skenarionya ini merupakan film pertamanya yang mengangkat tema kaum minoritas di Indonesia. Pada film ini Nia Di Nata seakan ingin menunjukan pesan kepada penonton bahwa kaum minoritas Tionghoa tidak bisa dianggap tidak ada, Nia seperti percaya bahwa masing-masing keunikan di dunia ini dapat memperkaya dinamika masyarakat secara umum.

Patutlah dihargai keberanian Nia Di Nata pada debut filmnya ini menyuguhkan tema yang jarang diangkat pada umunya. Kebranian membuat film keluar jalur mainstream menjadikan film ini pelepas dahaga yang beda bagi penikmat film-film Indonesia.

Salah satu yang menarik untuk diamati pada film ini adalah bagaimana unsur sejarah  melekat kuat pada setiap  adegan. Bagaimanapun membuat film bertema sejarah merupakan suatu yang sulit, bukan hanya dari segi cerita, pemilihan detail pakaian, setting tempat, dialek tokoh, set artistik dan hal-hal kecil lainya perlu sebaik mungkin tersesuaikan dengan kekuataan cerita yang ada. Maka wajar saja total dana yang digunakan untuk membuat film ini mencapai lima miliyar.

Secara garis besar setting cerita film mencakup tiga zaman sejarah perkembangan Indonesia, pada zaman kolonial Belanda tahun 1930-an, pendudukan Jepang pada 1940-an, hingga pasca kemerdekaan tahun 1960. Bercerita tentang seorang wanita Indonesia Giok Lan (Niniek L. Karim) yang mencari kembali latar belakang hidupnya. Pada usia senjanya ia lalu memutuskan untuk kembali ke Indonesia untuk mencari asal usulnya. Film ini kemudian beralih ke masa lalu mengupas kisah seorang Ca Bau Kan (perempuan simpanan) bernama Tinung (Lola Amaria) yang memiliki beragam kisah memilukan.

Sebagian besar cerita film ini menceritakan kisah cinta antara seorang pribumi dan seorang Tionghoa asal Semarang bernama Tan Peng Liang (Ferry Salim). Selanjutnya kisah cinta pada film ini diwarnai dengan persaingan perdagangan tembakau dan juga bagaimana terlibatnya seorang etnis Tionghoa memperjuangan kemerdekaan Indonesia.

Butuh beberapa saat agar mata dan logika menjadi terbiasa dengan cerita visual yang disuguhkan, terutama pada tokoh-tokohnya yang awalnya sulit untuk teridentifikasi jelas. Adegan beberapa pemain memang terlihat cukup natural, terutama Ferry Salim yang berperan menjadi Tan Peng Liang pria Tionghoa yang flamboyan. Di sisi lain ada beberapa yang sangat disayangkan pada film ini, posisi tokoh Tinung (Lola Amaria) sebagai seorang Ca-Bau-Kan terhempaskan ditelan alur cerita. Padahal Tinung merupakan salah satu tokoh utama dalam film ini. Sangat disayangkan puncak penderitaan Tinung kurang terasa menyengat pada film ini, Tinung akhirnya menjadi jugun ianfu di masa Jepang dan kemudian di tahun 1960 kehilangan suami yang terlihat getir tapi kurang mengena.

Terlepas dari kekurangan yang ada, film ini enak untuk ditonton bersama-sama atau sendirian. Bagaimanapun film selalu membawa unsur budaya, dari film ini kita bisa banyak belajar bagaimana etnis Tionghoa di Indonesia bergitu beragam karena alkulturasi dengan budaya setempat.  Selain itu kita juga bisa melihat kenyataan yang ada bahwasanya sejarah mengungkapkan bahwa Tionghoa di Indonesia dahulu-pun ternyata ikut juga berperan membantu kemerdekaan bangsa ini. Indonesia adalah cita-cita luhur dari keberagaman yang ada. Film ini sedikit banyak menggambarkan hal tersebut.

Sumber Foto:

Tantri06.Dimuat di http://thoughtsofstupidbookworm.files.wordpress.com/2013/01/cabaukan-all.jpg.Diakses 5 Januari 2013.

“Senangnya” Menjadi Guru Di Zaman Belanda

Oleh : Putri Socko Kayden

Bicara soal pendidikan, ternyata bukan hanya zaman sekarang saja SMP dan SMA dikenal dengan sekolah-sekolah yang bagus di Bandung. Ternyata sejak zaman dulu-pun, Bandung sudah terkenal dengan pendidikannya yang bagus. Namun yang membedakannya terletak pada ‘mau jadi apa lulusan dari sekolah-sekolah tersebutpada nantinya’. Semua ini akan diuraikan dalam catatan perjalanan di bawah ini, bagaimana penulis yang masih amatir ini mencoba mengungkapkan apa saja yang dia dapatkan dari kegiatan Aleut minggu ini.

Aleut, Minggu tanggal 7 April 2013 merupakan Aleut dengan tema kegiatan ‘Pendidikan’. Cukup banyak yang mengikuti kegiatan aleut hari ini, terlihat dari segerombolan orang yang tampak menunggudi depan Patung Badak Putih di dalam Taman Balai Kota. Ya, disitulah start point aleut untuk tema kali ini. Pada start point, dijelaskan bahwa hari itu, para pegiat aleut akan diajak menelusuri jalan bernama kepulauan seperti Jalan Jawa, Sumatera, dan Kalimantan dimana di jalan-jalan tersebut memang sering ditemukan sekolah-sekolah yang didirikan sejak Bandung Tempo Doeloe.

Dari balai kota, para pegiat Aleut menyebrang memakai jembatan penyebrangan untuk sampai di sekolah ST. Angela yang terletak di depan Balai Kota itu. Disitu dijelaskan bahwa ternyata sekolah tersebut dulunya merupakan sekolah khusus Biarawati saja. Sekolah tersebut bukan sekolah formal pada umumnya yang memfasilitasi muridnya untuk dapat calistung, namun lebih ke sekolah keterampilan. Konon katanya, hanya perempuan Belanda saja yang diperbolehkan untuk bersekolah di sekolah tersebut.

 Lanjut beberapa meter setelahsekolah ST. Angela terdapat Kantor Polwiltabes. Gedung yang sudah dialih fungsikan menjadi kantor polisi ini tadinya merupakan Sekolah Raja atau kweekschool. Sekolah ini merupakan sekolah pembibitan dimana lulusan dari sekolah ini akan menjadi guru. Lain dengan Sekolah ST. Angela, Sekolah Raja merupakan sekolah formal yang memfasilitasi muridnya untuk bisa calistung. Murid-murid disekolah ini yang notabene adalah kebangsaan Belanda dan sedikit saja pribumi yang kastanya tinggi (ningrat), diharuskan untuk menginap di sekolah ini.

Sekolah ini memang bersistem asrama dimana terdapat kamar-kamar yang memangdisediakan di bagian belakang gedung. Kembali ke soal lulusan sekolah ini, seperti yang telah dikatakan bahwa lulusan sekolah ini akan dipekerjakan sebagai guru. Nah, untuk praktek mengajarnya, disediakanlah gedung yang berbeda yang letaknya tepat dipinggir gedung Sekolah Raja ini. Gedung ini berfungsi sebagai tempat praktek. Sekarang, gedung tersebut adalah SDN Banjarsari. Nah, lulusan sekolah yang telah menjadi guru ini digaji oleh para bangsa Belanda. Lulusan dari Sekolah Raja ini kalau zaman sekarang disebut dengan PNS atau guru yang bekerja di sekolah negeri. Ironisnya, zaman dulu itu guru sekolah negeri gajinya lebih besar dari pada guru swasta. Jika guru sekolah negeri di gaji 70 gulden, guru sekolah swasta hanya digaji sebesar 45 gulden saja (8 gulden dapatdibelikan 100 kg beras). Hal ini berbeda sekali dengan kenyataan pada zamansekarang.

Oh ya, mengapa dinamakan SekolahRaja? Ternyata memang mempunyai alasan sendiri. Sejarahnya, dahulu saat para Raja berulang tahun, biasanya akan membangun sekolah-sekolah di wilayah yang menjadi tanah jajahannya. Maka itu sekolah yang dibangun tersebut dinamakan Sekolah Raja.

Kemudian, hal yang membuat miris adalah.. pada kenyataannya, sekolah-sekolah ini dibangun bukan untuk mensejahterakan rakyat Indonesia supaya lebih pintar dengan bersekolah. Namun… ternyata, para lulusan tersebut memang dijadikan pekerja, yaitu tadi sebagai guru. Karena jika mengambil guru dari luar negeri, harus menggaji dengan jumlah yang besar. Maka itu, para Belanda lebih memilih memperkerjakan para pribumi berkasta tinggi. Hmm.. miris sekali.. dipekerjakan di tanahsendiri.

Perjalanan pun dilanjutkan… dari Sekolah Raja, para pegiat Aleut berjalan dan berjalan hingga tiba di depan sebuah sekolah yang terletak di samping Gereja Katredal. Sekolah tersebut merupakan Sekolah Katolik. Sekolah tersebut dibangun karena ada gereja disebelahnya. Jadi memang Gereja Katredal terlebih dahulu yang zaman dahulu dibangun di daerah situ.

Lanjut, dari situ, Aleutian punberjalan menuju dua SMP favorit di Bandung yaitu SMP 5 dan 2. Kedua Sekolah Menengah Pertama ini dulunya merupakan sekolah lanjutan setelah Sekolah Dasar selama 7 tahun (saat zaman Belanda, SD memang 7 tahun. Sistem pendidikan SD menjadi 6 tahun lamanya berubah saat zaman penjajahan Jepang). Untuk melanjutkan ke sekolah lanjutan ini, berbeda dengan zaman sekarang yang ditentukan dengan NEM sekolah, diputuskan oleh Kepala Sekolahnya masing-masing. Jadi hanya anak-anak yang telah tamat belajar atau mendapatkan rekomendasi untuk meneruskan sekolah dari Sang Kepala Sekolah saja yang dapat masuksekolah-sekolah ini.

Hmm.. bicara soal gedung, ada yang unik dari tampilan gedung SMPN 2. Gedung yang dicat serba hijau ini di gedung sebelah kirinya tertulis ANNO, kemudian di gedung sebelah tengahnya SMP NEGERI 2 Bandung, dandi sebelah kanannya terdapat tahun 1913. Maksud dari tulisan di sebelah kiri dan kanan gedung adalah ‘Didirikan Tahun 1913’. Jadi ‘ANNO’ ini artinya ‘didirikan tahun’.. begitu ^^ (Penulis juga baru tahu, hehehe)

Aleut kali ini memang singkat. Setelah dari SMP 5 dan 2, para pegiat aleut langsung berjalan menuju titik finish kegiatan aleut kali ini, yaitu di SMAN 3 dan 5 Bandung. Disana, para pegiat aleut saling sharing mengenai pengalaman di sekolah SMP ataupun SMA-nya masing-masing. Setelah sharing pengalaman tersebut, kegiatan aleut hari itu punberakhir sudah. Meskipun sangat singkat, kegiatan Komunitas Aleut selalu memberikan hal yang informatif untuk penulis. Dari yang tadinya tidak tahu, menjadi tahu.. ilmu itu mahal, tapi di Aleut, segalanya menjadi terasa lebih mudah 🙂

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑